Buni, terletak di Kampung Buni Pasar Emas, Desa Buni Bakti , Kecamatan Babelan. Secara geografis terletak pada UTM : X 725.518.19 Y 9.324.459.91 34 dpl / sekitar Latitude : -6.089307 Longitude : 107.022243 dan ketinggian 23 m Di atas permukaan laut. Situs Buni merupakan kawasan penemuan benda-benda arkeologi, hasil penelitian di wilayah Kampung Buni Pasar Mas dan Buni Pendayakan menunjukkan adanya temuan berupa tembikar terdiri dari macam-macam bentuk dan ukuran berupa periuk, mangkuk berkaki, kendi dan tempayan.
Selain itu ditemukan adanya beliung persegi, artefak logam perunggu dan besi, gelang dari batu dan kaca, perhiasan emas, manik-manik, bandul jala dari terakota dan tulang belulang manusia. Agaknya masyarakat Buni telah mengenal tradisi penguburan langsung tanpa wadah dengan tembikar sebagai bekal kuburnya, namun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa tembikar-tembikar tersebut dimanfaatkan pula untuk keperluan sehari-hari. Selain itu di Kampung Buni juga ditemukan alat-alat berupa kerang, periuk, tengkorak dan tulang manusia, gelang, manik-manik dalam berbagai bentuk dan warna. Cincin dalam berbagai ukuran, dan kapak persegi terbuat dari batu. Di Buni Wates ditemukan juga periuk berhias. Penemuan berbagai aneka perhiasan dari emas dan tulang-belulang manusia yang menggemparkan terjadi pada 1950-an sampai 1970-an. Penemuan pertama tatkala seorang warga Kampung Buni, Dogol, membuat kali kecil (kalenan) yang menghubungkan kali Bekasi dengan sawahnya pada 1958. Tiba-tiba cangkulnya mengenai benda keras. Setelah diperhatikan ternyata benda tersebut berupa tulang belulang dan tengkorak manusia. Di tubuhnya tertinggal perhiasan terbuat dari emas berupa manik-manik (seperti tasbih) dalam kondisi sudah bercerai berai. Rupanya, setelah dilakukan penggalian di sekitar lokasi, ditemukan perhiasan, dan terdapat tulang manusia. Perhiasan yang ditemukan diantaranya berbentuk manik-manik, cincin, bintang, kembang kelapa, stambul, topeng dan mahkota. Dari hasil perbandingan antara bentuk dan kreasi tahun 1950-an ternyata emas temuan tersebut sangat berbeda teknik pembuatannya. cincin misalnya kepalanya mirip stempel dan berbentuk polos. Masyarakat juga menemukan berbagai artefak lain seperti tembikar, beliung persegi, kapak perunggu. Selain itu juga ditemukan sisa-sisa makanan berupa cangkang-cangkang moluska dan tulang-tulang hewan. Namun demikian tampaknya temuan tembikar adalah yang paling menonjol mengklasifikasikan tembikar komplek Buni menjadi dua, yakni tembikar neolit dan perundagian. Tembikar neolit ditandai oleh tatap berukir dengan pola hias anyaman keranjang dan duri ikan. Pada masa perundagian tembikar Buni makin berkembang seperti periuk, kendi, cawan miarni, cawan berkaki, tutup dan bandul jala. Penemuan harta karun perhiasan tersebut, mengundang masyarakat lain dari kampung lain, kota Bekasi, Jakarta dan wilayah lain untuk mengadu nasib di Buni. Dampaknya, Buni tempat ditemukannya perhiasan emas itu menjadi ramai laksana pasar. Itu sebabnya pada perkembangannya Kampung Buni lebih dikenal dengan julukan Kampung Buni Pasar Emas. Penelitian situs Buni pernah dilakukan beberapa kali oleh Tim Penelitian dari Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN), yaitu tahun 1960 (berupa ekskavasi penyelamatan) dan dilanjutkan secara intesif pada tahun 1964, 1969 dan 1970 LPPN yang dipimpin oleh R.P. Soejono. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan :
• Jenis keramik tanah liat (gerabah) terdiri dari jenis periuk, cawan, pedupaan dan kendi. Periuk berupa periuk bulat dan periuk berkarinasi. Cawan terdiri beralas bulat dan cawan beralas rata. Pedupaan, berbadan dan mempunyai kaki agak panjang dan melebar. Sedangkan kendi, terdiri dari kendi berbadan membulat dan kendi berkarinasi. Kedua kendi berleher panjang dan tidak berkarinasi. (Surayasa 1975:5-8).
• Klasifikasi tembikar komplek Buni menjadi dua, yakni tembikar neolit dan perundagian. Tembikar neolit ditandai oleh tatap berukir dengan pola hias anyaman keranjang dan duri ikan. Pada masa perundagian tembikar Buni makin berkembang seperti periuk, kendi, cawan miarni, cawan berkaki, tutup dan bandul jala.
• Berdasarkan warna, gerabah ”Komplek Buni” dapat dibedakan, yaitu gerabah berwarna kemerahan dan gerabah berwana keabu-abuan. Gerabah berwarna kemerahan umumnya berhias gores dengan pola garis sejajar dan tumpal, sedangkan gerabah keabu-abuan umumnya dihias dengan teknik tekan (tera) dan teknik gores, dengan pola hias lingkaran memusat, garis-garis sejajar dan jalatumpal, sedang pola hias gores terdiri dari garis-garis sejajar dan tumpal.
• Gerabah dibuat diperkirakan dengan teknik tatap dan pelandas serta teknik roda putar.
• Dari hasil penelitian prasejarah mendapat kesimpulan bahwa tembikar Komplek Buni ini berkembang pada sekitar abad ke-2-5 Masehi dan mendapar pengaruh dari tembkar S-huynh-Kalanay.
• Fungsi gerabah Kompleks Budaya Buni, dapat diduga sebagai salah satu benda magis yang dipakai sebagai alat upacara atau sebagai bekal kubur, karena cukup banyak penemuan gerabah ini bersama-sama dengan tulang-tulang manusia dan benda lainnya seperti beliungbatu persegi, gelang batu daln sebagainya. Selain itu juga ada dugaan bahwa gerabah-gerabah berfungsi sebagai benda untuk keperluan kehidupan sehari-hari yang bersifat profan.
• Semua situs sudah hancur dan temuan-temuannya sudah bercampur aduk. Tidak jauh dari Kampung Buni Pasar Emas dan Buni Pendayakan, perhiasan juga ditemukan di Kampung Kedung Ringin, Desa Sukaringin, Kecamatan Sukawangi. Di sana ditemukan perhiasan emas berbentuk telor ikan, kembang kelapa, tali sepatu, songko haji berbahasa Arab bertuliskan ”Haji Saka”, corong lampu, pedang, kendi. Bersamaan dengan ditemukannya perhiasan emas, juga ditemukan tulang dan tengkorak manusia. Dari situ menunjukkan masyarakat kala itu percaya perhiasan tersebut harus digunakan untuk orang-orang yang sudah meninggal dunia. Perkembangannya kemudian menunjukkan bahwa Buni bukan hanya sekedar sebuah situs kecil, melainkan suatu komplek kebudayaan yang cukup luas dengan cakupan di sepanjang pantai utara Jawa Barat, di daerah aliran Sungai Cisadane, Ciliwung, Bekasi, Citarum, dan Cipagare, sehingga dinamakan dengan komplek kebudayaan Buni. Komplek ini mempunyai wilayah sebaran yang dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kelompok Tanggerang, Kelompok Bekasi dan kelompok Rengasdengklok. Kelompok Tangerang terdiri atas situs-situs Serpong, Curug dan mauk. Kelompok Bekasi terdiri atas atas Buni, Kerangkeng, Puloglatik, Pulo Rengas, Kedungringin, Bulaktemu, Rawa Menembe, Batujaya dan Tugu. Kelompok Rengasdengklok terdiri atas Babakan Pedes, Tegalkunir, Kampung Krajan, PuloKlapa, Cibutek, Kebakkendal, Karangjati dan Cilogo. Sebagian besar benda-benda peninggalan situs Buni, kini tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Lokasi situs Buni sendiri, telah dibelah menjadi dua wilayah sejak dibangunnya Kali Canal Bekasi Laut (CBL). Lokasi bekas ditemukannya situs, kini sudah berdiri bangunan industri pembuatan baling-baling kapal.
Dekat lokasi penemuan situs Buni, juga sedang berlangsung eksplorasi minyak mentah dan gas bumi, disana pula dilakukan ribuan titik uji seismik (getaran) menggunakan bom dinamit di sejumlah lokasi sekitar Kecamatan Babelan, Sukawangi, Tarumajaya dan Muaragembong. Selain itu di sana akan dibangun berbagai industri menengah dan berat. Bila tidak hati-hati dikhawatirkan, akan merusak situs yang belum tergali. Temuan Gerabah dari Kawasan Budaya Buni, diduga ada yang berasal dari Arikamendu (India Selatan) abad ke-4 M. Gerabah Arikamedu umumnya ditemukan pada kedalaman di atas 2 meter dan bercampur dengan Gerabah-gerabah Komplek Buni. Dari hasil analisis laboratorium, diketahui pula bahwa bahan pembuat tembikar Arikamedu berbeda dengan tembikar-tembikar lain yang ditemukan di Candi Blandongan, Situs Batujaya, Kabupaten Karawang. Dengan demikian dapat diduga masyarakat Sunda kuna pendukung tradisi tembikar Komplek Buni (tradisi prasejarah) telah melakukan kontak dengan daerah luar (Indis) yang kemudian berkembang menjadi sebuah masyarakat pendukung Budaya Buni. Penyebaran gerabah Kawasan Budaya Buni berasal Arikamedu melalui Tamluk dan Tamralipa (India) yang merupakan pelabuhan kuno yang besar dan ramai masa Dinasti Pala, meskipun sesungguhnya Tamluk telah lebih dahulu muncul dibandingkan dengan Dinasti Pala. Kota Tamluk bukan saja sebagai kota pelabuhan melainkan pula telah menjadi pusat agama Budha di Bengal. Berdasarkan berita Fa hien, Hiun Tsang dan I-Tsing, Tamluk dikenal sebagai pusat agama Budha (Gayatri Sen Majumdar, 1983:4). Dalam laporan I-Tsing yang menetap di Tamluk selama dua tahun menyebutkan bahwa pada masa itu di bawah pemerintahan Kerajaan Gupta yang diperintah oleh Chandra Gupta. Pada masa itu, Raja telah mendirikan 20 bangunan suci Budhis. Dari laporan-laporan tersebut diketahui bahwa Dinasti Pala mendirikan kerajaannya setelah keruntuhan Kerajaan Gupta.
Jika membandingkan kondisi masyarakat Buni masa lampau yang memiliki peradaban unggul, amat bertolak belakang dengan masyarakat Buni saat ini yang sebagian masuk dalam pra sejahtera I. Aliran kali Bekasi yang dahulu untuk kepentingan lalu lintas, mencari ikan, dan sumber air bersih, namun sekarang sudah terputus sejak dibangunnya kali CBL dan hanya menjadi kubangan limbah. Ikan sulit didapat, sehingga mereka banyak memenuhi kebutuhan hidupnya dari menanam eceng gondok, bahkan air bersih sangat sulit didapat.
Lokasi: Kampung Buni Pasar Emas, Desa Buni Bakti, Kecamatan Babelan
Koordinat : 6 5' 21" S, 107 1' 20" E
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja