Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Papua Papua
Sinsimonyi Si Nenek Sihir (Cerita Rakyat Sentani)
- 28 Desember 2018

Pada zaman dahulu ada seorang nenek bernama Sinsimonyi atau Sinsi. Nenek Sinsi selalu hidup menyendiri. Pondok tempat tinggalnya terletak di lereng gunung Dafonsoro, disebelah barat daya kota Jayapura. Dari gunung tempat tinggalnya itu ia dapat memandang jauh ke utara, ke lautan nan biru. Itulah lautan yang terkenal dengan nama Samudra Pasifik atau Lautan Teduh. Dari situ ia juga dapat menikmati pemandangan sebuah teluk yang indah. Di sekeliling teluk yang melekuk ke darat itu terdapat kampung-kampung yang bersih. Teluk itu bernama Teluk Yotefa. Dari tempat tinggal Nenek Sinsi ini dapat pula dinikmati pemandangan alam. Bukit-bukit yang tampak kebiru-biruan mengelilingi Danau Sentani yang jernih kemilau. Karena keindahan alam itulah Nenek Sinsi betah tinggal bertahun-tahun di Pegunungan Dafonsoro. Setiap hari ia menikmati pemandangan indah itu sambil membatin tentang kampung di kejauhan beserta penduduknya.

Sebaliknya, penduduk kampung-kampung di sekitar Teluk Yotefa dan Danau Sentani sangat takut, bahkan menaruh benci kepada Nenek Sinsi. Nenek itu terkenal sangat jahat karena sering membunuh bayi-bayi yang baru lahir sebagai makanannya. Setiap kelahiran bayi-bayi, Nenek Sinsi pasti mengetahuinya. Ia dapat menyihir embun dan awan untuk memberi isyarat kepadanya. Di mana ada bayi lahir, walau disembunyikan, embun dan awan selalu menunjukkan tempatnya dengan membuat tiang asap yang mengepul lurus ke langit. Awan dan embun tidak pernah salah, tepat di bawah tiang asap yang dibuatnya pasti ada seorang ibu yang melahirkan. Bertahun-tahun, sejak Nenek Sinsi mendiami daerah itu, tak seorang anak kecil pun yang kelihatan di kampung-kampung disekitar Pegunungan Dafansoro. Semua tingkah laku Nenek Sinsi itu menyebabkan orang sangat membenci dan jijik kepadanya. Walaupun demikian, tak seorang pun dari warga kampung-kampung di sana yang berani melawan atau berniat memusnahakan Nenek Sinsi. Karena nenek itu selain suka memakan bangkai, juga tukang sihir yang sakti dan licik.

Kalau Nenek Sinsi akan mengambil seorang bayi untuk santapannya, ia bertandang ke rumah ibu yang baru melahirkan. Di sana Nenek Sinsi pura-pura mengurus ibu dan bayinya yang baru lahir itu. Ia bersedia mengambilkan daun-daunan dan akar-akaran untuk diramu sebagai obat, juga memandikan dan menggendong bayi itu. Tetapi manakala si ibu lengah, maka nenek yang jahat itu segera melarikan bayi itu ke pondoknya di lereng Gunung Dafonsoro. Bayi itu kemudian dibunuh dan dimasak sebagai santapannya. Makin lama orang-orang  di sekitar Pegunungan Dafansoro semakin berkurang jumlahnya. Orang-orang yang sudah tua sebentar lagi akan mati. Sedang setiap bayi yang lahir pasti pula mati ditangan Nenek Sinsi. Dengan demikian tidak akan pernah ada anak-anak kecil yang manis, yang kemudian menjadi remaja dan dewasa di daerah itu.

Tragedi Keluarga Woiy

Konon, di sebuah kampung di Teluk Yotefa tinggallah satu keluarga, yaitu Woiy dan istrinya, Moni. Oleh orang-orang sekampung mereka dipanggil "Bapa Waoiy" dan "Mama Moni". Pada waktu itu, Mama Moni baru melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan manis. Embun dan awan segera membubung tinggi memberi isyarat kepada Nenek Sinsi, yang segera tahu apa artinya. Maka segeralah ia bertandang ke rumah Mama Moni yang baru melahirkan itu. Mama Moni tidak merasa takut kepada nenek sihir itu, meskipun ia telah mendengar cerita banyak orang tentang Nenek Sinsi. Baik Mama Moni maupun Bapa Woiy, suaminya, tidak takut pada Nenek Sinsi. Oleh karena itu mereka menerima Nenek Sinsi dengan baik di rumahnya. Maka tinggallah Nenek Sinsi untuk beberapa hari bersama Bapa Woiy, Mama Moni dan bayinya.  Mereka sepakat untuk menyerahkan bayi itu untuk dirawat Nenek Sinsi.

Pada suatu hari Mama Moni hendak berpergian. Kepada Nenek Sinsi ia berpesan, "Nenek Sinsi, saya akan pergi ke kebun. Tinggallah bersama bayi itu di rumah."

"Baik Moni," jawab Nenek Sinsi.

Sepeninggal Mama Moni, Nenek Sinsi tersenyum gembira, Betapa tidak, karena saat yang dinanti-nantikannya kini telah tiba, yaitu untuk melakukan niat buruknya. Setelah ia membereskan pekerjaan yang belum selesai, segera Nenek Sinsi mendekati si bayi merah yang sedang tidur di dalam ayunan. Bayi itu diangkatnya lalu diletakkan di pangkuannya. Kemudian dengan sekuat tenaga leher bayi itu dicekiknya sampai mati. Nenek Sinsi menyeringai gembira, niatnya kini telah terlaksana. Ketika Mama Moni dan suaminya tiba kembali di rumah, Nenek Sinsi sedang berpura-pura menangisi bayi itu. Lalu ditanyakan oleh Mama Moni, "Ada apa dengan bayi saya Nenek Sinsi?" Nenek Sinsi tidak menjawab, bahkan bertamba keras dan sedih tangisnya. Oleh alangkah sedihnya Mama Moni setelah melihat bayinya sudah tak bernyawa lagi. Kemudian mayat bayi itu dimandikan dan dibungkus, lalu dikuburkan.

Sebetulnya semua orang  sudah mengerti, itu tentu perbuatan Nenek Sinsi. Mama Moni kini baru percaya dan menyesali tindakannya yang tidak hati-hati. Tetapi tak seorang pun berani menyatakannya di depan Nenek Sinsi. Keesokan harinya, Nenek Sinsi meminta diri untuk pulang ke pondoknya. Maka, apabila hari telah gelap, ia pun segera kembali untuk menggali dan mengambil mayat bayi itu. Setelah peristiwa itu, Mama Moni dan Bapa Woiy lebih mawas diri dalam pergaulan dengan siapa saja. Mereka mulai melatih diri dengan berbagai ketrampilan mempergunakan alat-alat perang seperti tombak, parang, atau golok dan panah. Mereka juga berguru pada orang pandai.

Si Kembar

Selang dua tahun kemudian, Mama Moni melahirkan lagi. Kini bukan hanya seorang bayi, melainkan dua bayi kembar yang begitu  sehat dan tampan rupanya.  Kedua-duanya laki-laki. Seperti biasanya, embun dan awan pun lalu membubung tinggi untuk memberitahukan Nenek Sinsi. Nenek sihir itu segera pula datang ke rumah Mama Moni. Tetapi kini Mama Moni telah mengetahui akan niat jahat Nenek Sinsi. Maka itu, sebelum nenek sihir itu tiba, kedua bayinya telah disembunyikan. Bayi-bayi itu dimasukkan ke dalam sebuah tempayan besar, lalu disembunyikan dengan rapi di salah satu sudut kamar. Kemudian Mama Moni membalutkan rumput-rumput pada perutnya agar tetap kelihatan seperti orang hamil. Ketika Nenek Sinsi tiba, nenek itu sangat heran melihat Mama Moni ternyata masih hamil besar. Padahal embun dan awannya tidak pernah keliru. Ia merasa cemas dan bingung. Maka itu Nenek Sinsi kemudian kembali ke pondoknya dengan sangat kecewa.

Setelah merasa aman benar dan tak ada kemungkinan Nenek Sinsi akan kembali lagi, barulah Mama Moni mengeluarkan kedua bayi kembarnya itu dari temayan. Hari berganti  hari musim pun berubah. Kedua bayi kembar itu terus tumbuh menjadi pemuda-pemuda yang perkasa, cerdas dan tangkas. Keduanya diberi nama Monoi dan Mawai. Oleh ibu bapaknya Monoi dan Mawai dilatih dengan berbagai ketrampilan dan ketangkasan, seperti berlari, melempar tombak, memanah, dan sebagainya. Tak lupa pula ilmu mengendalikan diri. Setelah dirasa si kembar Monoi dan Mawai cukup tangkas dan trampil mempergunakan senjata, mereka lalu disiapkan untuk berlaga. Masing-masing diperlengkapi dengan busur dan anak panah, tombak, serta segulung tali yang dipintal dari serat kulit pohon melinjo.  Setelah segala perlengkapannya siap, maka berpesanlah Mama Moni.

"Wahai anak-anakku, busur dan anak panah yang mama berikan kepadamu itu adalah untuk membunuh nenek Sinsi, si nenek sihir yang jahat itu. Pergilah kalian dan carilah ia ke pondoknya di lereng Gunung Dafonsoro itu. Dialah nenek jahat yang telah membunuh kakakmu dahulu dan semua bayi di sekitar daerah Dafonsoro ini. Ketika kamu masih bayi, mama menyembunyikan kalian di dalam tempayan hingga selamat sampai kini dan menjadi besar. Dapatkah anakku berdua membunuh nenek sihir itu?" "Kami sanggup membunuhnya, Mama !" kata Monoi dan Mawai hampir serempak dengan bangganya. "Berilah kami doa dan pegangan!"

Mama Moni begitu terharu dan bangga terhadap kedua anak kembarnya itu. Oleh karena itu dengan penuh rasa kasih Mama Moni berkata, "Bila demikian anak-anakku, dengarlah pesan mama. Berangkatlah sekarang juga. Peganglah terus ujung tali pintalan ini dalam perjalananmu. Sementara kalian berjalan, mama akan mengurai buntalannya. Bila kalian dapat membunuh Sinsimonyi, maka tali ini akan bergerak dan dengan demikian mama tahu bahwa Sinsimonyi telah musnah di tangan kalian.

Pembalasan

Setelah mendengar mamanya berkata demikian, kedua pemuda kembar itu segera memegang ujung tali. Lalu berangkatlah mereka dengan hati-hati ke arah pondok Sinsimonyi. Dari jauh Mama Moni berdoa dan tetap berharap agar kedua anaknya berhasil. Ketika si kembar itu tiba di pondok Nenek Sinsi, nenek itu sedang tidur nyenyak. Setelah mereka dapat menyaksikan wajahnya dari dekat, mereka tak dapat lagi menahan rasa dendamnya. Keduanya segera menyiapkan busur dan anak panah. Kemudian dalam waktu yang bersamaan mereka menarik busur, dan terlepaslah anak panahnya. Hampir serempak kedua anak panah itu mengenai pada dada Nenek Sinsi.

Nenek Sihir itu meraung-raung kesakitan. Kesaktiannya tak dapat lagi dikerahan. Darah mengucur dengan deras dan tubuhnya mulai melemah. Tahulah ia bahwa ajalnya akan segera tiba. Maka ia berpesan pada si kembar, "Wahai pemuda-pemuda yang gagah, kini ajalku hampir tiba. Aku tahu kalian anak yang tangkas lagi jujur. Aku memang banyak berbuat dosa. Tapi kumohonkan, agar mayatku jangan dikuburkan. Bakarlah dengan kayu rauh, yaitu sejenis kayu gabus. Kemudian taburkanlah antara pondokku ini sampai ke kediaman Moni dan Woiy orang tua kalian." Sesudah berkata demikian matilah Nenek Sinsi, si tukang sihir yang jahat itu.

Sementara itu di rumah Mama Moni, tali pintalan yang ujungnya sedang dipegang oleh anak-anaknya tiba-tiba bergerak kuat sekali. Maka tahulah ia bahwa Nenek Sinsi telah mati. Ia sangat bersuka cita. Begitu pula Bapa Woiy, suaminya.  Kabar gembira itu lalu cepat tersiar ke seluruh daerah Dafonsoro.  Maka semua orang pun bersuka ria, menari-nari dan menyanyi. Kedua pemuda kembar itu kemudian melakukan apa yang diminta oleh Nenek Sinsi. Mayatnya dibakar, abunya disebarkan di antara pondok Sinsimonyi dengan pondok tempat tinggal mereka. Tetapi alangkah terkejutnya kedua pemuda kembar itu atas hasil pekerjaannya itu. Tiba-tiba terjadi sesuatu diluar dugaan mereka. Semua orang yang pernah dibunuh oleh Sinsimonyi hidup kembali. Satu demi satu mereka berjalan menuju kampung dan mencari sanak-saudaranya. Begitu juga dengan kakak kedua pemuda kembar itu.

Untuk menampung orang banyak itu, maka seluruh penduduk kampung beramai-ramai bekerja, bergotong-royong membanguan rumah-rumah baru, sehingga kampung-kampung kecil itu menjadi kampung yang besar. Sekarang anak-anak kecil dapat bermain-main sendiri. Bayi-bayi dilahirkan tanpa rasa takut. Bahkan semua orang tak perlu merasa takut lagi karena Sinsimonyi, si nenek sihir itu telah mati berkat kepahlawanan pemuda kembar Monoi dan Mawai. Akhirnya kedua pemuda kembar itu diangkat oleh warga kampung menjadi panglima perang.

 

 

Oleh G. Azayni Ohorella

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline