Sudah beberapa hari Buntar cemas dan gelisah. Hatinya gundah. Tanah huma warisan orangtuanya yang terhampar di lereng bukit mulai ditumbuhi semak belukar, tapi ia enggan membersihkannya. Setiap pagi, ia berangkat ke ladang. Tapi, ia lebih sering duduk mencangkung, tercenung di pintu pondoknya. Matanya memandang hampa. Tak ada semangat untuk bekerja. Seolah apa pun yang dikerjakannya, akan sia-sia. Lengkingan monyet-monyet yang bergelantungan, berkelahi dan berkejar-kejaran di pepohonan, tidak menarik perhatiannya. Beberapa hari lagi kekasihnya akan dikorbankan dalam upacara adat: dipotong lehernya, dipersembahkan kepada penunggu Goa Temuluang, Datu Naga Partala. Itu adalah keputusan musyawarah yang dihadiri seluruh tetua adat dan masyarakat Dusun Bangkalaan Dayak. Setiap ta...
Pada zaman dahulu, di Desa Sigam hidup sepasang suami-istri. Mereka hidup dari bercocok tanam dan tinggal di sebuah pondok di kaki gunung. Meskipun hidup sederhana, mereka bahagia. Mereka memiliki dua putra, Ambang dan Anding. Sehabis membantu orangtua di ladang, kakak-beradik itu suka bermain-main di dalam hutan. Memanjat pohon dan memetik buah-buahan yang dapat dimakan. Kalau letih, mereka mandi, berendam dan berenang di lubuk. Airnya jernih sekali, karena mengalir langsung dari gunung. Pada suatu hari, mereka lupa waktu dan bermain jauh sekali ke dalam hutan Gunung Sebatung. Anding mengajak Ambang melacak burung yang lolos dari perangkap yang mereka pasang hari sebelumnya. “Sudahlah, tak usah d...
Pada zaman dahulu, Sebelimbingan adalah kota yang makmur. Banyak rumah dan gedung-gedung megah. Warga hidup berkecukupan. Tak ada kemiskinan. Kemakmuran itu bukan karena pertanian, tapi dari pertambangan. Konon, empat prajurit Pangeran Diponegoro yang kalah dalam perang melawan Belanda melarikan diri lewat jalur laut. Berlayar dari pulau ke pulau, mereka tiba di pulau kecil yang dari kejauhan tampak selalu diselimuti kabut. Pulau Laut. Dari pantai, mereka naik ke darat dan merahasiakan asal-usulnya. Kepada penduduk setempat, mereka mengaku sebagai petani yang merantau untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Keadaan masih berbahaya bagi mereka. Kaki tangan Belanda ada di mana-mana. Mereka tak mau ambil risiko: ditangkap, dikembalikan ke Pulau Jawa, dibuang atau dipenjara. P...
Melalui pesta perkawinan yang meriah dan berlangsung empat puluh hari empat puluh malam, Putri Perak resmi menjadi istri Raja Sambu Batung. Sebagai permaisuri, namanya menjadi Putri Perak Intirawan. Rakyat Kerajaan Pulau Halimun gembira dan bersuka ria. Selama pesta, aneka hidangan dan segala jenis hiburan disajikan. Kegembiraan rakyat itu bisa dimaklumi, sebab Putri Perak adalah putri tunggal Panglima Perang Kerajaan Pulau Halimun sendiri, Ranggas Kanibungan. Dengan senjata andalannya, sebilah kapak besar yang beratnya sama dengan seekor kerbau jantan, ia amat disegani kawan maupun lawan. Muridnya tersebar di mana-mana, di dalam maupun di luar kerajaan. Usai pesta, dalam sidang di istana, Raja Sambu Batung menyampaikan niatnya melakukan kunjungan kenegaraan ke kerajaan lain. Selain memperkenalkan diri seb...
Raja Banjar tercenung dengan wajah murung di anjungan perahu kerajaan yang tengah berlayar. Matanya menatap ombak lautan dan burung camar yang beterbangan di kejauhan. Hatinya risau. Pekan lalu, nakhoda perahu dagang asal Hindustan bersama anak buahnya datang ke istana. Gugup dan terbata-bata, nakhoda keling itu melapor. Di perairan muara Kerajaan Banjar, tanpa sebab yang jelas, perahu yang dikemudikannya kandas. Itu adalah laporan yang sudah kesekian kalinya ia terima, baik yang langsung datang dari korban maupun yang dari laporan aparat kerajaan. Kejadian aneh itu juga sering didengarnya dari nelayan dan pelaut dari kerajaan lain. Dalam selimut kabut, sampan dan perahu mereka tiba-tiba kandas. Kejadian aneh itu biasanya malam hari. Saat diperiksa, di bawah sampan atau per...
Bahari, ada kampung nang andakannya di unjut banua, di hulu batang banyu, bangaran Kampung Wayau. Di situ, ada urang nang bangaran Datu Pintit. Datu Pintit ni disambat tuha, kada. Disambat anum, kada kawa jua. Umurnya kikira ampat puluhan tahun. Sidin urangnya baik, katuju batatulung. Lamunnya ada urang nang kasusahan, hancap sidin manulungi. Nang kaya urang-urang jua, sidin bakabun di tangah hutan. Tagal, isi kabun sidin malalain pada nang lain. Lamunnya nang lain bakabun tiwadak, langsat, kapul atawa ramania, sidin batanam jagung wara. Hari tu, pas subuh Arba, hayam sudah rami batingkuuk. Hari masih kadap. Bulan salau-salau. Tagal, Datu Pintit sudah bangun, manjumput parang bungkul wan cangkul, handak turun ka kabun. “Lamunnya lambat tulak, bisa tadahulu nang babatis ampat atawa nang panjang buntut mahabisakan jagungku…,” ujar Datu Pintit dalam hati. Tulak ai Datu Pintit ka kabun. Masuk hutan, ka luar hutan. Naik gunung, turun gunung. Kada karasaan, samp...
Di lembah hutan belantara yang dikelilingi pegunungan, bertapa pria bertubuh raksasa dan berpakaian kulit kayu. Tubuhnya besar sekali untuk ukuran manusia zaman sekarang, lebar dadanya lima jengkal. Pertapa itu bernama Tilan. Ia bertapa untuk minta petunjuk dewata, agar mendapat pendamping hidup. Umurnya sudah 45 tahun, tapi belum juga mendapat jodoh. Bertahun-tahun ia bertapa, hingga pada suatu hari: ”Hai, anak muda. Apa yang kau lakukan di sini…?” Seorang tua bertubuh raksasa membangunkan tapa brata Tilan. Saking kerasnya getaran suara orang tua itu, tubuh Tilan terpental puluhan jengkal dari batu tempatnya duduk. Tilan yang sadar dari pertapaannya, kaget dan kontan waspada. Siapa orang ini? Ini bukan orang sembarangan, batinnya “Mohon maaf atas kedangkalan pengetahuan saya pada luasnya dunia, dalamnya laut, dan dan tingginya langit. Sekali lagi, mohon dimaafkan. Dengan siapa gerangan saya berhadapan?” tanya Tilan. “Aku penguasa hut...
Pada zaman dahulu kala, di pinggir Kampung Paramian , hidup orang yang bergelar “Datu Harung”. Nama aslinya “Datu Magat”. Dahulu, gelar “datu” hanya diberikan kepada orang-orang yang dihormati dan mempunyai keistimewaan. Selain berani dan bijaksana, Datu Magat ahli bercocok tanam, juga ahli dalam mengubah kebiasaan hidup warga, dari peladang berpindah jadi berkebun. Sebelumnya, masyarakat mendapat buah-buahan hanya dari pohon yang tumbuh liar di hutan, atau dari pohon yang tumbuh dari biji yang dibuang orang. Datu Magat kemudian memulainya dengan berkebun, dengan cara tumpang sari. Kebun Datu Magat yang luas ditanami aneka macam tanaman buah-buahan: pitanak, mundar, katapi suntul, kalangkala. Dari jenis rambutan, ada maritam, siwau, pitaan dan buluan. Dari jenis durian, ada papakin, kamundai, likul, layung, karatungan. Dari jenis mangga, ada hambawang, hampalam, kuini, pulasan, rarawa, kasturi, kulipisan, sampai tandui. Bukan hanya nangka, t...
Jika Venezia terkenal dengan Gondolanya sebagai sarana transportasinya, maka Kalimantan pada zaman dahulu juga memiliki jenis perahu yang tidak kalah indahnya dari Gondola. Perahu ini bernama JUKUNG RANGKANG atau kalau dalam Bahasa Banjarnya PERAHU TAMBANGAN. Pada masa lalu perahu ini banyak hilir mudik di Kalimantan, terutama kebanyakan pemukiman warga Kalimantan (Dayak, Banjar, Melayu, Kutai) yang berada di pinggiran sungai, JUKUNG RANGKANG terbuat dari kayu dengan panjang 8-12 meter dan lebar 1,5 meter, jika perahu ini tidak mempunyai atap hanya jukung biasa dan apabila perahu ini lebih besar maka disebut JUKUNG TIUNG Perahu ini juga memiliki atap untuk melindungi penumpangnya dari panas dan hujan, dan ujung perahu melengkung. Biasanya perahu ini digunakan untuk berjualan juga sebagai “taxi air”. Penumpang yang dapat terangkut dalam jukung rangkang ini sekitar 5-10 orang dan dibutuhkan dua orang untuk mengayuh perahu secara manual. JUKUNG RANGKAN...