Suppa dalam Lontara’
Kebudayaan daerah merupakan sumber potensial yang membantu terbentuknya kebudayaan nasional, memberikan corak dan warna bagi karakteristik pembentukan kepribadian bangsa. Sangat santer kita dengar belakangan ini tentang perlunya penanaman dan ditumbuhkembangkannya kembali karakter dan jatidiri bangsa, seiring mulai menurunnya minat dan kecintaan kita khususnya sebagai warga negara yang menjadi bagian yang terintegrasi sepenuhnya dari bangsa Indonesia akan ragam warisan budaya dan kearifan-kearifan lokal. Hal ini berakibat pada tergerusnya khazanah budaya bangsa dan dapat menyebabkan punahnya warisan leluhur tersebut begitu saja.
Sulawesi Selatan sebagai sebuah propinsi yang dihuni oleh beberapa suku bangsa juga memiliki ragam dan varian-varian budayanya sendiri. Etnis Bugis sebagai salah satu etnis mayoritas di daerah ini mewariskan beberapa jenis kebudayaan baik berupa tari-tarian, upacara-upacara adat, peninggalan-peninggalan bekas kerajaan-kerajaan lokal yang dulunya pernah ada, dan juga bermacam item lainnya. Salah satu peninggalan etnis Bugis tersebut adalah lembaran-lembaran tertulis yang terhimpun dalam suatu susunan yang kita kenal dengan sebutan naskah lontaraq.
Naskah lontaraq yang asli biasanya ditulis di atas daun lontar dan disimpan dalam bentuk gulungan seperti rol dalam film. Tradisi penulisan di atas daun lontar ini bukanlah dimiliki oleh masyarakat Bugis Makassar saja, tapi juga di daerah-daerah lain di Indonesia, yang juga banyak menuliskan naskah-naskah pada jaman dulu seperti daerah Jawa dan Bali. Bahkan ada pula yang menyebutkan bahwa aksara lontaraq yang dipakai oleh masyarakat Bugis sejak dahulu merupakan aksara turunan dari Pallawa yang berasal dari India dan dibawa ke nusantara pada masa persebaran agama Hindu, karena memiliki kesamaan bentuk dan fonem. Salah satu hasil penulisan menggunakan aksara lontaraq yang cukup dikenal oleh dunia adalah epos La Galigo, yang kisahnya melebihi panjang cerita dari epos Mahabharata dari India dan telah mendapat pengakuan dari dunia internasional sebagai warisan budaya dunia (world heritage).
Naskah lontaraq memang ada yang telah diterjemahkan, namun naskah kuno lontaraq yang khusus menceritakan tentang daerah Suppa Kab. Pinrang saat ini belum banyak diketemukan. Salah satu naskah lontaraq yang telah dialihbahasakan dan diterjemahkan oleh staf BPNB Makassar berjudul toloqna iyarega minruranna Suppa (Alkisah Suppa), berjumlah 29 halaman dengan menggunakan aksara lontaraq Bugis dan bahasa daerah Bugis, dan telah disalin ulang oleh Hajji Paewa, Komisi Sekolah Pensiun Kecamatan Mattiro Bulu dan selesai pada tanggal 04 November 1990. Kisah dalam lontaraq Minruranna Suppa ini menuturkan tentang awal terjadinya peperangan antara Raja Suppa yang memerintah pada waktu itu dengan Kompeni Belanda yang diwakili oleh Kapten Ternate dari Ambon yang bersama seluruh pasukannya hendak menguasai daerah Suppa yang terletak di Kabupaten Pinrang. Pada perjalanannya, Kapten Ternate tersebut melewati beberapa desa dan kabupaten di Sulawesi Selatan sebagaimana yang disebutkan pada naskah ini, diantaranya adalah daerah Segeri, Tanete, Palanro, Bacukiki (Pare-Pare), serta berbagai tempat lainnya.
Diceritakan pada saat memasuki daerah Tanete, Kapten Ternate menuju ke saoraja (istana), dan mengadakan perundingan dengan Raja Tanete. Dia mengajak Raja Tanete untuk turut bekerjasama atau tunduk pada tawarannya untuk ikut serta mengalahkan daerah Suppa. Raja Tanete pun menyatakan diri siap dan menerima tawaran tersebut, dan mengucapkan janji seperti yang terlihat pada halaman 3 yang kami kutip berikut ini:
Transliterasi:
“…Suppanagi malalattung/ Tanetenagi Malebbo/ riyala pabbaja palla/ Rekkuwa tekkurupai/ ada kujanciyangekko/ palika rimabelae/ mutarotoi labela/ passering awa langkana / awiseng rilebbirekku/ Napura sitekkoyiang/ ada tessi kira-kira/[1]…”
Terjemahan:
“…Suppakah yang terbakar/ ataukah Tanete yang binasa/ dijadikan pembajak pagar/ jika aku tidak tepati/ ucapan yang telah ku janjikan/ asingkanlah saya ke tempat yang jauh/ jadikanlah pula/ sebagai sapu di bawah kolong rumahnya/ istri kesayanganku/ setelah membuat perjanjian/ dengan ucapan kalimat yang teguh/…”
Diceritakan orang suruhan dari Kompeni Belanda tersebut dalam hal ini Kapten Ternate sampai jualah di daerah Suppa lalu bertemu dengan Raja Suppa dan mengajaknya untuk bekerjasama demi menghindari terjadinya pertumpahan darah (sebagai konsekuensi atas penolakan pada tawaran tersebut). Mereka mengatakan jikalau nantinya terjadinya perang antara Kerajaan Suppa dengan serdadu Belanda sudah tidak terhindarkan lagi, maka daerah-daerah yang wilayahnya bertetangga dengan daerah Suppa akan menerima imbasnya, diantaranya yaitu wilayah Sawitto dan Alitta. Selain itu, hal tersebut juga akan berdampak pula pada keberlangsungan kerajaan Suppa itu sendiri. Sebagaimana yang dituturkan pada halaman 5 dan 6, berikut kutipannya.
Transliterasi:
“…Nayi nassiturusi/ Ada nasamaiyo/ melorengekko marola/ nawawa riperi nyameng/ nagau temmapangngewang/ nawawa ritengngelomu/ Nae rekkuwa labela/ tettinului watammu/ marolaiwi tangngana/ padammu Tuneq Mangkau/ ojeng malebboi ri Suppa/ malalattuni Sawitto/ popodapoi Alitta/ kacallai tana rappeng/ gangkanna mai ri cina tetenamai ri Langnga/ patakkasanna malimpung/ napessattoi Jampue/ Masolang manengngi bela/ pattonrong tapparengngede/ Musajurimanettoi/ angkaukeng ri mana mu/ Natudang tekkajenne/ Opu Batarana suppa/ …”
Terjemahan:
“…adapun kesepakatan/ yang sudah disetujui semua/ mengharapkan kamu mengikut/ dalam duka maupun suka/ tanpa adanya pertentangan/ apabila nantinya/ Tidak berkenan bagi dirimu/ Mengikuti keinginannya/ Sesamamu anak raja/ akan binasa Suppa/ menyala Sawitto/ hancur lebur Alitta/ kualat tanah Rappang/ Hingga di Cina perbatasan di Lengnga/ perbatasan Malimpu/ Dan dia biarkan pula Jampue/ Rusak semualah/ wilayah sekitar danau/ Dan kau kecewakan pula semua/ kerajaan warisanmu/ dan duduk termenung/ Opu Batara Suppa …”
Setelah berpikir cukup lama, Raja Suppa akhirnya mengambil keputusan untuk menolak tawaran tersebut. Dia berkata bahwa dia tidak akan mengikuti pandangan dari orang lain, meskipun oleh sesamanya pemimpin negeri, kecuali ketika hal tersebut memang dititahkan atau dibolehkan oleh Raja Bone, karena dikatakan bahwa daerah Bone merupakan tempat asal dari leluhur Raja Suppa. Berikut petikan dari halaman 6 dan 7.
Transliterasi:
“…rekkuwa matti lattuko/ rikappala tunangenna jeneralenna betawe/ akkedao ri yolona jeneralana Betawe/ Tomarajanna Juppandang/ upalattuni Adammu/ nayi nabaliyangngi/ Ada lebbi uwawae/ pajeneng teyai bela/ marolaiwi tangngana/ padanna patuppu Batu/ Nasangngadinna ri bone/ patetengiyaq singkerru/ kumaelo molaiwi/ tangnga napottangaede/ apa kuwairo mai/ ammemengenna labela/ Puwannene Mangkaukku/ Toleba patiriengngaq/ ri tengngana sabalowa/ wijanna mappajungede/ manaiq ri bottillangi/…”
Transliterasi:
“…Jika nanti kalian sampai/ Pada kapal yang ditumpangi oleh Jenderal Betawi/ katakan di hadapannya Jenderal Betawi/ Panglima Ujung Pandang/ sudah kusampaikan pesanmu/ Adapun balasan/ pesan mulia yang kubawakan/ sesungguhnya tidak mau/ Mengikuti kehendak (pemikirannya)/ Sesamanya pemimpin/ Kecuali di Bone/ memegangkan simpul/ barulah kuingin mengikutinya/ Pemikiran yang dimintai pandangannya/ Karena di sanalah/ memang seharusnya/ Puang nenek Mangkauq saya/ Orang yang menitiskan saya/ Di tengah dunia yang luas/ turunan Mappajunge[2]/ naik ke Botting Langi[3]…”
Demikialah Raja Suppa akhirnya memutuskan untuk berperang melawan pasukan Belanda yang demikian banyak, bahkan dikisahkan bahwa kapal-kapal Belanda yang didatangkan dari daerah Betawi (Jakarta) telah merapat di pelabuhan Suppa. Meskipun beliau mendengar kabar tersebut, Raja Suppa tidaklah merasa gentar demi menjaga kehormatan Tanah Suppa. Dia pun memberikan beberapa arahan kepada orang-orang kepercayaan dan para pengikut setianya yang akan menuju ke medan laga, seperti yang dituliskan berikut ini (halaman 11):
Transliterasi:
”…tulinngi matu adakku/ jalemma to maegae/ tarakkanao mattoddang/ to ritaroe parekkeng/ sinkerru kana mamusu/ ri yappasareng kanae/ mutudang mangattaiwi/ bali temmu gulilinna lipu tanae ri suppa/ Rekkuwa matti lattuko/ ri appasareng kanae pasama taleq alemu/ ri salekona benteng/ rekkuwa siulorekko/ sanreseng ri tennga padang/ ajaq muwedding labela / ripasauri bengtemu/ padamu pabali lari/ ri tennga padang rukkae/…”
Terjemahan:
“…dengarkan nanti ucapanku/ wahai orang yang banyak/ berangkatlah kalian/ orang yang dipercaya menggenggam/ perjanjian peperangan/ di medan laga/ duduklah kalian melawan/ musuh dari berbagai penjuru tanah suppa/ jika kelak kalian tiba/ di medan peperangan sebarlah posisi kalian/ di belokan benteng/ jika kalian saling menyerang/ pertahanan di tengah padang/ janganlah sama sekali/ dikalahkan bentengmu/ oleh sesama musuhmu/ di tengah medan perang/…”
Perang pun tidak dapat dihindarkan lagi, serdadu Belanda yang membawa persenjataan lengkap dan meriam-meriam tempurnya yang hebat ditembakkan, berdentum dan bergemuruh menggetarkan istana raja. Pertempuran berlangsung dengan sengitnya, semua saling menyerang tanpa kenal ampun dan tidak ada pihak yang mau mengalah demi memperebutkan wilayah Suppa meski korban telah berjatuhan. Raja Suppa pun ikut pula berperang, dengan menyelipkan keris kebesarannya pada ikat pinggangnya, dia menaiki kudanya dan berjalan menuju ke medan perang.
Perang berlangsung sekian waktu lamanya, dikatakan tempat kejadiannya bagai arena sabung ayam. Raja Suppa kemudian memerintahkan orang suruhannya untuk memberitahukan perihal perang itu kepada raja di daerah Rappang dan Alitta. Dia pun mendapatkan bantuan pasukan dari daerah Rappang, ribuan pasukan yang datang bersamaan untuk menolongnya mempertahankan tanah Suppa. Mereka melawan musuh yang menyerang dari berbagai penjuru Suppa. Hal yang sama dilakukan oleh orang-orang dari daerah Alitta dan Sawitto yang juga turut membantunya melakukan perlawanan atas serangan yang dilancarkan pihak musuh yakni Kompeni Belanda. Mereka semua bertempur dan saling memberi semangat untuk bisa menghabisi musuh mereka.
Daerah Suppa menjadi banjir darah, peperangan sudah menelan terlalu banyak korban baik dari pihak Suppa sendiri maupun dari pihak Kompeni Belanda. Bahkan mereka menderita kekalahan yang cukup besar dan merasa kecutlah hatinya untuk mau meneruskan peperangan melawan orang-orang Suppa dan sekitarnya setelah menyaksikan perlawanan yang diberikan oleh pemuda-pemuda Sawitto yang begitu gigih. Dia merasa putus asa dan memutuskan untuk menghentikan saja peperangan itu.
Diadakanlah kembali perundingan antara pihak Belanda dan Raja Suppa yang diwakili oleh orang suruhannya yang berlangsung selama tiga hari, yang hendak menyatukan tanah Betawi dengan Suppa Tanah Dewata. Mengenai perihal perundingan itu dapat kita baca pada halaman 27 yang dikutip berikut ini.
Transliterasi:
”…Makkedai minrurana/ to marajana juppandang/ iyo batarana suppa/ pappesauni musue/talukkani bentengede/ benteng sappo arajae tabatajettoni kanae/ kanae makkinangonro/tasitekkoiyang bela ada tessikira-kira/…”
Terjemahan:
“…Kisah menuturkan/ Panglimanya Ujung Pandang/ Iya, wahai Bataranya Suppa/ Hentikanlah peperangan ini/ Bukalah benteng pertahanan/ Benteng yang melindungi kerajaan dan dikumpul pulalah semua senjata/ senjata yang memiliki tempat penyimpanan/ lalu marilah kita menguatkan perjanjian dengan untaian kalimat yang teguh/…”
Dengan memikirkan mengenai semua akibat-akibat yang ditimbulkan oleh peperangan tersebut secara mendalam, dan menimbang begitu banyaknya korban yang telah bergelimpangan, (bahkan dikatakan di dalam pikirannya hanya terdapat mayat saja), Raja Suppa pun menyepakati perjanjian untuk menghentikan peperangan. Setelah dicapainya persetujuan antar mereka yang berperang, pada akhirnya kapal-kapal Belanda yang telah merapat di pelabuhan Suppa memutar arah dan berlayar kembali ke Pulau Jawa, beranjak meninggalkan tanah Suppa.
[1] Tessikira-kira; tidak saling berprasangka
2 Pajung, adalah nama salah satu bentuk pemerintahan daerah pada masa lampau
[3] Botting Langi; kerajaan langit (dewa)
Penerjemah: Andi Maryam dan Nur Ilmiyah
Sumber : https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulsel/suppa-dalam-lontara/
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja