|
|
|
|
Kampung Tarondam Tanggal 23 Feb 2021 oleh Widra . |
Pada zaman dahulu, tersebutlah sebuah negeri terpencil yang diberi nama Soban. Negeri ini adalah salah satu negeri yang berada di antara Sungai Kuantan dan Sungai Singingi. Penduduknya bekerja sebagai petani, berladang, dan menjadi penyadap karet. Karena berada di antara dua sungai, negeri ini memiliki tanah yang subur. Tanaman penduduk negeri Soban itu pun banyak menghasilkan. Sungai juga memberkahi penduduk negeri itu dengan air bersih yang sangat berlimpah, air yang tiada berkurang walaupun musim kemarau berlangsung cukup panjang. Oleh karena itu pulalah, sawah mereka jarang gagal panen. Masyarakat negeri Soban hidup dengan penuh berlimpahan berkah.
Anugerah penduduk negeri Soban makin lengkap karena mereka memiliki pemimpin yang luar biasa. Negeri itu dipimpin oleh seorang raja bernama Datuk Bandara. Ia adalah seorang raja yang arif, bijaksana, dan sangat menyayangi rakyatnya. Waktunya selalu habis untuk memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Rakyat pun membalas cinta rajanya dengan perhatian yang serupa. Akan tetapi, ada satu hal yang belum lengkap dalam kehidupan sang Raja, yakni beliau tidak memiliki pendamping hidup, apalagi memiliki anak. Datuk Bandara merasa hidupnya sangat sepi. Hal ini tak luput menjadi perhatian para penduduk. Mereka mengkhawatirkan keadaan rajanya tersebut.
Beban pikiran itu selalu membebani Raja sehingga wajahnya selalu terlihat murung. Datuk Bandara sering terlihat duduk melamun. Pikirannya jauh menerawang menembus batas pandangannya. Nafsu makannya pun berkurang belakangan ini ,tidak seperti biasanya. Walaupun hartanya berlimpah, dayang-dayangnya banyak, hulubalangnya banyak, semua itu tak mampu mengurangi kesedihannya. Salah satu menterinya prihatin dengan keadaan rajanya. Ia adalah seorang menteri yang bijaksana. Pada suatu kesempatan, menteri itu berniat untukmengunjungi rajanya. Saat itu, raja sedang melamun di beranda belakang istana. Menteri yang bijak itu bertemu ajudan Raja terlebih dahulu sebelum menghadap sang Raja.
“Tuan Raja Datuk Bandara ada, Hulubalang?” tanyanya. “Ah, Tuan Menteri Samporono, beliau ada, tetapi pikirannya tiada.” “Apa maksudmu?” tanya menteri itu penuh rasa heran. “Belakangan ini beliau selalu terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu. Raganya di sini, tetapi rohnya entah di mana. Ia tidak pernah bercerita para menterinya,” jawab ajudan itu setengah berbisik kepada Menteri itu. “Beliau hanya selalu terlihat duduk melamun seorang diri,” lanjut Hulubalang. Menteri tua itu mengerti apa yang disampaikan oleh hulubalang. Ia pun menghela napasnya panjang. Seakan-akan ia dapat mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh sang Raja. “Ada apa, Menteri?” Menteri tergagap sejenak lalu ia berujar. “Beliau butuh tempat untuk bercerita, Hulubalang. Cerita yang tidak bisa dibagi kepada sembarang orang,sangat pribadi sekali,” jawab sang Menteri dengan wajah serius. “Maksud Menteri siapa?” tanya Hulubalang bingung. “Maksud saya, jika Raja mempunyai seorang istri, beliau dapat berbagi masalah ini kepada istrinya, Hulubalang. Barangkali hal itulah yang mulai mengganggu pikirannya,” jawab sang Menteri. Hulubalang manggut-manggut. Tak pernah terpikirkan olehnya selama ini. “Aku permisi dulu, Hulubalang. Ada laporan yang harus kusampaikan kepada Raja,” ujar Datuk Samparono.
