×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

cerita rakyat

Elemen Budaya

Cerita Rakyat

Provinsi

Kalimantan Tengah

Asal Daerah

Kab. Seruyan

Lagenda Batu Babi dan Anjing

Tanggal 09 Mar 2021 oleh Widra .

Terlihat sebuah jukung membelah air. Seorang laki-laki dengan tenang mengayuh dayung. Laki-laki itu berumur kira-kira 30 tahun. Wajahnya memperlihatkan ketenangan. Matanya teduh, meskipun tampak kelelahan samar di wajahnya. Seekor anjing tegak berdiri di ujung depan perahu mengamati sekeliling dengan ekor mengibas ke kirikanan, layaknya seorang panglima yang mengawasi anak buahnya. Anjing itu bangga karena menjadi pengawal bagi tuannya. Senja keemasan segera menghilang dari langit saat perahu kecil itu menepi ke daratan. Dengan lompatan kecil, anjing tadi mendarat dengan mulus di atas tanah. Sementara, laki-laki itu naik ke daratan lalu menarik perahu ke daratan dan mengikatkan tali yang terkait di perahu ke sebuah tonggak kayu yang sengaja ditancapkan di pinggir danau itu

Danau Sembuluh namanya, sebuah danau yang cukup luas dan dalam. Berbagai macam ikan hidup di dalamnya sebagai sumber penghidupan penduduk di sekitarnya. Secukupnya untuk keperluan sehari-hari, selebihnya dijual dalam keadaan segar dan dijemur untuk dijadikan ikan kering berlumuran garam. Sebuah rumah berdiri tak jauh dari tepi danau yang dihuni oleh seorang laki-laki dan anjingnya. Tampak rumah itu sudah sangat lama didirikan. Terlihat beberapa lubang di dinding yang terbuat dari papan kayu dan warna kayunya pun sudah berubah. Lapuk. Rumah panggung berdinding papan dan beratap daun rumbia. Rumah yang tidak terawat. Bertebaran daun kering di halaman depan, samping maupun belakang.

Gelap mulai menyelimuti danau dan sekelilingnya. Suara hewan malam pun mulai bersahutan. Sesekali terdengar suara burung hantu menandai malam sebagai miliknya. Cahaya lampu minyak memancar dari lubanglubang dinding rumah. Tanda malam telah tiba.

“Krrreeekkk...,” suara engsel pintu yang sudah berkarat memecah kesunyian tempat itu. Seorang lakilaki keluar dengan cangkir di tangannya. Lalu, duduk di tangga rumah yang sedikit berderak saat tubuhnya membebani anak tangga yang didudukinya. Sesekali isi cangkir di tangannya diseruputnya dengan penuh perasaan. Seekor anjing yang tak pernah mau pisah dari sisinya keluar dari rumah dan duduk di sebelah laki-laki itu. Sikapnya meniru tuannya. Matanya menerawang di atas air danau yang tenang.

Seribu kunang-kunang terbang terang di atas air. Hewan-hewan nokturnal pun memperlihatkan diri dengan suaranya. Suaranya jauh di tengah hutan. Gemanya melewati ruang malam. Jangkrik dan serangga lainnya bergerilya di semak belukar sambil menggesekkan sayapnya sebagai tanda keberadaannya dengan bunyi yang khas. Angin semilir yang semula menghela udara panas sisa siang hari mulai terasa dingin. Kantuk yang datang seiring kepenatan mulai merayapi seluruh tubuhnya menggerakkan kuap untuk menghembuskan udara dari mulutnya. Tubuhnya bergerak menuju peraduannya setelah menutup pintu rumah dalam derit. Anjingnya mengikuti dari belakang, lalu merebahkan tubuhnya di bawah tempat tidur majikannya yang mulai terdengar embusan napas lembutnya. Malam pun turun dengan sempurna.

Embun mulai meleleh dari dedaunan ketika lakilaki itu membuka mata setelah semalam menikmati istirahat yang memuaskan. Sementara, anjing setianya hanya duduk menunggu majikannya menegakkan tubuh dan bergerak membukakan pintu baginya. Matanya memandangi gerakan tubuh yang masih tergolek malas di atas tempat tidur sederhana yang terbuat dari kayu dengan kelambu yang menyelimutinya. Sang majikan belum juga bergerak untuk beranjak dari rebahnya. Napas lembut kembali terdengar. Sang anjing menggonggong tiga kali seolah ingin berkata, “Bangun. Bangun. Sudah siang.” Namun, sang majikan bergeming. Akhirnya, anjing itu pun merebahkan tubuhnya kembali di atas lantai papan rumah itu sambil berdenging-denging.

Matahari tepat mengenai wajah laki-laki itu melalui celah atap rumah. Rasa hangat membuatnya bergerak. Matanya mengerjap sesaat, lalu memicing karena silau. Didudukkannya tubuhnya di pinggiran tempat tidur. Anjing yang dari pagi menungguinya bahkan membangunkannya itu secara spontan bangun. Ekornya dikibaskan ke kiri-kanan memberi tanda gembira pada majikannya yang telah bangun dari tidur. Sesekali gonggongannya terdengar. Digigitnya celana majikannya dan ditarik-tarik untuk menuruti keinginannya. “Ada apa?” “Iya, iya, sebentar.” Laki-laki itu akhirnya menjawab keinginan si anjing.

Dia pun beranjak dari tempat tidur sambil mengikuti si anjing yang telah melepaskan gigitannya untuk berlari kecil menuju pintu rumah. Setelah sampai di pintu, dibukanya pintu rumah yang mengeluarkan suara berderit. Serta-merta si anjing menghambur keluar rumah dengan lompatan kegembiraan. Matahari mulai tinggi. Tanah telah terang, tanda kehidupan sudah berjalan pada pagi itu. Dilihatnya beberapa jukung melintasi danau untuk kemudian menghilang di belokan tertutup pepohonan yang lebat. Kelelahan hari kemarin membuatnya terlambat bangun pagi ini.

Tangannya meraih cangkir yang masih berisi setengah. Diteguknya seluruhnya demi memuaskan dahaga. Tubuhnya bergerak menuju belakang rumah sambil tangannya meraih handuk yang tergantung di tali di sudut ruangan. Mandi adalah tujuan awalnya di pagi yang mulai terik ini untuk mereguk kesegaran alami meski terlambat.

Sementara itu, si anjing yang telah berada di luar rumah melepaskan kerinduannya untuk berjalan-jalan ke arah kampung tak jauh dari rumahnya. Dengan keceriaan seperti kanak-kanak, anjing itu berlari kecil menuruti kehendak hatinya. Sambil sesekali anjing itu berhenti, lalu mengendus-endus sesuatu atau kencing di suatu tempat sebagai tanda kekuasaannya atas wilayah yang dilaluinya. Rasa lapar pun menyergap, menggiatkan pencariannya atas makanan yang mesti diperolehnya. Tujuan hidupnya kali itu hanya untuk makan menempatkannya pada perjalanan yang mulai tak tentu arah.

Tibalah anjing itu hingga di tepi rimba. Terperangahlah si anjing demi sesuatu yang ada tak jauh di hadapannya. Sekitar lima puluh meteran di depan matanya, seekor babi hutan juga ternganga oleh kejadian tak disangkanya pagi itu. Anjing itu bertemu musuh yang tak ‘kan pernah mau dilepaskan keberadaannya di dunia. Getar-getar kewaspadaan mulai meremang di ujung-ujung bulu tubuhnya. Kakinya menguat untuk segera digerakkan menjauhi medan laga yang pasti terjadi. Telinganya seperti antena yang menangkap setiap detail suara sekelilingnya. Atmosfer tubuhnya telah membungkusnya sedemikian rapi dan utuh. Bulat. Semacam perlindungan tak terlihat dan akan mementalkan kembali setiap serangan atau lemparan atas tubuhnya. Seekor babi hutan yang malang. Pada saat yang sama, nyalang mata memandang korbannya sedang mempersiapkan diri untuk sebuah pelarian tak berkesudahan. Ekornya masuk di antara kedua kaki belakangnya. Tanpa kedip matanya memperhatikan segala gerakan seminim apa pun di hadapannya. Mulutnya menyeringai memamerkan gigigigi tajam sebagai alat pertempurannya. Gairahnya menggebu.

Seluruh kepalanya terisi penuh dengan aliran darah dari jantung yang memompa cepat. Tubuh depannya mengambil siap siaga dengan sedikit merendahkannya, siap menerjang, melompat sebisanya. Detik yang berharga tak ‘kan dilewatkannya begitu saja. Dia menduga akan mendapat perlawanan yang sepadan karena musuh di hadapannya sudah tak mungkin lagi mengelak.

Seekor lalat yang datang untuk mampir di tubuhnya tak dihiraukannya. Anjing itu ingat kalau sejak pagi tadi belum mandi setelah kemarin seharian berada di hutan bersama tuannya. Lalat itu dirasakannya mulai menggangu konsentrasinya. Puncaknya adalah saat lalat hinggap di ujung kelopak matanya. Berkedip. Sepersekian detik emas bagi babi hutan yang menunggu pemburunya lengah telah tiba. Kesempatan itu benar-benar dimanfaatkannya sedemikian rupa sehingga dengan kesadaran yang terlambat, pemburunya telah ditinggalkan beberapa langkah di belakangnya.

Dia melompat dengan berbalik arah seratus delapan puluh derajat menghadap ke hutan belantara. Langkahnya menjadi lebar untuk segera meninggalkan medan laga di hadapannya tadi. Pemburu yang merasa menyia-nyiakan waktu menjadi sangat gusar mengingat kesalahan yang telah dilakukannya sekejap tadi. Gairah pemburunya makin memuncak yang menggerakkan kakinya untuk sebuah langkah lebar dan taktis mengejar buruannya yang telah meninggalkannya beberapa langkah di depannya. Mata bertemu mata. Tergetar. Sejurus kemudian dengan lompatan sigap, si anjing melesat untuk menancapkan gigi ganasnya ke tubuh sang babi yang tak kalah waspada untuk berbalik arah dan lari sekencangnya menuju rimba.

Kejar-mengejar bercampur dengan nafsu memburu mangsa di sela ketakutan berkelindan memasuki perjalanan peristiwa magis antara hidup dan mati pagi itu. Rimba pun terdiam. Sunyi. Saksi tak berdaya atas kehidupan yang mesti dijalani. Kejar-mengejar pun terjadi diiringi hiruk-pikuk belantara yang menyajikan nyanyian mars perjuangan. Belantara sebagai saksi atas peristiwa di rahimnya. Hentakan kaki-kaki mendebarkan bumi yang mereka pijak.

Di kejauhan, terdengar uwa-uwa berteriak-teriak saling bersahutan seolah ikut memeriahkan perlombaan lari antara si anjing dan si babi yang ketakutan. Si babi berusaha untuk menyelamatkan selembar nyawanya yang berada di ujung taring si anjing. Entah sudah seberapa jauh mereka berkejaran. Jarak antara si anjing dan si babi tak berubah sejauh ini, lima depa. Jarak aman bagi si babi bagi sebuah terkaman yang tak mungkin terjangkau oleh si anjing.

Namun, muncul keraguan atas keselamatan dirinya ketika dia yang telah memahami seluk-beluk rimba mengetahui bahwa di ujung pelariannya akan bertemu dengan sebuah sungai yang cukup lebar, sisi lain dari Danau Sembuluh. Tempat yang tak ‘kan mungkin ada persembunyian dan pelarian panjang lagi. Babi pun bertekad bulat untuk mempertahankan dirinya sampai titik kehidupan akhirnya. “Aku telah bertekad,” batinnya di sela napas yang memburu.

Tak terasa, air matanya menetes mengingat orang tua dan saudara-saudaranya yang mungkin tak ‘kan pernah tahu bagaimana nasib akhir hidupnya. Dia hanyalah seekor babi jantan muda yang tak memiliki pengalaman berlebih, tak seperti anjing yang sedang mengejarnya yang telah lama berburu dan dilatih untuk itu. Tibalah saat itu, sebuah sungai terhampar di matanya. Bahkan, air pun tak ‘kan mampu menolongnya saat itu. Otaknya berpikir secepat kilat, menentukan antara terjun ke danau atau berhenti dan menghadapi mautnya sendiri.

Pikirannya terbang pada masa kecilnya yang bahagia dan selalu berada dekat dengan orang tuanya. Orang tua yang selalu menjadi tempat perlindungannya. Kasih sayang yang tak terperi lagi baginya. Keremajaannyalah yang menuntutnya untuk berpisah dengan orang tua, kakak, dan adik-adiknya. Babi sudah harus bisa dan berani menentukan langkahnya sendiri. Masa depannya. Untuk selanjutnya, nantinya rencananya berkeluarga, memiliki anak, lalu menimang dan mengajari mereka bagaimana bertahan hidup di tengah belantara kehidupan yang demikian keras.

Larinya pun sedikit melambat hingga berhenti, tepat di pinggir danau lalu membalikkan tubuh ke arah berlawanan ketika babi lari tadi. Si anjing pun melambatkan lari hingga berhenti sejarak dua depa dengan si babi. Napas keduanya sama-sama memburu. Liur pun deras menetesi bumi. Mata si babi yang tadinya ketakutan, kini tak lagi. Keberanian terpancar dari sana. Tak ada ruang baginya untuk melarikan diri selain menghadapi. Sementara itu, si anjing tetap pada pendiriannya untuk segera menerkam si babi. Matanya nyalang. Merah. Pada detik berikutnya, kedua tubuh sebaya itu pun melesat. Si babi menyodorkan kepalanya untuk menyeruduk, si anjing yang sudah berpengalaman dengan teknik bertempur seekor babi segera menggeser sedikit kepalanya ke samping untuk menancapkan taring-taringnya di leher si babi.

Keduanya rubuh di tanah. Leher itu telah berada dalam genggaman mulut si anjing. Pemberontakan sekuat tenaga si babi menyisakan kekuatannya untuk serangan selanjutnya. Tak lama. Lepas. Luka menganga membuat si babi makin beringas. Darah membanjiri tanah dan tubuhnya sendiri. Si babi segera berbalik dan menyerudukkan kepalanya ke arah perut si anjing dengan kekuatan penuh. Si anjing pun melolong tak berkesudahan. Anjing itu merasakan di dalam perutnya berantakan.

Segalanya berjalan seolah tanpa waktu. Terjadilah segala sesuatu yang memang harus terjadi. Rimba pun terdiam. Sunyi. Antara sedih dan kemakluman akan semua yang telah terjadi. Sebuah hukum alam telah ditegakkan. Tak ada yang mampu mencegah. Semesta telah bersabda atas dua kehidupan yang memang sudah waktunya untuk berhenti. Ledakan tiba-tiba menghenyakkan seluruh penghuni rimba. Suara petir yang memekakkan telinga melesat dan jatuh di antara keduanya. Sunyi. Berkaparan dua tubuh sakti yang telah berbakti pada kehidupannya sendiri. Pertahanan terakhir telah dilakukan. Tanpa upacara penguburan, tanpa ritual apa pun tubuh mereka pun membusuk bersama tanah tumpah darah terakhir.

Sementara itu, pada waktu yang sama, si majikan sibuk di dalam rumah menyiapkan sarapan bagi si anjing. Setelah diwadahkan di sebuah piring dibawanya keluar rumah. Matanya sibuk mencari di mana anjingnya berada. Dia mulai gelisah ketika mendapati anjingnya tidak kelihatan sejauh pandangan mata. Dipukulnya wadah makan si anjing sebagai tanda yang akrab bagi sebuah panggilan atas dirinya. Ditunggunya beberapa saat. Sunyi. Dipukulnya lagi wadah makan itu. Sunyi. Dia mulai berjalan pelan sambil menoleh ke sana kemari dengan harapan melihat anjingnya yang dia tahu sedang lapar.

Tak terasa langkahnya bersama suara wadah makan dipukul menghantarkannya ke tepi rimba tempat si anjing bertemu peristiwa ajalnya. Ditanyakannya kepada beberapa orang yang bertemu dengannya di sepanjang perjalanan pencariannya yang menuntunnya hingga ke tepian rimba. Termangu. “Mungkinkah dia bermain sampai sejauh ini?” batinnya. “Sangat tidak biasa anjing itu melakukan hal seperti ini. Belum pernah.” “Apa yang dicarinya dengan bermain sejauh ini?”

Kegelisahannya menuntunnya lebih dalam memasuki rimba untuk mencari semata wayangnya yang selalu setia menemaninya berburu selama ini. Tangannya masih setia memukuli wadah makan menimbulkan keriuhan rimba yang seolah berebut memberi informasi kepadanya tentang di mana keberadaan anjingnya. Bahasa rimba pun dipahaminya. Berita tentang anjingnya pun terngiang di relung kalbunya. Kekhawatirannya bukan tanpa alasan. Benar adanya berita rimba yang memasuki hatinya. Waswas.

Langkahnya makin cepat menuju tempat huruhara. Hatinya merasakan kepedihan akan kehilangan. Napasnya memburu. Makin keras tangannya memukul wadah makan, bercampur deru rimba yang semakin riuh-rendah. Teriakan-teriakan primata membangkitkan emosinya untuk segera mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Langkahnya tertuju ke arah sebuah rumah yang mulai terlihat di matanya. Pukulan atas wadah makan terdengar oleh seorang tukang kayu yang berada di atas atap rumah itu. Semakin dekat langkahnya dengan rumah yang hendak ditujunya. Tukang kayu yang berada di atas atap itu pun memandanginya dari atas sejauh jarak pandang. Rasa iba pun merambati hati si tukang kayu yang ternyata adalah jin rimba itu. Ketika melihat seorang laki-laki yang sedang menuju ke arahnya muncullah keinginannya untuk mengobati gundah hati si laki-laki dengan mengubah diri menjadi anjing persis seperti anjing yang telah dia saksikan bertarung melawan babi hutan.

Kini, laki-laki itu sudah berada di depan pintu rumah tujuannya. Dia menghentikan ketukannya atas wadah makan sang anjing. Tangannya terjulur mengetuk pintu rumah itu dengan maksud untuk menanyakan keberadaan anjingnya. Namun, diurungkannya ketika dari arah tak terduga muncullah seekor anjing berlarian menghampirinya. Anjing hasil perubahan dari jin penunggu rimba. Sebuah perubahan karena rasa kemanusiaan. Terpaku sejenak hatinya, segera dipeluknya anjing kesayangannya dengan kegembiraan tak berujung. Mata si anjing pun berbinar. Lidahnya tak henti menjilati wajah majikannya sambil mengibas-ngibaskan ekornya. Sebuah ungkapan kerinduan atas perpisahan yang telah terjadi. Seolah berbulan-bulan tak berjumpa. “Aku sudah gelisah mencarimu. Tak tahu lagi apa yang akan kulakukan kalau tak kutemukan dirimu,” kata si laki-laki pada anjingnya. Seolah mengerti kata-kata majikannya, anjing itu pun menggonggong dengan gembira, lalu menari sambil melompat-lompat.

“Ayo, kita pulang,” katanya sambil dilepasnya pelukannya pada kekasihnya. “Makananmu sudah kusiapkan sejak tadi. Ini kubawa sampai di sini.”

Laki-laki itu pun berjalan menuju rumahnya. Si anjing pun berlarian mendahului langkah sang majikan. Tak ada yang aneh dari anjing kesayangan itu. Di rumah, makanan dalam wadah tadi diletak ‘kan di serambi. Si anjing seperti memahami bahwa makanan itu adalah jatah yang semestinya dia makan. Lahap. Majikannya melihat perilakunya sambil berdiri dengan senyum mengembang. Lalu, laki-laki itu pun masuk ke dalam rumah meninggalkan anjingnya yang masih asyik melahap makanannya.

Matahari semakin tinggi. Panas makin menyengat. Danau pun semakin ramai lalu-lalang perahu. Laki-laki itu keluar rumah dengan segenap peralatan berburu. Si anjing setia mengikutinya. Tak lupa kebiasaan barunya, menggonggong lebih sering. Kebiasaan baru itu sungguh mengesalkan majikannya karena membuat binatang buruan buru-buru kabur menjauh. Sebuah kerugian yang tak terelakkan bagi sebuah perburuan di tengah rimba yang memiliki ketenangan. Hasil yang nihil. Keanehan akan perubahan si anjing ini pun sempat terlintas di dalam pikiran sang majikan. Setelah keasyikannya berada di rimba beberapa waktu yang lalu. Berubah. Perubahan yang benar-benar tidak diinginkannya.

Betapa pengaruh dari perubahan itu sungguh merugikannya. Berburu sering tanpa hasil. Selanjutnya, sangat berpengaruh dengan kondisi ekonominya. Bahkan, untuk mencukupi kesehariannya pun sekarang menjadi lebih sulit. Mengapa anjing kesayangannya itu menjadi sering menggonggong? Seperti sebuah kesenangan baru dalam hidupnya bahwa menggonggong adalah kenikmatan tersendiri bagi dunianya. Dunia baru setelah memasuki dunia rimba sendiri tanpa bersama tuannya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan anjingnya? Namun, tak pernah satu pun jawaban ketemu di dalam benak laki-laki atas perubahan yang tak terelakkan dari anjing setianya. Pasrah. Puncak kekesalan itu datang ketika laki-laki itu mengerjakan pembuatan perahu dari kayu ulin. Kesetiaan anjingnya tak diragukannya untuk menemani di mana pun ia berada. Namun, setiap kesempatan selalu berada dalam gonggongannya membuatnya gusar. Kegusaran yang memuncak menjadi emosi yang berujung penyesalan.

Bahan perahu telah disiapkan, diukur, dipotong, dibentuk sesuai dengan yang diinginkan. Puluhan baji disiapkan. Tak ketinggalan si anjing setia menunggu dan berada dalam gonggonggan yang tak kunjung putus. Di antara terik matahari dan kelelahan yang merayapi tubuhnya, suara gonggongan sangat berisik di telinganya. Darahnya mendidih. Matanya gelap tiba-tiba, yang terlihat hanyalah palu besar pemukul baji di sebelahnya. Diraihnya, diangkatnya tinggi-tinggi, sekuat harapan yang ada dihempaskannya kepala pemukul dari kayu ulin yang sangat keras itu ke arah kepala si anjing yang tak tahu-menahu apa yang bakal terjadi padanya. Tak sempat mengerang. Tak ada waktu untuk menyalak. Tak ada waktu untuk bernapas. Tak hanya sekali. Berkali-kali palu besar itu menimpa kepala si anjing malang yang telah lama berada di sisinya. Setelah benar-benar tak terdengar lagi suara gonggongan, barulah tangannya berhenti mengayun. Hasratnya telah terbayarkan. Darahnya telah menguap ke udara bersama kemarahan yang terpendam. Puas. Engahan napas yang tersisa, kini.

Bekas kemarahannya berceceran ke manamana: membasahi bajunya, tanahnya, kayunya, dan semua rencana perahunya. Dia tertegun. Penyesalan perlahan merambati relung hatinya. Sebuah perisiwa yang sungguh tak pernah dia mengerti sepenuhnya. Kematian pengikut setianya. Sebuah palu besar untuk memukul anjingnya tadi masih dalam genggamannya.Seperti tersadar, dilemparkannya palu itu ke tanah. Palu kematiannya. Terduduk di tanah. Perlahan air matanya meleleh di wajahnya. Nanar penglihatannya akan kejadian yang lewat di dalam alur kehidupannya. Penyesalan bercampur dengan kemarahan atas dirinya sendiri membuncah. Menggerakkan hidupnya untuk meraih sebuah kapak. Berdiri, diayunkannya kapak itu ke kepala palu ulin dengan maksud untuk menghancurkan kehancuran hatinya atas kematian anjing kesayangannya. Berkelebat sinar putih berkilau menuju sebuah titik kehancuran.

“Praaakkk....” Sebuah hantaman keras meluluhlantakkan palu sekeras baja di hadapannya. Terbelah. Tangannya tertahan saat mengayun untuk kehancuran kedua. Sebuah benda berkilat menggelinding keluar dari belahan palu itu. Benda sebesar telur ayam jatuh ke tanah. Terpana matanya menatap cahaya berkilauan di depannya. Kilaunya menyerang matanya dan merasuki pikirannya.

Perlahan dipungutnya sisa kekagetannya di atas tanah itu. Dilihat, diperhatikan, dan dikenalinya. Sebuah intan. Hatinya bergetar. Dijatuhkannya ke tanah. Seolah barang yang panas atau menjijikkan. Ketakutan dan khawatir merayapi hatinya bercampur-aduk dengan ketidakmengertian atas hikmah dari semua peristiwa hari ini. Terduduk dia di atas tanah dalam perenungan tak berkesudahan untuk kedua kalinya. Kematian dan intan. Dipungutnya dengan hati-hati. Dibawanya tubuhnya ke rumah beserta seluruh peristiwa siang tadi dengan sebutir intan di saku celananya sore itu. Keletihan yang akan segera dibalut senja menuju peraduan malam. Lunglai. Matahari perlahan tenggelam di cakrawala. Burung-burung pengembara mulai pulang menuju sarang. Burung-burung itu bercengkrama melepas lelah bersama keluarga setelah terbang seharian sejauh matahari berjalan. Hutan pun mulai dengan kegiatan untuk menyambut malam.

Dibaringkannya tubuh penuh tanda tanya atas peristiwa yang terjadi dalam hidupnya seharian untuk sekadar meluruskan punggung di tempat tidur. Dikeluarkannya sebutir intan segenggaman dari saku celananya. Diamati, dipikir, dan dianalisisnya, lalu dia terlelap dalam napas lembut kehampaan hatinya tanpa pengikut setia yang selalu menungguinya di bawah tempat tidurnya.

Tubuhnya gelisah saat jiwanya memasuki alam mimpi. Mimpi yang tak pernah dikehendakinya. Mimpi yang akan mengubah cara pandang atas dunianya. Sesosok orang tua mendekatinya, menemuinya. Sebuah peristiwa yang dapat dipastikan benar-benar terjadi. Peristiwa yang sama sekali tidak bernada mimpi. “Aku adalah jin yang mengubah diriku menjadi anjingmu. Anjingmu yang sesungguhnya telah mati. Anjingmu memburu seekor babi hingga jauh memasuki rimba belantara. Perkelahian tak terelakkan di tepi danau ini, di sisi lain di dalam hutan sana. Seekor babi sedang bertapa. Lalu, keduanya disambar petir dan berubah menjadi batu di tepian danau.” “Sesungguhnya, tugasku adalah menjaga intan yang ada di dalam palu kayu ulin milikmu. Sekarang, semua telah terbuka. Intan telah menampakkan dirinya di hadapanmu. Sepenuhnya menjadi milikmu. wahai manusia. Gunakanlah untuk kebajikan,” lanjut jin mewarnai alam mimpi laki-laki itu. Lalu, jin itu menghilang.

Tersentak si laki-laki setelah serpihan kisah hidupnya diulas oleh keberadaan jin yang selama ini menyertainya. Di dalam palu ulinnya. Dicarinya intan yang tadi sempat diamatinya untuk kemudian tak sadarkan diri terlelap dalam tidur. “Apa yang mesti kulakukan dengan intan ini. Mestikah kupotong? Atau, aku jual begini saja? Ah, besok saja aku putuskan,” gumamnya sambil memejamkan mata dalam lelap tidur lanjutannya. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali dengan segera dia masuk ke dalam rimba belantara menuju tempat peristiwa antara si anjing dan si babi. Didapatinya sisasisa kedua jasad hewan tanpa dosa berkaparan di atas tanah dengan darah yang sudah mengering, hitam.

Dibungkusnya bangkai babi lalu dikuburkannya. Bangkai anjing kesayangannya dibungkus, lalu dibawa pulang. Sampai di rumah, dia langsung menuju ke belakang rumah. Diletakkannya bangkai anjing yang tadi dibawa dari hutan. Diambilnya cangkul. Dibuatlah galian setinggi lutut untuk menidurkan anjing kesayangannya. Pelan. Lembut dia meletakkannya seolah tak ingin menyakiti dan membangunkan anjingnya yang telah beristirahat.

Setelah selesai, hikmat dia memandangi gundukan tanah di hadapannya. “Selamat jalan,” gumamnya dengan suara tercekat. “Aku akan selalu merindukanmu.” Dia berjalan menuju rumah. Dihempaskannya pantatnya di tangga masuk rumah. Pandangan matanya menerawang jauh masuk ke hutan. Dia mengingat kembali pengalamannya selama ini bersama kesayangannya, seekor anjing kampung yang setia ke mana pun dia pergi. Anjing itu selalu menemaninya naik turun bukit, menyusuri sungai, dan merambah belantara yang sangat pekat hingga harus bermalam di gelapnya hutan.

Anjingnya adalah penjaganya. Anjingnnya adalah teman hidupnya selama ini. Teman yang tak pernah sedetik pun jauh darinya. Teman yang tahu apa yang harus dikerjakan. Teman yang bisa menghiburnya di saat hatinya sedang sedih. Sebuah keceriaan.

Laki-laki itu menjadi seorang yang kaya raya kini. Dia menjadi terkenal di mana-mana. Kabar tentang keberadaanya yang sekarang berubah sudah didengar hampir di setiap desa. Intan yang diperolehnya dari palu kayu ulin telah mengubahnya menjadi orang yang berharta. Namun, tak lupa dengan pesan jin yang masuk ke alam mimpinya untuk menggunakannya dalam jalan kebajikan. Dia pun rajin membantu orang yang sedang dalam kesusahan. Dia membantu membangun perkampungan di mana dia tinggal. Dia berusaha mengangkat ekonomi warga kampung dengan memberi modal untuk orangorang yang membutuhkan pengembangan usahanya. Tinggal satu hal yang akan ditunaikannya, yaitu menyempurnakan perjalanan anjing kesayangannya. Tiwah. Dia akan meniwahkan anjing kesayangannya ketika waktunya sudah tepat.

Seluruh penduduk kampung sibuk pagi itu. Mereka melakukan persiapan-persiapan untuk sebuah acara besar yang akan dilaksanakan selama 7 hari 7 malam. Tiwah. Penggalian kuburan si anjing dilakukan. Seluruh tulang-belulang yang tersisa diangkat. Dikumpulkan. Dibersihkan.

Sandung telah disiapkan sebagai tempat untuk menaruh tulang-belulang yang telah diangkat. Namun, ada permasalahan yang mengganggu pikirannya. Identitas sebuah sandung diperlukan. Nama diperlukan untuk dituliskan di sandung itu nantinya. Resah. Bingung.

Di tengah kebingungannya, si laki-laki bersemadi untuk meminta petunjuk nama apa yang tepat untuk dipahatkan di sandung itu. Di tengah semadinya, dia teringat pada salah satu mimpinya ketika ditemui oleh seorang saudagar kaya dari Sungai Kahayan yang bernama Bagalah. Seorang saudagar kaya yang memberinya ilham untuk berdagang lewat mimpinya. Diputuskanlah sandung itu dipahat sebuah nama saudagar dari Sungai Kahayan yang bernama Bagalah.

Kehidupannya yang sendiri kini telah berubah, mulailah dia membina rumah tangga. Istrinya berasal dari desa tetangga. Seorang perempuan bunga desa di kampungnya. Perempuan yang banyak diperebutkan oleh laki-laki. Kecantikannya terkenal di desa-desa sekitarnya. Kulitnya kuning langsat, rambutnya hitam lebat panjang terurai, langkahnya gemulai bagai seorang puteri. Tampak dari keseluruhan penampilannya yang sangat terawat sebuah kecantikan yang benar-benar memesonakan hati siapa pun yang melihatnya. Sungguh beruntung laki-laki pemburu itu telah mempersuntingnya menjadi pasangannya.

Laki-laki beruntung yang menjadi suami perempuan itu awalnya hanyalah seorang pemburu yang keluarmasuk hutan. Kini, dia adalah seorang pedagang yang sukses. Seorang yang kaya raya dan disegani semua orang. Rumah yang dulu terbuat dari papan yang mulai rapuh dan tua serta berlubang di sana-sini sekarang menjadi rumah yang besar dan megah. Karpet-karpet yang bagus didatangkan untuk menghias lantainya.

Dinding rumah yang dulu hanya kayu hutan biasa kini diganti dengan kayu ulin pilihan. Atap rumahnya pun berubah, diganti dengan sirap kayu ulin. Tiang penyangga rumah pun diganti kayu ulin yang besar. Acara adat untuk pembangunan rumah pun digelar. Ritual dipimpin oleh seorang tetua adat yang sangat memegang tradisi dan melestarikannya. Upacara merobohkan rumah pun dilakukan. Para laki-laki bergotong-royong, bersama-sama mengerjakannya.

Setelah selesai membersihkan kayu-kayu bekas rumah yang lama, upacara peletakan tiang pertama pun dilakukan dengan hikmat. Doa-doa pun dipanjatkan agar rumah yang akan didirikan menjadikan penghuninya selamat, bahagia, dan sejahtera. Setelah keseluruhan acara adat sudah dilaksanakan, tibalah acara pesta. Seluruh penduduk desa bergembira. Makanan lengkap telah dipersiapkan sehari sebelum upacara dimulai. Para wanita secara bersama-sama mengerjakan keperluan acara adat dan pesta. Ketika pada waktunya harus dikeluarkan, semuanya sudah siap. Pada hari itu, seluruh penduduk desa benar-benar bergembira.

Keesokan harinya, sisa-sisa pesta kemarin dibenahi dan disingkirkan. Pada hari itu pembangunan rumah segera dimulai. Pembangunan rumah dikerjakan oleh para laki-laki penduduk desa. Semua yang mau ikut mengerjakan diperbolehkan dengan diberi bayaran yang memuaskan. Penduduk pun bergembira dan bersungguhsungguh saat mengerjakannya. Tetua adat pun turut memberi arahan dan menentukan ke arah mana rumah itu menghadap, kayu mana yang mesti dipasang dahulu. Bentuk rumah, pintu, dan atap semua dalam pengawasannya.

Suatu ketika, datanglah Bagalah, seorang saudagar kaya dari Kahayan yang namanya dijadikan nama sandung tempat tulang anjingnya disimpan. Dia terkejut didapatinya sebuah sandung dengan nama yang sama dengan namanya. Terlebih lagi, terdengar suara gonggongan anjing dari dalam sandung itu. Bagalah adalah pengusaha yang sangat terkenal di hampir seluruh desa mana pun. Dia berdagang ke mana pun. Rotan, getah, kayu, dan semua hasil hutan yang diperlukan oleh penduduk desa lainnya. Didengarnya kabar tentang seorang laki-laki pemburu yang sekarang menjadi kaya raya. Naluri pengusahanya tergerak untuk mendatangi dan berkenalan dengan orang itu.

Berhari-hari Bagalah melakukan perjalanan menyusuri Sungai Kahayan hingga ke Seruyan untuk menyambangi laki-laki pemburu itu. Dengan perahu besar yang penuh dengan barang dagangan dan diikuti beberapa anak buahnya, dia berlayar sambil singgah di desa-desa yang dilaluinya untuk menawarkan dagangannya. Sebuah perjalanan yang tak ‘kan sia-sia seiring waktu yang sangat panjang dan melelahkan. Dia berharap, usahanya untuk menjadikan laki-laki pemburu itu rekan usaha tidak sia-sia. Dia membutuhkan orang yang bermodal kuat untuk memperluas jaringan usahanya. Bekal yang cukup dipersiapkan. Pemeriksaan perahu sudah dilakukan. Perlengkapan perjalanan pun disiapkan. Bagalah pun segera naik ke perahu diiringi anak dan isterinya yang berdiri di tepian sungai. Para pembantunya pun dengan sigap mendorong perahu ke tengah untuk selanjutnya mereka melompat naik ke perahu dan mengendalikan laju perahu. Bagalah pun berlayar menuju tempat yang menjadi harapannya. Seruyan.

Seruyan adalah sebuah tempat yang menjanjikan baginya. Tempat yang akan memberinya keleluasaan dalam kehidupannya dengan keluasan dan besarnya usaha yang bakal dijalankannya. Keuntungan. Dalam pikirannya sudah terbayang apa yang akan dimilikinya jika berhasil mengajak laki-laki pemburu itu. Sebuah usaha besar.Barang-barang yang dibawanya dari rumah sudah berganti dengan barang-barang lain hasil berdagangnya selama di perjalanan. Sepenuh ketika dia membawa sejak awal. Danau Sembuluh mulai terlihat di matanya. Laju perahu diperintahkan untuk lebih dipercepat. Sebuah pagi yang ceria baginya dengan segala cita-citanya.

Dia segera naik ke dalam rumah yang segera disambut dengan segala keramahtamahan laki-laki itu. Pembicaraan diawali dengan perkenalan dan saling berkisah tentang perjalanan hidup masing-masing hingga menjalin persahabatan dan mulai merintis perdagangan di antara keduanya. Keresahan hatinya pun ditanyakannya kepada lakilaki itu. Nama yang sama dengan dirinya terpahat di sebuah sandung di depan rumah itu. Gonggongan yang menggetarkan hatinya pun ditanyakannya.Laki-laki pemburu meminta maaf atas ketidaknyamanan Bagalah ketika melihat keadaan itu.

Dia pun bercerita seutuhnya tentang penggunaan nama Bagalah dan suara gonggongan dari dalam sandung. Bagalah hanya mengangguk-angguk mendenngarkan cerita si laki-laki. Kemakluman atas apa yang terjadi melegakan si laki-laki yang khawatir akan membuat Bagalah tersinggung. Perkenalan, perbincangan, dan perencanaan usaha telah disusun dengan matang untuk kemudian mengantarkan Bagalah sampai pada waktu berpamitan. Dengan senyum yang lebar, Bagalah pun turun ke sungai menuju perahunya. Tersisa bayangan dan kesan mendalam di hati laki-laki pemburu ketika perahu itu hilang di balik rumpun dan pepohonan hutan. Dia pun bergegas mencari barang yang akan diperdagangkan bersama Bagalah. Waktu yang ditentukan untuk pengambilan barang-barang itu sudah ditentukan. Dia harus bergerak cepat untuk mendapatkan semuanya.

Laki-laki itu menunggu di ruang tamu rumah yang kini telah berubah menjadi sebuah rumah yang bagus dan indah. Sebuah ketukan di pintu rumahnya membangunkannya dari duduk. Segera dibukanya pintu rumah dan didapatinya Bagalah telah berdiri dengan senyum lebar. Kali ini, Bagalah membawa rotan, damar, dan getah.

Sementara, si laki-laki menyediakan pesanan Bagalah berupa ikan kering, gula, garam, dan bahan-bahan makanan. Perdagangan pun dimulai. Keduanya samasama senang dan bahagia. Perdagangan yang mereka lakukan terus berkelanjutan hingga menjadikan keduanya semakin kaya raya dan makin dihormati di mana-mana. Berkalikali keduanya saling kunjung ke rumah masing-masing Di tengah kebahagiaan mereka, ada satu hal yang menjadikan Bagalah risih dan resah. Suara gonggongan yang selalu terdengar nyaring di telinganya tiap kali dia melewati sandung di depan rumah si laki-laki sahabatnya. Hari itu, kekesalannya sudah tak tertahankan lagi. Sumpah-serapah meluncur deras dari mulutnya demi mendengar suara gonggongan untuk yang ke sekian kalinya membuatnya mencabut tiang sandung dengan sekuat tenaga dan melemparkannya ke udara sejauh-jauhnya.

Terengah-engah napasnya antara emosi yang memuncak dengan pengerahan tenaga sekuat-kuatnya. Dia pun sudah tidak peduli lagi ke mana perginya tiang sandung yang dilemparkannya. Tiang itu seperti digerakkan oleh tangan tak terlihat meluncur menuju tempat peristiwa hidup dan mati antara si anjing dan si babi. Jatuh di air dekat batu babi dan anjing. Pelan tetapi pasti, tiang itu terbenam ke dalam air hingga tak kelihatan lagi. Tenggelam di Danau Sembuluh.

Sejak saat itu, penduduk sekitar Danau Sembuluh akan sangat gembira jika sedang menjala ikan di sekitar tempat jatuhnya tiang sandung dan mendapatkan serpihan kayu ulin. Mereka meyakini bahwa serpihan kayu ulin itu dapat dijadikan jimat untuk berdagang. Hingga sekarang keturunan laki-laki pemburu pemilik anjing masih ada. Mereka memiliki ciri khusus yang berupa ruas tulang punggung yang agak panjang hingga seperti ekor

Ditulis oleh: Noor Hadi, M.Pd Distribusi oleh: Kemendikbud

DISKUSI


TERBARU


Ulos Jugia

Oleh Zendratoteam | 14 Dec 2024.
Ulos

ULOS JUGIA Ulos Jugia disebut juga sebagai " Ulos na so ra pipot " atau pinunsaan. Biasanya adalah ulos "Homitan" yang disimp...

Tradisi Sekaten...

Oleh Journalaksa | 29 Oct 2024.
Tradisi Sekaten Surakarta

Masyarakat merupakan kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia saling terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyar...

Seni Tari di Ci...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Seni Tari Banyumasan

Seni tari merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Cilacap. Tari-tarian tradisional yang ber...

Wayang Banyumas...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Wayang Banyumasan

Wayang merupakan salah satu warisan budaya tak benda Indonesia yang memiliki akar dalam sejarah dan tradisi Jawa. Sebagai seni pertunjukan, wayang te...

Ekspresi Muda K...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Ekspresi Muda Kota

Perkembangan teknologi yang semakin pesat tidak hanya ditemui pada bidang informasi, komunikasi, transportasi, konstruksi, pendidikan, atau kesehatan...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...