“Tappi” (keris) dan “Kawali” (badik) adalah dua senjata tajam (parEwa matareng) yang berbeda fungsi pemakaiannya, meskipun dinilai sama-sama bukan peralatan utama dalam peperangan. Pada beberapa Kerajaan di Sulawesi Selatan semisalkan Bone, Gowa, Soppeng, Sidenreng, Tanete dan lainnya, menempatkan Tappi pada strata Senjata Agung dan bahkan dijadikan sebagai regalia. Maka setiap rumpun keluarga Bangsawan mewariskan “tappi” kepada setiap pelanjut generasinya yang dipandang paling berkompeten dalam rumpung itu. Olehnya itu, Tappi dinilai bukan sebagai senjata, melainkan lambang kehormatan suatu rumpun keluarga Bangsawan pada zaman dahulu. Sebagai perlambang yang memanifestasikan suatu kaum maupun suatu Kerajaan, Tappi bahkan dijadikan sebagai perlambang pangkat/jabatan. Tatkala seorang Raja atau pejabat adat berhalangan untuk hadir dalam suatu undangan perhelatan, kerap mengirim Tappi-nya ke acara tersebut sebagai syarat kehadirannya. Bahka...
Benda Pusaka Balla Lompoa Gowa (Benda Tajam) Badik Badik adalah sebuah pegangan hidup yang bertanda suatu kelahiran anak bagi suku Makassar, badik diberikan oleh orang tua atau dibuatkan oleh pandai besi. Ukuruan dan motif badik berbeda beda, tolak ukur panjang badik ialah ukuran telapak tangan sang pemegang badik agar pemilik dan badik dapat menyatu karena badik bagian dari diri sang pemilik. Badik dibedakan menjadi 3 macam : Tobok : Ukuran Tobok ini berukuran besar digunakan untuk menjaga diri dan mata pencarian Badik : Ukuran badik ini berukuran sedang kegunaanya murni untuk senjata (memela diri) Badik-Badik : Ukuran Badik-badik berukuran kecil kegunaanya untuk menjaga diri untuk kaum perempuan biasanya disisipkan di bagian kepala (konde’). Pada benda tajam Badik terdapat motif (urat besi), Urat besi pada badik bermacam-macam sesuai dengan kegunaanya, ada yang baik digunakan untuk peperangan, penjagaan diri, dll. Dan di dalam badik terd...
Keris pusakan Kesultanan Jambi. Bilahnya berhiaskan logam emas bermotif anggrek kamorangan kinatah Hulu dihiasi batu mulia dan sarung dibuat dari material kayu yang berbungkus emas bermotif sulur daun khas Jambi. Keris pusaka ini diwariskan turun-temurun oleh Sultan-sultan Jambi. Sultan Thaha merupakan sultan terakhir yang menyandang keris Siginjei.
Keris Singa Merjaya disandang oleh Pangeran Ratu atau Putera Mahkota Kesultanan Jambi. Disebutkan, keris ini merupakan hadian Sultan Palembang kepada Pangeran Ratu Anom Martaningrat sebagai hadiah perkawinannya dengan Putri Palembang.
Pedang dari Kesultanan Jambi dan merupakan salah satu peninggalan tertua. Terdiri dari bilah dan hulu dengan bentuk lurus dan melengkung. Pedang ini digunakan untuk menusuk dan menebas. Dua sisi tajaman ada bermata ganda dan bermata satu. Koleksi ini merupakan peninggalan yang pernah dipakai ole para kesatria dan prajurit perang dari masa Kesultanan Jambi.
Awalnya keris ini merupakan hadiah dari Panembahan / Dewan Patih dalam kepada Jenang (Orang Rimba) untuk menandai adanya penarik pajak yang diserahkan kepada Raja / Sultan Jambi
Kampilan merupakan sebuah pedang yang termasuk jenis senjata tebas. Kampilan merupakan senjata tradisional yang dimiliki oleh suku Melayu bagian Timur Jambi. Gagang terbuat dari kayu dibentuk menyerupai kepala naga dan dilengkapi dengan rumbai. Pedang ini pernah digunakan oleh pasukan Selempang Merah dalam menghadapi tentara Belanda di Kuala Tungkal pada masa perang kemerdekaan RI tahun 1949. Untuk menambah semangat dalam perjuangannya selalu disertai dengan menyebut nama Alla "Yaa zal zala liwa ikram."
Keris salah satu senjata tradisional yang digunakan untuk menghadapi serangan Agresi tentara Belanda II tahun 1949 oleh Panglima Selempang Merah Ibrahim Abdul Gani (Datuk Ahim) di Desa Parit Deli Kuala Tungkal