Manik Angkeran adalah putra seorang Brahmana bernama Sidhimantra. Mereka tinggal di Kerajaan Daha, Bali. Waktu itu, Pulau Bali belum terpisah dengan Pulau Jawa. Manik Angkeran adalah anak yang cerdas. Sayangnya, dia mudah dipengaruhi oleh teman-temannya. Dia suka sekali menyabung ayam. Padahal, sudah berulang kali Sidhimantra menasihatinya.
Mereka tinggal di Kerajaan Daha, Bali. Waktu itu, Pulau Bali belum terpisah dengan Pulau Jawa. Manik Angkeran adalah anak yang cerdas. Sayangnya, dia mudah dipengaruhi oleh teman-temannya. Dia suka sekali menyabung ayam. Padahal, sudah berulang kali Sidhimantra menasihatinya. Semakin lama, ayamnya semakin sering kalah. Uang Manik Angkeran pun ludes. Dia bahkan harus berhutang untuk membayar kekalahannya. Namun, dia tak pernah kapok. Dia masih ingin terus menyabung ayam.
”Anakku, kau tak akan pernah bisa kaya dari menyabung ayam. Berhentilah selagi belum terlambat,” nasihat Sidhimantra. Namun, Manik Angkeran tak peduli. Lama kelamaan, harta ayahnya juga ludes dipakainya untuk membayar hutang. Sekarang, Sidhimantra tak punya uang lagi. Suatu hari, Manik dikejar-kejar orang yang menagih
hutangnya. ”Ayah, tolonglah aku! Mereka akan mencelakaiku jika aku tak membayar hutangku!”
Sidhimantra gelisah. Dia sudah tak memiliki harta, tetapi dia juga tak mau anaknya celaka. Sidhimantra lalu mendapat petunjuk lewat mimpinya, untuk meminta pertolongan pada Naga Besukih di Gunung Agung.
Sesampainya di Gunung Agung, Sidhimantra membunyikan genta seperti petunjuk dalam mimpinya. Naga Besukih yang mendengarnya pun keluar. Sidhimantra memandang takjub! Ekor Naga Besukih penuh dengan emas dan permata! ”Siapakah kau? Apa maksudmu datang kemari?” tanya Naga Besukih. Sidhimantra lalu menjelaskan maksud kedatangannya. Dia hendak meminta sedikit harta Naga Besukih untuk membayar hutang Manik Angkeran.
Sidhimantra lalu menjelaskan maksud kedatangannya. Dia hendak meminta sedikit harta Naga Besukih untuk membayar hutang Manik Angkeran. Naga Besukih setuju, lalu dia mulai menggoyangkan ekornya. Beberapa emas dan permata pun rontok dari ekornya itu. Dia lalu memberikannya pada Sidhimantra. Sayangnya, Manik Angkeran tidak membayar hutangnya. Dia malah menggunakan harta itu untuk kembali menyabung ayam. Akhirnya, harta itu ludes lagi dan dia berhutang lagi.
Karena tak bisa lagi meminta pada ayahnya, dia lalu mencari tahu dari mana ayahnya mendapat harta. ”Ayahmu telah menemui Naga Besukih untuk meminta harta,” kata seseorang. Manik Angkeran meniru tindakan ayahnya. Naga Besukih pun muncul di hadapannya. Mendengar penuturan Manik, Naga Besukih sedikit kesal. Namun, dia tetap bersedia memberikan hartanya.
Saat dia menggoyangkan ekornya, Manik Angkeran silau melihat betapa banyaknya emas dan permata yang menempel di sana. Dia lalu mengambil pedang dan berusaha memotong ekor Naga Besukih. Namun, Naga Besukih berhasil melawannya dan membalas serangan itu dengan api dari mulutnya. Manik Angkeran tak bisa mengelak, dia tersambar api dan tubuhnya menjadi abu. Saat itulah Sidhimantra muncul. ”Wahai Naga Besukih, sudikah kau menghidupkan putraku lagi? Berilah dia kesempatan untuk memperbaiki dirinya,” mohon Sidhimantra.
Naga Besukih menghela napas. ”Baiklah. Aku akan menghidupkannya, tapi dia tak boleh pulang denganmu. Dia harus tinggal di sini dan menjadi muridku. Aku akan mendidiknya menjadi orang yang baik dan berilmu.” Sidhimantra setuju. Manik Angkeran pun hidup kembali. Untuk mencegah Manik Angkeran pulang bersamanya, Sidhimantra mengeluarkan tongkatnya dan membuat garis yang memisahkan dirinya dengan anaknya. Dari garis itu tiba-tiba keluar air yang tambah lama bertambah deras. Gunung Agung pun terpisah dari sekitarnya. Genangan air itulah yang kemudian dikenal dengan Selat Bali yang memisahkan Pulau Bali dan Pulau Jawa.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja