BONE, KOMPAS.com - Ada tradisi menarik yang dilakukan warga Dusun Tengnga-tengnga, Desa Pongka, Kecamatan Tellu Siattingnge, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, dalam memperingati leluhur mereka. Mereka menggelar tradisi perang api atau dikenal dengan "Serawu Sulo".
Tradisi ini hanya digelar setiap tiga tahun sekali oleh masyarakat setempat. Dalam tradisi ini, puluhan warga saling lempar api dengan menggunakan obor berbahan daun kelapa kering yang diikat menyerupai lembing, tak ayal tradisi ini banyak memakan korban luka bakar. Uniknya, meski tradisi ini terkesan ekstrim dan konyol, namun malah menjadi ajang silaturrahmi warga setempat.
Seperti yang terlihat Minggu (7/10/2012) kemarin, sebelum memulai ritual ini terlebih dahulu dua pemuka adat atau "Sandro" yang terdiri dari pria dan wanita melakukan ritual berserah diri atau "Mappangolo". Sementara warga yang akan menjadi peserta perang api membasuh sekujur tubuhnya dengan minyak kelapa muda yang diserahkan oleh tokoh adat.
Hal ini merupakan hasil dari "Mappangolo". Dengan diiringi arakan ratusan ekor ayam keliling kampung, mereka ingin menyimbolkan perjalanan nenek moyang mereka -- dikenal dengan Mabule Manu". Arak-arakan ini berakhir di lapangan terbuka, untuk memulai tradisi perang api.
Di lapangan terbuka inilah puluhan warga saling serang dengan menggunakan obor disaksikan ribuan warga yang sengaja datang dari berbagai pelosok tempat. Saling lempar api hingga saling membakar lawan disertai sorakan bercampur tabuhan gendang mewarnai tradisi ini.
"Kalau ditanya rasanya yang memang sakit karena kulit melepuh tapi lukanya besok sudah sembuh karena sudah dikasih minyak kelapa tadi oleh Sandro," ujar Lahu, salah seorang peserta perang api yang sekujur tubuhnya nyaris melepuh. Sejatinya tradisi ini bermula dari nenek moyang mereka yang merupakan penduduk Kabupaten Soppeng.
Dahulu kala, mereka mengungsi lantaran tidak sepakat dengan kebijakan salah seorang raja yang memerintah kerajaan Soppeng kala itu. Mereka pun meninggalkan harta kekayaan dan kampung halamannya dengan hanya berbekal sejumlah ekor ternak ayam dengan menggunakan obor sebagai alat penerangan di malam hari.
Setelah menempuh perjalanan beberapa hari, merekapun menemukan lahan hunian yang kini masuk dalan wilayah Kabupaten Bone. Lahan itu mereka nilai layak untuk dihuni, dan tersembunyi dari kerajaan. Merekapun bersukacita dengan melemparkan obor mereka, sebagai luapan kegembiraan. Luapan kegembiraan inilah yang terus diperingati oleh anak cucu dari generasi ke generasi hingga sekarang.
"Ini hanya cerita turun temurun tidak tahu betul atau tidak karena kisahnya tidak ada secara tertulis tapi memang kami laksanakan di sini selama tiga tahun sekali, konon nenek moyang kami adalah orang Soppeng yang satu kampung dulu mengungsi ke sini karena raja di sana sangat kejam," kata Alimuddin, Kepala Desa (Kades) setempat.
Sayangnya tradisi yang jika dikelola dengan baik ini mampu menjadi daya tarik pariwisata dan menghasilkan pendapatan, namun tidak mendapat apresiasi dari pemerintah kabupaten setempat. Hal ini terbukti dengan minimnya sarana dan prasarana di desa ini, termasuk akses jalan yang berbatu dan berdebu tanpa pengaspalan.
"Begini terus di sini kampung tidak pernah diperbaiki. Lihat saja jalanannya kalau musim kemarau begini berdebu dan kalau musim hujan berlumpur untuk baik kalau motor bisa lewat," keluh Ahmad salah seorang warga setempat.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Serawu Sulo, Tradisi Perang Api Warga Bone",
https://regional.kompas.com/read/2012/10/08/1001558/Serawu.Sulo.Tradisi.Perang.Api.Warga.Bone.
Penulis : Kontributor Bone, Abdul Haq
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja
Jembatan Plunyon merupakan bagian dari wisata alam Plunyon-Kalikuning yang masuk kawasan TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi) dan wisatanya dikelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat, yaitu Kalikuning Park. Sargiman, salah seorang pengelola wisata alam Plunyon-Kalikuning, menjelaskan proses syuting KKN Desa Penari di Jembatan Plunyon berlangsung pada akhir 2019. Saat itu warga begitu penasaran meski syuting dilakukan secara tertutup. Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan zoom-in-whitePerbesar Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan "Syuting yang KKN itu kebetulan, kan, 3 hari, yang 1 hari karena gunungnya tidak tampak dibatalkan dan diu...