×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

cerita rakyat

Elemen Budaya

Cerita Rakyat

Lipi Poleng Tanah Lot

Tanggal 25 Feb 2021 oleh Widra .

Dikisahkan seorang keturunan brahmana bernama Nirarta. Ia merupakan adik dari Dhanghyang Angsoka, putra dari Dhanghyang Asmaranatha. Sebagaimana layaknya keluarga pendeta, tumbuh kembang Nirarta dari usia anak-anak, remaja, hingga dewasa melalui proses menimba ilmu pengetahuan pada beberapa orang guru.

Sikap dan perilaku Nirarta sebagai seorang murid bertumpu pada beberapa hal: selalu ingat dan memuja kebesaran Tuhan, tekun mengikuti setiap pelajaran yang diberikan oleh guru-gurunya, patuh dan rajin mengerjakan tugas-tugas, dan tidak pernah malu bertanya jika ada penjelasan dari guru-gurunya yang belum dipahami. Prestasi memuaskan yang diraih dari tiap-tiap guru berbuah pujian dan dorongan untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.

“Jadikanlah diri seperti bunga sandat. Akar pohon yang kuat disertai pemupukan yang cukup maka bunganya pun bermekaran. Ketika ranum kuning gading, aroma wanginnya menebar, semakin layu semakin harum semerbak”. Pesan orang tua itu selalu terngiang di telinga Nirarta terutama saat-saat renungan menjelang tidur. Alhasil, Nirarta pun menjadi sosok manusia dewasa yang mumpuni di bidang ilmu pengetahuan agama, sastra, kemasyarakatan, dan lingkungan hidup. Tubuhnya semampai, kulit bersih, rambut ikal, sorot mata berbinar lembut, roman muka tampan dengan bulu-bulu lebat mulai menghiasi cambang dan dagu.

Nirarta mengakhiri masa mudanya setelah menikahi seorang putri pendeta di Daha. Tidak lama berselang, ia pun dinobatkan menjadi seorang pendeta dengan gelar Dang Hyang Nirarta serta mendapat tugas melaksanakan dharma yatra ke Pulau Bali. “Berkelana memberikan pencerahan kepada masyarakat agar adat-istiadat, keagamaan, lingkungan hidup mereka tertata dan harmonis merupakan wujud bakti seorang pendeta. Ilmu pengetahuan mesti diamalkan demi kemajuan peradaban.” Demikian amanat sang mertua yang dibebankan pada pundak Dang Hyang Nirarta dalam melaksanakan dharma yatra.

Setelah berhasil mengarungi Segara Rupek yang arus airnya sangat deras, sekarang dikenal dengan nama Selat Bali, Dang Hyang Nirarta lalu menempuh jalan memasuki kawasan hutan lebat dan luas. Kawasan yang terletak di bagian barat Pulau Bali ini, sekarang disebut Jembrana. Konon berasal dari kata jimbar wana, berarti kawasan hutan yang luas, lebat, dan angker. Saat menempuh perjalanan di tengah hutan dengan pepohonannya yang besar-besar, lebat, dan sesak, berbabagai kejadian dan rintangan dialaminya. Di balik semua itu, ada pula tanda-tanda alam yang memberi petunjuk agar beliau tidak tersesat.

Dang Hyang Nirarta menempuh jalan memasuki hutan lebat, luas, dan angker. Berbagai kejadian dan rintangan dialaminya. Di balik semua itu, ada pula tanda-tanda alam yang memberi petunjuk agar beliau tidak tersesat. Saat menempuh perjalanan di tengah hutan dengan pepohonannya yang besar-besar, lebat, dan sesak, Dang Hyang Nirarta melintasi jalan kecil, di kanan kirinya dipenuhi semak belukar. Ternyata, jalan kecil itu bercabang-cabang ke segala arah. Perasaan bimbang dan ragu pun menyelimuti. “Jalan mana yang mesti kutempuh? Jalur ke kanan, ke kiri, atau lurus?” bisik Dang Hyang Nirarta dalam hati.

Tiba-tiba muncul seekor kera dengan suara “kreehhhh….kreehhhh” berjalan di depan, terus melompat dari ranting ke ranting seakan menunjukkan cabang jalan kecil yang mesti dilintasi. Sambil melangkah mengikuti arah si kera melompat-lompat ke arah timur, Dang Hyang Nirarta berkata, “Hai kera, terima kasih … terima kasih … terima kasih. Kau telah memberiku petunjuk arah jalan yang mesti aku tempuh. Untuk meneguhkan hubungan baik ini, aku bersumpah bahwa keturunanku kelak pantang menyakiti kera walaupun dengan dalih memelihara.”

Tersebutlah Dang Hyang Nirarta tiba di sebuah permukiman. Anjing-anjing berkeliaran, sesekali ada yang menggonggong dan menyalak karena orang tak dikenal melewati jalan di permukiman tuannya. Daun-daun kering berserakan di bawah pohon, bertumpukan dengan patahan dahan dan ranting. Di sana tampak seekor ayam betina mengais-ngais diikuti belasan anaknya mencari anai-anai, makanan alami kesukaannya. Permukinan kecil di pinggiran hutan ini bernama Desa Gading Wani. Sebuah sungai yang landai dipenuhi bebatuan besar ataupun kecil. Airnya mengalir tenang di antara celah bebatuan besar. Tak seberapa jauh lagi, aliran air Sungai Tukad Balian itu sudah bermuara di laut selatan Bali.

Hamparan sawah, yang membentang di sepanjang tepian pantai, pengairannya sebagian besar bersumber dari sungai ini. Hilir sungai di sebelah utara merupakan kawasan hutan lebat. Terdengar lolong serigala dari kejauhan seakan memberi isyarat bahwa sesuatu tengah terjadi di Desa Gading Wani. Bendesa, demikian sebutan laki-laki paruh baya, melangkah gesit menghampiri sang pendeta di tengah jalan. Dengan duduk bersila, cakupan tangan di atas ubun-ubun, ia menyapa.

“Selamat datang, paduka pendeta yang mulia. Terimalah sembah bakti hamba. Semoga terhindar dari kutuk dan kualat. Perkenalkan, hamba Ki Bendesa, pemimpin di Desa Gading Wani ini”. “Salam, Ki Bendesa. Semoga Yangkuasa memberkahimu,” jawab Dang Hyang Nirarta singkat. “Sungguh senang perasaan hamba dan bersyukur, yang mulia telah sudi datang ke desa hamba. Penduduk di desa hamba saat ini sedang dilanda wabah sampar.

Pagi atau malam hari terjangkit wabah, beberapa hari kemudian ajal pun menjemputnya. Hampir setiap hari penduduk hamba ada yang meninggal.” Demikian katakata yang diucapkan oleh Ki Bendesa dengan terbatabata disertai air mata berlinang. Percakapan mereka terhenti sejenak. Tanpa disadari mereka sama-sama mendongakkan kepala ke atas menatapi dua ekor burung gagak terbang melintasi atap rumah salah satu penduduk sambil bersuara “gaaakkkkk….gaaakkkkk……gaaakkkk”. Semakin jauh suaranya makin mengecil lalu lenyap entah ke mana. Kemunculan burung gagak seperti itu dipercayai oleh penduduk Gading Wani sebagai pembawa kabar bahwa akan terjadi sesuatu di rumah itu, biasanya ada orang yang akan meninggal. “Tuan pendeta yang hamba hormati, hamba mohon pertolongan yang mulia agar penduduk hamba segera sembuh dari serangan wabah penyakit mematikan ini. Hamba dan semua penduduk di desa ini tak berdaya menghadapi wabah sampar ini. Tolonglah kami, paduka yang mulia,” pinta Ki Bendesa. Sekujur tubuhnya gemetar dengan raut muka sedikit pucat, menyiratkan kerisauan dan ketakutannya akan korban yang terus menerus berjatuhan akibat dari wabah yang meraja lela di desanya.

Dang Hyang Nirarta, juga dikenal dengan nama Dang Hyang Dwijendra, terharu mendengar ucapan Ki Bendesa. Beliau dapat merasakan kepedihan dan ketakutan yang menghantui sanubari setiap orang di Desa Gading Wani. Agar wabah mematikan yang tengah merajalela itu tidak bertambah banyak memakan korban jiwa, dengan segera Dang Hyang Nirarta menyuruh Ki Bendesa mengambil air bersih di sebuah mata air menggunakan wadah sibuh. Air tersebut dirapalkan mantra-mantra oleh sang pendeta. Beliau juga memohon ke hadapan Tuhan Yang Mahakuasa agar melimpahkan anugerah-Nya.

“Perciki lalu beri minum tiga teguk air suci ini kepada para penderita sampar.” Demikian petunjuk Dang Hyang Nirarta kepada Ki Bendesa. Dang Hyang Nirarta juga memerintahkan Ki Bendesa bersama-sama dengan orang-orang yang belum terjangkit wabah agar meletakkan ganten pada empat tepi penjuru desa untuk mengusir makhluk-makhluk yang menjadi penyebab timbulnya wabah sampar. Wabah sampar lenyap seketika, demikian pula orang-orang yang menderita berangsung-angsur sembuh setelah diperciki dan meminum air suci berkasiat tersebut. Semua penduduk Gading Wani merasa senang. Fisik yang kembali sehat dan pikiran lega membuat mereka bisa bekerja sebagaimana biasa.

Ada yang bertani di sawah, berladang di kebun, ada pula yang mengembala hewan peliharaan. Kerumunan anak-anak usia belasan tahun tampak riang gembira. Sore itu mereka serempak ke tanah lapang yang terdapat di depan balai desa untuk bermain bersama dengan teman-temannya. Sekelompok anak perempuan bermain meong-meongan diiringi nyanyian:

Meong-meong alih ja bikule ‘Kucing-kucing carilah si tikus’ bikul gede-gede buin mokoh-mokoh ‘tikus besar-besar dan gemuk-gemuk’ kereng pesan ngerusuhin ‘sering kali berulah yang mengakibatkan mala petaka’ juk meng juk kul, juk meng juk kul. ‘tangkap kucing tangkap tikus, tangkap kucing tangkap tikus’

Meong-meongan adalah permainan tradisional Bali, dimainkan oleh anak-anak usia 6-15 tahun dengan iringan lagu “Meong-Meong”. Permainan yang diikuti oleh delapan orang anak atau lebih ini, menggambarkan usaha kucing (Bali: meng) menangkap tikus (Bali: bikul). Seorang anak akan dipilih oleh pemimpin permainan untuk berperan sebagai tikus dan seorang lagi berperan sebagai kucing. Anak-anak yang lain akan membentuk sebuah lingkaran. Tikus berada dalam lingkaran, sedangkan kucing berada di luar lingkaran.

Anak-anak yang membentuk lingkaran berperan sebagai benteng untuk melindungi bikul dari sergapan meng. Mereka melindungi bikul dengan cara bergerak memutar ke samping kanan dan kiri, tangan saling bergandengan sambil menyanyikan lagu meongmeong. Kucing baru diperbolehkan menangkap tikus jika nyanyian sudah sampai pada kata-kata juk meng juk kul, juk meng juk kul. Dengan tertangkapnya tikus permainan pun selesai. Selanjutnya, permainan bisa diulang kembali dengan terlebih dahulu mememilih orang yang akan berperan sebagai kucing dan tikus.

Adapun sekelompok anak laki-laki menggelar permainan macepet-cepetan. Permainan anak-anak ini merupakan permainan adu ketangkasan, kecepatan, taktik, strategi, dan stamina agar mampu menangkis menghindar, dan menyerang lawan. Menangkis dan menghindar maksudnya menepis serta menghindarkan bagian-bagian tubuh agar tak tersentuh lawan. Menyerang berarti mencari bagian tubuh tertentu lawan untuk disentuh, ditepuk, atau diraba. Dengan demikian lawan akan mati alias kalah.

Tidak ada batasan waktu dalam permainan macepet-cepetan. Sering kali permainan berlangsung hingga malam terutama saat bulan terang, apalagi saat bulan purnama. Anak-anak bermain sampai mereka lupa makan. Permainan akan usai jika orang tua mereka datang memperingatkan saat makan telah tiba atau malam telah larut. Macepet-cepetan dilakukan oleh dua kelompok anak yang telah mendapat kesepakatan bahwa kekuatan mereka seimbang, seimbang dalam jumlah pemain maupun seimbang dalam hal kekuatan. Sebab seorang anak yang benar-benar tangguh mungkin nilai kekuatan atau ketangkasannya baru seimbang bila dibandingkan dengan dua hingga tiga orang anak lainnya.

Dalam pertandingan dua kelompok tersebut akan nyata terlihat bagaimana mereka memupuk kerja sama sehingga terasa fanatisme kelompok sangat menonjol. Namun, tetap dilandasi oleh sportivitas bertanding yang tinggi. Oleh sebab itu, macepetan adalah suatu permainan yang bermanfaat baik dari segi pembinaan kesegaran jasmani anak maupun pendidikan mental anak.

Keriangan penduduk Gading Wani tampak jelas dari kehadiran mereka berbondong-bondong menemui sang pendeta. Mereka bersujud, menyatakan rasa syukur, dan berterima kasih atas pertolongan sang pendeta. Berkat keampuhan Dang Hyang Nirarta menyembuhkan dan melenyapkan wabah sampar, penduduk Gading Wani menjulukinya Pedanda Sakti Wawu Rauh (Pendeta Sakti Baru Datang). Orang-orang Gading Wani, tua-muda, laki perempuan, riang gembira bergotong royong membuat pemondokan bagi sang pendeta sakti. Pemondokan itu berlokasi di Wani Tegeh, masih di lingkungan Desa Gading Wani. Mereka pun silih berganti menyampaikan suguhan makanan beserta buah-buahan ke pemondokan sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih bersama. Di pemondokan inilah Ki Bendesa mewakili penduduk Gading Wani menyampaikan harapan mereka.

“Paduka pendeta yang hamba muliakan, semua penduduk Gading Wani termasuk pula hamba sendiri memohon agar paduka pendeta bersedia menetap di sini.” Permintaan tersebut tidak bisa dipenuhi oleh sang pendeta karena hendak melanjutkan dharma yatra ke seluruh wilayah di Pulau Bali. “Paduka pendeta yang sangat kami hormati, di ubun-ubun kami inilah paduka kami tempatkan. Walaupun permintaan kami kembali kosong, janganlah kami dilupakan. Jika ada waktu dan Hyang Maha Pencipta mengizinkan, tengoklah kami walau hanya sebab masyarakat kami bagaikan setetes air di tengah musim kemarau panjang. Berilah kami petuah-petuah berupa tata titi untuk menggapai ketenteraman hidup,” kata Ki Bendesa dalam posisi duduk bersila, kedua telapak tangannya dicakupkan di depan hulu hati. Oleh karena hari baik untuk melanjutkan perjalanan telah tiba, Dang Hyang Nirarta pun menyatakan segera akan berangkat. Sesaat sebelum meninggalkan Desa Gading Wani, Dang Hyang Nirarta meminta agar semua penduduk berkumpul di halaman pemondokan guna diberikan wejangan-wejangan.

“Wahai anak-anak dan cucu-cucuku semua, agar kalian luput dari serangan wabah penyakit, menggapai hidup nyaman dan tenteram, haruslah kalian semua peduli pada pola hidup bersih dan sehat. Hidup bersih dan sehat tidak hanya pada diri kalian masing-masing, tetapi juga pada alam lingkungan tempat tinggal dan lingkungan desa kalian. Dengan pola hidup bersih dan sehat, makhluk-makhluk seperti tikus yang dapat mengakibatkan terjangkitnya wabah penyakit akan teratasi.” Sambil menatapi satu per satu wajah orang-orang yang duduk tertib, laki-perempuan berbaur, sorot matanya lurus ke depan dengan telinga dan telapak tangan terbuka, Dang Hyang Nirarta menambahkan wejangannya. “Kehidupan manusia dan alam lingkungannya harustetap lestari. Kondisi itu mensyaratkan terciptanya kehidupan yang nyaman dan damai sampai ke haribaan cucu buyut kita kelak.”

Orang-orang yang hadir mendengarkan wejangan itu serempak menyatakan menerima dengan senang hati dan sanggup melaksanakan petuah-petuah dari sang pendeta sakti. Situasi yang tadinya ceria, dari sekumpulan anak-anak bersenda gurau dengan sesamanya, para orang tua berbisik-bisik saling mengungkapkan kekagumannya kepada sang pendeta, mendadak berubah menjadi haru ketika melepas kepergian Dang Hyang Nirarta guna melanjutkan darma yatra menuju ke arah timur. Keterharuan tersirat dari raut wajah mereka karena tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya.

Diceritakan penguasa atas wilayah Bali, yakni Dalem Waturenggong di istana Gelgel. Baginda raja mendengar berita bahwa Dang Hyang Angsoka di tanah Jawa adalah seorang pendeta yang mahir dalam ilmu agama dan ilmu kepemimpinan. Raja berniat untuk berguru kepada Dang Hyang Angsoka. Untuk itu, baginda raja memerintahkan seorang utusan pergi ke Daha guna memohon kepada sang pendeta agar berkenan datang ke Bali. Akan tetapi, Dang Hyang Angsoka menolak permohonan raja Bali seraya menyarankan agar berguru pada adiknya, Dang Hyang Nirarta, yang lebih pintar dalam hal ilmu agama dan ilmu kepemimpinan. Kebetulan pula pada waktu itu Dang Hyang Nirarta sedang berada di Bali.

Singkat cerita, tibalah Dang Hyang Nirarta di istana Gelgel. Dalem Waturenggong bersama dengan para pejabat kerajaan antusias menyambut kedatangan sang pendeta. Pekinangan, disusul aneka makanan, minuman, dan buah-buahan pun disuguhkan bagi sang pendeta yang telah melakukan perjalanan jauh dan berhari-hari lamanya.

Sebuah bale, yaitu bangunan tradisional Bali, dipersiapkan sebagai tempat istirahat sang pendeta. Letaknya di arah tenggara, bersebelahan dengan tempat pemujaan keluarga kerajaan. Di teras bale inilah Dalem Waturenggong sering bercakap-cakap dengan Dang Hyang Nirarta sambil menggali ilmu pengetahuan keagamaan dan kepemimpinan. Salah satu di antaranya tentang tata laku seseorang memangku jabatan raja, yakni senantiasa melihat ke atas dan ke bawah. Melihat ke atas bermakna tidak lupa kepada Tuhan, yang Mahakuasa, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang, demikian pula terhadap roh-roh suci leluhur. Melihat ke bawah bermakna memperhatikan keadaan dan kebutuhan rakyat, termasuk hubungan selaras antarsesama. Selanjutnya, menjamin kelestarian alam agar sebesar-besarnya bermanfaat sebagai sumber mata pencaharian hidup.

Saat menerima wejangan-wejangan yang sarat nilai tersebut, Dalem Waturenggong tidak mau diganggu, baik oleh para pejabat kerajaan, tamu-tamu, maupun rakyatnya yang ingin menghadap kendati hanya sebentar.

Ajaran-ajaran keagamaan dan kepemimpinan telah dipandang cukup dan dapat dicerna dengan baik oleh Dalem Waturenggong. Selanjutnya, Dang Hyang Nirarta memenuhi keinginan Dalem Waturenggong untuk menobatkannya menjadi raja pendeta. Upacara penobatan, yang dihadiri undangan raja-raja dari berbagai pelosok negeri itu, puncaknya berlangsung pada hari purnama bulan keempat (purnama kapat). Sejak itu nama Dalem Waturenggong sebagai pemangku kerajaan kian masyhur ke seantero negeri. Rakyat hidup tenteram, negerinya subur, sandang dan papan berkecukupan, dan yang tidak kalah penting adalah tidak adanya wabah penyakit merajalela. Setelah beberapa lama menjadi purohita di Gelgel, Dang Hyang Nirartha menyampaikan keinginannya melanjutkan dharma yatra ke seluruh pelosok desa di Bali sekaligus mohon izin kepada Dalem Waturenggong. Kelana spiritual kali ini akan menyusuri pantai, bermula dari barat menyisir pantai selatan Pulau Bali, menuju ke timur, dan seterusnya. Hal ini beliau lakoni terinspirasi dari pengamatan akan masih kurangnya perhatian penguasa dan rakyat Bali pada segara.

“Gunung dan laut merupakan dua elemen alam yang berbeda, tetapi saling terkait, memiliki hubungan tak terpisahkan.” Demikianlah gagasan ini mengemuka ketika Dang Hyang Nirarta berkeling-keliling di Gelgel.

Dikisahkan Dang Hyang Nirarta tiba di Jembrana, berbelok ke selatan, berbalik ke timur menyusur pantai selatan Pulau Bali. Saat melintas menyusuri pantai, beliau bertemu dengan seorang juru sapuh yang sedang duduk di luar parahyangan. Si juru sapuh segera beranjak dan menghampirinya. “Wahai sang pendeta, dari mana dan mau ke mana? Tuan pendeta tidak bisa melintas begitu saja di sini. Saya mempermaklumkan bahwa di sini ada parahyangan angker dan keramat, tempat kami sembahyang. Barang siapa melintas di sini dan tidak menyembah di parahyangan kami, niscaya nanti diterkam oleh harimau. Untuk itu silakan menyembah terlebih dahulu di parahyangan kami demi keselamatan tuan pendeta!” Demikian kata-kata yang diucapkan oleh sang juru sapuh seakan-akan menghalangi perjalanan Dang Hyang Nirarta.

Sambil menatap wajah sang juru sapuh, Dang Hyang Nirarta menjawab dengan nada suara lembut “Saya pendeta dari Daha dan hendak berkelana menyusuri pantai. Jika demikian permintaanmu, baiklah. Tolong antarkan saya masuk ke tempat persembahyanganmu. Saya akan menyembah!”

Di depan sebuah palinggih, Dang Hyang Nirarta duduk bersila, mengheningkan cipta, dan melakukan yoga semadi. Saat beryoga semadi dengan khidmat, tiba-tiba palinggih tersebut roboh. Peristiwa aneh tapi nyata itu disaksikan oleh si juru sapuh dengan raut wajah tercengang. Rasa menyesal dan bersalah pun berkecamuk dalam hatinya. Dengan kepala menunduk, tangan menyentuh ujung jari kaki sang pendeta, ia berkata lirih diiringi tangisan tersedu-sedu.

“Ampunilah hamba yang mulia pendeta, ampunilah kesalahan hamba karena telah menghalangi dan memaksa yang mulia untuk menyembah. Hamba mohon belas kasih juga kesediaan yang mulia pendeta memperbaiki parahyangan kami agar ada tempat kami bersembahyang setiap hari.” Rasa kasih sayang senantiasa menyelimuti jiwa raga sang pendeta, ditambah pula niat untuk ikhlas mengabdi demi tegaknya kehidupan keagamaan, beliau pun berkenan memperbaiki palinggih yang luluh lantak itu. Dalam waktu singkat palinggih tersebut telah kembali seperti semula. Dang Hyang Nirarta melepas gelung sehingga rambut panjangnya terurai. Beliau mencabut sehelai rambutnya lantas diberikan kepada si juru sapuh seraya berkata,

“Letakkan rambut ini di dalam ruang palinggih dan dipuja (siwi) agar semua orang di daerah ini memperoleh anugerah keselamatan dan kesejahteraan.” Semua nasihat dan perintah Dang Hyang Nirarta dilaksanakan dengan baik oleh juru sapuh. Sejak itu Parahyangan ini disebut Pura Rambut Siwi.

Di selatan Pura Rambut Siwi membentang laut biru dengan tepi pantainya berkelok-kelok dari barat ke timur. Gemuruh gulungan gelombang seakan pecah lalu mengeluarkan buih berwarna putih ketika beradu dengan tepi pantai yang berpasir hitam. Petak-petak sawah dengan daun-daun padinya yang menghijau di sisi utara pantai, melambai mengalun-alun disapu angin aut yang sepoi-sepoi, memberikan aroma kesegaran bagi setiap mata yang memandangnya. “Anugerah alam bagi seluruh isinya.” Demikian bisikan hati Dang Hyang Nirarta yang selalu terpesona oleh keindahan alam semesta.

Matahari bersinar merah jingga di ufuk barat, perlahan-lahan hendak menyelinap di balik garis yang seakan-akan menjadi pembatas antara kaki langit dengan gelombang laut. Fenomena alam ini merupakan pertanda hari menjelang malam.

Dang Hyang Nirarta berniat bermalam di Pura Rambut Siwi. Orang-orang yang bermukim di sekitar wilayah itu mengetahui keberadaan sang pendeta sakti bermalam di Pura Rambut Siwi. Mereka pun berbondongbondong menemuinya. Ada yang memohon tuntunan ajaran agama sebagai pencerahan, terutama mengenai sujud dan bakti ke hadapan Tuhan Yang Mahakuasa, termasuk pula kepada leluhur agar kesejahteraan hidup di dunia dapat terwujud. Ada yang memohon kesembuhan dari sakit yang di derita, ada pula yang memohon tuntunan mengatasi hama (merana) yang menyerang tanam-tanaman atau hewan peliharaan mereka. Di hadapan orang-orang inilah Dang Hyang Nirarta berpesan agar mereka melaksanakan upacara pemujaan kepada Tuhan dalam perwujudan-Nya sebagai pemberi anugerah bagi pertanian, setiap enam bulan sekali, yaitu pada hari Rabu Umanis Perangbakat di Pura Rambut Siwi.

Mentari di ufuk timur telah mulai beranjak meniti orbitnya. Sinar terang benderang memancar menerangi jagat raya. Sungguh sejuk menerpa kulit orang-orang yang baru saja terjaga dari tidurnya. Tiupan sang bayu dari urat-urat daun pepohonan rindang sungguh segar bagaikan air pancuran pegunungan membasuh tubuh. Tiupan sang bayu dari urat-urat daun pepohonan rindang, seakan melengkapi suasana pagi yang menyegarkan tersebut, bagaikan air pancuran pegunungan membasuh tubuh.

Pada pagi hari yang cerah itu Dang Hyang Nirarta hendak melanjutkan perjalanan. Sebelum berangkat, beliau melaksanakan Surya Sewana, kewajiban rutin pagi hari memuja Dewa Matahari sebagai sumber kehidupan. Ketika sejenak mengheningkan cipta, beliau melihat pancaran sinar menjulang ke atas menembus langit biru pada arah tenggara.

Selesai melakukan pemujaan atas kebesaran dan anugerah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Pemurah, Dang Hyang Nirarta memercikkan tirta kepada orang-orang yang turut serta melaksanakan pemujaan. Selanjutnya, beliau beranjak menyusuri pantai selatan menuju ke arah tenggara. Lembar-lembar lontar dan pengrupak terselip di balik selendang poleng yang melingkar di pinggangnya. Dari kedua pusaka yang selalu dibawa ke mana pun kaki melangkah itulah akan tercipta candi-candi pustaka. Karya tulis yang lahir dari intensitas pemikiran tentang ketuhanan, makrokosmos, mikrokosmos, dan pengalaman langsung. Inilah pusaka warisan yang tak akan lekang walaupun zaman berubah. Sari patinya bagaikan cermin untuk melihat masa lalu, masa kini, dan merancang masa depan.

Diceritakan dalam perjalanan ini, Dang Hyang Nirarta melintasi pematang yang bersih karena baru selesai dirabas. Petak-petak sawah berundak-undak dengan aliran air yang merata. Suara gemericik air yang jatuh dari petak yang satu ke petak yang lebih rendah, bagaikan alunan simfoni. Otot-otot kaki, badan, dan leher seakan-akan lemas olehnya.

Burung pipit terbang bergerombol lalu hinggap pada petak- petak sawah yang buah padinya mulai merunduk, belum menampakkan batang hidungnya. Rupanya mereka harus menunggu dua belas kali purnama lagi untuk bisa menikmati bulir-bulir padi kuma santen yang amat disukainya.

Tiba-tiba muncul sekawanan capung, keempat sayap mereka terkepak, terbang melayang berkejar-kejaran. Ada yang berwarna kuning, merah, hijau. Ada pula yang berwarna hitam bergaris-garis putih (poleng). Entah apa gerangan terjadi di antara kawanan capung yang terbang riang gembira itu, tiba-tiba si capung poleng menyambar menyentuh air seakan-akan ingin tahu kualitas air, apakah bersih atau kotor. Capung yang lain pun mengikuti, lalu meliuk-liuk membasahi tubuhnya dengan sesekali mengibas-ngibaskan sayapnya agar tak terbebani air yang masih menempel. Tak lama kemudian hujan gerimis pun membasahi ibu pertiwi. “Apakah kemunculan kawanan capung ini menandai bahwa hujan akan segera turun?” tanya Dang Hyang Nirarta dalam hati sambil memacu langkahnya menuju ke timur.

Cukup jauh telah menempuh perjalanan, terlihat seseorang menuntun sapinya pada jalan kecil di sebelah timur dangau. Beberapa langkah lagi dari dangau itu ke selatan menuju ke tepi pantai, pohon kelapa berjejer rapi dengan jarak-jarak yang tak terlampau dekat. Daunnya lebat berwarna hijau pekat dan mulus. Kadang kala terlihat sinar berkelap-kelip karena ditiup angin dan diterpa sinar matahari. Tandannya digelayuti buah berbentuk bulat, jumlahnya bisa mencapai belasan. Semua itu mencirikan betapa suburnya pohon-pohon nyiur tersebut.

Seluruh bagian pohon ini dimanfaatkan oleh orang Bali. Batangnya diolah untuk bahan bangunan. Janur, baik slepan maupun busung dimanfaatkan untuk membuat alat-alat kelengkapan upacara. Buahnya memiliki tiga lapis, yakni kulit, serabut, dan batok. Di dalam batok itulah terdapat air, yang dapat diolah menjadi minyak goreng. Limbah dari semuanya dimanfaatkan sebagai bahan bakar tatkala menanak nasi dan lauk-pauk. Akan tetapi, di balik semua itu, terlintas dalam benak Dang Hyang Nirarta seperti berikut ini.

“Engkau Maha Pemurah karena telah menyediakan segalanya bagi kehidupan manusia. Engkau Mahakuasa karena entah dari mana datangnya air yang hampir memenuhi rongga batok kelapa yang keras berwarna coklat kehitaman itu.” Demikian ungkapan dari benak hati Dang Hyang Nirarta terhadap keagungan Sang Maha Pencipta.

“Awal mulanya buah kelapa itu kecil, bungsil namanya. Kira-kira satu setengah jengkal orang dewasa ukuran lingkarannya. Semakin hari semakin membesar, seukuran buah maja, kadang kala lebih besar, disebut nyuh. Air di dalam bungsil mulanya sedikit lalu menjadi banyak ketika telah menjadi nyuh. Dari mana asal muasal air yang bertambah itu, siapa yang menambahkan?” Pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan keyakinan bahwa Ia ada dan melimpahkan anugerah-Nya bagi kehidupan semua makhluk di jagat raya,” bisik Dang Hyang Nirarta dalam hati.

Pada batang nyiur yang berjejer kokoh itu terlihat cekahan-cekahan selang-seling dari bawah sampai ke atas. Tampak seorang petani memanfaatkan cekahan itu sebagai pijakan telapak kakinya untuk memanjat dan memetik kuud. Dengan mencabut arit yang terselip di pinggang, ia memangkas kulit kuud secara menyilang lalu meminum airnya. Ia mengorek-ngorek daging yang menempel pada batok lalu dimakan. Rasa dahaga dan laparnya pun berlalu akibat bekerja menyiangi petakpetak sawahnya sejak fajar menyingsing hingga hampir tepat berada di atas ubun-ubun. Cara kerja sedikit memacu biasa ditempuh para petani mengingat hari baik untuk menanam benih padinya segera tiba.

Matahari telah condong ke barat. Si pengembala sapi beristirahat di dalam dangau, merebahkan diri di atas galar dan bantal yang terbuat dari bambu. Sementara itu, dua sapi betina dan satu sapi jantan gembalaannya diikatkan pada pohon-pohon kelapa yang tidak jauh dari dangau tersebut. Sedikit rumput sabitannya diberikan kepada sapi-sapi itu agar tidak mengganggu istirahatnya dengan suara mbeeek … mbeeekk …. mbeeeeekkk karena lapar.

Keempat tiang dangau itu menggunakan pohon santen hidup. Rupanya itu yang membuat orang-orang memilihnya untuk tempat berteduh sambil melepas lelah atau istirahat sejenak. Dang Hyang Nirarta pun singgah ke dangau itu untuk berteduh lalu bercakapcakap dengan si pengembala sapi. Aroma kencing dan kotoran sapi yang cukup menyengat, mengalihkan percakapan mereka ke limbah sapi tersebut.

“Pohon kelapa mana saja yang sering dipakai untuk menambatkan sapi ketika Nanda istirahat?” tanya sang pendeta kepada si pengembala. “Hormat Tuan Pendeta, hampir semua pohon kelapa itu menjadi tempat menambatkan sapi-sapi hamba. Pengembala lain juga seperti itu,” jawab si pengembala dengan sopan. “Beberapa pohon kelapa, yang terletak agak jauh di sebelah barat, daunnya tampak kusam. Terdapat bintik-bintik berwarna hitam. Janur muda pada puncak pohon juga rusak, sepertinya terserang hama kumbang. Buahnya pun sedikit dan kecil. Jarang atau tidak pernahkah menambatkan sapi di sana?” tanya sang pendeta, seakan-akan ingin tahu. “Tidak pernah, Tuan Pendeta karena agak jauh dari tempat hamba berteduh,” jawab si pengembala singkat.

Itulah jawaban dari keingintahuan Dang Hyang Nirarta. Pohon-pohon kelapa yang tampak subur dan berbuah lebat karena sering dijadikan tempat menambatkan sapi. Air kencing dan kotoran sapi itulah pupuknya sekaligus membuatnya luput dari serangan hama penyakit. Setelah bercakap-cakap dengan si pengembala sapi, Dang Hyang Nirarta melanjutkan perjalanan ke arah timur. Nun jauh di utara, tampak tumpukan bukitbukit berderet semakin ke timur semakin meninggi. Sampai di suatu tempat, beliau dapat melihat secara samar-samar sebuah puncak gunung menjulang tinggi. Tampak awan hitam berarak mendekatinya. Gunung itu tiada lain adalah Gunung Batukaru.

Kawasan pegunungan tersebut menjadi habitat hidup berbagai jenis pepohonan, baik besar maupunkecil, serta aneka jenis binatang. Keberadaan alam pegunungan itu menggugah kembali ingatan Dang Hyang Nirarta saat masih remaja, belajar pada seorang uru di pegunungan, masih di wilayah Daha.

“Dahan dan ranting pepohonan itu berdaun lebat. Setelah kering, daun itu akan berjatuhan menutupi tanah. Jika tanah-tanah ditutupi oleh sisa dedaunan dan humus, mereka akan menjaga dan menyerap air hujan. Hutan lebat ibarat atap pelindung tanah agar tidak tergerus saat air bah dari langit menerpa berhari-hari. Hutan adalah bendungan alami yang daya serapnya bisa memperbaharui air dan melepasnya secara perlahan ke mata air-mata air dan sungaisungai.” Demikian wejangan yang pernah diterima oleh Dang Hyang Nirarta dari seorang guru di Pegunungan Daha.

Menoleh ke kanan, ke arah tepi pantai, terlihat pohon pudak berjejer. Akar-akar tunjangnya yang kokoh seakan-akan siap menghadang gempuran gelombang agar hamparan tanah persawahan tidak tergerus olehnya. Aroma harum semerbak bunga-bunga pudak menggugah perasaan Dang Hyang Nirarta untuk menghampirinya

Mahkota bunga pudak warna putih, yang kepir-kepir ditiup angin, ternyata mampu mencuri perhatian kupukupu yang terbang di sekitarnya. Si Kupu-Kupu Barong pun hinggap pada bagian mahkota untuk menghisap sari madu. Tanpa sengaja kakinya menginjak serbuk sari sehingga butir-butir serbuk sari banyak menempel di kakinya. Si Kupu-Kupu Barong lalu pindah ke kepala putik lain dan tanpa sengaja serbuk sari yang menempel di kakinya berjatuhan dan menempel pada kepala putik. Ketika itulah terjadi proses penyerbukan, kemudian menjadi bunga pudak.

“Lukisan kehidupan yang sungguh menakjubkan. Ia diciptakan oleh-Nya untuk turut berperan menjaga keberlangsungan kehidupan alam semesta dan isinya. Kupu-kupu membantu proses terjadinya bunga dan buah. Ular dan burung hantu membasmi tikus-tikus yang menjadi hama tanaman padi. Cacing tanah di samping membantu menggemburkan tanah juga dapat menyuburkan tanah pertanian,” gumam Dang Hyang Nirarta dalam hati.

Mendekati Desa Nyitdah, Dang Hyang Nirarta berhenti di tepi sebuah bendungan kecil pembagi air. “Air tidak bisa berlebihan, tetapi juga tidak kekurangan. Karena itu air mesti terbagi. Berlebihan atau kekurangan sama-sama berdampak tidak baik, seperti terhadap tanaman padi.” Demikian wejangan Dang Hyang Nirarta kepada seorang petani yang sedang membuka bendungan untuk mengairi tanaman padinya karena menjelang hamil dan berbuah.

Petani berpostur tinggi kekar kulit sawo matang agak kusam tersebut mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mencoba menghayati wejangan sang pendeta. Demikian yang terlintas dalam pikirannya.

“Ya, semua makhluk hidup memerlukan air. Manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, membutuhkan air, tetapi secukupnya tidak berlebihan. Tumbuh-tumbuhan jika kelebihan air maka akarnya akan busuk, lalu mati. Tanaman padi di sawah juga seperti itu. Air hujan deras dan berhari-hari jika tidak ada akar-akar pohon yang menyerapnya ke dalam tanah, air akan berlebihan. Air itu menjadi air bah atau banjir yang siap menerjang dan meluluhlantahkan permukiman penduduk seperti baru-baru ini terjadi di desa tetangga.

“Pohon memiliki peran penting bagi kehidupan di muka bumi. Akar pohon akan menyerap air hujan ke tanah sehingga tidak mengalir begitu saja tanpa manfaat. Pohon-pohonlah yang menahan laju air sehingga akan lebih banyak air yang terserap ke dalam tanah. Akarakar pohon tersebut yang mengikat butiran- butiran air pada pori tanah dan menjadikannya sebagai cadangan air di musim kemarau sehingga ketersediaan air tanah tetap terjaga secara berkesinambungan dan menjadikan debit mata air, sungai dan danau tetap besar serta tidka terjadi kekeringan pada musim kemarau, Pada musim penghujan bencana bajir tidak terjadi. Skar pohon juga mampu mengikat butir-butir tanah sehingga dapat mencegah terjadinya erosi atau tanah longsor." Demikian penjelasan Dang Hyang Nirarta menjawab pertanyaan si petani tentang pepran pepohonan bagi ketersediaan aor yang cukup dan pencegah bencana alam.

Terus berjalan menyusuri tepi pantai selatan menuju ke arah tenggara, akhirnya tibalah beliau di sebuah tempat, yaitu Alas Kendung. Areal hutan yang tak terlampau luas ini disesaki tumbuhan pohon kendung, yang tinggi dan besar pula. Dang Hyang Nirartha melakukan yoga semadi di tempat ini seraya memohon petunjuk untuk menemukan sinar yang pernah dilihatnya.

Ketika itulah datang Bendesa Beraban menemui Dang Hyang Nirarta menyampaikan bahwa tanaman padi di wilayahnya dilanda wabah penyakit. Dang Hyang Nirarta menjelaskan bahwa wabah itu disebabkan oleh makhluk bernama Bhuta Bebahung. Beliau lalu menghadiahkan sebilah keris bernama Ki Baru Gajah kepada Bendesa Beraban untuk melenyapkan Si Bhuta Bebahung. Beliau juga berpesan kepada Bendesa Beraban agar membangun pura di tempat tersebut. Pura yang telah dibangun itu diberi nama Pura Luhur Pakendungan. Saat pelaksanaan upacara, keris Ki Barus Gajah agar diberi sesaji dan memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar sirna semua hama yang menyerang tanaman padi mereka.

Berdasarkan petunjuk yang diperoleh saat menggelar yoga semadi di Alas Kendung, akhirnya sampailah beliau pada sinar dimaksud. Ternyata sinar otu adalah sebuah sumber mata air tawar yang ebrada di tengah deburan air laut yang asin. Letaknya hanya beberapa langkah lagi dari Alas Kendung, TIdak jauh dari sumber mata air tersebut, beliau menemukan sebuah tempat yang keindahannya tiada tara. Tempat ini disebut Gili Beo artinya 'batu karang', beo artinya 'burung'. Jadi tempat itu adalah sebuah batu karang besar berbentuk burung beo. Di sinilah beliau melakukan meditasi dan pemujaan kepada Dewa Baruna, perwujudan Tuhan sebgai penguasa laut.

Mengetahui ada seorang pendeta, para nelayan pun berdatangan sambil membawa berbagai persembahan. Sebagaimana lazimnya, Dang Hyang Mirarta menyampaikan ajaran-ajaran yang intin sarinya menuntun mereka bertata laku menjaga keseimbangan untuk mengggapai kehidupan yang nyaman, tentram dan sejahtera.

"Gunung dan laut adalah dua aspek dalam semesta berbeda wijud tetapi saling berhubungan, tak bisa dipisahkan apalagi dihilangkan. Pandangan kosmis ini disebut rwa bhineda. Gunung adalah lingga, purusha, laki-laki sedangkan laut adalah yoni, pradana, perempuan. Keterpaduan hubungan kedua alam inilah yang mengakibatkan kesuburan." Demikianlah inti wejangan sang pendeta kepada para nelayan yang tertib duduk bersila dan antusias mendengarkan tiap patah kalimat.

“Wujud gunung identik dengan hutan, sedangkan laut identik dengan air. Terpaan sinar matahari membuat air laut menguap. Uap bergerak ke darat lalu menuju ke pegunungan oleh tiupan angin. Hutan yang lebat mendinginkan uap sehingga berubah menjadi awan pekat. Turunlah hujan, berakibat pada adanya cadangan pasokan bagi mata-mata air dan sungaisungai. Air pun akan terus mengalir lalu bermuara di laut. Perpaduan dua alam ini menjadi sumber kehidupan yang menyejahterakan umat manusia, harmonis, lahir dan batin". Demikian tambahan penjelasan yang diwejangkan oleh Dang Hyang Nirarta. Para nelayan menganggut-anggut menandakan mereka samakin paham.

Setelah mendengarkan ajaran yang diwejangkan itu, para nelayan memohon ke hadapan Dang Hyang Nirartha agar berkenan bermalam di pondok mereka. Namun, permohonan itu ditolak karena beliau lebih senang bermalam di pulau kecil yang asri tersebut. Di samping itu, hawa lautnya segar juga pemandangannya sangat indah. Dari tempat itu beliau dapat melepaskan pandangan secara bebas ke semua arah.

Suatu malam, beliau melakukan meditasi dalam suasana hening dan suci. Saat itu tiba-tiba datang para bidadari mengganggu. Oleh karena menghendaki agar keheningan dan kesucian di tempat itu tak ternodai, beliau melepas sabuk berwarna hitam putih (poleng) yang dikenakannya seraya menjatuhkan ke laut. Atas daya sakti beliau, secara serta merta sabuk poleng tersebut berubah menjadi Lipi Poleng.

Keesokan harinya beliau beranjak menuju desa Beraban menemui Bendesa Beraban dan rakyatnya. Beliau berpsean kepada Bendesa dan warga desa untuk membangun pura di tempat beliau bermeditasi. Pura itu bernama Pura Luhur Tanah Lot. Keberadaan Lipi Poleng di sekitar pura itu adalah makhluk penjaga agar kesucian Pura Luhur Tanah Lot tak tornodai, secara sekala maupun niskala; saling hubungan antara Tanah Lot sebagai kawasan laut dengan Gunung Batukaru sebagai kawasan hutan tetap ajeg.

Pura Luhur Tanah Lot berdiri di atas batu karang di tepi laut. Sekarang pura ini menjadi salah satu objek wisata terkenal di Bali, yang banyak diikunjungi wisatawan domestik ataupun mancanegara. Panorama keindahan alam, anugerah dan kebesaran Sang Maha Pencipta, serta berbagai keunikannya seperti panorama matahari tenggelam saat sore hari dan mata air tawar yang terdapat pada bagian bawah pura merupakan daya tarik tersendiri kawasan wisata alam ini.

Lipi Poleng di objek wisata Tanah Lot sejatinya adalah ular laut, ujung ekornya pipih menyerupai sirip ikan. Hewan melata ini tidak agresif. Saat malam hari hewan ini menuju ke laut mencari makanan, sedangkan saat siang hari tidur di atas tumpukan pasir pada lubang-lubang karang. Ular laut ini bisa dilihat dan diraba, asal dengan penuh rasa kasih sayang, tanpa mengganggu tidur mereka. Keberadaan Lipi Poleng ini menambah daya tarik tersendiri bagi objek wisata Tanah Lot. Masyarakat Desa Beraban memandang Lipi Poleng adalah lipi duwe. Karena itu dengan keyakinan penuh mereka menjaga habitat hidup hewan melata tersebut sejak dahulu sampai kini.

Lipi Poleng tersebut diyakini sebagai makhluk penjaga kawasan suci Pura Luhur Tanah Lot. Jika suatu ketika muncul ular laut berwarna merah, diyakini bahwa itu adalah ratu dari Lipi Poleng. Kemunculannya merupakan pertanda bahwa bencana akan melanda kehidupan masyarakat setempat. Mereka pun akan menanggapi fenomena alam itu dengan mengadakan upacara persembahan, beroda dan memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar terhindar dari bencana.

Ditulis oleh: I Nyoman Argawa

DISKUSI


TERBARU


Lumpia

Oleh Kyaya | 28 Apr 2024.
Makanan khas

Lumpia merupakan salah satu kuliner khas semarang yang banyak di gemari masyarakat. Ciri khas dari lumpia semarang yaitu berada pada isianya, rebun...

Kolintang: Alat...

Oleh Klasiktoto | 27 Apr 2024.
Alat Musik Tradisional

Sulawesi Tenggara, surganya keberagaman budaya, telah menjadi tempat bagi berbagai suku yang membentuk kehidupan dan kebudayaan yang kaya. Dalam jurn...

Bubur Pedas

Oleh Sherly_lewinsky | 25 Apr 2024.
Makanan khas Kalimantan Barat

Bubur pedas adalah salah satu makanan khas dari Kalimantan Barat. Biasanya, bubur ini akan dilengkapi dengan berbagai macam sayuran seperti daun kuny...

ANALISIS FENOME...

Oleh Keishashanie | 21 Apr 2024.
Keagamaan

Agama Hindu Kaharingan yang muncul di kalangan suku Dayak sejak tahun 1980. Agama ini merupakan perpaduan antara agama Hindu dan kepercayaan lokal su...

Kue Pilin atau...

Oleh Upikgadangdirantau | 20 Apr 2024.
Kue Tradisional

Kue pilin atau disebut juga kue bapilin ini adalah kue kering khas Sumatera Barat.Seperti namanya kue tradisional ini berbentuk pilinan atau tamb...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...