×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

cerita rakyat

Elemen Budaya

Cerita Rakyat

Provinsi

Sumatera Barat

Asal Daerah

Minangkabau

Karang Melenguh

Tanggal 05 Mar 2021 oleh Widra .

Panggilan Upiak atau Buyuang bagi orang Minangkabau pada zaman dulu adalah panggilan kesayangan kepada anak perempuan dan anak laki-laki. Panggilan itu dapat pula digunakan untuk menyapa dan menyebut anak-anak yang belum dikenali namanya. Di Nagari Bayang ada seorang anak yang diberi nama Buyuang Kacinduan. Arti nama itu adalah anak laki-laki yang dirindukan. Nama itu diberikan karena Buyuang lahir setelah ayah dan ibunya menanggung kerinduan yang sangat lama untuk memiliki anak. Buyuang Kacinduan benar-benar menjadi seorang anak yang sangat disayangi oleh ayah-ibunya.

Namun, meskipun sangat disayang, Buyuang tidaklah tumbuh menjadi anak yang manja. Kedua orang tuanya seperti mempersiapkan bekal untuk kehidupan Buyuang kelak di kemudian hari. Setiap hari Buyuang diajari dengan hal-hal yang baik, seperti harus selalu bersyukur kepada Tuhan, selalu berbuat baik kepada sesama, menyayangi hewan dan tumbuhan, serta rajin membantu pekerjaan ayah-ibu. Semua orang di kampung tempat mereka tinggal ikut menyayangi Buyuang karena kelakuannya yang terpuji itu. Ia selalu menyapa orang yang lebih tua dengan hormat, berkelakar sopan dengan sesama besar, dan menyayangi anak yang lebih kecil darinya setiap mereka sama-sama bermain. Tidak satu pun penduduk Nagari Bayang yang tidak menyukai Buyuang.

Orang tua Buyuang adalah petani yang rajin dan ulet. Ayah dan ibunya saling menolong mengerjakan sawah dan kebun mereka. Bila ayah ke sawah, ibu di rumah menyiapkan makanan untuk mereka bertiga. Setelah selesai memasak, ibu menyusul ayah ke sawah untuk mengantarkan nasi. Buyuang pun tidak berpangku tangan saja, ia ikut mencabut rumput di pematang sawah atau ikut membantu ibu ketika memasak di rumah. Bila sudah siang dan selesai makan bersama di sawah atau di kebun, barulah Buyuang bermain sejenak dengan teman-temannya.

Ada-ada saja permainan anak-anak Nagari Bayang seperti yang dilakukan oleh Buyuang dan kawankawannya. Ada permainan gasing, permainan galah, permainan meriam betung, dan banyak lagi yang lainnya. Tidak jarang pula mereka pergi memancing ke sungai Batang Bayang yang sejuk dan jernih airnya itu ikut menggembalakan kerbau dan sapi, atau sesekali menjerat burung dengan getah pohon. Meskipun asyik bermain, Buyuang selalu ingat pesan ibunya agar segera kembali ke rumah bila hari telah senja. Ia tidak pernah lupa waktu, meskipun bermain bersama-sama sangat mengasyikkan baginya.

“Mari kawan-kawan, mari kita pulang. Hari sudah terlalu petang. Ibu kita pasti sudah menunggu”, demikian Buyuang menyeru kawan-kawannya untuksegera mengakhiri permainan mereka. Biasanya kawankawannya pun setuju dengan ajakan Buyuang. Prilaku Buyuang yang baik menyebabkan kawan-kawannya percaya dan mengikuti perkataannya. “Segeralah mandi, Buyuang, anakku sayang, belahan jiwa,” demikian ibu selalu menyapa Buyuang dengan lembut dan penuh kasih. “Ya Bu, Buyuang akan segera mandi,” Buyuang pun menjawab perkataan ibunya dengan sopan.

Bila sudah kembali dari sungai setelah mandi, Buyuang tidak lupa membantu ibunya mengangkat cucian yang sudah kering dari jemuran di samping rumah mereka. Sering ia diolok-olok oleh kawan-kawannya karena bagi mereka urusan rumah adalah urusan ibu dan anak perempuan. Namun, setiap mendengar olokan dan ejekan itu, Buyuang selalu melihat ke wajah ibunya. Alangkah sedihnya Buyuang karena ibunya terlihat letih kalau hari sudah sore sebab Beliau sudah bekerja seharian di rumah, di sawah, atau di kebun. Oleh sebab itu, Buyuang tidak memedulikan kawan-kawannya itu. Buyuang berpikir bahwa membantu ibu adalah keharusan baginya. Ia mau mengurangi keletihan ibu dengan membantu semampunya.

“Alangkah bahagianya memiliki anak seperti Buyuang Kacinduan. Ia benar-benar anak yang sangat dirindukan kehadirannya karena kelakuannya yang sangat terpuji itu,” kata-kata seperti itu yang sering diucapkan warga ketika melihat kebiasaan Buyuang sehari-hari.

Bila ada warga yang sedang memanen hasil kebun dan ladang mereka, seperti singkong, pisang, jambu, mangga, dan buah-buahan lainnya, Buyuang pasti akan dihadiahi. Hal itu dilakukan penduduk Nagari Bayang karena mereka ikut sayang kepada Buyuang, seperti halnya ibu dan ayah Buyuang. Demikianlah kehidupan Buyuang Kacinduan sehari-hari yang selalu dilimpahi kasih sayang orang tua dan masyarakat sekeliling karena kelakuannya yang selalu menyenangkan itu.

Namun, kehidupan di dunia bukanlah berlaku atas kehendak manusia. Ada Tuhan Yang Maha Kuasa yang berwenang mengatur segala ciptaan-Nya. Mujur tidak dapat diraih dan malang pun tidak dapat ditolak, demikian ungkapan kalimat bijak tentang kekuasaanNya itu. Ayah Buyuang Kacinduan tiba-tiba merasa pusing ketika hendak pergi ke sawah mereka yang sedang menguning pertanda siap untuk dipanen.

“Aduh, mengapa mendadak kepalaku pusing,” ayah mengeluh sambil berpegangan pada daun pintu tempat Beliau berdiri. Melihat hal itu, ibu dengan sigap membantu ayah untuk berbaring. Buyuang pun segera menyodorkan bantal ke kepala ayah. Ayah pun berbaring meluruskan tubuh dan menatap kepada ibu dan Buyuang. Mendadak saja, raut wajah ayah yang semula mengerinyit menahan pusing, lalu berubah menjadi senyuman. Ayah seperti memberikan senyum dan segera menutup kedua matanya. Ibu yang masih memegang tangan ayah terkejut karena tubuh ayah terasa dingin dan semakin dingin. “Yah, Ayah, Ayah kenapa?,” ibu bertanya sambil berbisik. Tidak ada jawaban dari ayah, tubuhnya yang dingin bertambah kaku. Ibu menangis terisak-isak. Buyuang yang kala itu masih berusia sembilan tahun memandang ibu tidak mengerti. Buyuang pun bertanya karena ayahnya hanya diam dan ibu menangis terisak-isak. “Ibu, ayah kenapa diam saja, kenapa Bu,” tanya Buyuang sambil ikut menangis tanpa tahu alasan ia menangis. Ia hanya sedih melihat ibu berurai air mata. “Nak, ayahmu meninggal, Buyuang. Ayah sudah tiada,” ibu menjawab pertanyaan Buyuang Kacinduan dengan sedu-sedan yang tidak dapat ditahannya. “Buyuang, segeralah beri tahu nenek, etek, dan bako-mu. Kabarkan bahwa ayah meninggal,” ibu menyuruh Buyuang untuk langsung melaksanakannya.

Tanpa membuang waktu, Buyuang berlari menuju rumah kerabat yang dikatakan ibu. Ia menyampaikan berita duka itu. Buyuang pun segera kembali ke rumah untuk mendampingi dan berada di sisi jenazah ayah. Semua warga Nagari Bayang pun segera mendatangi rumah duka. Mereka ikut merasakan kesedihan yang sedang menimpa keluarga kecil yang baik itu. Semuanya bergotong royong ingin meringankan derita yang sedang dialami. Ada yang datang membawa kain kafan, ada yang membawa sabun mandi, ada yang membawa harum-haruman serta bunga, ada yang membawa beras dan bahan lauk-pauk, dan ada pula yang datang membawa uang sekadarnya. Mereka bergotong royong pula menyelenggarakan proses pemakaman ayah Buyuang Kacinduan.

Ibu-ibu menyiapkan perlengkapan mandi untuk jenazah, para laki-laki memandikan dan mengkafani, semua yang hadir melakukan salat untuk jenazah, hingga akhirnya jenazah pun dikuburkan. Sebagian ibuibu telah selesai memasak sehingga orang-orang yang telah pulang dari kuburan ayah pun makan setelah hampir separuh hari mengurus kematian. Ibu dan Buyuang hanya bisa menangis karena kehilangan orang yang mereka cintai dan haru karena kebaikan yang mereka terima dari seluruh warga Nagari Bayang. Tak henti-hentinya ibu mengucapkan doa untuk ayah dan bersyukur karena dibantu oleh banyak orang. Di bibir ibu pun selalu terucap terima kasih kepada setiap orang yang datang dan menyalami menyampaikan rasa ikut berduka mereka. Buyuang tidak lepas-lepasnya dari pegangan tangan ibu, ia seakan-akan tidak kuat untuk berjauhan dengan Beliau. Begitu pun ibu, demikian pula keadaannya.

Hari terus berganti dari pagi, siang, malam, hingga pagi kembali. Kepergian ayah pun telah diterima Buyuang dan ibu dengan sabar dan ikhlas, meskipun ingatan kepada ayah selalu terbawa setiap saat. Buyuang kembali mengaji di surau, kembali bermain bersama teman-teman, dan kembali membantu ibu bekerja seperti hari-hari lalu. Orang kampung pun semakin sayang pada Buyuang melihat kesantunannya terhadap ibu. Tidak pernah terdengar Buyuang membantah perkataan ibu, tiada pernah pula berkata kasar, dan tidak mau pula melihat keletihan di wajah ibunya. Yang terpenting bagi Buyuang adalah ia tidak mau menyebabkan ibunya kecewa.

Ibu yang berhati lembut itu pun selalu tersenyum teduh menyambut Buyuang setiap kali anak itu datang padanya. Kebahagiaan sederhana itu yang selalu mereka rasakan dan orang-orang lihat sehari-hari. Anak yatim dan ibu janda tersebut menjalani kehidupan yang damai dan tenang di desa mereka, di Nagari Bayang, Pesisir Minangkabau.

Suatu hari ibu mengajak Buyuang berkunjung ke rumah saudara perempuan ayahnya yang bernama Rosdiana. Buyuang memanggil bakonya itu Mak Tuo Ros. Perempuan setengah baya itu menyambut kunjungan anak pisangnya itu dengan sukacita. Berbagai makanan seperti kue bolu, pinukuik, agar-agar, ketan serikaya, dan rendang dihidangkan untuk Buyuang Kacinduan dan ibu. Ketika tiba masanya kembali pulang, Buyuang pun dioleh-olehi seekor ayam, sesumpit beras dari padi baru ditumbuk, berbagai bahan makanan lainnya, serta uang saku secukupnya. Buyuang pun pamit dengan rasa hormat dan rasa sayang kepada kakak ayahnya itu.

Sesampai di rumah, ibu merasa sekujur tubuhnya sakit dan ibu pun demam. Entah karena terlalu letih setelah bepergian atau entah karena sebab lainnya, ibu terbaring lemah. Buyuang mendampingi ibu dengan setia. Ia menyuapi ibu makanan dan obat-obatan agar ibu pulih kembali. Namun, dari hari ke hari bukan kesembuhan yang diperoleh, ibu malah semakin lemah. Buyuang khawatir melihat keadaan Beliau, demikian pula seluruh kerabat. Tidak pernah berhenti terlihat mulut Buyuang komat-kamit mengucapkan doa untuk kesembuhan ibu. Kadang-kadang terlihat pula air mata menggenangi sudut matanya. Ternyata kekhawatiran Buyuang dan semua orang terhadap keadaan ibu terbukti kebenarannya. Di suatu pagi, sama waktunya dengan kepergian ayah, ibu pun pergi untuk selamanya. Hanya satu ucapan terakhir yang disampaikan ibu kepada Buyuang Kacinduan.

“Jaga dirimu baik-baik anakku,” kata ibu dengan suara sayup-sayup. Ibu pun menutup mata dan melipat kedua tangannya. Ibu pergi meninggalkan dunia ini. Ibu pergi meninggalkan Buyuang Kacinduan selamanya, sebatang kara. Anak itu tiada memiliki ayah dan ibu lagi. Buyuang Kacinduan menjadi yatim piatu. Buyuang menangis terisak-isak melepas kepergian orang yang telah melahirkannya itu.

Di Nagari Bayang, ada seorang kaya bersifat dermawan yang sering menjadi tempat meminta bantuan bagi orang-orang tidak mampu di negeri itu. Beliau seorang saudagar yang juga memiliki banyak kerbau dan sapi. Dengan kekayaan harta yang ada padanya, orang kaya itu selalu siap mengulurkan tangan kepada sesama yang membutuhkan pertolongannya. Bapak itu gemar memberikan sedekah kepada orang tidak mampu yang ia ketahui sedang membutuhkan biaya untuk kehidupan mereka. Ia membuka lumbung padinya untuk diberikan kepada orang kampungnya. Ia membuka kandang ternaknya untuk dipinjamkan kepada orang yang membutuhkan binatang itu membantu pekerjaan di sawah. Sama seperti sifatnya, bapak itu disapa orang dengan sapaan Pak Tolong.

Pak Tolong tinggal di rumahnya yang besar dan bagus berdua dengan anaknya yang bernama Bujang Ketinggian. Setelah ibu Bujang meninggal ketika melahirkannya, Pak Tolong tidak menikah kembali. Ia disibukkan oleh usaha dagangnya dan binatang ternak yang puluhan ekor jumlahnya. Bujang tinggal bersama orang yang bekerja di rumah dan anak buah yang bekerja membantu usaha ayahnya. Orang itu adalah Pak Pirin dan Etek Kiah.

Ketika mengetahui bahwa Buyuang Kacinduan telah menjadi yatim piatu, Pak Tolong pun tergerak hatinya untuk membawa Buyuang ke rumahnya, menjadikan Buyuang sebagai anak angkat. Ia iba terhadap nasib Buyuang dan ingat bahwa anaknya pun anak tunggal yang sering ditinggal di rumah ketika ia bekerja. Pak Tolong ingin menyatukan kedua anak laki-laki itu sebagai dua orang bersaudara, bersaudara angkat. Pak Tolong mendatangi nenek Buyuang untuk menyampaikan niat baiknya itu. Dengan berat hati, nenek mengizinkannya karena ia sangat mencintai cucunya yang bernasib malang itu. Ketuaan dan penyakit yang menderanyalah yang membuat nenek rela melepas Buyuang menjadi anak angkat Pak Tolong. Ia khawatir bila dirinya pun meninggal, Buyuang akan kembali hidup sendiri. Selain itu, nenek pun tahu bahwa Pak Tolong dikenali seluruh penduduk negeri sebagai orang yang penyayang dan baik hati. Dengan demikian, maka Buyuang pun pindah tempat tinggal dari rumah yang sederhana ke rumah bagus milik Pak Tolong.

Hari pertama di rumah Pak Tolong, Buyuang Kacinduan langsung diperkenalkan kepada Bujang Katinggian, anak tunggal Pak Tolong. “Bujang. Mulai hari ini, Buyuang adalah adikmu. Dia yang akan mendampingimu di rumah kita ini. Berbaikbaiklah kalian berdua karena kalian keduanya adalah anakku, anak Pak Tolong,” kata ayah yang bijaksana itu dengan suara lembut, tapi tegas. “Buyuang. Bila engkau memerlukan sesuatu, katakanlah kepada udamu ini. Jangan segan-segan karena kalian berdua sudah mejadi saudara. Demikian pula kalian semua, wahai para pekerja. Perlakukanlah Buyuang seperti halnya kalian menjaga, merawat, dan menyediakan kebutuhan Bujang selama ini. Dia adalah anakku juga, sama seperti Bujang,” Pak Tolong berbicara dengan mata berkaca-kaca karena merasa iba atas nasib Buyuang yang kurang beruntung itu.

Buyuang menjawab perkataan bapak angkatnya dengan deraian air mata. Dalam hati ia berjanji akan menghormati dan menyayangi Pak Tolong sebagai pengganti kedua orang tua yang telah tiada dan sebagai pengganti kasih sayang neneknya yang sudah sangat renta. Ia pun akan menyesuaikan diri dengan Bujang sebagai abangnya. Semua pekerja di rumah Pak Tolong ikut menangis menerima kehadiran Buyuang. Mereka pun memuji kebaikan Pak Tolong dan mengharap agar Tuhan selalu melimpahkan berkah-Nya kepada laki-laki tua yang bersifat kasih kepada sesama itu.

Tidak ada jalan yang selalu mulus dan lurus. Selalu saja ada lubang dan tanjakan yang harus ditempuh. Demikian pula halnya Buyuang dan kehidupan barunya di keluarga Pak Tolong. Ia harus sabar menghadapi sifat Bujang Katinggian yang berbeda jauh dengan sifatnya. Bujang cenderung tidak mengerti dengan kesulitan orang lain karena ia selalu hidup berkecukupan sejak lahir. Bujang pun tidak terbiasa berbagi karena ia anak tunggal yang selalu memiliki segala sesuatu sebagai milik pribadi. Bujang tidak pandai bertutur sapan santun dengan orang banyak karena ia hanya bergaul dengan pekerja ayahnya di lingkungan rumah mereka. Ia pun tidak mengerti tentang keramah-tamahan karena tidak memiliki ibu sejak lahir yang akan mengajarinya tentang hal itu, sedangkan berkomunikasi dengan ayah sangat terbatas karena kesibukan ayah sehari-hari..

Pada awalnya, Butuan Kecinduan merasa terkejut menghadapi sifat Bujang Katingian. Ia tidak terbiasa dengan sifat-sifat kurang baik seperti yang dilihatnya pada Bujang Katingian, abang angkatnya itu. Tidak jarang Buyuang terdiam bahkan menangis menerima perlakuan tidak menyenangkan dari Bujang.

Buyuang Kacinduan merasa terkejut menghadapi sifat Bujang Katingggiaan pada awalnya. Ia tidak terbiasa dengan sifat-sifat kurang baik seperti yang dilihatnya pada Bujang, abang angkatnya itu. Tidak jarang Buyuang terdiam bahkan menangis menerima perlakuan tidak menyenangkan dari Bujang. “Hoi, Buyuang! Cepat ambilkan gasingku. Kita akan bermain di halaman rumah.” Bujang memerintah dengan nada suara yang keras suatu ketika.

Buyuang sangat terkejut mendengarnya. Seumur hidup, ia tidak pernah diperintah apalagi dibentak dengan kasar seperti itu. Namun, Buyuang cepat sadar bahwa yang memperlakukannya itu adalah seseorang yang sudah ditetapkan sebagai abangnya oleh ayahnya, Pak Tolong yang berbudi baik itu. Orang-orang yang di rumah itu pun selalu membesarkan hati Buyuang dengan perkataan yang menghibur agar Buyuang jangan merasa sedih. Orang-orang itu sangat terkesan dengan kelakuan Buyuang yang sangat baik kepada semua orang tersebut. “Buyuang, bermainlah dengan gembira. Bila nanti sudah letih, masuklah kembali ke rumah. Etek Kiah akan sediakan minuman segar untukmu dan udamu,” kata seorang perempuan muda sambil tersenyum pada Buyuang. Tampaknya ia adalah pekerja yang bertugas sebagai tukang masak di rumah itu. “Nanti Pak Pirin panjatkan kelapa muda. Kita akan menikmatinya bersama-sama, Buyuang,” seorang lakilaki setengah baya yang bertugas sebagai kusir pedati pun mengelus bahu Buyuang penuh kasih sayang.

Demikianlah setiap harinya sehingga Buyuang pun dapat mengurangi rasa kecewa atas perlakuan Bujang padanya dengan segala perhatian dan sikap lemah lembut para pekerja. Buyuang membalas perlakuan baik orang-orang itu dengan kebaikan pula. Tidak jarang ia membantu Etek Kiah membawa kayu bakar dari halaman rumah untuk disusun di dapur, membantu Pak Pirin menyediakan rumput untuk dilahap kerbaukerbau penarik pedati, atau tidak segan pula membantu para pekerja lainnya dengan pekerjaan ringan yang bisa dilakukannya. Hal itu membuat bertambah kasih orangorang itu pada Buyuang.

Bila suatu ketika Buyuang diajak keluar rumah oleh Pak Tolong untuk berjalan-jalan bersama Bujang, orang di rumah pastilah menunggu kedatangan Buyuang kembali ke rumah. Mereka rindu sapaan ramah Buyuang dan mereka pun rindu senyum damainya. Mereka merasa kehilangan, meskipun Buyuang pergi tidak lama. Berbagai kesenangan Buyuang akan disediakan untuk menyambut ketibaannya. Etek Kiah akan memasak kue dan lauk yang sedap untuk Buyuang Kacinduan. Pak Pirin akan memetik mangga matang di pohon atau jeruk bali yang segar untuk diberikan pada Buyuang. Sungguh sangat tepatlah ia dinamai Buyuang Kacinduan yang dalam bahasa Minangkabau artinya adalah anak lakilaki yang dirindukan. Keberadaan Buyuang sangat menyenangkan bagi orang-orang di lingkungannya dan kepergiannya membuat orang lain merindukannya.

Bila Pak Tolong berada di rumah, ia sangat senang mengamati keberadaan Buyuang di rumah itu. Bila ia melihat perlakuan Bujang yang tidak pada tempatnya, Pak Tolong langsung memberitahunya. Seperti halnya senja itu ketika Pak Tolong melihat Bujang menunjuk-nunjuk wajah Buyuang dengan pandangan tidak ramah. Pak Tolong mendatangi mereka berdua dan sempat mendengar perkataan Bujang. “Hoi, Bujang! Kau harusnya tahu bahwa segala yang aku punyai di rumah ini, kau tidak boleh menyentuhnya. Aku pemilik rumah ini, sedangkan kau orang yang datang menumpang. Kebaikan hati ayahkulah yang membuatmu ikut menikmati kesenangan di sini,” kata

Bujang dengan sombong. Begitu mendengar perkataan Bujang, Pak Tolong langsung menjawab, “Bujang. Tidak pantas engkau berkata demikian. Sekarang Buyuang adalah adikmu, anakku juga. Kalian harus berbagi. Sama-sama menikmati semua yang ada di rumah kita ini. Segeralah minta maaf pada adikmu”.

Maka, Bujang pun menurut perintah ayahnya, meskipun dengan terpaksa. Ia mengulurkan tangannya dengan enggan, sedangkan Buyuang menerimanya dengan wajah tertunduk. Buyuang menguatkan janjinya dalam hati bahwa ia akan tetap menerima setiap perlakuan Bujang dengan sabar karena Pak Tolong baginya adalah orang tua kedua setelah ayahibunya tiada. Demi Pak Tolong, ia akan berusaha membahagiakan orang tua itu sesuai keinginannya untuk menjadikan Buyuang sebagai bagian dari keluarga tersebut. Pak Tolong merasa sangat berbahagia memiliki anak sebaik Buyuang. Setiap ia bercakap-cakap dengan penduduk Nagari Bayang, segala pujian tentang perilaku terpuji Buyuang selalu terlontar dari bibir mereka. Pak Tolong dan Buyuang Kacinduan tidak sekadar ayah dan anak angkat di mata penduduk. Mereka bagaikan ayah dan anak kandung. Segala perbuatan baik Pak Tolong terdapat pula pada diri Buyuang Kacinduan. Kelakuan baik mereka berdua sama bagaikan seseorang dengan bayangannya.

Buyuang Kacinduan pun sangat bangga pada Pak Tolong. Ia meneladani semua perilaku terpuji Pak Tolong. Bila ada orang datang ke rumah mereka untuk meminta bantuan apa saja, baik materi maupun bukan materi, Buyuang mengamati senyuman ikhlas dan kesediaan Pak Tolong membantu orang itu. Bila ada pegawai sedang sibuk bekerja, Buyuang Kacinduan pun melihat Pak Tolong menyingsingkan lengan turut membantu mengurangi beban kerja pegawai itu. Demikian pula bila meminta sesuatu kepada pekerja di rumahnya, Pak Tolong pasti akan meminta dengan nada suara rendah dan mendahuluinya dengan kata “tolong”. “Kiah. Tolong buatkan kopi ya. Bapak ingin sekali menikmati kopi sore ini,” seperti itulah contoh kalimat yang selalu diucapkan Pak Tolong jika menyuruh pekerja melakukan suatu hal yang diinginkannya. Itulah sebabnya ia disebut Pak Tolong, selain karena selalu memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan.

“Bila setiap kita memiliki akhlak semulia Pak Tolong dan Buyuang Kacinduan warga teladan kita itu, maka Nagari Bayang akan menjadi negeri yang dilimpahi nikmat, karunia, dan berkah oleh Sang Maha Penyayang,” kata seorang pemuka agama dalam kutbahnya. Demikianlah, Pak Tolong dan Buyuang Kacinduan menjadi sosok kebanggaan bagi semua orang di Nagari Bayang.

Mujur sepanjang hari dan malang sekejab mata. Demikianlah takdir Yang Mzahakuasa atas nasib manusia. Kembali kemalangan menimpa diri Buyuang Kacinduan. Pak Tolong, sang ayah angkat mendapat musibah. Pedati yang ditumpanginya dalam perjalanan dari Nagari Bayang menuju Padang mengalami kecelakaan. Di suatu pendakian yang dinamai Kelok Jariang atau Pendakian Jengkol tersebut pedati Pak Tolong terlepas dari tarikan kerbau. Di pendakian yang memang banyak ditumbuhi pohon jengkol itu kerbau berguling-guling ke ngarai, sedangkan pedati pun terhenti di bibir jurang. Untunglah, Pak Tolong dan kusir selamat, tetapi Beliau mengalami keterkejutan yang luar biasa. Ketika orang-orang melewati tempat kejadian nahas itu, mereka pun segera membantunya. Apalagi ketika mereka mengetahui bahwa orang yang kecelakaan itu adalah Pak Tolong.

Ketika dibawa kembali ke Nagari Bayang, Pak Tolong dalam keadaan tidak mampu berbicara. Mulutnya kaku, pandangannya nanar, dan tubuhnya pun lemas. Pak Tolong sakit sejak kejadian itu. Semua orang iba melihatnya. Tubuhnya yang dulu gagah kini terkulai lesu di tempat tidur. Buyuang selalu menemani ayahnya yang sedang sakit itu. Bila tidak ada kepentingan yang mendesak, Buyuang tidak akan beranjak dari sisi tempat tidur Pak Tolong. Buyuang selalu menyuapkan makanan dan obat kepada Pak Tolong. Ia pun memiringkan tubuh tua yang disayanginya itu ke kiri-kanan bila ia melihat orang tua itu capek dengan posisi tubuh yang hanya bisa telentang itu. Pandangan Pak Tolong menyiratkan perasaan terima kasih atas segala perhatian anak angkatnya itu. Warga Nagari Bayang pun tidak henti-hentinya berkunjung melihat keadaan Pak Tolong. Mereka membawa apa saja yang mereka punya sebagai oleholeh untuk si sakit dan kedua anaknya. Tidak hanya sekadar kunjungan dan oleh-oleh, warga pun tidak lupa mendoakan kesembuhan bagi Pak Tolong. Melihat kepedulian warga terhadap dirinya, Pak Tolong hanya mampu bereaksi dengan tangis yang selalu menutupi matanya.

Pada suatu hari, tiba-tiba saja Pak Tolong pulih daribisu yang telah dideritanya selama tiga bulan. Semua orang yang sedang berada di rumah itu mengucap syukur atas karunia-Nya tersebut, meskipun tubuh Pak Tolong masih tergolek lemah di pembaringan. Semua orang berkumpul di sekeliling tempat tidur Pak Tolong. “Buyuang... Buyuang... Buyuang...,” kata-kata itulah yang pertama kali terucap dari bibirnya dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Begitu mendengar panggilan ayah angkatnya itu, Buyuang pun datang mendekat Dengarkan perkataanku baik-baik. Bila aku meninggal, semua harta peninggalanku harus dibagi. Bujang mendapat bagian 3/4, sedangkan Buyuang memeroleh yang 1/4 bagian. Selenggarakanlah pembagian itu oleh Wali Nagari, tetua adat, dan seluruh masyarakat Bayang,” kata Pak Tolong terbata-bata.

Selesai perkataannya, selesai pula kehidupan Pak Tolong di dunia ini. Beliau wafat. Orang yang baik itu pergi dan meninggalkan kesedihan bagi semua orang yang mengenalnya. Buyuang terisak dan Bujang pun tersedu-sedu atas kematian ayah mereka. Orang kampung kehilangan sosok tempat mengadukan kesulitan kehidupan. Jenazah bapak tua yang baik hati itu dimakamkan di tengah kampung. Suasana khidmat mengiringi prosesi pemakamannya. Ibu-ibu menanam pohon puring di sekitar makamnya agar makam itu teduh. Bunga mawar dan melati ditanam pula melingkari bagian atasnya. Bunga-bunga itu seakan menjadi lambang untuk keharuman nama Pak Tolong yang akan selalu menjadi ingatan bagi semua warga Nagari Bayang.

Buyuang Kacinduan menahan bermacam-macam perasaan sedih yang menggayuti hatinya. Sedih karena ditinggalkan oleh orang yang sangat dihormati dan sangat menyayanginya dan sedih memikirkan akan tinggal berdua saja dengan abang yang selalu memperlakukannya dengan kasar. Kesedihan teramat sangat atas kematian ayah angkatnya membuat ia tidak lagi mampu berpikir tentang hal lain, selain kematian Pak Tolong. Namun, orang kampung sangat bersimpati kepada yatim piatu yang malang tersebut. Mereka menghiburnya dengan berbagai nasihat dan semangat agar Buyuang tidak tenggelam dalam keputusasaan.

“Buyuang. Kami merasakan kesedihanmu. Bagimu, ibarat memanjat, akar tempat bergantungmu telah putus. Ibarat berteduh, pohon besar pelindung telah terban. Meskipun demikian, engkau harus ingat bahwa Sang Penyayang akan selalu menaungi umatnya dengan kasih sayang sempurna tiada henti. Selaku para orang tua, kami pun akan selalu menjagamu dengan seluruh kemampuan kami masing-masing,” demikian perkataan wali nagari, selaku pimpinan negeri itu menyemangati Buyuang agar tidak terperosok ke dalam kesedihan terlalu lama.

Etek Kiah, Pak Pirin, Ucu Maran, serta beberapa nama lainnya pun menguatkan Buyuang Kacinduan agar bersemangat kembali. Mereka membersihkan dan menghiasi rumah besar dan bagus itu agar kedua anak Pak Tolong dapat mengurangi perasaan sedih mereka. Terutama Buyuang Kacinduan yang sangat gamang untuk melanjutkan kehidupan bersama kakak angkatnya di rumah tersebut. Ia berusaha mendengar nasihat dan penghiburan orang terhadap dirinya. Ia pun tidak ingin mengecewakan Pak Tolong, meskipun ia sudah tiada. Perlahan-lahan ia mengembalikan senyum bibirnya yang selama ini selalu menghiasi wajah teduhnya. Setiap ia mengingat Almarhum Pak Tolong, ia memanjatkan doa pada Sang Pencipta agar segala perbuatan baik orang yang telah tiada itu menjadi teman bagi Beliau di alam kubur.

Telah tiga wajah yang sering membayangi kenangan Buyuang Kacinduan. Wajah ayahnya, ibunya, dan ayah angkatnya. Anak yang mulai meninggalkan masa kanak-kanak menuju masa remaja itu semakin arif menjalani kehidupan ini. Ia pun semakin sabar menghadapi semua tantangan hidup. Keyakinan terhadap pertolongan-Nya dan kepedulian sesama menyebabkan Buyuang ikhlas menerima segala cobaan yang diterimanya. Buyuang pun tumbuh menjadi remaja yang matang sebelum waktunya. Matang oleh pengalaman hidup telah dilaluinya. Matang pula oleh berbagai perhatian dari lingkungan yang selalu memedulikannya.

Buyuang Kacinduan memutuskan untuk tetap tinggal bersama Bujang Katinggian. Persoalan pembagian harta warisan tidak pernah mampir di pikirannya sehingga tidak pernah pula terucap di bibirnya. Bagi Buyuang, hidup tenang dan damai serta berarti bagi orang di sekelilingnya menjadi tujuan utama. Bila merasa tidak nyaman berdekatan dengan Bujang Katinggian, Buyuang mengalah menjauhinya agar tidak perselisihan dan pertentangan.

Segala hal yang diperintahkan oleh abangnya yang suka menyuruh itu, dilakukan Buyuang tanpa membantah. Bila muak dengan perintah, ia pun keluar rumah berkumpul dengan para remaja seusianya. Tempat yang paling disukainya adalah di surau karena di tempat itu ia semakin banyak menimba manfaat kehidupan. Di surau ia bisa berlatih silat, belajar berpantun dan berkesenian sehingga memeroleh hiburan dan pengajaran, belajar tentang nilai-nilai kehidupan bermasyarakat, dan belajar agama agar semakin bertakwa kepada Sang Pencipta.

Buyuang Kacinduan tidak pernah berkeluh kesah menceritakan persoalannya kepada siapa pun, meskipun orang lain tahu tentang kesulitan yang dialaminya tinggal bersama Bujang Katinggian. Menyimpan perasaannya sendiri dan selalu tersenyum, walaupun kesusahan sedang melanda adalah satu di antara berbagai sikap baik yang dimiliki Buyuang Kacinduan. Ia masih teringat petuah-petuah yang disampaikan mendiang ibunya. “Lebih baik pecah di perut daripada meletus di bibir, Nak,” demikian ibunya bertutur. Kalimat bijak itu adalah tentang keharusan memendam perasaan. Lebih baik menahan segala perasaan sendirian daripada mengumbarnya kepada orang lain. Tidak baik kebiasaan menyampaikan segala sesuatunya secara terbuka kepada orang lain karena belum tentu orang lain akan menanggapinya dengan benar. Oleh sebab itu, Buyuang Kacinduan cenderung mendiamkan persoalannya dengan Bujang Katinggian dan tidak membicarakannya kepada orang lain.

Setelah ayah mereka meninggal, Buyuang dan Bujang tinggal bersama para pekerja di rumah mereka. Bujang tetap dengan tabiat yang keras dan suka memerintah, sedangkan Buyuang selalu dengan kelakuan ramah dan penurut. Perbedaan sikap kedua anak tersebut barangkali dilatari oleh lingkungan pengasuhan yang berbeda pula.

Bujang Ketinggian lahir, tumbuh, dan besar tanpa kehadiran ibu. Ia hanya kenal dengan ayahnya, orang yang bekerja di rumahnya, dan para pekerja lain yang merupakan anak buah ayahnya. Kekayaan yang dimiliki serta minimnya pengajaran dari ayah menyebabkan Bujang berperilaku kurang terpuji. Suatu hal yang sangat berbeda dengan Buyuang. Setelah ayah mereka meninggal, tanggung jawab yang dulu diberikan kepada kedua anak tersebut untuk mengurus sapi-sapi mereka yang jumlahnya banyak itu tetap dilaksanakan. Jika dulu ketika ayahnya masih hidup mereka tidak terjun langsung menjaga sapi, kini hal itu mereka lakukan sendiri atas kehendak sang abang. Bujang memutuskan untuk melakukannya bersama si adik.

Mereka selalu berangkat bersama setiap hari dari rumahnya menuju tanah lapang penggembalaan yang berjarak tidak terlalu jauh dari rumah, tetapi sesampai di tempat, kakaknya meninggalkan adiknya sendirian mengurus ternak-ternak mereka. Kakaknya itu pergi ke tempat lain untuk bermain sesukanya. Sang kakak asyik bermain layang-layang, mandi-mandi di sungai, ataupun memanjat pohon bersama temantemannya. Adiknyalah yang bersusah payah mengiringi sapi mereka merumput. Bila dirasakannya panas menyengat, si adik segera menggiring sapi ke tempat yang teduh. Ketika melihat sapi-sapinya kehausan, ia pun membawa binatang-binatang ternak itu ke sungai agar sapi-sapi itu bisa minum sepuasnya. Demikianlah hari-hari yang mereka lewati di padang penggembalaan dengan aktivitas yang berbeda. Kakak menikmati waktu bermain yang sangat panjang, sedangkan adik dibebani tanggung jawab menggembala sendirian. Meskipun kakaknya berlaku tidak adil, sang adik tidak pernah membantah, selalu menurut saja terhadap semua kemauan kakaknya.

Orang Nagari Bayang yang melihat keadaan itu menegur kelakuan Bujang. Ia menjawab bahwa yang demikian itu memang sudah sepantasnya terjadi karena mereka berbeda status. Ia adalah anak kandung Pak Tolong, sedangkan Buyuang adalah anak angkat semata. Sudah semestinya anak angkat bekerja lebih berat daripada anak kandung, demikian pendapat Bujang Katinggian. Para tetua adat memarahinya karena pesan ayahnya sebelum meninggal tidaklah demikian. Bujang Katinggian merasa terpojok oleh para tetua negeri mereka itu. Ia tidak suka dinasihati. Baginya segala perbuatannya adalah urusannya semata. Orang lain tidak boleh mencampurinya, apalagi memarahinya. Namun, di Nagari Bayang mufakat adalah keputusan tertinggi yang wajib dipatuhi dan dilaksanakan bersama. Bujang tidak dapat berbuat semaunya. Sudah disepakati bahwa wasiat Pak Tolong akan dilaksanakan ketika mereka dewasa kelak. Sebelum masa itu tiba, kedua anak tersebut tetap dalam pengawasan lembaga adat dan aparat negeri lainnya. Meskipun tidak kuasa melawan, Bujang Katinggian tetap mau mematuhi keputusan itu. Oleh sebab itu, ia merencanakan siasat jahat agar memeroleh seluruh harta kekayaan tinggalan ayah tanpa perlu berbagi dengan Buyuang Kacinduan. Ia pun ingin segera terlepas dari pengawasan para tetua Nagari Bayang.

“Buyuang, besok pagi biarlah saya yang menggembalakan sapi. Engkau tinggal sajalah di rumah,” kata sang kakak kepada adiknya. Sang adik yang penurut itu mengiyakan saja perintah kakaknya. “Baiklah Uda,” jawabnya.

Ternyata, sang kakak telah menyiapkan tipu daya untuk adik angkatnya itu. Ia menggembalakan sapi mereka ke tempat yang sangat jauh, tidak ke tempat biasa. Setelah sore ia pun pulang ke rumah, lalu menyuruh adiknya kembali ke tempat penggembalaan dengan alasan bahwa ada ternak mereka yang tertinggal.

“Saya sudah capek, pergilah engkau menjemput sapi yang tertinggal itu,” kata Bujang dengan tegas. Ia sengaja menyuruh adiknya mencari sapi tersebut ke tempat yang jaraknya sangat jauh dari kediaman dan kampung mereka. Ia berharap adiknya akan mati diterkam harimau. Jika Buyuang Kacinduan mati, Bujang terlepas dari kontrol para tetua negeri dan ia pun memiliki seluruh harta kekayaan Pak Tolong seutuhnya. Akal sehat dan nurani Bujang telah dikalahkan oleh nafsu serakah dan angkara murka.

Alangkah riangnya hati Bujang Katinggian. Siasat jahat yang direncanakannya berhasil. Benar saja, sampai keesokan hari, si adik tidak kembali ke rumah mereka. Ia pun memastikan bahwa semua sapi akan menjadi miliknya sendirian. Ia tidak akan bertemu kembali dengan adik angkat yang menurut dia kehadirannya sangat merugikan tersebut. “Anak itu pasti sudah tewas diterkam harimau,” bisik hati Bujang Katinggian senang.

Sementara itu, Buyuang Kacinduan yang sedari senja berjalan dari kampung menuju bibir pantai sedang tertidur pulas di suatu pondok. Ia tiada menyadari bahwa matahari menjelang bersinar. Setelah dilanda ketakutan yang teramat sangat karena seorang diri mencari sapi di malam hari, di saat hujan lebat melanda, dan di rimbunan semak di tepi pantai, anak yang baik hati itu pun menemukan pondok tempat berteduh. Ia pun mendapati tumpukan jala atau pukat bekas yang dapat digunakannya untuk berlindung dari rasa dingin akibat tiupan angin dari tengah laut. Bagaikan didatangkan mukjizat oleh Sang Maha Pengasih, anak itu pun tertidur hingga pagi. Timbunan jala laksana selimut sutra yang menghangatkan tubuhnya. Kilat yang menyambar sambung-menyambung seakan menjadi pelita penerang baginya. Petir, guruh, dan deburan ombak pun berubah menjadi nyanyian alam pesisir yang semakin melenakan tidur si yatim piatu.

Ketika matahari mulai muncul sebagai pertanda pagi telah datang, dengan riangnya Bujang Katinggian menggembalakan kembali sapi-sapinya ke tempat ia kemarin meninggalkan seekor di antara binatang ternaknya itu. Ia ingin mengambil kembali sapi yang ia tinggalkan tersebut. Bujang Katinggian berdendang dengan gembira sambil sesekali menyunggingkan senyum kepada orang yang berpapasan dengannya. Orang-orang heran memandangi kelakuan Bujang karena tidak biasanya ia bertingkah demikian. Biasanya ia memandang tak acuh kepada orang lain dan tidak sebaris pun senyum tersungging darinya. “Apakah kejadian yang membuat Bujang Katinggian yang tinggi hati itu terlihat sangat senang?” tanya seseorang kepada temannya yang juga memandangi Bujang keheranan. “Entahlah. Tidak biasanya orang sombong itu tersenyum. Mendapati pohon durian yang tumbang barangkali sehingga buahnya dapat dipungut sesuka hatinya,” jawab orang yang ditanya dengan jenaka. Bujang Katinggian tidak menghiraukan keheranan orang atas dirinya. Ia memang tiada terbiasa menghiraukan pandangan orang terhadapnya. Apalagi ketika itu pikirannya dipenuhi perasaan senang karena menurutnya Buyuang Kacinduan telah pergi menghadap panggilan Tuhannya. Ia terus mempercepat langkah kakinya sendiri dan menghalau ternak dengan perasaan tidak sabar untuk segera mendapati seekor sapinya yang ditinggalkan tersebut.

Sesampai di padang penggembalaan yang jauh itu, ia melihat sapinya masih berada di tempat dan berjalan ke arah dirinya. Bujang hatinya senang. Sosok Buyuang tiada lagi terbayang. Ia akan segera menggiring semua sapi ke tempat penggembalaan yang biasa. Tidak begitu jauh dari pedalaman kampung dan banyak penggembala yang ikut bergabung.

Namun, Bujang Katinggian sangat terperanjat. Tiba-tiba sapi itu berbicara kepada dirinya ketika mereka saling berhadapan. “Hei… mengapa engkau meninggalkanku kemarin? Engkau harus disini menemaniku. Dasar binatang jahat,” kata sapi itu padanya.

Anak itu sangat heran karena ia dapat mengerti apa yang dibicarakan sapi itu kepadanya. Bujang Katinggian merasa sangat takut. Selain itu, ia juga tidak percaya terhadap pendengarannya. Ia mengorek telinganya berkali-kali dan menepuk pipinya berulang-ulang untuk meyakinkan diri bahwa ia tidak sedang bermimpi. Namun sia-sia, sapi itu benar-benar menatap matanya dan menujukan pembicaraan kepada dirinya.

“Ya kamu, makhluk terkutuk! Tidak usah merasa heran, sapi jahat!” hardik sapi itu kepada Bujang Katinggian. Bujang semakin tidak mengerti karena sapi itu menyebutnya binatang dan sapi pula. “Apa yang sedang terjadi ini,” katanya berteriak tidak mengerti. Ia menggoyang-goyangkan badannya, tetapi terasa sangat berat. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, tetapi terasa sangat susah. Ia juga menatap sapi itu, tetapi sapi balas melotot kepada dirinya. Ia berteriak sekuat-kuatnya, tetapi suaranya tersekat di kerongkongan. Antara perasaan takut dan tidak percaya, anak tertua itu melihat ke tubuhnya sendiri. Alangkah terkejutnya karena ternyata tubuhnya telah berubah menjadi sapi. Pantas saja kalau ia dapat mengerti bahasa binatang tersebut. Pantas pula kalau ia tidak dapat menggerakkan tubuh dengan leluasa. Pantas juga kalau teriakannya berubah menjadi lenguhan.

Perasaannya pun menjadi sangat malu, apalagi ketika dilihatnya adik angkatnya, Buyuang Kacinduan juga berdiri tidak jauh dari tempat itu. Adiknya tersebut terbangun mendengar suara gaduh lenguhan dua ekor kerbau yang saling bersahutan. Buyuang menatap Bujang dengan terkejut dan tidak percaya atas keajaiban yang terjadi. Di tubuh sapi jelmaan Bujang, ia masih mengenali wajah kakak angkatnya itu.

“Uda... Uda... Apa yang sudah terjadi, Uda? Mengapa wujud Uda berubah. Katakan padaku Uda. Jawab Uda!,” Buyuang menangis sambil berlari, berusaha mendekati sapi jelmaan itu. Hatinya sangat iba melihat Bujang Katinggian telah berubah menjadi sapi. Ia tidak rela hal itu terjadi, meskipun terjadi pada kakak angkatnya yang sering menjahatinya. Buyuang Kacinduan tidak rela Bujang Katinggian memeroleh azab atas kelakuan jahatnya. Bagi Buyuang, sejahat apa pun seseorang, seharusnya ia berkesempatan untuk berubah menjadi baik. Oleh sebab itu, ia menangisi keadaan Bujang Katinggian tiada henti-hentinya.

Para warga yang mulai berdatangan hendak memukat di pantai terkejut mendengar tangisan Buyuang. Mereka tidak dapat menanyai Buyuang karena ia larut dalam isakannya. Ketika melihat kepada seekor sapi yang berdiri tidak begitu jauh dari Buyuang, mereka tambah terkejut lagi. Para nelayan itu melihat muka sapi itu berwajah Bujang Katinggian. Mereka mulai dapat menduga bahwa anak jahat itu telah diubah Sang Pencipta menjadi sapi. Mereka pun paham bahwa hal itu terjadi sebagai hukuman atas kejahatan yang pasti sudah dilakukannya.

Berita tentang perubahan wujud Bujang Katinggian menjadi sapi menyebar dari pantai hingga ke pedalaman Nagari Bayang. Orang semakin ramai mengunjungi tempat kejadian tersebut. Sapi jelmaan Bujang Katinggian akhirnya berlari meninggalkan rimbunan semak menuju bibir pantai. Ia malu. Ia menyesal. Ia berlari sampai ke suatu ujung karang. Di tempat tersebut ada lubang sebagai pintu masuk, seperti gua. Sapi jelmaan itu lalu masuk ke gua karang tersebut. Buyuang Kacinduan menyusul sapi jelmaan kakak angkatnya itu menuju gua karang. Ia tidak tega membiarkan Bujang Katinggian menanggung derita itu sendirian. Ia ingin menemaninya dan berbagi derita dengan Bujang Katinggian. Namun, langkah Buyuang tertahan oleh tangan-tangan yang menghalanginya. Orang-orang menyabarkan Buyuang agar tidak menuruti perasaan untuk menyusul kakak angkatnya itu.

“Dengarkan kami baik-baik, Buyuang. Kami maklum dengan kesedihanmu. Kami pun paham dengan kelembutan hatimu. Namun, nasi telah menjadi bubur, sudah terlambat untuk mencegah peristiwa ini terjadi. Untuk mengembalikan keadaan seperti semula pun kita tidak punya kekuasaan. Relakanlah Bujang Kacinduan. Hal yang dapat kita lakukan bersama adalah mendoakannya agar diberi ampunan oleh Tuhan,” seorang pemuka agama menasihati Buyung dengan sungguh-sungguh dan dalam kesedihan yang sangat mendera.

Sedu sedan Buyuang Kacinduan semakin menjadijadi mendengar perkataan itu. Ia teringat kepada Pak Tolong yang baik hati. Ia menyesal tidak mampu berbuat untuk menyelamatkan kakak angkatnya. Ia tidak sanggup memikirkan keadaan Bujang Katinggian. Buyuang menelungkup dalam pelukan Mandeh Rakena yang selama ini dianggapnya sebagai ibunya sendiri. Perempuan separuh baya yang penyayang itu membelai Buyuang dengan kasih sayang yang tulus. Warga Nagari Bayang yang berada di tempat itu berdiri mengelilingi Buyuang. Mereka seakan tak rela Buyuang menanggung derita itu sendirian.

Buyuang Kacinduan bangkit dan menatap ke arah bukit karang. Hatinya trenyuh. Ia kembali menangis. Orang-orang pun turut menangis. Mereka larut dalam kesedihan yang dirasakan Buyuang. Buyuang kemudian tertunduk sambil menadahkan kedua tangannya. Ia berdoa untuk kakak angkatnya, Bujang Katinggian. Ia memohon ampunan kepada Tuhan atas semua dosa Bujang. Semua orang pun ikut memanjatkan ampunan untuk Bujang. Mereka mengaminkan doa-doa yang telah dimohonkan dengan segenap harap agar Yang Maha Pengampun mengabulkannya.

Di dalam gua karang, sapi jelmaan terus-menerus melenguh seakan-akan menyampaikan penyesalan atas perbuatan jahat yang telah dilakukannya. Sapi berwajah Bujang Katinggian itu melelehkan air mata di kedua pipinya. Sesalannya menyayat hati bagi orang yang mendengarkannya. Ratapan sapi jelmaan atas hukuman yang telah diterimanya bergema memenuhi rongga gua karang.

Orang-orang di sekeliling tempat itu sering mendengar lenguhan tersebut. Kadang-kadang para nelayan terkejut mendengar lenguhan itu berganti dengan suara isakan tangis seorang laki-laki remaja yang parau. Para nelayan sering menjauhi gua karang itu. Mereka tidak tega mendengar lenguhan atau isakan menghiba itu. Orang lain yang kebetulan berada di tempat itu pun merasa iba hati bila mendengar suara dari dalam gua karang.

Warga Nagari Bayang akhirnya menamai gua karang tersebut Karang Malanguah atau Karang Melenguh. Suara lenguhan itu diyakini hingga kini masih sering didengar oleh orang-orang yang berada di sekitar gua Karang Malanguah. Penamaan itu dilakukan sebagai peringatan bagi semua orang bahwa setiap kejahatan pasti akan mendatangkan celaka bagi pelakunya. Tuhan tidak akan pernah membiarkan kejahatan merajalela di bumi ini. Demikian pula halnya dengan kebaikan. Semua kebaikan pasti akan menghasilkan hal yang baik pula. Tuhan selalu membalas kebaikan dengan hal-hal baik yang tidak dapat diduga manusia.

Sama halnya dengan Buyuang Kacinduan yang telah menyemai kebaikan, maka kebaikan pula yang diterimanya di kemudian hari. Buyuang Kacinduan dan orang-orang di Nagari Bayang tidak pernah menduga bahwa anak yatim piatu dan anak angkat itu akan menjadi pewaris tunggal harta kekayaan Pak Tolong. Ternyata Tuhan telah memilih orang yang sangat tepat agar warisan itu bermanfaat bagi banyak orang. Buyuang Kacinduan meneruskan kebiasaan Pak Tolong menjadikan harta kekayaan untuk menolong kesulitan hidup orang banyak, yaitu warga Nagari Bayang yang kurang berkecukupan

Ditulis oleh: Dr. Eva Krisna Diterbitkan oleh: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan

DISKUSI


TERBARU


Tradisi Sekaten...

Oleh Journalaksa | 29 Oct 2024.
Tradisi Sekaten Surakarta

Masyarakat merupakan kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia saling terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyar...

Seni Tari di Ci...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Seni Tari Banyumasan

Seni tari merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Cilacap. Tari-tarian tradisional yang ber...

Wayang Banyumas...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Wayang Banyumasan

Wayang merupakan salah satu warisan budaya tak benda Indonesia yang memiliki akar dalam sejarah dan tradisi Jawa. Sebagai seni pertunjukan, wayang te...

Ekspresi Muda K...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Ekspresi Muda Kota

Perkembangan teknologi yang semakin pesat tidak hanya ditemui pada bidang informasi, komunikasi, transportasi, konstruksi, pendidikan, atau kesehatan...

Refleksi Realit...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Refleksi Keraton Yogyakarta Melalui Perspektif Sosiologis

Manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Adanya manusia menjadi penyebab munculnya kebudayaan. Kebudayaan sangat penting dalam k...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...