Pulau Nias di tepian Samudera Hindia dan berhadapan dengan pantai Sibolga itu bersama dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya (± 130 pulau) merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Sumatera Utara. Luas 5.625 km2 dan berpenduduk sekitar setengah juta jiwa. Tanahnya terdiri dari dataran rendah dan bukit-bukit dengan suhu udara tropis yang cukup nyaman (antara 17° -30° C). Tanah yang subur dengan hutan dan nyiur melambai sepanjang pantai mengandung pesona alami yang memikat hati. Memang letaknya terpencil, tetapi justru masih aman dari kebisingan deru mesin, asap pabrik dan limbah industri. Kehidupan masyarakat dan budayanya pun belum banyak tercampur oleh pengaruh asing yang negatif. Budayanya yang asli, yang tradisional, masih banyak bertahan hingga sekarang. Tradisi megalitik dari masa prasejarah pun masih mewarnai kehidupan sehari-hari, demikian pula seni patungnya. Seni patung Nias sebenarnya sulit dipisahkan dari seni patung Batak...
PAHATAN DAN UKIRAN SENI ukir dan seni pahat di Sumba Barat paling banyak diterapkan pada bangunan megalitik. Eksistensi seni jenis ini memiliki kaitan erat dengan strata kelas dan prestise sosial. Karena bahan yang akan dipahat yaitu lempengan batu kubur dibawa ke kampung melalui prosesi adat besar, maka pengerjaannya memerlukan keahlian khusus dan kehati-hatian ekstra. Pada zaman dulu hanya sedikit orang yang mampu menghadirkan pemahat berpengalaman jadi bisa dikatakan makin banyak ukiran sebuah megalitik, makin tinggi pula kedudukan pemiliknya. Apa lagi pembuatannya sendiri harus melalui prosesi adat yang membutuhkan biaya tak sedikit. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya dalam Bab tentang Megalitik, pola hias yang ada umumnya berupa sulur-sulur, huruf 'S', lingkaran memusat, tokoh manusia, binatang, serta pola-pola geometris dari era yang lebih muda. Bentuk pola hias tersebut biasanya merupakan cerminan kepercayaan religius serta simbol status raja atau pemi...
Asepan adalah alat atau perkakas yg digunakan sehari-hari, digunakan untuk membuat tumpeng, mematangkan nasi, membuat awug dan lain sebagainya. Benda ini terbuat dari anyaman bambu yang dibentuk menjadi kerucut. Aseupan berasal dari bahasa sunda yakni kata haseupan atau ngahaseupan yang artinya mengasapi ato memberi asap.
Alat ini terbuat dari anyaman kulit bambu yang sudah dibelah beberapa bagian kecil lalu dianyam dengan menyiaakan celah-celah kecil (tidak saling berdempetan). Alat ini diberi nama seauai dengan kegunaan nya yakni untuk mengayak (menyaring), kadang perkakaa ini juga sering dipakai untuk menangkap ikan di kolam.
"Batang Garing" (Pohon Kehidupan) merupakan representasi yang menunjukkan kosmologi semesta bagi bangsa Dayak. Pohon ini dipercaya dianugerahkan olah Yang Maha Kuasa Satu-satunya Tuhan, Ranying Hatalla Langit bagi suku bangsa Dayak Ngaju. Disebutkan bahwa Ranying Hatalla Langit menciptakan dua pohon hang berbuah dan dedaunan dari emas permata, yang diberi nama Batang Garing Tinggang dan Bungking Sangalang. Digambarkan bahwa Batang Garing Tree berbentuk tombak yang menghadap ke atas yang menggambarkan Ranying Mahatala Langit. Di bawah pohon tersebut digamabarkan pot yang berisikan air suci dan akar tunggang yang melambangkan "dunia bawah", juga dedaunan yang menunjukkan simbolisasi tiga helai sayap burung Enggang, yang secara filosofis menunjukkan tiga kelompok manusia, yaitu: keturunan Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja Bunu atau Buno. Secara umun, suku Dayak Ngaju melihat Batang Garing sebagai simbolisasi tiga tingkatan kosmos, yaitu "dunia atas" yaitu langit, tanah...
Lasuang mungkin kata-kata ini tidak asing bagi orang Minangkabau dimana memiliki fungsi sebagai pengolah dari padi atau gabah menjadi beras. Dan tidak berbeda jauh dengan daerah lain, dimana lasuang biasa dipanggil diMinangkabau kalau didaerah lain dipanggil dengan sebutan lesung dan memiliki fungsi yang sama. Yaitu untuk pengolahan padi atau gabah menjadi butiran beras. Tetapi lain halnya dengan diSumatera Barat, Lasuang atau Lesung memiliki sejarah dan cerita mistis, Diantarnya Lasuang Ba Iduang. (Lasuang Baiduang) Lasuang atau Lesung diSumatera Barat (Minangkabau) bisa dibilang memiliki fungsi ganda,...
Dongdang ini merupakan perlengkapan yang dibuat, dirakit dan dihias secara gotong royong oleh warga sebagai salah satu elemen utama dalam tradisi ruwat bumi maupun ruwat laut di pedesaan Subang, Jawa Barat. Dongdang ini berupa keranjang (tepatnya mirip kereta jenazah) dalam ritual ruwat bumi dan berupa perahu kecil dalam ritual ruwat laut. Dongdang ini digunakan untuk menaruh hasil bumi, sesajen, darah dan kepala kerbau/domba (yang sudah dikafani) untuk kemudian dikuburkan (ruwat bumi) atau dilarung ke tengah laut (ruwat laut). Dalam ruwat bumi biasanya dongdang digotong oleh warga untuk dibawa ke lokasi selamatan dan dalam ruwat laut dongdang yang berupa replika kapal ini dibawa oleh kapal utama menuju titik pelepasan di tengah laut (pantai utara).
Suku Baduy yang berada di Banten terkenal sebagai salah satu suku yang masih sangat mempertahankan adat dan dekat dengan alam. Mereka memanfaatkan alam dengan secukupnya, dan selalu menjaganya. Salah satu hasil kerajinan dari bahan alam yang dibuat oleh Suku Baduy adalah Tas Koja. Tas Koja adalah tas yang terbuat dari kulit pohon Teureup. Kenapa terbuat dari pohon Teureup? kulit pohon ini lebih awet dan kuat. Proses membuatnya lumayan lama bisa memakan waktu beberapa hari, bahkan bisa seminggu. Cara membuatnya yaitu pertama-tama kita harus masuk ke pedalaman untuk mencari pohon Teureup, pilih pohon yang bersua 2-3 tahun, jangan yang masih muda. Lalu kupas kulit kayunya. Kulit kayu tersebut direndam agar serat seratnya terpisah, lalu dijemur hingga kering untuk dibuat benang. Setelah jadi benang, kemudian dirajut. Jadilah tas Koja khas Suku Baduy.