|
|
|
|
Karena Berebut Kelekak Tanggal 25 Feb 2021 oleh Widra . |
Ribuan tahun yang lalu Pulau Bangka begitu indah dan memesona. Tanahnya subur. Berbagai jenis pohon tumbuh menghijau sejauh mata memandang. Pantainya berpasir putih dan sangat bersih. Air lautnya berwarna biru, jernih, tenang, dan menyejukkan mata. Suara ombaknya terdengar merdu memecah kesunyian alam. Keindahannnya sungguh menggugah jiwa dan seakan-akan mengundang kita agar selalu memandang dan menikmatinya.
Pada waktu itu hanya ada beberapa kampung di pulau itu. Penduduknya pun tidak banyak. Mereka hidup dengan damai dan sejahtera. Tidak pernah terjadi permusuhan antara kampung yang satu dengan kampung yang lain. Semua kebutuhan mereka dipenuhi oleh alam sekitarnya. Ada padi, jagung, ubi, sayur-sayuran, dan buah-buahan yang tumbuh dengan subur. Apa yang mereka tanam selalu tumbuh dengan baik walau tanpa pupuk. Sungainya jernih sehingga terlihat banyak ikan bergerombol kian kemari. Penduduk dapat menangkapnya dengan memancing atau dengan memakai lukah (alat tangkap khusus yang terbuat dari bambu atau lidi pohon enau).
Dari sekian kampung itu, ada satu kampung yang letaknya agak terpencil dari kampung lainnya. Wilayahnya dikelilingi bukit dan hutannya masih sangat lebat. Di sana tinggalah beberapa penduduk yang dikepalai oleh ketua adat yang bernama Datuk Legam. Seperti kampung lainnya, kampung ini juga memiliki sebuah kelekak, yaitu hutan yang sangat luas dan ditumbuhi oleh bermacam pohon buahbuahan: durian, mangga, jeruk, rambutan, duku, langsat, manggis, cempedak, binjai, dan banyak pohon lainnya. Pada saat musim tertentu pohon-pohon di kelekak berbuah dengan lebat.
Dalam kelekak hidup bermacam jenis binatang. Ada burung, siamang, tupai, kera, lutung, dan binatang lainnya. Binatang-binatang itu hidup bergerombol dan selalu bersama-sama. Mereka hidup dengan bebasnya. Berbagai jenis burung beraneka warna terbang ke sana kemari dan hinggap di atas pohon yang mereka sukai. Siamang bergelantungan di atas dahan-dahan pohon yang besar. Di waktu-waktu tertentu mereka mengeluarkan suara memecahkan kesunyian alam sebagai tanda mereka gembira. Tupai melompat dengan lincahnya dari satu pohon ke pohon yang lain. Mereka seperti tidak pernah merasa lelah. Kera dan lutung juga lincah melompat dari satu pohon ke pohon yang lain, tetapi tidak secepat tupai. Mereka sering secara bersamaan meloncat dari satu pohon ke pohon yang lain. Karena badan mereka agak besar, dahan pohon yang mereka pegang seaka-akan mau patah.
Di atas pohon berbagai jenis burung berkicau dan hidup dengan bebasnya. Babi hutan, tupai, kelelawar, dan siamang hidup dengan nyaman dan damai. Pada bagian tertentu di hutan tersebut, tinggal sekelompok lutung dan kera. Mereka hidup bergerombol dalam kelompok dengan pimpinannya masing-masing.
Dahulu kala binatang-binatang itu bisa bercakapcakap. Kera dan lutung termasuk kelompok binatang yang suka memberi upeti kepada ketua adat. Kera dan lutung adalah binatang yang suka makan buah-buahan. Hidupnya bergantung pada alam di sekitarnya. Kera memiliki kebiasaan memetik buah-buahan ketika sudah besar dan matang, sedangkan lutung sangat rakus. Buah-buahan dipetiknya sembarangan. Lutung suka membuang-buang buah-buah itu sehingga berserakan di bawah pohon. Yang sudah masak dimakandan yang masih mentah dibuang. Sifat lutung seperti itu tidak disukai kelompok kera dan kelompok binatang lainnya. Mereka sangat kesal karena kebanyakan buah- buahan belum matang sudah dipetik dan dirusak oleh lutung.
Berhari-hari kelakuan kelompok lutung tidak berubah. Kelompok kera semakin tidak senang. Semua penghuni hutan juga resah karena buah yang masak sulit dicari.Buah yang masih mentah sudah dipetik kelompok lutung. Kelompok burung, tupai, dan kelelawar harus berebut karena buah yang masak terbatas. Semua binatang tidak suka dengan kelakuan lutung itu. Bahkan, ada yang ingin mencelakakan kelompok lutung supaya tidak melakukan perbuatan yang tidak baik. Akan tetapi, kelompok lutung pintar dan tidak dapat dicelakakan.
“Ini sudah tidak bisa didiamkan,” kata ketua kera dalam hati. “Saya harus berbuat sesuatu untuk menghentikannya.” Tanpa pikir panjang pada hari itu juga dia dan beberapa kera lainnya menemui kelompok lutung. Dia akan meminta agar kelompok lutung mengubah kelakuannya. Ketika sudah sampai di tempat kelompok lutung, mereka melihat kelompok lutung sedang bersantai di atas pohon. Kedatangan kelompok kera tidak dihiraukan kelompok lutung. Mereka tetap santai saja di atas pohon. Mereka menggangap itu kejadian biasa. Selama ini kelompok kera juga sering melewati tempat mereka tinggal. Begitu pun mereka juga sering melewati tempat kelompok kera tinggal.
Sesampainya di bawah pohon para lutung bersantai, kelompok kera berhenti dan memandangi kelompok lutung yang lagi seperti bermalas-masalan. Sebagian dari mereka terlihat makan buah-buahan. Kelompok lutung tidak menyadari bahwa kelompok kera akan menemui mereka. Sesampai di bawah pohon tempat ketua lutung bersantai, ketua kera meminta ketua lutung turun. “Saudara Lutung, bisa turun sebentar.” Ketua lutung tetap bersantai saja seperti tidak mendengar suara ketua kera. “Saudara Lutung, bisa turun sebentar,” kata ketua kera lagi dengan suara agak keras. Ketua lutung memandang ke bawah dan melihat ketua kera. Dia tidak mau turun karena merasa malas. Karena itu, dia meminta ketua kera ke atas saja. “Saudara Kera, saya lagi malas turun, naik saja ke tempat saya ini,” pintanya. “Sombong sekali ketua lutung ini,” gumamnya agak kesal dalam hati. Ketua kera dengan merasa terpaksa naik ke tempat ketua lutung yang lagi bersantai di sebuah dahan yang cukup kuat dan lebar. Sesampainya di atas, ketua lutung menyambutnya.
Silakan duduk, Saudara! Maafkan saya lagi malas turun. Apalagi sekarang waktunya bersantai di atas pohon ini. Tempat ini begitu menyenangkan. Coba lihat pemandangannya begitu indah dari sini ‘kan!” Ketua kera pun berkata dalam hati, “Tempat saya justru lebih bagus dari ini.” Namun, dia tidak mau menyombongkan tempatnya yang lebih bagus dari tempat lutung. Dari tempatnya terlihat dengan sangat jelas laut yang sangat biru, pantai berpasir putih, dan ombaknya berkejaran kian-kemari. “Ada apa, Saudara? Tidak biasanya Saudara ke tempat saya ini,” kata ketua lutung. Ketua kera mencoba menahan diri untuk tidak emosi atas kesombongan ketua lutung ini. Dia menjawab pertanyaan ketua lutung dengan nada datar saja. “Saudara Lutung, saya ke sini, selain berkunjung, juga menyampaikan sesuatu.” ‘’O, ya. Silakan sampaikan saja! Mana tahu saya bisa membantu.” ‘’Saya ke sini memang meminta tolong.” “Kalau begitu, katakan saja.” “Begini, Saudara, akhir-akhir ini kami kesulitan mendapatkan buah-buahan yang masak yang ingin kami makan. Semuanya sudah dipetik oleh kelompok lutung.” Karena mendengar kata buah-buahan, ketua lutung ingat bahwa buah-buahan telah dipetik sesukanya oleh kelompok lutung. Dia sudah mengingatkan dan memerintahkan kepada semua lutung agar memetik sesuai dengan kebutuhan saja. Namun, kelompok lutung tidak peduli akan peringatan dan perintahnya. Dia pun merasa kesulitan untuk mengubah sifat rakus kelompok lutung. “Ketua kera, kami memang telah memetik buah-buahan sesuka hati. Saya sebagai pimpinan tidak kuasa melarangnya.” Ketua kera terdiam sejenak. Dalam hatinya dia berkata, “Apa benar ketua lutung mengingatkan dan memerintahkan kepada kelompok lutung seperti itu. Rasa-rasanya tidak mungkinlah kelompok lutung tidak mau menuruti perintah pimpinannya. Jangan-jangan ketuanya membiarkan saja.” Berbagai pikiran negatif muncul dalam benak ketua kera. Dia berkesimpulan kelompok lutung memang bersifat seperti itu, termasuk ketuanya sendiri. “Saudara Lutung, kami terus terang tidak suka dengan perbuatan para lutung. Kita bersaudara di kelekak ini. Kami ingin kita hidup damai, saling membantu, tidak rakus, dan saling menghormati.”
Ketua lutung terdiam sejenak. Dia menyadari sifat lutung ini merugikan kelompok binatang yang lain. Dia akan mengingatkan kembali kelompok lutung agar memetik buah sesuai kebutuhan saja, tidak rakus, dan memetik yang sudah masak saja. “Saudara Kera, saya akan mengingatkan kembali kelompok lutung supaya memetik buah sesuai kebutuhan dan yang telah masak saja.” “Baiklah Saudara Lutung, terima kasih atas pengertianmu.” “Sama-sama,” kata ketua lutung pula.
Setelah pertemuan itu, ternyata tidak ada perubahan sifat kelompok lutung. Bahkan, mereka berbuat lebih serakah lagi. Oleh karena itu, ketua kelompok kera mengajak ketua kelompok burung, ketua kelompok tupai, dan ketua kelompok kelelawar berembuk untuk mencari pemecahan masalah kelakuan lutung itu.
Akhirnya, para ketua kelompok binatang berkumpul. Mereka bermusyawarah mencari jalan terbaik untuk menghentikan perbuatan kelompok lutung. “Apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan kelakuan lutung ini?” tanya ketua kera. Semua ketua kelompok binatang lainnya terdiam dan saling memandang. Mereka bingung. Mereka seperti tidak mampu memberikan pendapat. Karena itu, ketua kera berkata lagi. “Karena kita semua bingung, bagaimana kalau kita menghadap ketua adat saja, Datuk Legam?” Mendengar usul ketua kera, semua ketua binatang seperti tersentak dan langsung setuju. “Setuju!” kata ketua kelelawar dengan suara agak keras dan lantang. “Setuju!” kata ketua binatang lainnya secara serentak dan dengan suara keras dan lantang.
Pada hari yang sudah ditentukan, para ketua kelompok binatang menghadap ketua adat, Datuk Legam. Datuk Legam menyambut mereka dengan baik. Setelah bertegur sapa, pemimipin kera menyampaikan maksud kedatangan mereka. “Yang mulia, kami datang menghadap dengan maksud tertentu,” kata ketua kera. “Mmm, ya, apakah kalian akan memberi upeti?” tanya Datuk Legam. Datuk legam bertanya demikian karena selama ini mereka sudah biasa memberi upeti kepada Datuk Legam, seperti buah-buahan segar atau benda-benda lainnya. Pemberian ini sebagai bentuk penghormatan kepada Datuk Legam sebagai penguasa semua yang ada di kampung itu. “Bukan, Yang Mulia.” “Lalu, kalau bukan, apa maksud kedatangan Saudara-saudara?” “Begini, Yang Mulia, kami tidak senang dengan perbuatan kelompok lutung.” “Apa yang dilakukan kelompok lutung?” “Kelompok lutung memetik buah sembarangan dan membuang-buangnya,Yang Mulia.” Datuk Legam juga melihat apa yang terjadi di kelekak. Buah-buahan berserakan di mana-mana, baik yang muda maupun yang tua atau masak. Juga terlihat buah yang sudah dimakan sebagian dan yang masih utuh. Dia pun melihat bagaimana rakusnya lutung dan bagaimana kera dalam memilih dan memakan buah yang sudah masak saja. “Yang Mulia, kami resah dengan perbuatan kelompok lutung.” “Ya, Yang Mulia,” kata ketua kelompok tupai dan kelelawar. “Ya, ya, ya, saya juga melihat dan sudah lama mengamatinya,” kata Datuk Legam lagi. “Apa yang harus kita lakukan, Datuk?” tanya ketua kera lagi. “Saya sebagai ketua adat juga sedang memikirkan apa yang harus dilakukan.” “Datuk, saya sebenarnya sudah mengingatkan dan menasihati kelompok lutung agar tidak membuang-buang buah dan makan buah yang masak saja, tetapi kelompok lutung tidak peduli. Mereka bahkan memusuhi kami.” Datuk Legam dan ketua kelompok binatang terdiam sejenak. Mereka mencoba berpikir apa yang harus dilakukan. Tak lama kemudian, Datuk Legam bicara lagi. “Jalan satu-satunya yang bisa kita tempuh adalah mengusir kelompok lutung dari kelekak.”
Ketua kera dan ketua bintang lainnya saling berpandangan. Mereka merasa kehilangan juga kalau kelompok lutung tidak ada di kelekak. Akan tetapi, mereka dihadapkan pada pilihan. Mengusir kelompok lutung atau makanan mereka tidak ada atau rusak.
“Setuju!” seru ketua kera dengan suara keras dan lantang. “Setuju!” kata ketua binatang lainnya secara serentak dan dengan suara keras dan lantang pula. “Jika kita setuju, bagaimana cara mengusirnya?” tanya Datuk Legam. Ketua-ketua kelompok binatang terlihat bingung dan saling berpandangan. Ketua kera, ketua burung, dan ketua kelelawar mencoba memikirkan jalan terbaik mengusir kelompok lutung. “Bagaimana, ya, cara mengusirnya?” tanya ketua kera dalam hati. Pertanyaan yang sama juga ada dalam hati setiap ketua binatang. Tiba-tiba ketuaburung bicara. “Yang Mulia, menurut saya, lutung kita usir dengan cara baik-baik saja.” “Cara baik-baik bagaimana maksudnya?” tanya Datuk Legam. “Yang Mulia memanggil ketua lutung, lalu berikan peringatan sampai tiga kali. Jika tidak berubah kelakuannya, baru kita usir mereka. ”Usul ketua burung menurut Datuk Legam bagus dan masuk akal. “Yang Mulia, saya kurang setuju dengan usul ketua burung karena kelompok lutung sombong dan tidak mau dinasihati,” kata ketua kera. “Jika kurang setuju, apa usul, Saudara?” “Bagaimana kalau kita adakan sayembara? Siapa yang kalah diusir dari kelekak,” kata ketua kera. “Sayembara apa?” tanya Datuk Legam. “Teka-teki, Yang Mulia. Yang salah menjawab kita usir dari kelekak.” “Kalau benar terus jawabannya, bagaimana?” tanya Datuk Legam lagi. “Nah, di sinilah kita mengatur siasat.” “Maksudnya?” “Kita berikan teka-teki terakhir walaupun benar kita anggap salah dengan alasan yang jelas.” Setelah berunding beberapa lama, akhirnya diputuskan usul ketua kera yang digunakan. Karena usul ketua kerayang disetujui, ketua kera yang akan bertanding melawan ketua lutung. “Nah, karena kita sudah sepakat mengusir kelompok lutung dengan siasat, saya minta ketua kera akan bertanding dengan ketua lutung.” Secara serempak ketua tupai, ketua burung, dan kelelawar mengatakan, “Setuju!”
Datuk Legam memerintahkan kelompok burung untuk menginformasikan perihal sayembara itu kepada ketua lutung. Pada hari yang sudah ditentukan kelompok burung pergi ke tempat kelompok lutung. Ketika kelompok burung datang, kelopok lutung terlihat bersantai-santai lagi di atas pohon. Kelompok lutung pun menyangka kelompok burung hanya hinggap sementara di pohon tempat mereka tinggal. Namun, tanpa diduga ketua kelompok burung menyapa ketua kelompok lutung yang sedang bersantai.
“Saudara Lutung, boleh saya menganggu ketenangan Saudara sebentar?” “O, ya, silakan!” “Ah, paling juga permintaan yang sama dengan yang disampaikan ketua kera beberapa hari yang lalu,” gumamnya dalam hati. “Saudara Lutung, kami ke sini tentu ada maksud.” “Saya sudah tahu, meminta kami mengubah perilaku ‘kan? Tempo hari ketua kera juga sudah menyampaikannya.” “Bukan itu, kami ke sini menyampaikan perintah Datuk Legam.”
Setelah mendengar kata perintah Datuk Legam, ketua lutung agak kaget dan bertanya-tanya dalam hati, “Perintah apa, ya?” “Begini, Saudara Lutung,” Datuk Legam meminta Saudara Lutung mengikuti sayembara.” “Sayembara?” “Ya, sayembara.” “Sayembara apa?” “Teka-teki?” “Oh itu kecil, saya ini pintar dan tak pernah terkalahkan.’’ Setelah mendengar kata ketua lutung, ketua burung ingat apa yang dikatakan ketua kera. “Benar kata ketua kera, ketua lutung ini sombong,” katanya dalam hati. “Kapan akan diadakan?” tanya ketua lutung. “Hari Minggu di lapangan terbuka.” “Siapa yang akan saya lawan?” “Ketua kera.” “O, hanya ketua kera, selama ini saya sering bertekateki dengannya. Saya selalu menang.” “Apa hadiahnya?” “Tidak ada hadiah.” “Kalau tidak ada hadiah, untuk apa sayembara itu diadakan?” “Hadiah memang tidak ada, tetapi ada sanksi bagi yang kalah?” “Sanksi apa?” “Yang kalah akan diusir dari kelekak .” “Ha..., ha..., ha..., saya pasti menang. Saya senang kera terusir dari kelekak. Selama ini mereka memusuhi kami.” Ketika mendengar ketua lutung tertawa, ketua burung benar-benar tahu bahwa ketua lutung ini sombong, angkuh, dan mau menang sendiri. “Baiklah, ketua lutung, kami pamit, terima kasih. Sampai bertemu di arena sayembara.” “Baiklah.”
Pada hari yang sudah ditentukan sayembara dilaksanakan. Semua penduduk dan semua binatang telah berkumpul di tempat sayembara. Terlihat ketua kera dan ketua lutung duduk di atas batu yang telah ditentukan. Mereka dalam posisi berhadap-hadapan. Datuk Legam bertindak sebagai juri dan sekaligus sebagai pemberi pertanyaan. Posisi Datuk Legam berada di tengah, yaitu antara ketua kera dan ketua lutung. Dia duduk di atas batu yang lebih tinggi daripada batu ketua kera dan ketua lutung.
Sebelum mulai Datuk Legam berpidato serta menyebutkan ataurannya. “Saudara-saudara sekalian, hari ini kita akan menyaksikan adu kecerdasan antara ketua kelompok kera dan ketua kelompok lutung. Mereka akan saya berikan pertanyaan-pertanyaan. Siapa yang bisa menjawab dengan benar semua pertanyaan yang saya berikan dialah pemenangnya. Adu kecerdasan ini tidak ada hadiahnya, tetapi ada sanksinya, yaitu diusir dari kelakak bagi yang kalah.”
Semua penonton bersorak-sarak setelah mendengar pidato Datuk Legam. Setelah berpidato, Datuk Legam membuka sayembara dengan memukul gendang dan gong. Sayembara adu kecerdasan antara Ketua Kelompok Kera dan Ketua Lutung dimulai. Penonton bersorak-sorak dan bertepuk tangan. Datuk Legam bertanya terlebih dahulu kepada kedua peserta. “Ketua Kera, Ketua Lutung, sudah siap?” “Siap Datuk,” kata kedua ketua binatang itu secara bersamaan.
Pertanyaan demi pertanyaan diajukan oleh Datuk Legam kepada Ketua Kera dan Ketua Lutung. “Ini pertanyaan pertama untuk ketua kelompok kera.” “Apa warna buah duku yang sudah masak?” “Kuning muda,” jawab Ketua Kera. “Benar,” kata Datuk Legam. Semua bertepuk tangan mendengar jawaban Ketua Kera. “Ini pertanyaan untuk Ketua Lutung. “Apa warna buah manggis yang sudah masak?” “Cokelat kehitam-hitam,” jawab ketua kelompok lutung. “Benar,” kata Datuk Legam. Semua penonton bertepuk tangan mendengar jawaban Ketua Lutung. “Pertanyaan berikut untuk Ketua Kera. Bagaimana cara mengetahui jumlah isi atau bagian manggis tanpa dibuka?” Ketua Kera berpikir sejenak. “Bagaimana ya cara mengetahui jumlah isi manggis?” tanyanya dalam hati. Karena belum ada jawaban Ketua Kera, Datuk Legam berkata lagi. “Ada berapa Ketua Kera? Waktumu tinggal dua menit lagi.”
Ketua Kera pun terlihat agak kebingungan menjawab. Penonton tegang karena mereka tidak mau Ketua Kera kalah dan diusir dari kelekak. Kelompok kera adalah kelompok bintang yang baik selama ini. Tiba-tiba dia ingat ketika memetik dan membuka buah manggis yang masak bersama teman-temannya. Ia sering menghitung-hitung isi manggis tanpa membukanya dengan cara menghitung bentuk gambar isi manggis di kulitnya bagian bawah. Terkadang isinya lima, terkadang enam, dan jarang sekali berisi lebih dari enam dan kurang dari lima. Bahkan selama ini dia selalu mendapatkan buah manggis yang isinya selalu lima.Tanpa pikir panjang lagi dia menjawab pertanyaan Datuk Legam.
“Caranya dengan menghitung jumlah bagian gambar isi manggis di bagian kulit bawah Datuk.” “Benar,” kata Datuk Legam. Semua penonton bertepuk tangan dan bersorak ketika mendengar jawaban Ketua Kera. “Pertanyaan berikut untuk Ketua Lutung. Bagaimana mengetahui isi duku yang berbiji pahit atau tidak tanpa memakannya?” Ketua Lutung berpikir sejenak, “Bagaimana yang cara mengetahuinya ya?’’ Dia mencoba mengingat-ingat duku yang berbiji ketika dimakannya ada yang pahit dan ada yang tidak. Dia pun ingat bahwa biji duku yang berbiji pahit ketika dipegang sangat keras, sedangkan yang berbiji tidak pahit terasa lembut. Dia pun segera menjawab. “Yang berbiji pahit ketika dipegang sangat keras, sedangkan yang berbiji tidak pahit ketika dipegang lembut.” Semua penonton bertepuk tangan mendengar jawaban Ketua Lutung. “Hebat lutung ini,” kata para penoton. “Dia memang lebih cerdas dari kera,” kata yang lain. “Untung kera masih bisa menjawab pertanyaan Datuk Legam tadi,” kata penonton lainnya. “Pertanyaan berikutnya untuk ketua kera. Apa warna isi durian yang sudah masak?” “Ada yang putih dan ada yang kuning,” jawab ketua Kera. “Benar,” kata Datuk Legam. Semua penontong bertepuk tangan lagi. Pertanyaan berikut untuk ketua lutung. Apa warna isi buah mangga?” “Putih kalau masih muda dan kuning kalau sudah masak,” jawab ketua lutung. “Benar,” kata Datuk Legam.
Semua bertepuk tangan mendengar lagi. Pertanyan demi pertanyaan diajukan Datuk Legam kepada kedua ketua kelompok binatang itu. Jawabannya selalu benar seperti tidak ada yang akan kalah. Tibalah pertanyaan terakhir, yaitu pertanyaan yang sama untuk keduanya.
“Kalau ada sebuah durian jatuh di kelekak yang kita miliki, bagaimana bunyinya?” Dengan penuh kegembiraan dan percaya diri dan suara lantang Ketua Lutung menjawab, “Kalau durian jatuh di kelekak, bunyinya krasaaak gedebuk,” jawab lutung. Setelah ketua lutung menjawab, ketua kera menjawab, “Jawaban yang benar adalah jawaban ketua kera,” kata Datuk Legam.
Lutung protes mengapa jawaban kera yang benar. Datuk Legam menjelaskan bahwa bunyi gedebuk adalah bunyi durian jatuh, sedangkan krasak, saak, saak adalah bunyi kera yang berjalan menginjak semak. Lutung tidak terima. Itu alasan yang dibuat-buat katanya. Sebenarnya jawaban lutung benar, tetapi karena sudah ada kesepakatan antara Datuk Legam dengan ketua kera bahwa jawaban lutung harus disalahkan.
Lutung pun di usir dari kelekak. Dengan perasaan tidak senang dan terpaksa, kelompok lutung meninggalkan kelekak. Mereka mengembara ke dalam hutan lain untuk mencari kebutuhan mereka. Kepergian kelompok lutung membawa kebahagian kelompok kera dan kelompok binantang lainya karena tidak ada lagi yang mengganggu atau merusak buah-buahan. Akan tetapi, mereka juga merasa kehilangan karena tidak ada lagi kelompok lutung di kelekak. Sebenarnya mereka sedih tidak ada lagi kelompok lutung di kelelak. Namun, demi kelestarian dan ketersediaan makan yang baik, mereka terpaksa mengusir lutung dari kelekak.
Semenjak kelompok lutung tidak ada di kelekak, semua kelompok binatang pemakan buah hidup dengan damai dan tidak kekurangan makanan yang baik. “Alhamdulillah, kelompok lutung tidak ada lagi. Buahbuahan kita tidak ada lagi yang dipetik sembarangan dan dibuang-buang begitu saja,” kata ketua kera kepada ketua kelompok burung ketika sama-sama memetik buah. “Alhamdulillah,” kata ketua kelompok burung pula. Datuk Legam juga merasa senang dengan kedamaian yang ada di kelekak.
Beberapa hari setelah lutung meninggalkan kampung, ada kejadian aneh ketika anak gadis Datuk Legam memasak gulai ikan di dapur. Terdengar suara aneh ketika gulai diaduk-aduk. Bunyinya sangat aneh. “Nyit, nyit, legam belit, nyit, nyit legam belit, nyit, nyit, datuk legambelit!” Anak Datuk Legam terkenjut mendengar bunyi seperti itu. Lalu dia berteriak memanggil ayahnya. Datuk Legam dengan segera menghampiri anaknya yang sedang memasak di dapur. “Ada apa anakku?” tanya Datuk Legam. “Itu Ayah,” sambil menunjuk masakan ikan dalam kuali. “Kenapa dengan masakannya?” “Bunyi suara, bunyi suara,...” “Bunyi suara, bunyi suara apa?” “Bunyi suara aneh Ayah.” “Bunyi suara aneh bagaimana?” “Bunyi suara aneh ketika masakan itu diaduk.” Datuk Legam heran dan meminta anaknya mengaduk kembali gulai itu. Ketika diaduk terdengar oleh Datuk Legam bunyi aneh itu “Nyit, nyit, Legam belit, nyit, nyit Legam belit, nyit, nyit, Datuk Legam belit.”
Setelah mendengar bunyi itu yang mengatakan dirinya belit atau curang, perasaan Datuk Legam tidak menentu dan marah. Dia ingat bahwa dia memang telah berbuat curang kepada kelompok lutung. Namun, marahnya masih bisa dia tahan. Dia pun penasaran terhadap bunyi itu, lalu mengambil alat pengaduknya. Dengan hati-hati dan pelan-pelan dia pun mengaduk gulai ikan putrinya. Terdengar pula olehnya dengan pelan bunyi aneh itu.
“Nyiiiiit, nyiiiiit, Leeegaaam beeeeliiiit, nyiiiiit, nyiiiiit. Leeegaaam beeeliiiit, nyiiiit, nyiiiit, Daatuuuk Leeegaaam beeeliiit.”
Karena mendengar suara itu lagi, Datuk Legam mulai tidak mampu menahan marahnya. Dia aduk sekecangkencanganya masakan itu. Suara aneh itu makin kencang pula kedengaranya. Bahkan, bunyinya kedengaran sampai ke sekeliling kampung. Semua penduduk dan kelompok binatang mendengarnya. “Suara apa itu?” kata mereka. “Sepertinya dari rumah Datuk Legam,” kata yang lain. “Benar,” kata yang lain lagi.
Mereka semua heran atas suara itu. Karena tidak mampu menahan marah, Datuk Legam menendang kuali tempat gulai di atas api yang sedang membara. Karena dalam kondisi sangat marah, justru tertendang bukan hanya kuali dan gulai, melainkan juga bara api ikut tertendang ke mana-mana. Bara api terpelanting sampai ke atap rumah mereka yang terbuat dari daun rumbia yang sudah mengering. Dalam sekejap bara api menjalar dan membakar rumah Datuk Legam.
Datuk Legam panik dan semua penduduk serta kelompok binatang juga panik melihat api membakar rumah Datuk Legam. Api makin lama makin membesar. Datuk Legam dan semua penduduk juga makin panik. Begitu pula dengan semua binatang. Mereka tidak mungkin memadamkan api yang sudah begitu besar. Api pun menjalar ke rumah-rumah lainnya. Datuk Legam dan semua penduduk serta semua kelompok binatang lari kucar-kacir menyelamatkan diri. “Kebakaran, kebakaran, kebakaran,” kata mereka secara bersahut-sahutan sambil berlari kian kemari. “Ayo lari ke tempat yang aman,” kata Datuk Legam.
Mereka berlarian ke arah yang tidak terbakar. Pada waktu bersamaan angin bertiup kencang sehingga semua rumah dan seluruh isinya habis terbakar. Tidak hanya itu kelakak tempat buah-buahan yang diperebutkan Kera dan Lutung juga ikut terbakar. Mereka dengan sedih menyaksikanrumah dan tempat yang selama ini meraka diami habis terbakar.
Karena sudah habis terbakar, Datuk Legam dan semua penduduk di kampung itu pergi mengembara. Kelompok kera dan kelompok binatang lainnya juga ikut mengembara. Sebelum mengembara Datuk Legam meminta maaf kepada semua penduduk dan kelompok binatang. “Saudara-saudara, saya mohon maaf atas terbakarnya rumah dan semua yang kita miliki selama ini. Ini adalah salah saya karena tidak bisa menahan marah. Saudara tentu mendengar suara aneh dalam masakan anak saya. Saya dikatakan curang. Ini adalah tanda bahwa kita tidak boleh curang kepada siapa pun.” “Ya, Datuk, kami pun juga minta maaf. Ini bukan salah Datuk saja. Ini salah kita semua yang ingin mengusir kelompok lutung dari kelekak,” sahut ketua kera. “Benar, Datuk. Ini sudah takdir kita,” sahut ketua kelompok burung pula. “Baiklah, jika semua sudah memaafkan saya. Mari kita mulai hidup baru. Kita harus mengembara. Tidak mungkin kita hidup di sini lagi. Mudah-mudahan setelah terbakar ini, kampung kita ini tumbuh subur lagi. Suatu saat kita akan kembali ke sini.” “Ya Datuk,” sahut mereka hampir bersamaan. Mereka mengembara tidak tahu arah. Yang penting terus berjalan, mendaki bukit, menuruni lembah, dan menyeberangi sungai. Yang mereka makan selama mengembara hanya buah-buahan dan umbut tumbuh-tumbuhan sejenis padi yang mereka temukan dalam perjalanan.
Setelah hampir sebulan mengembara, dari atas bukit mereka melihat dari kejauahan ada sebuah kampung yang tidak jauh berbeda dengan kampung mereka yang terbakar. Mereka pun senang dan dengan penuh semangat menuruni bukit menuju ke kampung itu. Beberapa jam kemudian mereka pun sampai di kampung itu. Sesampai di sana mereka melihat ada kelekak yang dipenuhi oleh bermacam buahbuahan yang sedang berbuah lebat dan banyak yang masak. Rambutan sudah merah-merah, duku sudah kuning, pepaya juga sudah kuning, sawo dan kelengkeng sudah besar-besar, dan buah lainnya siap untuk dipetik. Karena lapar, tanpa ada yang menyuruh mereka memetik dan memakan buah-buahan itu. Karena keletihan dan kekenyangan, semua tertidur di bawah pohon yang mereka petik. Ada yang di bawah pohon rambutan, ada yang di bawah pohon duku, dan ada yang di bawah pohon lainnya.
Ketika mereka tertidur, rupanya kelompok lutung yang diusir oleh Datuk Legam tinggal di kelekak itu. Kebetulan pada waktu itu kelompok lutung akan memetik buah-buahan yang sudah masak-masak. Kelompok lutung kaget ada yang tertidur di bawah pohon buah. Dia melihat begitu banyak yang tertidur. Dia dekati yang sedang tidur di bawah itu satu per satu. Dia ingin tahu siapa yang tertidur di bawah pohonpohon itu. Tanpa disangkanya rupanya Datuk Legam. Dia pun melihat di atas pohon kelompok kera, kelompok siamang, kelompok burung, kelompok kelelawar, dan kelompok tupai juga tertidur.
“Hah, Datuk Legam dan teman-taman. Apa yang terjadi di kampung,” katanya dalam hati. Berbagai pertanyaan muncul dalam benak ketua lutung. Karena masih hormat kepada Datuk Legam, kelompok lutung tidak mau menganggunya. Dia melaporkan ke ketua adat kampung ini. Namanya Datuk Pati. “Yang Mulia, di kelekak ada Datuk Legam, ketua adat kampung yang kami tinggalkan dan saat ini mereka tertidur di bawah pohon. Sepertinya mereka sedang mengembara.” “O, ya, mengapa mereka mengembara, ya?” “Saya tidak tahu, Yang Mulia. Waktu kami tinggalkan semuanya baik-baik saja.” “Baiklah, kita akan ke sana. Nanti kita tanya mengapa mereka sampai di sini.”
Datuk Pati yang diikuti beberapa penduduk dan ketualutung yang diikuti beberpa lutung berjalan menuju tempatDatuk Legam dan rombongannya. Sesampai di sana rupanyaDatuk Legam dan rombongan sudah bangun. Mereka kaget ada ketua lutung yang telah diusir. Ketua adat kampung itu berjalan ke arah rombongan itu. Mereka seperti ketakutan dan berdiri untuk siap-siap berlari atau meninggalkan kampung itu secepatnya. Semakin dekat perasaan takut semakin berdebar-debar di hati karena sudah mencuri dan memakan buah-buahan di kelekak itu. Akan tetapi, setelah dekat perasaan takut itu berangsur hilang kerena mereka merasakan kedamaian dan keteduhan di mata Datuk Pati dan ketua lutung.
“Datuk Legam, selamat datang di kampung kami. Saya ketua adat kampung ini. Nama saya Datuk Pati.” “Selamat datang dan berjumpa lagi dengan kami, Datuk,” kata ketua lutung pula.
Datuk Legam tidak segera menjawab. Dia heran dan kaget. “Dia tahu nama saya pasti dari ketua lutung,” katanya dalam hati. Belum sempat Datuk Legam menjawab sambutan itu, Datuk Pati berkata lagi.
“Tadi Saudara Lutung sudah ke sini. Seperti biasa tugasnya mengecek dan memetik buah-buahan yang ada di kelekak ini. Ketika dia ke sini, Datuk dan rombongan sedang tertidur. Dia tidak mau menganggu Datuk Legam dan rombongan sedang tertidur. Dia telah mengecek semua buah-buahan yang ada di sini.”
Ketika mendengar kata buah-buahan, hati Datuk Legam tidak tenang dan sangat bersalah telah memetik dan memakannya. Karena itu, dengan tidak menunggu Datuk Pati bicara lagi, dia langsung minta maaf. Belum sempat Datuk Legam minta maaf, Datuk Pati berbicara lagi.
“Saya tahu Datuk Legam dan rombongan sudah mengambil buah kami dan memakannya.” Datuk Legam merasa sangat bersalah karena sudah berani mengambil buah-buahan di kelekak itu dan memakannya. “Kampung kami kampung yang damai. Ada aturan yang harus diikuti.” “Maafkan kami, Datuk, kami sudah mengambil dan memakan buah-buahan milik Datuk,” kata Datuk Legam sambil kepalanya agak menunduk. “Aturan yang utama adalah memakan buah-buahan yang sudah masak saja, tidak boleh mubazir, dan makan sesuai dengan kebutuhan saja.” “Apa yang dikatakan Datuk Pati seperti yang saya inginkan di kampung saya. Mengapa lutung bisa ada di sini?” katanya dalam hati. “Tidak perlu minta maaf, Datuk Legam.” Datuk Legam heran mengapa tidak perlu minta maaf padahal dia sudah bersalah.
“Kami tahu Datuk Legam dan rombongan lapar. Kami juga tahu bahwa yang dipetik rombongan Datuk hanya buahbuahan yang sudah masak dan sesuai dengan kebutuhan saja.” “Saudara Lutung sudah melaporkan keadaan buah-buahan di kelekak ini. Buah-buahan yang Datuk Legam petik dan makan sesuai dengan aturan. Karena itu, Datuk dan rombongan tidak bersalah. Datuk Legam merasa lega dan merasa bersyukur tidak melanggar aturan di kampung ini. Untuk itu, dia mengucapkan terima kasih. “Terima kasih Datuk atas kebijakan dan kebaikan Datuk.” “Ya, Datuk Legam, kita harus berterima kasih kepada alam dan Sang Pencipta. Buah-buahan ini untuk kebutuhan kita bersama. Tidak kita tanam, tetapi tumbuh sendiri. Untuk itu, siapa pun boleh memetiknya dengan syarat yang sudah masak dan sesuai dengan kebutuhan.” Mendengar kata Datuk Pati, Datuk Legam dan rombongan senang dan tidak takut lagi. “Jika ada yang memetik masih muda, dia diberi peringatan sampai tiga kali. Jika tidak mengindahkan, dia diusir dari kampung ini,” katanya lagi. “Mari kita berjabat tangan!”
Setelah berjabat tangan, Datuk Pati bertanya kepada Datuk Legam mengapa sampai ke kampung ini. “Maafkan kami Datuk, kampung kami terbakar dan musnah.” “Mengapa sampai terbakar?” “Karena kesalahan saya, saya tidak bisa menahan emosi dan marah sehingga terjadilah bencana itu.” “Mengapa tidak dapat menahan emosi dan marah?” “Ini bermula dari sayembara terkait dengan perbuatan lutung yang sekarang tinggal di kampung datuk ini.”
Ketua lutung heran mengapa Datuk Legam marah.
“Seharusnya dia ‘kan senang saya tidak di sana lagi,” kata lutung dalam hati. “Begini, Datuk, ketika kami mengadakan sayembara, ketua lutung kami salahkan. Jawaban dia sebenarnya benar, tetapi kami salahkan agar kami dapat mengusir mereka dari kelekak kami. Perbuatannya memetik, memakan buah sembarangan, dan membuang-buangnya begitu saja adalah perbuatan yang tidak kami sukai.” “O, begitu, lalu bagaimana hubungannya dengan kampung terbakar?” “Ketika beberapa hari kelompok lutung telah kami usir dari kampung, anak gadis saya memasak ayam di kuali. Setiap diaduk, dari masakan itu keluar bunyi datuk legam belit, datuk legam belit.” “Mendengar suara itu, saya marah dan menendang kuali. Bukan hanya kuali yang tertendang, melainkan juga bara api. Bara api itu sampai di atap rumah dan dengan seketika bara itu membakar atap yang terbuat dari rumbia kering. Angin bertiup dengan kencang sehingga api menjalar ke semua rumah dan kelekak. Akhirnya, musnah semua rumah dan kelekak kami.” “O, begitu?” “Karena kejadian itu, kami sekarang sadar bahwa orang tidak boleh bohong atau curang,” kata Datuk Legam lagi.
Setelah mendengar cerita Datuk Legam, Datuk Pati pun ingat sebuah kejadian aneh yang dialaminya ketika berada di kampung ini. “Datuk Legam, kita memiliki cerita yang mirip.” “Maksudnya?” “Saya juga mengalami kejadian aneh beberapa tahun lalu di kampung ini.” “Kalau boleh tahu, bagaimana ceritanya Datuk?” Datuk Pati mencerikatakan pula kejadian aneh yang dialaminya. “Dulu di kelekak ini hanya ada satu pohon duku. Ketika berbuah dan sudah masak, hanya saya dan keluarga saya yang boleh memetik dan memakannya. Semua penduduk dan binatang sebenarnya sangat ingin juga memetik dan memakannya. Saya menyimpan duku-duku itu dalam peti. Suatu malam ketika saya belum tidur, ada suara aneh dalam peti itu. Bunyinya begini ‘Datuk Pati pelit, Datuk Pati tidak adil, Datuk Pati mau enak sendiri.’ Bunyi itu berulang-ulang saya dengar. Ketika saya dekati peti itu, suara aneh itu hilang. Saya mau tidur lagi. Belum lagi sampai di tempat tertidur, bunyi itu muncul lagi. Saya pun ke peti lagi. Suara itu hilang lagi. Begitu berulang kali. Makin malam makin keras bunyinya. Saya pun tidak mau suara aneh itu didengar penduduk di tengah malam. Akhirnya saya tetap di dekat peti itu terus-menerus supaya tidak berbunyi. Saya merenung. Akhirnya saya menyadari bahwa saya sebagai ketua adat tidak boleh enak sendiri. Saya pun berjanji di hadapan peti duku bahwa saya akan membagikan duku-duku itu kepada semua yang suka besoknya. Setelah itu, saya pun tidur dan suara aneh pun hilang.”
Datuk Legam menganguk-angukkan kepala ketika Datuk Pati bercerita. Dia seakan-akan seperti berada dalam cerita itu.
“Begitulah yang saya alami, Datuk Legam.” “Memang mirip dengan kejadian yang saya alami,” kata Datuk Legam. “Kejadian itu membuat saya sadar bahwa sebagai ketua adat saya harus bertindak lebih bijaksana dan lebih mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan diri sendiri atau keluarga.” “Benar, Datuk Pati. Alam sepertinya selalu mengawasi dan mengingatkan kita supaya berbuat baik.” “Ya, Datuk Legam. Alam seperti punya mata dan telinga.” Mendengar tuturan Datuk Legam, Datuk Pati menjadi iba dan menyilakan Datuk Legam dan rombongan tinggal di kampung itu sampai kampung Datuk Legam tumbuh seperti sedia kala. Datuk Legam berterima kasih atas kebaikan Datuk Pati. Mereka hidup dengan dengan damai, bahagia, dan sejahtera.
Ada satu yang membuat Datuk Legam bertanya-tanya dalam hati. “Mengapa kelompok lutung berkelakuan baik di sini?” Pertanyaan itu ingin dilontarkan ke Datuk Pati atau langsung ke ketua lutung. Akan tetapi, setelah dipertimbangkan, pertanyaan itu disimpannya saja. Dia merasa malu pada dirinya yang kurang bijaksana, emosional, dan terlalu cepat mengambil putusan. Dia mencoba merenung dan mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri.
Dalam keseharian, Datuk Legam mengamati kelakuan kelompok lutung yang begitu baik perilakunya dalam memilih dan memakan buah di kelakak. “Mungkinkah mereka berubah kelakuannya karena pengusiran itu? Atau ketika sampai di kampung ini, mereka patuh pada aturan yang disebutkan Datuk Pati,” tanya Datuk Legamdalam hati.
Bayangan Datuk Legam kembali pada musyawarah antara dia dengan ketua kelompok binatang di kampungnya yang sudah terbakar. Waktu itu ada usul dari ketua burung bahwa kelompok lutung diusir dengan cara baik-baik, tetapi ketua kera tidak setuju. Usul itu sebenarnya mau diikuti, tetapi Datuk Legam terpengaruh dengan kata-kata ketua kera. Usul burung itu sama persis dengan aturan yang dibuat oleh Datuk Pati, ketua adat kampung ini.
“Coba, kalau usul burung saya ikuti, mungkin kelompok lutung dapat berubah seperti mereka disini dan kampung tidak terbakar,” gumamnya. Datuk Legam tidak menyesali apa yang telah terjadi. Dia bertekad selalu belajar, menjadi lebih arif, bijaksana, dan memutuskan dengan pertimbangan yang baik.
Suatu ketika ketua kelompok lutung menghampirinya.
“Datuk, mungkin Datuk bertanya-tanya dalam hati mengapa kami bisa barada di sini dan bisa hidup damai dengan kelompok kera di sini?” Rupanya ketua lutung memperhatikan juga keheranan Datuk Legam atas perubahan perilaku kelompok lutung di kampung ini. Datuk Legam kaget dan tidak menyangka ketua lutung berkata demikian. Dalam hatinya ia mengakui bahwa ia memang ingin bertanya, tetapi tidak jadi. “Kami sedih meninggalkan kampung pada waktu itu, tetapi putusan Datuk tidak dapat kami tolak.” Datuk Legam merasa bersalah pada kelompok lutung yang sudah diusirnya
“Maafkan kami, saya terlalu cepat mengambil putusan waktu itu.” “Kami juga minta maaf, Datuk, karena tidak memetikdan memakan buah yang masak saja, kami pun membuangbuangnya sembarangan sehingga kelompok kera dan kelompok binatang lain marah.’’ Mereka saling memaafkan, lalu Datuk Legam tidak raguragu lagi bertanya. “Lalu, mengapa kelompok lutung bisa berubah di sini?” “Awalnya kami ditangkap oleh penduduk di sini karena memakan buah sembarangan. Kami dihadapkan kepada ketua adat, Datuk Pati. Waktu itu Datuk Pati tidak marah. Dia hanya mengingatkan boleh makan buah apa saja di kelekak, tetapi ikuti aturan yang ada di kampung ini.” “Apa aturannya?” tanya Datuk Legam. “Bukankah Datuk sudah tahu ketika masuk kampung ini? Hanya boleh makan buah yang masak dan sesuai dengan kebutuhan,” kata Datuk Legam. “Ya, itu, Datuk.” Dugaan Datuk Legam benar bahwa Datuk Pati telah membuat aturan untuk siapa saja yang masuk ke dalam kampung ini.
Rupanya pembicaraan Datuk Legam dan ketua lutung didengar pula oleh ketua kera dan ketua binatang lainnya. Mereka terharu. Lalu, ketua kera berkata. “Ketua lutung, kami juga minta maaf. Karena keinginan kami, kelompok lutung terusir dari kampung yang sekarang sudah habis terbakar.”
Mendengar permintaan maaf ketua kera, ketua lutung juga minta maaf karena berperilaku tidak baik di kelekak. Mereka akhirnya saling memaafkan. Mereka bertekad akan membangun kampung yang terbakar secara bersama-sama. Merak berjanji akan kembali ke kampung jika sudah seperti sedia kala. Mereka berjanji akan hidup seperti di kampung ini.
Setelah lebih dari lima tahun tinggal di kampung Datuk Pati, Datuk Legam dan rombongan, termasuk lutung sangat rindu dengan kampung mereka yang terbakar. Mereka meyakini kampung yang mereka tinggalkan itu sudah seperti sedia kala. Mereka berencana akan kembali ke sana. Sebelum rencana itu terlaksana, Datuk Legam, ketua kera, dan ketua lutung menghadap Datuk Pati. “Datuk Pati, setelah lebih lima tahun di sini, kami ingin kembali ke kampung halaman kami. Kami meyakini kampung kami sudah seperti sedia kala.” “Apakah Datuk Legam yakin kampungnya sudah seperti sedia kala?’’ “Kami tidak tahu pasti Datuk. Rasanya alam membisikkan bahwa kampung kami telah seperti sedia kala.” “Jika Datuk Legam merasa yakin, kami persilakan Datuk meninggalkan kampung kami. Jika belum yakin, sampai kapan pun Datuk Legam dan rombongan boleh tinggal di sini.” “Benar, Datuk Pati, kami merasa yakin bahwa kampung yang kami tinggali sudah sedia kala,” kata ketua kera pula. “Jika, memang demikian, silakan Datuk dan rombongan kembali. Saya atas nama seluruh penghuni kampung ini tidak bisa menahan keinginan Datuk dan rombongan untuk kembali.” “Terima kasih, Datuk, rasanya berat juga hati kami meninggalkan kampung yang damai dan sejahtera ini. Akan tetapi, kami pun rindu dengan kampung kami yang sudah lama kami tinggalkan.”
Akhirnya, pada hari yang telah ditentukan Datuk Legam dan rombongan kembali ke kampung halamannya. Mereka membawa bekal yang cukup selama dalam perjalanan. Setelah hampir sebulan berjalan dari puncak bukit mereka melihat kampung halamannya sudah seperti sedia kala. Mereka berlari menuruni bukit karena senangnya. Tak lama kemudian mereka sampai di kampung yang sudah lama mereka tinggalkan. Mereka melihat kelekak penuh dengan buah-buahan. Sebagian sudah masak. Mereka begitu senang dan bahagia melihat kampungnya yang sudah seperti sedia kala. Mereka pun hidup seperti di kampung Datuk Pati. Tidak ada lagi buah-buahan yang dipetik seenaknya oleh kelompok lutung. Mereka mengikuti aturan yang ada di kampung Datuk Pati. Tidak ada lagi kelompok yang rakus, sombong, dan mau menang sendiri. Mereka saling membantu, saling menghormati, dan bekerja sama dengan baik. Mereka pun hidup dengan damai dan sejahtera. Datuk Legam, Datuk Pati, dan semua penduduk di Pulau Bangka ketika itu begitu tentram dan penuh kebahagian.
Beberapa tahun kemudian kampung Datuk Legam bertambah subur dan indah. Kedamaian dan kesejahteraan semakin meningkat. Datuk Legam dan seisi kampung bersyukur kepada yang Mahakuasa atas segala nikmat, kebahagian, dan anugerah yang telah mereka terima dan rasakan.
Ditulis oleh: Hidayatul Astar
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |