Alkisah, di sebuah kampung di daerah Sumatra Barat, hiduplah keluarga Pak Buyung. Ia tinggal di sebuah gubuk di pinggir laut bersama istri dan seorang anaknya yang masih kecil bernama Indra. Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Pak Buyung bersama istrinya mengumpulkan hasil-hasil hutan dan menangkap ikan di laut. Setiap pagi mereka pergi ke hutan di Bukit Junjung Sirih untuk mencari manau, rotan, dan damar untuk dijual ke pasar. Jika musim ikan tiba, mereka pergi ke laut menangkap ikan dengan menggunakan pancing, bubu ataupun jala. Ketika sudah berumur sepuluh tahun, Indra sering membantu kedua orangtuanya ke hutan maupun ke laut. Betapa senang hati Pak Buyung dan istrinya mempunyai anak yang rajin seperti Indra. Namun, ada satu hal yang membuat mereka risau, karena si Indra memiliki suatu keanehan, yaitu selera makannya amatlah berlebihan. Dalam sekali makan, ia dapat menghabiskan nasi setengah bakul dengan lauk beberapa piring. Pada suatu ketika, musim paceklik tiba. Baik...
Pada suatu hari seorang pemuda berburu di hutan. Hari itu dia sudah berjalan jauh, tetapi tidak seekor pun buruan yang didapatnya. Sampai di suatu tempat, dia melihat seekor rusa. Diambilnya anak panah dan dibidikkan ke rusa itu. Anak panah dilepas dari busur dan melesat mengenai tubuh rusa. Tetapi rusa itu tidak mati, malah lari menjauh. Pemuda tersebut mengejar dengan mengikuti jejak rusa tersebut. Sampai jauh dia mengikuti jejak rusa, tetapi rusa tersebut tidak ketemu. Karena kelelahan, si pemuda istirahat di pangkal batang enau. ”Hai sobat, apa yang kau cari?” terdengar sebuah suara. Si pemuda mencari sumber suara itu. Dilihatnya di sekeliling hanya hutan dan belukar. Suara itu terdengar lagi. Si Pemuda kaget, ternyata suara itu berasal dari pohon enau tempat dia beristirahat. Dia pun menjawab pertanyaan pohon enau. ”Saya sedang mengikuti jejak rusa yang saya panah”, jawab si pemuda. “Hai sobat, tak usah lah kamu cari. Rusa i...
Rami lah rami pasa rang Talu Rami dek anak si urang Kajai Dima lah hati indak ka rindu Sadang basayang badan bacarai Dima lah hati indak ka rindu Sadang basayang badan bacarai Reff: Yo rang Talu, yo rang Talu Den takana, yo rang Talu Cincin di jari alah suaso Tagah dek pandai malenggokkan Hati jo jantuang alah binaso Tagah dek pandai mambaokan Hati jo jantuang alah binaso Tagah dek pandai mambaokan Reff: Yo rang Talu, yo rang Talu Den takana, yo rang Talu Satonggak jalan labuah nan luruih Babelok jalan ka batang umpai Basab badan mangkonyo kuruih Banyak mukasuik nan indak sampai Basab badan mangkonyo kuruih Banyak mukasuik nan indak sampai Reff: Yo rang Talu, yo rang Talu Den takana, yo rang Talu Sumber: https://www.rangtalu.net/lirik-lagu-rang-talu/
Upacara Turun Mandi di Minangkabau dilaksanakan untuk mensyukuri nikmat berupa kelahiran bayi. Tujuan dari tradisi ini adalah untuk memperkenalkan bayi yang baru lahir tersebut kepada masyarakat. Sedangkan bagi sang ibu, upacara Turun Mandi merupakan kesempatan keluar rumah untuk pertama kalinya setelah menjalani pemulihan pasca melahirkan. https://www.orami.co.id/magazine/6-tradisi-merayakan-kelahiran-bayi-yang-hanya-ada-di-indonesia/
Menurut legenda, Ada seorang raja yang berkuasa di Kampung Dalam, Pariaman. Sang Raja memiliki tiga orang anak dari ibu yang berbeda yaitu Sutan Lembak Tuah, Sutan Pangaduan dan Puti Sari Makah. Ibu Sutan Lembak Tuah berasal dari kalangan biasa, ibu Sutan Pangaduan bernama Puti Andam Dewi yang merupakan keturunan bangsawan, sedangkan ibu Puti Sari Makah adalah seorang keturunan Arab. Jadi secara adat, Sutan Pangaduan adalah putra Mahkota yang sah karena ibunya, Puti Andam Dewi, masih keturunan bangsawan. Menurut cerita rakyat Sumatera Barat, Sang Raja memutuskan untuk bersemayam ke Gunung Ledang di saat anak-anaknya masih kecil. Sepeninggal ayahandanya, ibunda Sutan Pangaduan, yaitu Puti Andam Dewi, berusaha dipersunting oleh Rajo Unggeh Layang seorang raja yang berkuasa di negeri Taluak Singalai Tabang Papan. Puti Andam Dewi menolak pinangan Rajo Unggeh Layang. Akibatnya, Rajo Unggeh Layang marah dan menculik Puti Andam Dewi dan membawanya ke sebuah bukit. &...
Alat musik ini tersusun atas beberapa gong kecil dengan ukuran beragam yang menghasilkan nada-nada melodis saat dipukul. Talempong di Jawa disebut dengan nama bonang. Bahan pembuatannya adalah dari besi atau kuningan. Biasanya ia dimainkan bersama alat musik tradisional Sumatera Barat lainnya dakan satu pertunjukan acara adat. Sumber: https://dtechnoindo.blogspot.com/2017/03/ragam-alat-musik-tradisional-sumatera.html
Kambanglah bungo parawitan Simambang riang ditarikan Di desa dusun Ranah Minang (2x) Kambanglah bungo parawitan Bungo idaman gadih-gadih pingitan Dipasuntiang siang malam Bungo kanangan gadih nan jombang Kambanglah bungo parawitan Simambang riang ditarikan Di desa dusun Ranah Minang (2x) Bungo kambang sumara anjuang Pusako Minang Ranah Pagaruyuang Tak kunjuang hilang di mato Tabayang bayang rumah nan gadang Kambanglah bungo parawitan Simambang riang ditarikan Di desa dusun Ranah Minang (2x) Sumber: http://www.tradisikita.my.id/2014/11/12-lirik-lagu-daerah-sumatera-barat.html
Ei … Tak tontoang galamai jaguang Tagunda-gunda lah kacambuang basi Yo dahulu lah balaki ajuang Kini lah balaki lah tukang padati Ei … Tak tontoang galamai jaguang Tagunda-gunda lah kacambuang basi Lah dek a lah duduak bamanuang Diliek uncang lah indak barisi Ei … Tak tontoang galamai jaguang Tagunda-gunda lah kacambuang basi Ondeh upiak lah usah bamanuang Iko uda ka paubek hati Ei … Tak tontoang galamai jaguang Tagunda-gunda lah kacambuang basi Yo dahulu lah balaki ajuang Kini lah balaki lah tukang padati Sumber: http://www.lagudaerah.xyz/tak-tong-tong/
Orang Bunian adalah sejenis makhluk halus yang di kenal di wilayah Minangkabau, Sumatera Barat. Bentuknya menyerupai manusia, tinggal di tempat-tempat sepi, di rumah-rumah kosong yang telah di tinggal penghuninya. Istilah orang Bunian juga terkadang di kaitkan dengan istilah Dewa di Minangkabau, pengertian Dewa dalam hal ini sedikit berbeda dengan pengertian Dewa dalam agama-agama Hindu maupun Budha. Dewa dalam istilah Minangkabau berarti sebangsa makhluk halus yang tinggal di hutan atau di rimba, di pinggir bukit, di dekat pekuburan. Biasanya bila hari menjelang maghrib di pinggir bukit akan tercium sebuah aroma yang biasa dikenal dengan nama masakan dewa atau samba dewa. aromanya mirip bau kentang goreng. Hal ini boleh ditanyakan langsung kepada masyarakat Minangkabau. Satu hal lagi, Dewa lebih di konotasikan bergender perempuan, yang cantik rupawan, bukan laki-laki seperti persepsi yang umum di agama lain. Selain itu, masyarakat juga meyakini bahwa ada perist...