|
|
|
|
Misteri di Hutan Rimba Tanggal 24 Feb 2021 oleh Widra . |
Pada zaman dahulu, di Kerajaan Bima terdapat sebuah kesultanan. Di sana memerintah seorang raja bernama Sultan Salehudin. Sultan Salehudin memerintah dengan arif bijaksana. Oleh karena itu, seluruh rakyat sangat mencintai rajanya. Beliau masih muda dan berparas tampan, serta gagah. Namun, raja tersebut belum berpikir untuk memiliki permaisuri. Padahal, jika beliau mau, tentu tidak akan sulit karena banyak sekali putri bangsawan maupun putri sultan yang senang dengannya.
Di kerajaan, Ibu Suri juga sering mengingatkan agar Sultan Salehudin segera memiliki permaisuri. Namun, oleh Sultan selalu dijawab dengan halus dan Sultan selalu menjawab kalau dia belum menemukan calon permaisuri yang diidam-idamkannya. Sultan Salehudin senang sekali berburu bila ada waktu senggang. Sultan berburu dengan diikuti para pembesar istana, beliau berburu dalam waktu yang lama sehingga menginap beberapa malam di hutan
Pada suatu hari, Sultan Salehudin dan rombongannya pergi berburu ke kaki Gunung Londa. Menurut para penyelidik, di sana banyak berkeliaran rusa muda yang empuk dagingnya. Kawasan hutan Londa itu merupakan hutan belantara yang sangat subur. Hutan itu dikelilingi pohon-pohon tinggi dan besar. Pohon itu tumbuh dan menjulang tinggi bagai tonggak-tonggak raksasa. Rumpun dan semak-semaknya rimbun, mengonggok dan menghijau. Udaranya di sekitar sangat nyaman. Kawasan Gunung Loda merupakan kawasan yang jarang sekali dijamah tangan-tangan pemburu.
Sultan Salehudin sudah dua hari dua malam berburu di kawasan itu. Namun, tidak seekor rusa pun didapatkan. Sultan Saleudin heran dengan laporan penyidik yang mengatakan banyak rusa berkeliaran di hutan. Namun, Sultan tidak berputus asa. Pada hari ketiga, Sultan dan rombongannya maju ke kawasan hutan yang paling dalam. Di dataran yang terlingkup pohon-pohon besar dan tinggi, mereka mendirikan perkemahan.
“Kita istirahat dahulu semalam di sini. Besok pagi kita mulai lagi berburu. Semoga kita akan menemukan rusa yang diberitakan hidup di dalam hutan ini,” kata Sultan Salehudin kepada pimpinan pengiringnya. Malam harinya Sultan dan rombongan beristirahat. Akan tetapi, pengawalan tetap diadakan sebagai kewaspadaan. Menjelang tengah malam, para pengawal melaporkan bahwa mereka mendengar suara jeritan.
“Jeritan apa kiranya?” tanya Sultan dengan keheranan. “Oh, sepertinya jeritan wanita, Tuanku,” jawab pemimpin pengawal. “Mulanya kami mengira suara itu hanya suara semilir angin malam yang menerpa daun-daunan. Akan tetapi, setelah kami selidiki benar-benar suara jeritan wanita, Tuanku.”
Mendengar suara itu, Sultan tertarik untuk menyelidiki. Sultan kemudian memerintahkan untuk mengadakan penyelidikan dengan seksama. Sultan kaget dengan apa yang didengarnya, ternyata semua benar. Jeritan wanita itu terdengar sangat jelas bersahut-sahutan. Bahkan, kemudian berganti menjadi suara rintihan yang menyayat hati.
“Ibu mengapa tidak pulang? Tidak kasihankah Ibu kepada kami?” Tanyanya “Ibu, apakah ada sesuatu yang menghalangimu sehingga Ibu tidak segera pulang seperti biasanya?”
Begitulah sumber suara dari balik pohon-pohon yang besar, yang membentuk seperti pagar. Sultan Salehudin benar-benar menjadi penasaran. Sayang sekali saat itu malam hari, sekeliling tampak menghitam gelap sehingga sulit sekali untuk menembuskan pandangan ke balik pohonpohon itu.
Menjelang tengah malam, suara aneh itu berhenti. Akhirnya, Sultan memutuskan untuk kembali ke perkemahannya. “Besok kita selidiki lagi. Siang hari biasanya tidak akan sesulit seperti sekarang, “ujar Sultan. Sultan memerintahkan beberapa pengawal untuk tetap berjaga-jaga di sekitar pohon-pohon itu. Pagi sekali, Sultan dan Mangkubumi serta beberapa pengiring yang dipercayanya mengulang kembali penyelidikannya.
Di bagian hutan yang paling dalam terdapat beberapa pohon besar dan tinggi. Posisinya memutar bagai pagar yang kokoh. Celah di antara pohon-pohon itu ditumbuhi rumpun dan semak berduri seolah-olah memang sebuah pagar atau benteng melindungi apa yang ada di dalamnya
“Mangkubumi, aku yakin di balik kungkungan pohonpohon itu ada sesuatu. Entah apa, tetapi yang jelas suara dari sanalah yang terdengar tadi malam. Ayo, mari kita berusaha menyelusup ke dalam,” bisik Sultan. “Tuanku harus berhati-hati, semak dan rumpun di antara pohon-pohon itu berduri. Jangan sampai melukai Tuanku,” jawab Mangkubumi.
Dengan sangat hati-hati, mereka menyeruak rumpun dan semak berduri itu. Mereka bergerak perlahan, menerobos sampai ke bagian dalam. Kemudian melalui celah-celah rumpun mereka melihat sebuah gubuk berukuran besar. Di dalam gubuk itu terlihat seekor kerbau betina tengah berhadapan dengan dua orang gadis. Sultan dan Mangkubumi saling berpandangan keheranan. Sungguh tidak terduga, apa yang dilihatnya sangat di luar dugaannya. Apalagi kedua gadis itu sangat cantik.
“Mangkubumi, jangan-jangan mereka itu bukan manusia. Jangan-jangan mereka itu bidadari?” bisik Sultan Salehudin Mangkubumi menjawab hanya dengan mengangkat bahu. Sementara pandangannya tidak lepas tertuju kepada kedua gadis itu. Kedua gadis itu sebaya. Umurnya baru menginjak dewasa. Wajah mereka hampir sama sehingga sepintas sangat sulit untuk membedakannya. Kedua gadis itu tengah bercakap-cakap dengan seekor kerbau.
Sungguh menakjubkan, ada kerbau dapat berbicara. Lagi-pula oleh kedua gadis itu dipanggil “ibu”. Sultan dan Mangkubumi memasang telinganya untuk mendengarkan apa yang tengah mereka percakapkan.
“Ibu tadi malam terlambat pulang karena tidak jauh dari rumah kita ini kulihat ada perkemahan. Tampaknya dihuni para pemburu. Untuk itu, Ibu terpaksa bersembunyi sebab bila mereka melihat Ibu tentu mereka akan menangkap Ibu. Nah, Ibu harap kalian maklum, apa sebab Ibu terlambat pulang,” kata kerbau itu. “Ibu, mengapa para pemburu itu akan menangkapbila melihat Ibu? Apa salah Ibu?” tanya salah satu gadis. Kedengaran suara gadis itu sangat merdu ketika berbicara. “Mereka sedang berburu, Nak. Bila mereka melihat Ibu, tentu Ibu akan dijadikan sasaran perburuannya. Hm, sudahlah. Sekarang dengarkan pesanku. Besok Ibu harus pergi pagi sekali. Oleh karena itu, kalian harus bangun sepagi mungkin. Selama Ibu pergi, jangan sekali-kali berbuat gaduh. Sebab bila kalian gaduh dan para pemburu itu mendengarnya, kalian pasti akan diculiknya.” “Oh, Ibu? Ah, aku takut sekali.” “Sudahlah, sebaiknya sekarang kalian bekerja sebagaimana mestinya. Ibu capai sekali, ingin beristirahat.”
Kedua gadis itu lalu berdiri seraya menuntun kerbau ke bagian pojok gubuk. Gadis yang satu kemudian mengambil jerami, lalu digelarkannya untuk alas kerbau itu. Gadis yang satu lagi mengambil rumput muda dari keranjang lalu disuapkannya ke mulut kerbau itu. Sementara gadis yang satu menyuapi, yang satu lagi mengambil air dan kain penyeka. Kemudian, dengan penuh kasih sayang, menyeka tubuh kerbau.
Melihat pemandangan itu, Sultan Salehudin benarbenar merasa takjub, sedangkan Mangkubumi terbelalak keheranan. Mereka tidak mengerti, bagaimana mungkin seekor kerbau dapat bicara dan beranak dua orang gadis yang cantik. Setelah cukup lama mengintai, mereka kembali ke perkemahan. Acara perburuan sama sekali tidak diingat Sultan.
“Mangkubumi, menurut pendapatmu siapakah mereka itu?” tanya Sultan setibanya di perkemahan. “Menurut hamba, mereka itu sebangsa peri atau makhluk halus yang tengah dibuang. Barangkali mereka telah melakukan suatu kesalahan lalu dibuang ke hutan ini. Ibu kedua gadis itu dikutuk menjadi seekor kerbau, Tuanku,” jawab Mangkubumi. “Hm, mungkin juga. Betapa cantiknya kedua gadis itu. Ah, seandainya memungkinkan, aku ingin memperisteri salah satu dari mereka." “Tuanku, mengapa tidak mungkin? Tuanku dapat mengambil salah seorang dari gadis itu dengan berbagai cara.” “Bagaimana caranya menurutmu, Mangkubumi?” “Kita culik saja salah satu dari mereka. O, tetapi yang mana yang Tuanku inginkan?” Bukankah perbuatan itu tidak terpuji. Apa lagi dilakukan olehku sebagai sultan.” “Hamba akan mencoba dengan jalan yang wajar, tetapi rasanya tidak mungkin. Induk kerbau itu tidak mungkin mau memberikan anaknya. Ah, Tuanku tidak ada jalan lain lagi selain menculiknya. Lagi pula mereka bukan warga kesultanan kita."
Sultan Salehudin telah mabuk dengan kecantikan gadis itu sehingga dia tidak dapat berpikir jernih lagi. Usul Mangkubumi disetujuinya dan akan dilaksanakan esok pagi. Namun, sebelum melaksanakannya, Sultan memerintahkan pengiringnya untuk segera kembali ke keraton. Perburuan yang belum membawa hasil itu dinyatakan batal. Esok paginya, Sultan Salehudin dan Mangkubumi kembali ke gubuk yang dilingkupi pohon-pohon besar. Mereka langsung menerobos rumpun dan semak-semak di antara batang-batang pohon dengan sangat hati-hati. Dari celah-celah rumpun mereka melihat induk kerbau itu diiringi kedua gadis berjalan menuju salah satu celah di antara pohon-pohon
“Berhati-hatilah kalian, anak-anakku. Jangan sampai sesuatu terjadi sepanjang Ibu pergi,” kata induk kerbau. “Bu, aku jadi takut,” kata salah satu gadis. “Sebaiknya hari ini Ibu tidak usah pergi saja,” kata gadis yang satu lagi. “Ah, kalau tidak pergi, lalu apa yang akan kalian makan nanti?” tanya induk kerbau. “Sudahlah, bagaimana pun Ibu harus pergi mencari makanan untuk kalian. Namun, ingat pesanku janganlah membuat kegaduhan. Kalian boleh bermain, tetapi tidak boleh keluar dari pagar pohon-pohon. Hari ini kalian tidak usah mencari rumput untuk Ibu, sebab bukankah yang kemarin masih ada?”
Akhirnya induk kerbau itu menerobos ke dalam celah di antara pohon-pohon, diikuti pandangan cemas kedua anak gadisnya. Ketika induk kerbau itu telah berlalu, kedua gadis itu kemudian masuk ke dalam gubuk.
“Sekaranglah waktunya untuk menculik salah satu dari mereka,” bisik Mangkubumi. “Tunggu sampai kerbau itu berada sangat jauh dahulu,” ujar Sultan Salehudin. Mereka menanti sambil mengawasi kedua gadis itu. Sultan Salehudin meneliti kedua gadis itu dengan sangat saksama. la ingin menentukan, mana yang lebih cantik. Ternyata sangat sulit. Keduanya sama-sama lembut dan cantik. Tak ada perbedaannya sedikit pun.
Setelah cukup lama menanti, Sultan Salehudin memberi isyarat kepada Mangkubumi. Mangkubumi mengangguk penuh arti. Kemudian keduanya keluar dari rumpun. Kedua gadis itu sangat terkejut ketika melihat kemunculan dua laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. Mereka menjerit memanggil-manggil ibunya. Namun, sebelum dapat berbuat sesuatu, Sultan menangkap salah satu dari mereka dan membawanya keluar.
Gadis yang satu lagi berusaha menolong saudarinya, tetapi Mangkubumi segera menghalanginya. Akhirnya ia hanya bisa menangis menjerit-jerit, sementara saudarinya telah dibawa pergi oleh Sultan. Sultan Salehudin menggendong gadis yang diculiknya. Sultan membawanya ke luar melalui celah yang dilalui kerbau tadi. la merasakan gadis itu meronta-ronta, berusaha membebaskan diri.
“Aku suka padamu. Oleh karena itu, sesungguhnya aku tidak bermaksud buruk padamu!” kata Sultan Salehudin ketika menaikkannya ke atas pelana kudanya.
Mata gadis itu berbinar-binar ketika beradu pandang dengan Sultan. Tadinya gadis itu meronta-ronta karena takut sekilas juga berubah menjadi pucat. Sekarang gadis itu tidak meronta bahkan diam menurut ketika Sultan meloncat dan duduk di belakangnya. “Siapa namamu?” tanya Sultan. “Siti Mardinah,” jawab gadis itu dengan malu-malu.
Sultan Salehudin mempercepat lari kudanya. la benarbenar lega karena gadis itu sama sekali tidak memperlihatkan sikap ingin melepaskan diri lagi ketika gadis itu dibawanya menunggang kuda. Sementara di belakangnya, Mangkubumi memacu kudanya pula. Senja telah merangkak menjemput malam. Langit hitam mulai mendung. Hutan rimba yang biasanya nyaman bagi Siti Partinah tidak demikian saat ini. Sepanjang siang hingga malam hari ia menangis tersedu-sedu meratapi Siti Mardina yang hilang diculik orang.
Siti Mardinah dan Siti Partinah, begitulah nama kedua gadis anak induk kerbau itu. Keduanya lahir hanya berselisih waktu beberapa kejap saja sebagai anak kembar. Itulah sebabnya mereka berwajah dan berpotongan tubuh hampir tidak ada bedanya. Suaranyalah yang membedakan mereka dan hanya induk kerbau yang mengetahuinya.
Sebagai manusia, mereka mempunyai kebiasaan yang jauh berbeda dengan ibunya. Induk kerbau itu mencari nafkah dari pagi hingga sore harinya, sedangkan kedua anak gadisnya menunggu di rumah. Meskipun terdapat perbedaan jenis antara ibu dan anak yang mencolok, hubungan mereka tetap dalam naungan kasih sayang. Menjelang petang, induk kerbau kembali pulang. Pada lehernya tergantung bungkusan berisi bahan makanan untuk kedua anaknya. Namun, betapa terkejutnya induk kerbau itu, Siti Partinah tengah menangis di dalam gubuknya..
“Partinah, berhentilah menangis. Ke mana saudarimu Siti Mardinah?” tanya induk kerbau sambil mengeluseluskan moncongnya ke kening anak gadisnya. Siti Partinah berhenti menangis sambil memeluk leher ibunya. Lalu katanya, “Ibu kita dalam bahaya, Siti Mardindah telah diculik!” Induk kerbau terperangah kaget, “Diculik? Siapa yang menculiknya?” tanyanya. Siti Partindah menceritakan apa yang telah terjadi. “Oh, Tuhanku, ternyata yang kutakutkan terjadi juga. Pantas kalau seharian aku tidak merasa tenang,” kata induk kerbau sambil menengadah. Air matanya mengalir sedih. “Ibu, aku tidak mau berpisah dengan Siti Mardinah. Dapatkah Ibu menolongnya?” tanya Siti Partinah. Induk kerbau diam dengan kepala menunduk. “Coba kau ceritakan, bagaimana rupa wajah dan pakaian para penculik itu?” tanyanya. Siti Partinah menceritakannya bagaimana terjadinya peristiwa tadi dengan suara terbata-bata. Induk kerbau mengira orang-orang yang tengah berkemah itulah yang menculik salah seorang anaknya itu. Lalu, ia meminta agar Siti Partinah menunggu. “Ibu akan ke mana lagi?” tanya Partinah “Mudah-mudahan aku masih bisa menemukan saudarimu dan menolongnya dari tangan para penculik itu,” jawab induk kerbau. “Engkau tunggu di sini, jangan sekalikali keluar rumah.” “O, Ibu, aku sangat takut. Lebih baik aku ikut Ibu saja.” “Jangan. Berbahaya kalau kau dilihat manusia. Lebih baik kau diam menungguku di sini. Jangan sekali-kali melanggar pesanku.”
Induk kerbau itu lalu keluar rumahnya. Dengan langkah penuh kecemasan, induk kerbau itu menuju ke tempat perkemahan yang dilihatnya kemarin. Ia berharap akan menemukan anak gadisnya di sana. Akan tetapi, betapa terkejutnya induk kerbau melihat yang ada hanya bekas perkemahan. Pikirannya kacau dan hatinya tidak tenang. Dengan memanfaatkan ketajaman penciumannya, induk kerbau terus menelusuri jejak-jejak si penculik.
Di balai desa induk kerbau melihat orang-orang tengah berkumpul. Ia pun segera mendekatinya, dan berusaha mendengarkan perbincangan orang-orang itu.
"Tadi siang, Sultan Salehudin kembali berburu tanpa pengiring. Beliau lewat di depan desa kita, hanya diiringi oleh Mangkubumi,” kata salah satu yang berkumpul di balai desa itu. Begitulah perbincangan orang-orang di balai desa. "Aku melihat dengan jelas, Sultan berkuda dengan membawa seorang gadis.” “Membawa seorang gadis?” “Ya, rupanya sangat cantik. Sultan mendudukkannya di bagian depan pelana kudanya. Ah, siapa gerangan gadis itu?” “Kukira seorang putri.” “Putri? Mana mungkin seorang putri tinggal di dalam hutan?” tanya yang lainnya.
Dari perbincangan orang-orang itu, induk kerbau yakin sekali, Siti Mardinah yang dimaksud. Ia menghela napas panjang lalu berlalu meninggalkan desa. Dalam kegelapan malam, ia kembali pulang ke dalam hutan dengan pikiran kacau.
“Sultan Salehudinkah yang menculik Siti Mardinah?” gumamnya di dalam hati. “Bila benar, sesungguhnya aku tidak takut sebab sultan itu keturunan orang bijak dan berhati mulia pula. Beliau pasti memperlakukan Siti Mardinah dengan sangat baik. Namun, akan diapakan anakku itu?”
Sesampai di rumahnya, ibunya menceritakan perbincangan orang-orang desa tentang Siti Mardinah kepada Siti Partinah. “Ibu, untuk apakah Sultan Salehudin itu menculik Siti Mardinah?” tanya Siti Partinah. “Entahlah, ibu juga tidak tahu?” “Bagaimana kita bisa menolong Siti Mardinah, Bu?” “Keraton bukan rumah biasa,” jawab induk kerbau. Keraton itu dikawal oleh prajurit-prajurit bersenjata. Mereka tentu akan menghalangi kita sebelum masuk ke dalam keraton.” “Oh, ya? Bagaimana Ibu tetap ingin membebaskan Siti Mardinah, sebelum sultan itu menyakitinya.” “Akan tetapi, sultan itu tentu tidak akan menyakiti Siti Mardinah.” “Ibu kenal betul kepada keluarga sultan itu?” Induk kerbau menatap Siti Partinah dengan berbinarbinar. Mulutnya seperti hendak berbicara lagi, tetapi tidak ada suara yang keluar. Akhirnya menunduk dan diam. “Ibu?” Induk kerbau tidak menjawab. “Ibu, ada apa? “Siti Partinah anakku, sesungguhnya ada sesuatu yang selama ini kurahasiakan kepadamu dan Siti Mardinah. “O, ya? Apa itu, Ibu?” “Ah, sulit untuk menjelaskannya, Nak. Namun, maukah engkau membantuku?” “Membantu Ibu? O, tentu saja. Apa yang harus kubantu?” Induk kerbau berbicara dengan suara lembut, “Kita bersemadi guna memohon petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Untuk itu, kita harus berpuasa, melupakan duniawi,” katanya. “Ibu, bila hal itu akan menolong Siti Mardinah, aku tentu saja bersedia. Namun, berapa lamakah kita harus bersemadi itu?” “Aku tidak tahu pasti. Sebelum petunjuk yang kita harapkan tiba, semadi kita pun belum selesai.” Siti Partinah berpikir-pikir. Namun, tidak lama kemudian ia berkata, “Berapa pun lamanya, aku siap, Bu. Demi Siti Mardinah,” katanya. Mereka, anak dan ibu yang berlainan jenis itu, kemudian bersemadi.
Suatu malam Siti Mardinah duduk menikmati keindahan malam. Meski Siti Mardinah diculik oleh Sultan Salehudin, tidak sedikit pun gadis itu menunjukkan rasa takut. Semua orang yang berada di keraton sangat senang dengan kehadiran Siti Mardinah. Siti Mardinah sudah tiga hari tinggal di keraton. Dia ditempatkan dalam kamar khusus yang serba indah. Beberapa dayang menemaninya dan selalu siap membantu bila diperlukan. Seperti apa pun kesenangan yang dirasakan Siti Mardinah, ingatannya selalu tertuju kepada ibu dan saudaranya. Hal itu yang membuat Siti Mardinah sedih.
Pada hari keempat Sultan Salehudin menemui Siti Mardinah. Sultan selalu menunjukkan sikap manis dan bersahaja. Hal itu pula yang membuat Siti Mardinah merasa nyaman.
“Siti Mardinah, apakah para dayang ada yang bersikap tidak baik kepadamu?” tanya Sultan Salehudin. “O, tidak, Sultan, semua dayang berlaku baik kepada hamba,” jawab Siti Mardinah. “Namun, mengapa engkau kelihatan murung?” “Karena sesungguhnya hamba bingung untuk apa hamba dibawa kemari.” “Oh, Siti Mardinah yang jelita. Seperti pernah kukatakan padamu, aku tidak bermaksud jahat padamu.” “Maksud Sultan?” “Siti Mardinah, engkau sangat cantik dan jelita. Aku berkeinginan mengangkatmu menjadi permaisuriku.” “Sebagai permaisuri? Maksud Tuanku, hamba akan ...” “Engkau akan kujadikan istriku.” “O, Sultan, benarkah? Sesungguhnya hamba sangat senang tinggal di dalam keraton. Namun, ...” “Namun apa, Siti Mardinah?” “Bagaimana dengan ibu dan saudara hamba di dalam hutan itu?” “Jangan khawatir tentang mereka. Bila engkau telah sah sebagai istriku, mereka akan kujemput untuk tinggal di dalam keraton ini. “Benarkah?” “Mengapa aku harus berdusta?” “Namun, ...” “Namun apa, Siti Mardinah?” “Tidakkah Tuanku Sultan akan merasa malu karena ...” “Karena ibumu berwujud seekor kerbau?” “Benar, Tuanku.” “Aku yakin, sesungguhnya ibumu bukanlah seekor kerbau. ku yakin ibumu seorang puteri. Bahkan, mungkin seorang bidadari. Hanya saja, ibumu tengah menjalani suatu hukuman sehingga harus menjalani hidup sebagai seekor kerbau.” “Oh, Tuanku mengetahui sebab-sebab ibu hamba sampai mendapat hukuman seperti itu?” “Ah, sesungguhnya akulah yang hendak menanyakan kepadamu, Siti Mardinah?” “Ah, sayang sekali. Hamba tidak tahu-menahu, Tuanku.” “Siti Mardinah, maafkan aku karena telah mengambilmu dengan cara yang sesungguhnya tidak kukehendaki. Aku telah menculikmu,” kata Sultan. “Hamba sendiri heran, mengapa Tuanku tega berbuat seperti itu. Hamba kira, seandainya Tuanku meminta hamba dengan cara baik-baik kepada ibu hamba, ibu hamba tentu tidak akan keberatan.” “Saat itu pikiranku sangat bingung, Siti Mardinah. Apalagi ketika melihat wujud ibumu dan letak rumahmu yang jauh di dalam hutan,“ ujar Sultan, lalu terdiam sebentar. “Yang sudah lalu biarlah berlalu, aku akan memperbaiki kesalahanku. Jika nanti kita sudah menikah, aku akan menemui ibumu. Aku akan minta maaf dan akan kuminta agar ibumu sudi tinggal di keratonku ini.” “Betulkah begitu, Tuanku?” “Namun, engkau tentu bersedia menjadi istriku,” pinta Sultan memastikan kesediaan Siti Mardinah menjadi istrinya. “Daulat, Tuanku, hamba bersedia,” jawab Siti Mardiah dengan tegas.
Sultan Salehudin sangat gembira. Segera diumumkan ke seluruh pelosok negeri kalau dia akan mengangkat Siti Mardinah sebagai permaisuri. Pernikahan akan diadakan secara besar-besaran dengan mengundang sultan di seluruh Sumbawa.
Seluruh penghuni keraton merasa gembira mendengar pengumuman itu. Mereka sangat bersyukur karena sultan yang mereka cintai akhirnya menemukan gadis impiannya. Segala hal yang berkaitan dengan pernikahan telah disiapkan. Segenap punggawa dan abdi menyediakan apa yang akan disajikan dalam upacara pernikahan itu. Keraton pun dihias dengan indah. Tenda-tenda dibangun dan dihiasi dengan berbagai bunga dan kain berwarna-warni. Undangan segera dikirimkan ke kesultanan tetangga, seperti Kesultanan Goa, Dompu, dan Sumbawa.
Pernikahan Sultan Salehudin dengan Siti Mardinah berlangsung sangat meriah. Seluruh rakyat di negeri mana pun berduyun-duyun datang ke keraton. Rakyat dari berbagai lapisan mendapat kesempatan untuk menikmati kemeriahan upacara. Berbagai kesenian diperagakan dari atas panggungpanggung kesenian. Berbagai tari-tarian, sandiwara, dan olah ketangkasan dipertontonkan kepada rakyat. Makanan lezat dan minuman penuh nikmat disajikan kepada para tamu.
Seisi negeri bergembira. Senyum dan tawa bergema tidak habis-habisnya. Sementara itu, pujian dan rasa syukur berdatangan kepada pengantin puteri yang pada malam itu tampak sangat cantik. Wajahnya bersinar bagai bidadari yang baru turun dari kayangan. Pengantin putri disandingkan dengan sultan yang tampan dan menawan. Di antara para undangan tampak Sultan Dompu, Sultan Goa, dan Sultan Sumbawa. Mereka terlihat turut berbahagia dengan menyampaikan doa kepada pengantin.
Sultan Dompu, Sultan Goa, dan Sultan Sumbawa merupakan sahabat lama. Hubungan mereka sangat erat dan dihormati oleh sultan lainnya. Ketiga sultan ini merupakan sahabat lama. Mereka selalu tampak berkumpul, seperti tiga saudara dari satu keturunan. Namun, Sultan Dompu yang datang tanpa permaisuri itu tampak agak gelisah manakala memandang Siti Mardinah. la seperti dicekam kenangan lama yang sangat menggugah hatinya.
“Ada apa, Saudaraku Sultan Dompo? Mengapa Tuanku seperti orang kebingungan? Padahal, kedatangan kita ke sini, bukankah untuk bergembira?” tanya Sultan Goa, seraya mengambil secawan air madu dari meja hidangan. “Mungkinkah Sultan Dompu terpesona dengan kecantikan Siti Mardinah? Kulihat dari tadi Tuanku tidak henti-hentinya menatap Siti Mardinah.” “Ya, dia memang sangat cantik. Berbahagialah Sultan Salehudin yang menyuntingnya. Akan tetapi, usianya? Sepertinya usianya sebaya dengan puteriku,” jawab Sultan Sumbawa seraya melihat ke arah pelaminan “Siti Mardinah memang cantik,” kata Sultan Dompu dalam hati. Akan tetapi, yang menjadi pikiranku adalah raut wajahnya. Aku melihat seraut wajah yang begitu kukenal.” “Maksud Saudaraku Sultan Dompu bagaimana?” tanya Sultan Goa dan Sultan Sumbawa berbarengan. “Wajah siapa yang Tuanku maksudkan? “Seraut wajah yang sangat kukenal, tetapi telah lama menghilang,” gumam Sultan Dompu. Kedua sultan itu saling pandang penuh keheranan. “Apakah saudaraku tahu siapa sesungguhnya Siti Mardinah?” tanya Sultan Dompu. “Oh, tidak,” jawab Sultan Sumbawa dan Sultan Goa serentak. Nanti dikira akan mencampuri urusan keluarga Sultan Salehudin,” kata Sultan Sumbawa. “Yang sempat kudengar, katanya Siti Mardinah ditemui Sultan Salehudin sewaktu berburu di hutan,” kata Sultan Goa. “Di hutan? Hutan mana?” “Hutan di kaki Gunung Londa.” “Oh,” Sultan Dompu menghela napas yang panjang. “Mengapa?” “Bukankah letak hutan itu berada di dalam wilayah kesultananku?” tanya Sultan Dompu. Sultan Goa dan Sultan Sumbawa saling berpandangan kaget. Mereka baru menyadari dan mengakui kebenaran ucapan Sultan Dompu itu. “Sungguh malang aku yang telah tua ini, sampai tidak tahu sedikit pun tentang Siti Mardinah. Padahal, dia berasal dari dalam wilayah kesultananku!” gerutu Sultan Dompu seraya mengusap keningnya yang telah keriput. “Apa yang ada dalam pikiran Tuanku saat ini?” tanya Sultan Goa dengan suara agak berbisik. “Aku ingin tahu siapa sesungguhnya Siti Mardinah. Oleh karena itu, aku akan menanyakan langsung kepada Sultan Salehudin. Dia harus menjelaskannya,” kata Sultan Dompu. “Aku setuju kalau kita mengenal betul istri sultan yang menjadi sahabat kita,” kata Sultan Goa. “Namun, kita harus hati-hati jangan sampai mengganggu suasana kebahagiaan mereka. Bila Tuanku hendak menanyakannya, sebaiknya menunggu sampai perayaan pernikahan ini usai,” ujar Sultan Sumbawa.
Sultan Dompu mengangkat bahunya. Pandangannya kembali tertuju kepada Siti Mardinah. Sultan Dompu menunduk dengan kening mengernyit meninggalkan pesta menuju bagian sisi taman di keraton. Sultan Goa dan Sultan Sumbawa semakin keheranan.
“Apa sesungguhnya yang terjadi pada saudara kita itu?” tanya Sultan Goa. “Dari ucapannya tadi, sepertinya dia telah direnggut oleh kenangan lamanya. Maksudku, wajah Siti Mardinah telah mengingatkan dia kepada seseorang yang sangat dikenalnya,” jawab Sultan Sumbawa. “Siapa kiranya seseorang itu?” “Aku tahu sekarang, siapa seseorang yang mengganggu pikiran saudara kita Sultan Dompu itu,” kata Sultan Sumbawa sambil mengangguk-angguk seolah mengerti. “Ya, maklumlah karena aku dengan Sultan Dompu sangat dekat.” “O, ya? Siapakah seseorang itu?” tanya Sultan Goa dengan tidak sabar. “Permaisuri Sultan Dompu!” “Oh?” “Seperti kita ketahui kedatangan Sultan Dompu kemari tanpa permaisuri.” “Ya, kudengar permaisurinya hilang sejak lama dengan cara yang sangat aneh.” “Betul! Permaisurinya menghilang secara aneh kirakira delapan belas tahun yang lalu. Kejadian itu sangat memukul diri Sultan Dompu. Sejak kejadian itu Sultan Dompu seperti kehilangan pegangan sebab Sultan Dompu sangat mencintai dan mengasihi permaisurinya. “Wajah Siti Mardinah sangat mirip dengan wajah permaisuri Sultan Dompu itu, bukan?” “Betul!” “Oh, pantas Sultan Dompu merasakan kembali kenangan bersama permaisurinya sebelum menghilang dan itu sangat menggugah pikirannya ketika melihat Siti Mardinah.” “Ya! Namun, siapa sesungguhnya Siti Mardinah itu?” “Entahlah.
Upacara pernikahan Sultan Salehudin dan Siti Mardinah usai. Sultan Dompu kembali ke kesultanannya seperti sultan-sultan yang lainnya. Sultan Dompu tidak memperlihatkan kesan bahwa sesungguhnya memendam perasaan penasaran yang dalam terhadap Siti Mardinah. Masa bulan madu Sultan Salehudin dan Siti Mardinah dilalui dengan rasa suka cita. Rasa bahagia tidak dapat disembunyikannya. Hal itu terpancar dari raut wajah mereka.
Berlainan dengan Sultan Dompu, semenjak kembali ke keraton, ia lebih banyak diam dan mengurung diri. Keadaan itu membuat orang di keraton ikut bersedih. Seminggu setelah pesta perkawinan Sultan Salehudin, Sultan Dompu bersama rombongan kembali ke istana keraton Sultan Salehudin. Mereka disambut dengan rasa suka cita oleh suami istri itu. Kebahagiaan mereka terpancar di wajahnya.
“Kuharap Sultan Salehudin tidak merasa kaget dengan kedatanganku ini,” kata Sultan Dompu ketika Sultan Salehudin menyambutnya. “Oh, tidak, Tuanku,” jawab Sultan Salehudin dengan wajah bahagia. Saya tidak kaget bahkan merasa senang dengan kunjungan ini. Hal ini menunjukkan bahwa kesultanan kita mempunyai hubungan yang erat,” kata Sultan Salehudin.
Sultan Salehudin menerima kedatangan Sultan Dompu sebagaimana menerima kedatangan tamu agung. Usia Sultan Dompu jauh lebih tua sehingga pantas sebagai ayah Sultan Salehudin. Sultan Dompu kemudian menyampaikan maksud kedatangannya dengan basa-basi dan lemah lembut sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa sesungguhnya sedang menyelidiki asal usul Siti Mardinah. Sultan Salehudin menceritakan bagaimana peristiwa dan kejadian pertemuannya dengan Siti Mardinah.
“Sungguh suatu keanehan yang tiada tara,” kata Sultan Dompu setelah mendengar penjelasan Sultan Salehudin. “Lalu bagaimana rencana Sultan setelah Siti Mardinah resmi menjadi permaisuri? “Saya merencanakan hendak memboyong ibu dan saudaranya ke keraton,” kata Sultan Salehudin. “Meskipun hal itu nantinya akan menjadi bahan pembicaraan seisi negeri. Bahkan tidak mustahil sampai ke kesultanan tetangga.” “Sultan bermertuakan seekor kerbau. Begitulah orangorang akan membicarakannya, bukan?” kata Sultan Dompu. “Betul. Namun bagaimanapun juga, dia adalah ibu permaisuri saya. Saya tetap memboyongnya ke keraton.” “Saya yakin dia bukan kerbau biasa seperti kata Tuanku. Kerbau itu dapat berbicara seperti kita. Hal itu sebagai pertanda dia bukan kerbau sembarang kerbau.” “Sultan, seandainya Sultan Dompu tidak keberatan, izinkanlah saya turut menemuinya. Mungkin tenaga saya dibutuhkan untuk membujuknya agar mereka mau tinggal di keraton.” “Saya sangat senang bila Sultan Dompu berpikiran semulia itu. Mengapa tidak? Marilah bersama-sama saya ke hutan Londa itu.” “Dapatkah Sultan Dompu menjelaskan, dorongan apakah yang membuat Tuanku ingin menemuinya?” “Hal itu nanti akan saya jelaskan. Percayalah, tidak ada niat buruk terkandung dalam keinginan saya.”
Siti Partinah dan induk kerbau telah beberapa hari bersemadi. Mereka tidak makan dan minum. Mereka melupakan hal-hal keduniawian. Siti Partinah bersemadi dengan sikap duduk. Mata terpejam dan kedua tangan dilipat ke dadanya. Sementara itu, induk kerbau bersemadi dengan melipat kedua kakinya, seolah-olah tengah tidur. Seandainya napas mereka berhenti tentu akan tampak seperti patung.
Pada saat di keraton Kesultanan Bima tengah berlangsung upacara pernikahan saudaranya, Siti Mardinah dengan Sultan Salehudin, pada saat itu pula Siti Partinah merasa ada sesuatu yang aneh pada diri ibunya. Hatinya berdebar-debar. Karena tidak tahan lagi, tanpa sadar Siti Partinah membuka matanya. Ia benar-benar kaget ketika tubuh ibunya yang berwujud kerbau itu bergetar.
“Ibu, apakah yang terjadi padamu?” tanya Siti Partinah seraya bergerak mundur. Ia benar-benar lupa bahwa saat itu tengah bersemadi. Tubuh induk kerbau semakin berguncang seperti ada gempa. Secara perlahan menghilang dan berganti wujud dengan gumpalan asap putih kebiru-biruan.
“Ibu? Oh, apakah yang terjadi?” jerit Siti Partinah dengan kecemasan yang mencekam dirinya.
Setelah berubah wujud menjadi gumpalan asap kebirubiruan, induk kerbau kini berubah menjadi sesosok manusia dengan tubuh ramping dan secara perlahan pula berubah bentuk menjadi sesosok wanita tua yang tengah bersemadi.
“Oh, siapakah engkau, wahai perempuan tua? Di manakah ibuku?” tanya Siti Partinah. Perempuan tua itu kelihatan cantik. Hanya kulitnya yang tampak benar-benar telah tua. Perempuan tua itu membuka matanya dan menatap Siti Partinah dengan rasa penuh keharuan, lalu perempuan tua itu mengangkat kedua tangannya seraya menengadah.
“Oh, Tuhanku Yang Mahakuasa, aku sangat bersyukur karena wujudku telah kembali seperti semula,” kata perempuan tua itu dengan suara bergetar menahan haru. Siti Partinah mendengar suara itu seakan mengenalinya sebagai suara ibunya. Namun, dia tetap tidak dapat memahami apa yang telah terjadi. Sementara itu, perempuan tua berdiri menghampiri Siti Partinah. “Anakku Siti Partinah, aku ibumu, Nak!” kata perempuan tua itu “Engkau ibuku? Ah, tidak mungkin. Aku tidak pernah mengenalmu. Ibuku bukan engkau, tetapi ...” kata Siti Partinah terputus. “Ya, ibumu berwujud seekor kerbau. Akan tetapi, wujud itu bukanlah yang sebenarnya. Wujud itu akibat gunaguna perempuan jahat yang merasa iri kepadaku karena bersuamikan sultan. Sekarang pengaruh jahat guna-guna itu telah berakhir. Anakku, inilah wujud ibumu sesungguhnya. Kemarilah, Nak!” “Oh, Ibu!” seru Siti Partinah seraya melompat dan kemudian memeluk perempuan tua itu. Mereka berpelukan dalam kebahagiaan dan keharuan yang sangat dalam. Air mata keduanya mengalir makin lama makin deras. Mereka duduk dan saling mendekap dalam keharuan. “Anakku Partinah,” kata perempuan tua itu seraya melepaskan pelukannya. “Sesungguhnya aku ini seorang permaisuri dari salah satu sultan di Sumbawa ini.” “O, ya?” “Dua puluh tahun yang lalu, aku dilamar oleh seorang sultan. Kami lalu menikah dan aku diangkat sebagai permaisuri. O, betapa bahagianya aku. Suamiku teramat mencintaiku dan menyayangiku dengan sepenuh hati. Ah, dia benar-benar seorang laki-laki yang sejati. Selain tampan dan gagah, juga adil dan bijaksana. Namun, ...” “Namun, apa, Bu?” “Namun, ada yang merasa iri padaku. Dia ingin merebut kebahagiaanku dengan berbagai cara yang sangat kotor. Dia menghadap sultan, lalu meminta agar dirinya dijadikan isteri sultan. Suamiku, Sultan Dompu tidak mau menerimanya. Bagi sultan, hanya dirikulah satu-satunya wanita yang sangat dicintainya. Perempuan itu ditolak dengan halus. Akan tetapi, perempuan itu rupanya tidak dapat menerima penolakan itu. Ia pulang dengan membawa dendam yang mendalam di dalam hatinya.” “Lalu?” “Perempuan itu menganggap diriku sebagai penghalang cita-citanya. Dia beranggapan bahwa sebelum aku mati maka cita-citanya untuk menjadi permaisuri tidak akan terlaksana. Lalu, ia mencari dukun dan tukang sihir yang jahat.” “Untuk apa, Bu?” “Untuk melenyapkan aku.” “Untuk membunuh Ibu?” “Ya, dengan cara yang sangat halus.” “Lalu?” “Dukun jahat dan tukang sihir itu mengerahkan ilmu hitamnya dan mengguna-gunai Ibu. Akan tetapi, Yang Mahakuasa tidak pernah tidur. Tuhan selalu melindungi orang yang tidak bersalah. Ibu tidak mempan dengan gunaguna itu karena ibu tengah mengandung. Namun, wujud ibu berubah menjadi seekor kerbau.” “Oh, Ibu saat itu sedang mengandung?” “Ya, benih cinta suci yang ibu kandung adalah dua anak kembar, yaitu dirimu dan Siti Mardinah.” “Apakah Sultan Dompu mengetahui kejadian itu, Bu?” “Tidak. Ibu beranggapan sebaiknya sultan tidak mengetahuinya. Yang mengetahui dengan jelas hanya pengawal-pengawalku. Ibu memutuskan untuk meninggalkan keraton dengan diam-diam pergi entah ke mana. Di luar dugaan, para pengawal setiaku ingin turut serta. Mereka menyatakan kesetiaannya dan bersumpah lebih baik mati daripada berpisah denganku.” “Oh, sungguh mengharukan kesetiaan para pengawal ibu. Lalu, bagaimana dengan Ibu?” “Ibu dan para pengawal meninggalkan keraton tanpa ada yang tahu. Kami berjalan menembus kegelapan malam. Setelah lama berjalan, akhirnya sampailah di hutan Londa. Para pengawal membuatkan Ibu sebuah gubuk untuk ditempati. Lalu, Ibu minta pengawal-pengawal itu kembali ke rumahnya masing-masing. Mereka menolaknya dan tetap ingin mengawalku. Mereka bahkan bersumpah semuanya. Katanya, lebih baik menjadi pohon-pohon pelindung gubuk daripada harus berpisah denganku. Tidak lama kemudian terjadilah keajaiban. Begitu selesai mereka bersumpah, wujud mereka berubah dengan menjadi pohon-pohon besar yang melindungi gubuk kita ini.” “Oh, tidak disangka. Sekarang Ibu telah kembali menjadi permaisuri. Apakah pohon-pohon itu tidak akan menjelma kembali ke asalnya?” “Mari kita melihatnya.”
Betapa takjubnya mereka sebab pohon-pohon besar yang tinggi yang selama ini menjadi pagar pelindung gubuk itu telah hilang. Semua berubah wujud menjadi para pengawal yang setia. Semuanya menghampiri gubuk dan bersimpuh menyampaikan sembah. Permaisuri dan Siti Partinah menjadi terharu. Sinar kebahagiaan memancar dari wajah mereka. Pagi cerah, Sultan Salehudin dan permaisuri, juga Sultan Dompu berangkat menuju ke hutan Londa. Mereka diiringi para pengawal. Selama dalam perjalanan, Sultan Dompu berusaha untuk tidak menatap Siti Mardinah. Hal itu disebabkan setiap Sultan Dompu selalu terbayang wajah permaisuri.
Ketika tiba di dalam hutan Londa, mereka, terutama Sultan Salehudin dan permaisuri, sangat terkejut karena pohonpohon yang tinggi dan besar yang biasa melindungi gubuk itu telah tidak tampak. Hanya gubuknya yang masih utuh, keadaannya tidak sepi seperti tempo hari. Dari dalam gubuk itu bermunculan para pengawal. Semuanya bersiaga penuh menjaga kemungkinan yang tidak dikehendaki. Setelah itu tampak Siti Partinah dan ibunya keluar berdampingan. Mereka menyambut kedatangan rombongan sultan dengan hati berdebar. Sultan Salehudin tengah merenung dalam hatinya ketika Siti Mardinah menghampiri Siti Partinah. Mereka berpelukan dan menangis dalam keharuan.
“Siti Mardinah, engkau kelihatan sangat cantik. Ah, bahagia sekali aku melihatmu,” kata Siti Partinah dengan mata berbinar melihat pakaian yang dikenakan saudara kembarnya itu. “Aku pun bahagia sekali bertemu denganmu, Siti Partinah. Akan tetapi, di mana Ibu? Siapakah wanita tua di sampingmu itu?” tanya Siti Mardinah seraya memandangi wanita cantik yang ada di samping saudara kembarnya. “Siti Mardinah, dialah ibu kita!” kata Siti Partinah, lalu menjelaskannya secara singkat. “O, benarkah?” tanya Siti Mardinah seraya mendekati ibunya. Ibunya menghampirinya lalu memeluk Siti Mardinah dengan air mata berlinang. “Akulah ibumu. Setelah sekian lama dikutuk menjadi seekor kerbau, sekarang aku berubah wujud menjadi manusia kembali,” kata ibunya dengan suara terharu. “Ibu? Oh, betapa bahagianya aku.” Sementara itu, Sultan Dompu mengawasi gerak gerik ibu kedua anak kembar itu dengan saksama. Hatinya tidak syak lagi, perempuan itu tidak lain dari permaisurinya. “Dinda Permaisuri!” seru Sultan Dompu. Ibu itu terkejut mendengar panggilan itu. Ibu melepaskan pelukan Siti Mardinah dan menatap Sultan Dompu dengan pandangan penuh selidik. “Kanda Sultan Dompu? Oh, Yang Mahakuasa akhirnya mempertemukan kita kembali!” kata permaisuri itu seraya berlari menghampiri Sultan Dompu. Melihat keadaan itu, semua orang yang hadir melihat terharu, permaisuri bersimpuh di depan Sultan Dompu. “Maafkan hamba, Kanda Sultan Dompu,” kata permaisuri itu.
Sultan Dompu memegang tangan permaisurinya dan lalu diajaknya berdiri. Sultan Dompu kemudian memeluk permaisurinya itu dengan hangat. Semenjak pertemuan dengan permaisurinya, terlihat wajah Sultan Dompu berbahagia. Mereka terlihat asyik melepas rindu dan bercerita. Permaisuri kemudian memanggil kedua puteri kembarnya.
“Anak-anakku, inilah ayahanda kalian. Sampaikan sembah sujud kalian kepadanya,” ujar ibu Siti Mardinah dan Siti Partinah. Siti Mardinah dan Siti Partinah berlari menghampiri. Seketika kedua puteri kembar itu sudah ada dalam pelukan Sultan Dompu. Suasana haru dan bahagia terasa di hati semua orang. “Sesungguhnya apa yang telah terjadi?” tanya Sultan Salehudin yang sedari tadi diam. Sultan Dompu lalu menjelaskannya. Sultan Salehudin lalu menyampaikan sembahnya. Bahkan, kepada Sultan Dompu yang ternyata mertuanya, Sultan Salehudin pun tidak enggan menyampaikan sembahnya. “Sekarang semuanya telah berakhir dengan baik. Yang Mahakuasa telah membuktikan kebesaran-Nya, mengembalikan permaisuriku yang hilang sejak delapan belas tahun yang lalu. O, aku sangat bersyukur. Tentang perempuan jahat yang jadi penyebabnya, biarlah Tuhan yang menghukumnya. “Namun, bagaimanakah cara Ibu mengembalikan wujud seperti sekarang ini?” tanya Siti Mardinah. “Sejak engkau dibawa ananda Sultan Salehudin, Ibu dan Siti Partinah bersemadi, memohon petunjuk dari Yang Mahakuasa. Lalu, setelah sekian lama bersemadi, wujudku sebagai seekor kerbau berubah menjadi seperti sekarang ini,” kata permaisuri Sultan Dompu yang tidak lain adalah ibu Siti Mardinah.
Sultan Salehudin mendekati permaisuri Sultan Dompu, lalu berkata, “Ibunda, mohon memaafkan saya. Saya telah berani melarikan Siti Mardinah,” katanya. “Tidak ada yang harus kumaafkan. Ibu sudah melupakan semua dan ibu ikhlas engkau telah menjadikan Siti Mardinah sebagai permaisuri.
Dalam suasana penuh suka cita, Sultan Salehudin dan Siti Mardinah kembali ke keraton Kesultanan Bima.
Akhirnya, Sultan Dompu berbahagia berkumpul kembali dengan permaisurinya dan Siti Partinah. Tidak lama kemudian Sultan Dompu menerima lamaran Sultan Sumbawa. Lamaran itu ditujukan kepada Siti Partinah yang hendak dinikahkan dengan putera Sultan Sumbawa.
Sultan Dompu menerima lamaran itu dengan suka cita, apalagi Siti Partinah sendiri memang bersedia menjadi menantu Sultan Sumbawa itu. Upacara pernikahannya berlangsung sangat meriah, semeriah pernikahan Sultan Salehudin dan Siti Mardinah. Mereka berbahagia sampai akhir hayatnya.
Di tulis oleh: Erli Yetti
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |