https://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Rabbani_Wahed
Tari Rabbani Wahed adalah sebuah seni tari sufi yang berasal dari Samalanga, Bireuen, Aceh, Indonesia. Tarian yang mengajarkan tentang tauhid, agama, serta kekompakan melalui gerakan energik ini diciptakan oleh T. Muhammad Daud Gade. Tarian Sufi yang dimulai dengan mengikuti syair dari tarian Meugrob dan memiliki lebih dari 30 gerakan yang diawali dengan melakukan Rateb du'ek("duduk") dan Ratep deng ("berdiri") ini merupakan pengembangan dari tarian Meugrob yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu di Aceh.[1]
Asal-muasal tari Rabbani Wahed yaitu berasal dari tarian Meugrob (meloncat) dimana tarian itu, dimainkan pada malam hari raya idul Fitri, yang melantunkan syair-syair Allah. Namun pada kemudian hari tarian Meugrob berubah menjadi sebuah tarian untuk menyambut tamu atau pengantin (laki-laki) yang baru menikah dan pulang ketempat istrinya, biasanya di sebut dengan Peugrob Linto. Tarian ini dimainkan di mushola-mushola dan dipertunjukkan ke khalayak ramai pada hari besar Islam, seperti hari raya Idul Fitri, pembagian zakat fitrah, Maulid Nabi, bulan Ramadhan, acara panen dan hajatan lainnya, yang dibawakan oleh murid-murid Muhammad Saman.[2]
Kini tarian hanya dimainkan sebagai warisan budaya, yang dihidupkan kembali oleh Daud Gade pada tahun 1990, setelah hampir hilang tergerus zaman pada masa kolonial Belanda dan pascakemerdekaan Indonesia. Saya mempopelerkan kembali pada tahun 1990 Pada tahun itu, Gubernur Aceh Ibrahim Hasanmengeluarkan sebuah surat edaran menyerukan agar kesenian Aceh yang semakin memudar untuk dilestarikan kembali. Tidak berapa lama kemudian, Dawod Gade langsung merespon surat edaran tersebut. Kala itu ia adalah seorang kepala desa (keuchik) Sangso, Samalanga. Dia kemudian mengumpulkan beberapa pemuda yang ada di gampongnya. Ditempat itu, ia kemudian mengemukakan ide spontan yang ada dalam pikirannya. Dalam 14 hari, semua gerakan Rabbani Wahid selesai disusun.[3]
Ada dua gerakan utama dari kesenian ini. Formasi duduk berbaris lurus berupa formasi tarian duduk seperti tarian duduk Aceh lainnya. Tahapan kedua adalah formasi berdiri melingkar saling berhadapan sembari melantunkan dzikir kepada Allah sambil disertai hentakan kaki para pelaku tarian.
Bentuk kesenian ini memiliki khas tersendiri. Dibutuhkan stamina kuat dari para pelakonnya. Kekhusyukan para pemain dalam berzikir bisa membuat para pelakonnya tidak sadarkan bahwa lantai yang mereka loncati telah rusak akibat hentakan kaki yang begitu kuat. Hal tersebut terjadi secara alami tidak dibuat-buat dan bukan karena unsur magis.[4]
Pada tahun pertama terbentuk, Rabbani Wahid langsung berkesempatan tampil di Jakarta. Saat itu, M. Daod sampai harus menjual kebunnya agar semua kru bisa berangkat. Setelah proses penggarapan selesai, satu hari setelah itu datang seorang ustusan dari Jakarta dan menyempatkan diri datang ke Samalanga. Pada waktu itu, sang utusan mengatakan inilah yang mereka cari, ia tertarik dengan tarian Rabbani Wahid. Beberapa minggu kemudian, salah seorang staf pengajar dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Nurdin Hasan datang ke Samalanga dan menyampaikan akan membawa Rabbani Wahid ke Jakarta.
Kesempatan itu pun tidak disia-siakan M. Daod dan menilai bahwa tawaran itu adalah sebuah peluang untuk lebih memperkenalkan tarian tersebut hingga ketingkat nasional. Berbagai persiapan pun dilakukan, sampai-sampai para penari berlatih di dalam air diwilayah Ujong Kareueng. Hal itu sengaja dilakukan untuk melatih stamina agar penampilan mereka di Jakarta bisa mencirikan karakteristik orang-orang pesisir.[4]
Tari Rabbani Wahed juga sudah pernah ditampilkan di luar negeri yaitu pada saat festival musik dan tari internasional di Turki yang berlangsung dari tanggal 25-30 Agustus 2002 yang pada saat itu Seni Rabbani mewakili Indonesia. Pada festival tersebut, para penari tampil memikat dengan mempermainkan ritme emosi penonton.
Peralihan tabuhan tamborin dan tari dari tempo lambat ke cepat berganti-ganti diiringi oleh ritme tepukan penonton yang ikut dalam tempo seperti memberi roh pada tarian yang disajikan. Gerakan dinamik dari lambat ke cepat kemudian kembali berubah ke lambat berganti-ganti sesuai alunan musik, hampir menyerupai Tari Ratoh Duek mengundang decak kagum bagi penonton Turki yang belum pernah menyaksikan pertunjukan serupa. Ditambah lagi nuansa Islam yang dikumandangkan dalam syair religius yang akrab dengan telinga penonton Turki, semakin menambah indah penampilan tim Indonesia.[2]
Pada Pekan Kebudayaan Aceh ke-6, tarian ini juga ikut ditampilkan. Rabbani Wahed tampil di anjungan Kabupaten Bireuen dan menarik perhatian puluhan ribu pengunjung. Selain ditampilkan di panggung anjungan Kabupaten Bireuen, tarian ini juga tampil di panggung utama ketika acara penutupan PKA VI pada minggu malam, 29 September 2013.[5][6]
Untuk mengabadikan tarian sufi Aceh ini, Komunitas Pecinta Film Dokumenter Aceh sudah mendokumentasikannya dalam bentuk film. Ini dilakukan sebagai upaya melestarikan dan mempopulerkan kembali kearifan lokal yang sudah mulai dilupakan oleh generasi muda. Film dokumenter tersebut yang di sutradarai oleh Azhari dan Mirza Putra Samalanga[2]
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja