Kabuto merupakan salah satu makanan khas Masyarakat Muna, Sulawesi Tenggara. Sekilas, makanan Kabuto ini mirip dengan makanan Gathot Gunung kidul, Yogyakarta. Kedua makanan ini memiliki sedikit kesamaan. Letak kesamaanya adalah sama-sama berbahan dasar ketela pohon (singkong) atau ubi kayu yang telah kering dan kemudian baru dimasak. Perbedaannya hanya dari bahan pelengkapnya. Bahan pelengkap Gathot adalah sedikit parutan kelapa dan garam untuk memberikan rasa asin atau bila menginginkan sedikit rasa manis bisa memberikan campuran gula merah. Namun, Kabuto sedikit berbeda yaitu selain memberikan campuran parutan kelapa juga memberikan tambahan campuran ikan asin goreng. Kabuto sudah menjadi makanan pokok pengganti nasi masyarakat Muna sejak zaman dahulu, terutama yang di sekitar pesisir pantai. Jika masa paceklik tiba, makanan kabuto sangat di butuhkan dan banyak di konsumsi oleh masyarakat di sana untuk penguat tubuh. Di sekitar pesisir Muna sulit untuk menanam padi sehingga mereka...
Pendidikan Seorang Puteri di Puri Mangkunegaran menurut sejarah sebenarnya sudah ada sejak Kadipaten Mangkunegaran berdiri pada tahun 1757 Pendidikan seperti ini ada juga di Keraton baik Surakarta maupun Yogyakarta hanya yang begitu marak di Pura Mangkunegaran. Terlebih-terlebih sewaktu hidupnya Permaisuri Mangkunegara III yang di kenal sebagai Gusti Putri. Beliau lahir pada tahun 1923 meninggal tahun 1978. Pendidikan bagi Putri di Pura Mangkunegaran merupakan ajaran hidup sebelum para Putri Bangsawan berumah tangga. Bagaimana melayani suami yang baik, untuk memperoleh pendidikan mereka harus tinggal di Keputren di mulai sesudah Menstruasi yang pertama.Pelajaran yang di berikan seperti bagaimana cara berpakaian , cara berbicara, cara makan dan sex education. Bagaimana sikap seseorang isteri yang baik , malam jadi pelacur untuk Suami, pagi jadi Bojo, sore hari ketika suami lelah sepulang kerja bisa jadi Mbkyu dan Ibu. Hidup di Keputren sewaktu ngenger seperti dalam pingitan tidak ada p...
Alkisah, di sebuah daerah di Sulawesi Tenggara, Indonesia, hidup seorang janda cantik bernama Wa Roe bersama seorang anak laki-laki yang masih kecil bernama La Sirimbone. Mereka tinggal di sebuah gubuk di pinggir kampung. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, Wa Roe bekerja mencari kayu bakar dan menjualnya ke pasar. Pada suatu hari, datang seorang pedagang kain dari negeri seberang yang bernama La Patamba. Ia menawarkan barang dagangannya dari satu rumah penduduk ke rumah penduduk lainnya. Ia memulainya dari sebuah gubuk yang terletak di paling ujung kampung itu, yang tidak lain adalah tempat tinggal Wa Roe. Alangkah terkejutnya La Patamba saat melihat penghuni gubug itu adalah seorang perempuan cantik jelita. "Aduhai, cantik sekali perempuan ini," ucapnya dalam hati dengan takjub. Dengan perasaan gugup, La Patamba menawarkan kain dagangannya kepada Wa Roe. Namun, Wa Roe tidak membeli karena tidak mempunyai uang. Setelah itu, La Patamba mohon diri untuk menawarkan dag...