Sang Menteri menduga-duga, Datuk Bandara resah tentang penggantinya kelak setelah beliau tiada. Sang Menteri sedang memikirkan siapakah yang paling pantas dan dipercaya sebagai pengganti Raja kelak setelah Raja tiada. Namun, sang Menteri tidak menyinggung hal tersebut sama sekali. Ia malah mengajak Raja bercakap-cakap santai di beranda belakang istana. Tutur bahasanya yang menarik dan pengetahuannya yang luas membuat perhatian Raja teralih sejenak padanya. “Kau benar-benar seorang cendekia, Datuk Samparono. Aku menganggumi kebijaksanaanmu,“ ujar Raja sambil tertawa. “Semua kebijaksanaan ini saya peruntukkan bagi kesejahteraan negeri Soban, Tuanku,” jawab sang Menteri merendah. “Aku percaya padamu,” kata Raja penuh keyakinan. Menteri itu tersenyum lalu berkata, “Kalau memang Raja percaya pada hamba, maukah Tuan berbagi kesedihan Tuan kepada saya?” Raja tersentak. Ia terdiam lama. Ternyata, Datuk Samparono pun tahu akan keresahan dirinya. Sebagai orang yang lebih dituakan di kerajaan, ia tentu sudah penuh pengalaman mengenai hal seperti ini. Ia tersenyum tenang. Lagi pula sesungguhnya ia sudah tahu jawabannya. “Jika memang berat bagi Tuanku untuk berbagi, setidaknya dengarkan saranku ini. Jawaban dapat datang dari tempat yang tak pernah kita duga. Hamba sarankan Tuanku untuk pergi berburu. Semoga dengan pergi berburu beban pikiran yang sedang Tuanku rasakan dapat terkurangi. Semoga di sana Tuanku dapat menemukan jawaban dari permasalahan yang sedang Tuanku hadapi. Setidaktidaknya dapat mengurangi beban pikiran Tuanku.”
Setelah lama bertukar pikiran dengan Raja, sang Menteri pun mohon undur diri meninggalkan Raja yang masih termenung di beranda belakang kerajaan sembari berpesan. “Semoga masalah Datuk Bandara cepat mendapatkan jalan keluarnya.”
Esok harinya cuaca pagi sangat cerah. Matahari bersinar penuh. Langit biru tanpa dibubuhi awan putih. Datuk Bandara memilih mengikuti nasihat sang Menteri. Ia berniat pergi berburu ke hutan untuk mengurangi kesedihannya. Diiringi oleh beberapa orang hulubalang, Raja berangkat masuk hutan keluar hutan mencari hewan buruan. Namun, hingga siang hari belum ada satu pun hewan buruan dapat tertangkap. Raja dan para hulubalang tak habis pikir. Padahal, mereka sudah jauh berada di tengah hutan, yakni sebuah tempat yang masih sangat asri. Mana mungkin tidak tampak satu pun hewan di tengah hutan terpencil ini?
“Kita istirahat dulu, Hulubalang,” titah sang Raja. Tampak sekali bahwa sang Raja sungguh merasa lelah. “Baik, Tuanku,” jawab sang Hulubalang. Ia lalu memerintahkan seorang hulubalang mencari tempat untuk beristirahat. Mereka menemukan sebuah pohon besar, tinggi, dan rindang sekadar untuk beristirahat melepaskan penat di bawah pohon itu. Ternyata, pohon itu adalah pohon manggis yang sudah mulai berbuah sangat lebat. Buah-buah manggis itu ada yang masih hijau, tetapi ada buah manggis yang sudah mulai matang berwarna ungu. Para hulubalang pun tergiur memetiknya dan mereka sangat menikmati buah manggis yang sangat manis.
Pohon manggis yang rindang itu juga menjadi tempat bersarangnya beberapa macam burung. Burung-burung terdengar sedang berkicau, bersahutan memecah kesunyian hutan dan menambah keindahan alami hutan belantara itu. Hal itu membuktikan bahwa hutan itu masih jarang dikunjungi orang. Oleh karena itu, hutan itu tampak masih asri.
Di hutan itu rombongan Raja menikmati bekal yang disediakan oleh para pelayan istana. Para pelayan dengan sigap menyediakan makan siang Raja. Bermacam-macam bekal yang telah dipersiapkan dari istana mulai ditata dan dihidangkan di hadapan Raja agar segera dinikmati Raja. Terlihat sang Raja sangat menikmati hidangan yang telah disiapkan itu sebagai makan siang.
Karena terlalu lelah dan juga terlalu kenyang, setelah makan, Datuk Bandara menyandarkan dirinya di batang pohon tersebut. Tubuh yang lelah, rimbun pepohonan, dan angin sepoi-sepoi membuat sang Raja mengantuk dan beberapa saat kemudian tertidur pulas.
Datuk Bandara tertidur sangat lelap di bawah rerimbunan pohon manggis. Dalam tidurnya Raja bermimpi. Di dalam mimpinya itu tiba-tiba beliau didatangi oleh seekor anak kera putih yang lucu dan menggemaskan. Anak kera tersebut begitu akrab dengannya. Mereka seperti sudah bersahabat lama sekali sehingga bisa bermain dan bercanda dengan riangnya. Raja dapat melupakan kesedihannya selama ini dan merasa bahagia karena anak kera tersebut. Tiba-tiba anak kera itu berlari pergi menjauhi sang Raja. Raja mencoba memanggil-manggil anak kera tersebut, tetapi anak kera itu tetap saja berlari dan menghilang dari pandangan Raja.
Raja tersentak bangun. Beliau melihat di sekelilingnya. Beliau mencari anak kera putih yang ada dalam mimpinya itu, tetapi anak kera tersebut tak ditemukannya. Ia langsung berdiri dan mencari di sekitar tempat mereka beristirahat. Para hulubalang bingung melihatnya. “Apakah gerangan yang sedang dicari oleh Raja? Adakah yang hilang selama beliau tertidur tadi? Bukankah kita selalu ada di sini menjaga Baginda?” gumam seorang hulubalang. “Di manakah kera putih itu hulubalang? Apakah engkau melihatnya?” tanya Datuk Bandara kepada hulubalang yang berada di dekatnya.
Hulubalang merasa heran. Sejak rajanya tertidur di bawah pohon, hulubalang tidak melihat seekor anak kera pun di sini. Ketika melihat hulubalangnya diam saja, Raja kembali bertanya. “Apakah engkau tidak melihat anak kera putih lucu yang bermain denganku tadi?” “Maafkan hamba, Tuanku. Saya tidak mengerti apa yang Tuan bicarakan? Sejak Tuanku tertidur di bawah pohon ini, hamba tidak melihat seekor anak kera pun,” jawab hulubalang tersebut.
Datuk Bandara pun terdiam. Mimpinya terasa sangat nyata sehingga Raja merasa anak kera itu benar-benar ada. Raja sejenak termenung memikirkan mimpinya yang baru saja terjadi. Karena merasa penasaran, Raja pun memanggil penasihatnya dan menceritakan mimpinya itu. Saat mereka asyik berbincang, tiba-tiba tanpa disadari oleh mereka berdua muncullah seekor anak kera di hadapannya. Anak kera putih yang lucu dan menggemaskan menatap kepadanya. Raja pun segera menyadari bahwa kera itulah yang hadir dalam mimpinya itu.
Datuk Bandara pun mendekati anak kera tersebut. Anak kera itu tidak takut ketika didekati Raja kemudian diusapnya kepala anak kera itu. Diulurkannya tangan ingin menggendong anak kera tersebut dan anak kera itu hanya diam serta tidak takut kepada Raja lalu Raja berkata. “Bolehkah aku menggendongmu, wahai anak kera?” tanya Raja. Seperti mengerti apa yang diucapkan Raja kepadanya, anak kera itu hanya diam dan membiarkan Raja menggendong dirinya.
Datuk Bandara mencoba mengamati sekelilingnya apakah induk kera ada di sekitarnya. Namun, setelah dicari, induk kera putih itu tidak ditemukan. Datuk Bandara memutuskan untuk membawa anak kera tersebut ke istana dan seolaholah bertanya kepada anak kera tersebut. “Maukah engkau kuajak tinggal di istana bersamaku?” Anak kera itu pun menggangguk-angguk seperti menyetujui pertanyaan Raja kepadanya. Seakan ada ikatan batin di antara keduanya, mereka pun saling merasa dekat, seperti sudah berteman lama, dan saling merindukan dalam pertemuan itu. Mereka pun segera bersiap-siap untuk kembali ke istana. “Hulubalang, matahari sudah mulai condong ke barat, sebaiknya kita kembali ke istana supaya tidak kemalaman di jalan,” ajak Raja kepada para hulubalangnya. “Baik, Baginda, kita segera berangkat sekarang,” jawab hulubalang sembari mengumpulkan semua peralatan yang sudah dikeluarkan selama mereka beristirahat di bawah pohon. Setelah matahari tenggelam, mereka pun baru tiba di istana.
Sejak itu pula Datuk Bandara mulai terlihat bahagia. Hari-harinya mulai terasa bermakna. Beliau selalu bermain dengan anak kera tersebut. Anak kera itu kemudian diberinya nama Kasih. Kasih tumbuh besar, sehat, dan lincah. Ia sangat menyayangi Datuk Bandara. Hari-hari mereka lewati dengan penuh canda dan kasih sayang. Datuk Bandara telah menganggap Kasih bagaikan putrinya sendiri.
Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Tahun demi tahun pun berlalu. Kasih sudah bertumbuh semakin dewasa. Datuk Bandara menatap Kasih yang sedang bermain bersama seorang dayang. Raja pun berpikir seandainya ia wafat, siapakah yang akan menjaga Kasih? Apakah orang tersebut akan menyayangi Kasih seperti ia menyayanginya? Timbul hasrat di hatinya untuk menikahkan Kasih supaya suaminya dapat menyayanginya seperti ia menyayangi Kasih. Raja pun dapat menitipkan kerajaan dan rakyatnya kelak kepada suami Kasih agar rakyatnya pun tidak terlantar karena penggantinya kelak arif dan bijaksana.
Suami Kasih haruslah seorang laki-laki yang saleh karena Raja akan menjadikan suami Kasih menjadi pewaris tahtanya. Raja berharap menantunya kelak dapat memimpin kerajaan itu dengan adil dan bijaksana. Ia juga berharap menantunya sayang kepada rakyatnya, seperti Raja menyayangi mereka. Diam-diam Raja pun mulai mencari calon suami untuk Kasih. Setiap Raja bertemu seorang pria, dia menakar-nakar kepantasannya sebagaisuami Kasih. Dia juga memasang telinga apabila ada berita tentang seorang yang terkenal saleh di sekitar negeri Soban.
Setelah beberapa waktu mencari, suatu ketika Raja berkeliling negeri Soban. Di perjalanan, ia bertemu dengan seorang pemuda sederhana dan sangat sopan. Hatinya sungguh penasaran dengan pemuda tersebut. Setelah pemuda itu berlalu, ia bertanya kepada seorang menterinya, “Siapa pemuda itu?” “Pemuda yang tadi berpapasan dengan kita yang Tuanku maksud?” “Iya. Dia yang kumaksud,” jawab sang Raja. “Saya akan mencari tahu dari penduduk di sekitar sini, Tuanku,” jawab si Hulubalang sambil bergegas bertanya pada penduduk setempat. Menurut orang-orang di kampung tersebut, pemuda itu adalah orang yang alim dan taat beragama. Oleh karena itu, ia diberi gelar Malin (orang yang paham agama).
Masyarakat di sekitarnya sering bertanya kepada Malin tentang masalah yang sedang melilit, baik masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah kepada Tuhan maupun ibadah rumah tangga antara suami dan istri. Walaupun belum menikah, ia selalu dapat memberikan jawaban atau jalan keluar yang baik dari permasalahan tersebut. Karena kemampuannya tersebut, namanya sangat dikenal oleh masyarakat di sekitarnya. Ketenarannya bahkan sudah tersebar hingga ke negeri tetangga.
Demi mendengar cerita ini, Datuk Bandara kagum bukan kepalang. Datuk Bandara merasa pemuda ini pantas menjadi menantunya. Pemuda ini pun pantas menggantikannya sebagai seorang raja. Raja kemudian memanggil pemuda tersebut ke istana. Pemuda itu sangat terkejut. Hatinya bertanya-tanya kesalahan apa gerangan yang telah dilakukannya sehingga ia dipanggil ke istana untuk menghadap Raja. Semalaman ia tak mampu memejamkan matanya karena memikirkan kesalahan apa yang telah dilakukannya.
“Apa gerangan kesalahan yang telah kulakukan sehingga Raja memanggilku ke istana? Apakah sikapku tidak sopan ketika aku memberi hormat kepadanya kemarin sehingga aku harus meminta maaf kepada Raja ke istana?” pikir Malin Sampai. Keesokan harinya, dengan penuh rasa takut Malin pun melangkah menuju ke istana. Sesampainya di istana, ia langsung dibawa hulubalang untuk menghadap Raja. Ia berjalan di belakang hulubalang dengan sejuta pertanyaan di kepalanya. Ia tak mampu menghilangkan rasa takutnya. Sesampai di muka singgasana, ia menunduk memberi hormat kepada Raja seraya berkata. “Hamba menghadap, Tuanku”, ujarnya dengan sopan. “Kuterima hormatmu. Siapa namamu wahai pemuda yang budiman?” tanya Raja kepadanya. “Nama hamba Sampai, Yang Mulia, tetapi orang-orang selalu memanggil saya dengan sebutan Malin Sampai,” jawabnya pelan. “Apa pekerjaan orang tuamu, Sampai?” tanya Raja kembali. Malin Sampai tidak segera menjawab. Ia lalu berkata, “Hamba yatim piatu, Yang Mulia. Hamba hanya sebatang kara”. “Apa pekerjaanmu sehari-hari?” tanya Raja lebih ingin tahu lagi. “Setiap pagi hingga petang hamba makan upah di ladangnya Pak Taher,” jawabnya sambil menunduk. “Berapa hasil yang kaudapat dari pekerjaanmu itu?” Raja kembali bertanya. “Setiap pagi sebelum berangkat ke ladang, saya mampir ke rumah Pak Taher. Istrinya memberi hamba bekal berupa nasi dan sayur yang dibungkus dengan daun pisang. Bekal itu cukup untuk hamba makan siang dan malam, Tuan,” jawabnya polos. “Berapa jauh ladang Pak Taher tersebut?” tanya Raja lebih ingin tahu lagi. “Lumayan jauh, Tuan. Saya harus melewati lima buah bukit untuk sampai di sana.” “Berapa hasil yang kaudapat dari ladang tersebut?” tanya Raja lagi padanya. “Setelah ladang tersebut menghasilkan, hasil penjualan dari yang saya tanam di ladang tersebut dibagi tiga, sepertiga untuk saya, yang dua pertiga untuk Pak Taher,” jawab Malin Sampai dengan lugu.
Ketika mendengar jawaban pemuda lugu itu, Datuk Bandara pun manggut-manggut. Ia paham bagaimana sulitnya kehidupan Malin Sampai. Namun, kesulitan itu tidak membuatnya menjadi lalai akan ibadahnya kepada Allah. Raja semakin yakin akan kebaikan budi Malin Sampai. Kemudian, Datuk Bandara menyampaikan maksud dan keinginannya kepada Malin Sampai. Ia ingin menjadikan Malin Sampai sebagai menantunya. Malin Sampai terkejut bercampur bangga karena akan menjadi menantu Raja. “Wahai, Malin Sampai, maukah engkau kujadikan menantuku?” tanya raja dengan hati-hati. “Ssssaya, Tuanku?” tanya Malin Sampai dengan gugup. “Ya, engkau,” jawab Raja dengan tersenyum. “Apakah engkau bersedia?” tanya Raja kembali. “Apakah saya pantas menjadi menantu Raja?” Malin Sampai balik bertanya. “Ya, Malin Sampai, orang seperti dirimu inilah yang kuharapkan nanti akan meneruskan kerajaanku ini bersama anakku, Kasih,” jawab Raja dengan tegas.
Malin Sampai hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk tanda setuju. “Baiklah, Malin Sampai, sekarang saya mengerti siapa engkau sesungguhnya. Apa yang saya dengar selama ini ternyata benar adanya. Saya semakin bersimpati kepadamu dan semakin yakin untuk menitipkan anakku, Kasih, kepadamu,” ujar Raja. “Saya akan menikahkan engkau dengan putriku satu-satunya. Semoga engkau dapat menyayangi putriku dengan tulus dan ikhlas dan menggantikan posisiku kelak bersamanya. Semoga engkau juga dapat menyayangi rakyatku dengan sepenuh hati seperti aku menyayangi rakyatku. Aku percaya bahwa engkau mampu menjadi raja yang sangat menyayangi rakyatnya,” pesan Raja kepada Sampai.
Dengan senang hati ia menerima keinginan Raja. Betapa bangganya Malin Sampai ketika akan dijadikan menantu Raja. “Terima kasih, Tuan, jika Tuan percaya kepada hamba untuk menjadi pendamping Putri Tuan,” jawabnya sedikit malu-malu. “Saya akan mencoba melanjutkan kepemimpinan Tuan, semoga hamba mampu melaksanakan harapan Tuan kepada saya,” jawabnya dengan rendah hati.
Setelah pertemuan Datuk Bandara dengan Malin Sampai tersebut, Datuk Bandara mulai mempersiapkan acara pernikahan. Ia memanggil menteri yang bertugas mengurus rumah tangga Raja. “Wahai Menteri, tahukah engkau mengapa aku memanggilmu?” tanya Datuk Bandara. “Wahai, Tuanku, hamba adalah menteri yang bertugas untuk mengurusi rumah tangga. Jika saya dipanggil, pastilah Tuanku akan mengadakan sebuah hajatan besar,” jawab menteri itu. “Kau benar, Menteri. Aku memanggilmu karena aku ingin engkau mempersiapkan sesuatu untukku. Aku ingin engkau mengadakan pesta pernikahan,” jawab Datuk Bandara. Dalam hati menteri itu bertanya-tanya heran. Namun, terselip juga rasa gembira, mungkinkah sang Raja akan menikah? Putri dari negeri manakah yang akan dilamarnya? Ia memberanikan diri untuk bertanya, “Pernikahan siapakah, Tuanku? Apakah ini pernikahan Tuanku Raja?” “Bukan. Ini pernikahan untuk putriku,” jawab Datuk Bandara. Sang Menteri Rumah Tangga terperanjat. Gembira di hati Menteri berubah menjadi rasa heran. Bukankah Raja tidak memiliki seorang istri? Bagaimana mungkin dia memiliki seorang putri? Lalu, putri yang manakah yang ia maksud?
“Mengapa diam saja, Menteri? Bergegaslah. Ada banyak hal yang harus kaupersiapkan. Aku ingin pesta ini berlangsung semeriah mungkin,” tegur Datuk Bandara. Menteri terkejut. Ia segera undur diri. Tidak berani bertanya pada sang Raja lebih jauh lagi. Menteri tersebut lalu memanggil para pemuka adat. Dia meminta nasihat mengenai hal-hal yang harus dipersiapkan untuk menyelenggarakan sebuah pesta pernikahan.
Para pemuka adat menyambut gembira hal tersebut. Mereka mengira bahwa Datuk Bandara akhirnya akan menikah. “Akhirnya, Raja kita menemukan tambatan hatinya,” kata seorang tetua adat. “Bukan pernikahan Raja, Datuk. Ini untuk pernikahan putrinya,” sanggah Menteri Urusan Rumah Tangga. “Putrinya? Putrinya yang mana?” tanya Datuk tersebut keheranan. “Apakah diam-diam Raja memiliki seorang putri di luar nikah. Ini sebuah aib,” teriak tetua adat yang lain. “Kita harus menanyakan masalah ini kepada Raja,” kata tetua adat yang lain. “Aku setuju,” teriak tetua adat lain.
Menteri menjadi cemas. Ia tahu bahwa Datuk Bandara sangat tidak suka jika ditanyai perkara pernikahan ini. Ia berusaha menenangkan para tetua adat. “Tenang, tenang, Datuk-Datuk. Aku paham kebingungan majelis ini. Keheranan yang sama pun kurasakan. Namun, titah Raja sudah jelas. Raja ingin pernikahan ini diadakan sesegera mungkin. Ia tidak ingin kita bertanya saat ini. Jika ada yang harus kita selesaikan, marilah kita selesaikan segera,” katanya.
Para tetua adat terdiam. Mereka merasa bahwa apa yang dikatakan sang Menteri ada benarnya. Biarlah masalah ini diselesaikan nanti. Saat ini mereka harus memberi perhatian pada persiapan upacara pernikahan. Sang Menteri mulai mengumpulkan seluruh hulubalang dan pelayan di istana. Ia memberitahukan bahwa akan ada pesta yang meriah di istana. Raja akan menikahkan putrinya. Semua menyambutnya dengan gembira, tetapi siapakah yang akan dinikahkan oleh Raja?
Hulubalang pun memberi isyarat kepada mereka untuk tidak banyak bertanya dalam hal ini. Pelayan istana diminta mengerjakan saja apa yang menjadi tanggung jawab mereka. Mereka pun tidak ingin memperbanyak pertanyaan. Pesta berarti bergembira. Dengan segera sudut-sudut ruang istana dihias. Dayang-dayang istana mulai terlihat sibuk. Para juru masak mulai mempersiapkan bahan makanan. Semua persiapan untuk acara pernikahan telah disiapkan dengan sangat meriah. Terlihat kesibukan di setiap sudut istana. Undangan pun telah disebar. Bersama tersebarnya undangan, tersebar pula pertanyaan. Rakyat mulai berbisik-bisik bahwa Datuk Bandara akan melaksanakan hajatan besar. Sebuah acara pernikahan. Rakyat pun mulai bertanya-tanya siapakah yang akan dinikahkan oleh Raja? Dengan siapakah Malin Sampai akan dinikahkan oleh Raja? Rakyat tidak mampu untuk menjawabnya. Rakyat tahu bahwa Raja hanya seorang diri, tidak mempunyai istri apalagi mempunyai anak.
Di dalam istana, persiapan pernikahan tetap berlanjut. Raja telah menyiapkan Mak Andam sebagai perias pengantin perempuan. Mak Andam dimintanya untuk tidak banyak berbicara mengenai Kasih. Mak Andam menurut karena takut. Oleh Mak Andam, Kasih dibuatkan baju yang cantik, didandani layaknya seorang Putri Raja yang akan menikah. Pelaminan sudah tersedia tempat Kasih dengan pasangannya akan duduk bersanding dan dapat dilihat oleh orang banyak.
Tibalah hari yang telah ditentukan. Pada hari itu Raja akan menikahkan Malin Sampai dengan anaknya. Penduduk desa berduyun-duyun datang ke istana. Semua orang ingin mengetahui siapa yang menjadi calon pengantin wanitanya. Siapa putri Raja Datuk Bandara tersebut? Rasa heran masyarakat dapat dimaklumi karena setahu mereka Datuk Bandara tidak mempunyai anak perempuan. Persiapan untuk acara pernikahan lengkap dan telah tersedia semuanya. Rakyat sudah banyak yang berkumpul. Malin Sampai datang. Ia datang menaiki sebuah kereta kuda yang telah dipersiapkan oleh kerajaan. Ia diantar oleh Pak Taher dan istrinya ke istana.
Sesampainya di istana, Malin Sampai langsung diantarkan ke tempat duduk calon mempelai pria untuk melakukan serah terima pernikahan, dikelilingi oleh para menteri dan tetua adat Malin Sampai sudah menunggu dengan pakaian yang mewah bagaikan raja muda. Hatinya dipenuhi rasa bangga. Ia pun merasa senang sekali dengan keadaan ini. Sebentar lagi ia akan menjadi menantu Raja. Ia akan menjadi pewaris negeri Soban ini.
Demi melihat semuanya sudah cukup, Datuk Bandara memerintahkan pengantin wanitanya dibawa keluar. Mak Andam segera mempersiapkan Kasih untuk dibawa keluar. Tak lama kemudian Kasih dibawa keluar untuk dipertemukan dengan Malin Sampai. Malin Sampai terperangah. Para pengunjung terkejut dan semua mata memandang penuh keheranan. Mak Andam datang sambil menuntun seekor kera betina yang telah didandani bagaikan seorang putri raja. Inikah pengantin wanita yang akan menikah?
Semua orang yang hadir pada acara tersebut terkejut dan marah kepada Datuk Bandara. Malin Sampai menjadi marah. “Yang Mulia, aku menolak pernikahan ini. Aku tidak bersedia dinikahkan dengan seekor kera betina meskipun kera itu seorang putri raja,” teriaknya. Raja mencoba memberikan penjelasan. “Wahai, Malin Sampai, pernikahan ini hanya simbol bahwa ada ikatan antara kau dan aku. Aku ingin menyerahkan kerajaan ini kepadamu, aku berharap engkau akan menggantikanku kelak memimpin rakyatku. Dengan bekal ilmu yang kau miliki, aku berharap engkau akan mampu memimpin kerajaan ini dengan adil. Engkau pun akan mencintai rakyatku seperti aku mencintai mereka. Aku ingin negeri dan rakyatku hidup sejahtera dan damai,“ kata Raja mencoba memberikan pengertian kepada Malin Sampai. “Ya, Yang Mulia, tetapi aku tidak harus menikah dengan seekor kera karena aku manusia.” Raja mencoba menyampaikan apa yang ada di pikirannya. “Wahai, Malin Sampai, jika engkau tidak menikah dengannya aku tidak boleh menyerahkan kerajaan ini kepadamu karena aku telah bersumpah bahwa aku hanya akan menyerahkan kerajaan ini pada pemuda yang mau menikahi anakku, Kasih.” “Kasih sudah kuanggap sebagai anakku sendiri. Rasa cinta dan sayangku padanya dan kelanjutan masa depannya setelah aku tiada yang mendorongku untuk bersumpah,” Raja coba menjelaskan. “Tuanku, Yang Mulia, aku tidak bisa menerima putusan ini. Sebagai manusia normal, aku tidak boleh menikah dengan hewan apa pun karena agamaku tidak memperbolehkannya,” jawab Malin Sampai dengan tegas.
Raja hanya mampu tertunduk lesu. Ia tidak tahu lagi bagaimana harus menjelaskannya. Kerajaan yang dimilikinya dan Kasih yang dicintainya adalah dua hal yang ingin diselamatkannya sebelum ajal menjemputnya. Tidak ada orang yang dapat memahami perasaannya. Tidak ada yang mengerti apa yang dirasakannya. Hatinya gundah gulana. Pikirannya kacau. Ia hanya mampu tertunduk memikirkan masalah ini. Semua hadirin menganggap bahwa Raja telah bersikap tidak baik. Bahkan, sebagian lagi menganggap bahwa Raja telah gila dan yang lainnya berbisik-bisik bahwa ini muslihat Raja supaya tahtanya tidak jatuh kepada orang lain.
Bagaimanapun tingkah laku Datuk Bandara yang berusaha menikahkan seorang manusia dengan seekor kera tidak dapat dibenarkan. Semua menteri, hulubalang, dayang-dayang kerajaan, serta khalayak yang menyaksikan ini mengutuk perbuatan Raja. Secara spontan masyarakat langsung menyumpahi Raja dan juga kerajaannya. Mereka mengutuk negeri Soban supaya terendam dan ditelan oleh air bah sehingga pernikahan tersebut tidak dapat terlaksana.
Tiba-tiba angin bertiup dengan kencang, pohon-pohon yang ada di halaman istana banyak yang tumbang, balai-balai yang didirikan untuk menyelenggarakan hajatan itu pun ikut ambruk. Hujan turun dengan derasnya diiringi sambaran petir silih berganti. Langit berubah menjadi gelap, suasana mulai mencekam. Dengan cepat sekali air menggenang di mana-mana. Hujan yang turun deras sekali dan tak henti-hentinya menyebabkan air sungai meluap menggenangi kampung dan mulai tenggelam sedikit demi sedikit hingga semuanya hilang dari pandangan mata. Air menggenang bagaikan sebuah danau yang sangat luas. Masyarakat yang hadir untuk menghadiri hajatan yang dibuat Raja mulai berlari ke sana kemari menyelamatkan diri.
Suasana semakin mencekam. Masyarakat pun mencoba menyelamatkan diri dengan berlari mencari tempat yang lebih tinggi sambil berteriak-teriak. “Lari, lari! Air bah datang! Air bah datang!” “Cari tempat yang lebih tinggi, selamatkan diri ke sana!” Rakyat saling mengingatkan.
Dalam sekejap keadaan menjadi berubah. Istana Raja mulai digenangi air yang makin lama makin tinggi. Perlahan, tetapi pasti istana Raja pun mulai tenggelam. Daerah di sekitar istana berada berubah menjadi sebuah genangan air yang luas. Tempat itu kemudian dikenal menjadi Kampuang Tarondam (kampung terendam).
Masyarakat mencoba menyelamatkan diri ke bukit terdekat yang berada tidak jauh dari istana. Sebagian bisa mencapai puncak bukit dan dapat selamat dari musibah tersebut, sedangkan yang tidak mampu berlari menyelamatkan diri banyak yang mati tenggelam karena arus air yang deras dan bergerak cepat sekali. Bukit yang mereka jadikan tempat berlindung dari air bah tersebut dikenal dengan Bukit Kasih tak Sampai.
Cerita ini diakui keberadaannya di Kecamatan Pucuk Rantau, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau.
Hikmah yang dapat diambil dari cerita ini adalah tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |