Di sini ada dua versi sejarah Gili Tugel
1. Berkaitan dengan perang tanding sampyuh Tumenggung Martoloyo dengan Adipati Marto Puro (1670-an), pada masa Sunan Amangkurat Ing Alaga/ Sunan Amangkurat II (Putra dari Sunan Amangkurat/Sunan Tegalwangi/Sunan Tegalarum). Kejadian pada sumber versi yang lain terjadi setelah Sunan Amangkurat I telah mangkat.
2. Berkaitan dengan masa penentangan Bupati Kaloran/ R. Panji Cakranegara terhadap kebijakan kerja paksa pembuatan jalan Daendels
tempat tersebut adalah pertigaan jalan antara Jalan Diponegoro – AR. Hakim
dan Sudirman di Kota Tegal.
Pertigaan jalan tersebut merupakan jalur Tegal – Slawi dan Tegal – Jakarta.
Sepintas kilas pertigaan itu seperti tidak ada yang istimewa.
Tiap hari perlintasan tersebut disibukan berbagai jenis kendaraan yang lewat di situ.
Juga pada malamhari, tak sedikit di trotoar sebelah Timur dan Barat menjadi tempat warung
lesehan temporer terutama di sebelah Barat.
Tapi cobalah menorobos ke dalam terowongan waktu kilas balik pada peristiwa yang pernah terjadi,
betapa memedihkan lahirnya asal-usul Gili Tugel!
1. Tragedi memedihkan itu ditandai ketika dua adipati gugur dalam adu tanding.
Antara Adipati Martoloyo dari Kadipaten Tegal dan Adipati Martopuro dari Kadipaten Jepara,
saling tikam dengan sebilah keris hingga keduanya berakhir tragis, mati sampyuh.
Akhir tahun 1670 – dan berakhir beberapa saat sebelum Amangkurat I meninggal tahun 1677,
situasi Mataram kacau balau dengan merebaknya perang saudara yang luar biasa.
Atas kekacauan itu, Amangkurat I kewalahan sampai dia pun menyingkir ke arah Barat
karena Mataram dikuasai Trunojoyo, namun kekacauan terus berlanjut membabi-buta.
Dalam kebingungan, Amangkurat I bersekutu dengan VOC untuk meredam kekacauan yang menggila.
Dengan campur tangan VOC, perang berakhir, namun setelah perang saudara usai,
justru disinilah awal dari segala persoalan panjang bernama penjajahan.
Karena atas jasanya meredakan kekacauan di tlatah Mataram, VOC meminta bayaran
yang teramat mahal dan tak mungkin terbayarkan oleh pihak kerajaan.
Inilah yang menjadi beban Amangkurat I hingga akhir hayatnya.
Pemerasan VOC terhadap kerajaan Mataram, berlanjut sampai kerajaan dipegang oleh Amangkurat II.
Dia menjadi bingung karena harus melunasi ‘hutang’ yang tertunda kepada VOC.
Padahal pasca kerusuhan, kas Kerajaan kosong dan nyaris bangkrut.
Dalam kebingungan yang memuncak, Amangkurat II terpaksa merelakan wilayah
pesisir utara Jawa dikuasai oleh VOC.
Kendatipun mereka tetap membayar uang sewa tiap tahunnya,
tetapi VOC tidak pernah mengembalikan wilayah pesisir utara kepada kerajaan.
Hal ini membuat Mataram kehilangan pendapatan penting, dan Jawa Tengah terisolasi
dari Negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Komunikasi dengan pusat-pusat studi di Asia Selatan menjadi sulit,
dan kian meningkatnya ketergantungan terhadap Belanda.
Adipati Martoloyo yang saat itu memimpin Kadipaten Tegal termasuk salah satu adipati
yang tak patuh pada rajanya.
Ia selalu membangkang untuk tidak memberikan upeti pada Mataram.
Padahal daerah kekuasaan Martoloyo telah diperluas dari pantai Jepara ke Barat
hingga wilayah Tegal, Brebes dan Losari.
Dalam pandangan Martoloyo, Amangkurat II itu benar-benar berhamba betul pada Belanda.
Karena itu dia tak mau membayar pajak, dan ini yang menyebabkan hubungan antara
bawahan dan rajanya semakin besitegang. Tapi pihak Belanda tak kurang akal..
Hatta, dibawah Gubernur Jendral Mr Maetsuyke, dia mengutus Laksamana Cornelis Speelman
dari VOC untuk menemui Amangkurat II, tujuannya bagaimana melenyapkan Martoloyo.
Adipati Tegal yang paling kocolan dan pembangkang selalu bersitegang dengan rajanya.
Politik devide et impera yang kemudian digunakan Belanda ntuk melenyapkan Adipati Martoloyo, dijalankan,
caranya, Amangkurat II diperintahkan untuk menggelar pertemuan agung para adipati
se-Jawa bertempat di Kadipaten Jepara.
Topik utama diagendakan, adalah penandatanganan ‘Naskah Kerjasama’ dengan imbalan
tanah-tanah milik Kerajaan Mataram..
Maka pada tanggal 17 Januari tahun1678 berlangsung acara itu, dihadiri semua adipati termasuk
Adipati Martoloyo dan Martopuro. Nyatanya, Martoloyo yang memiliki kuat prinsip,
menentang keras kesepakatan itu dan menolak
untuk berkerjasama.
Dia pun mutung dan akhirnya menyingkir meninggalkan pertemuan agung.
Kesempatan itu dipakai oleh Belanda untuk menekan Amangkurat II agar menangkap Martoloyo.
Amangkurat II tahu, kalau kesaktian Martoloyo itu tak tertandingi.
Satu-satunya adipati yang mampu bertarung melawan Martoloyo,
cuma Martopuro yang memiliki kesaktian dari satu guru dan satu ilmu.
“Adipati Martopuro, susul Martoloyo sekarang juga, hadapakan kepadaku hidup atau mati”
printah Amangkurat II. “Inggih Sinuhun Amangkurat, perintah Sinuhun siap hamba laksanakan”
Seperti kerbau dicocok hidungya, Adipati Martopuro bergegas menjemput Martoloyo.
Sesampai dihadapan Martoloyo, ternyata Martopuro tak mampu menyatakan maksud tujuannya,
tapi Martoloyo tahu apa yang ingin diutarakannya.
Oleh karenanya Martoloyo memberi nasehat, namun bukan kebulatan yang dicapai,
melainkan meruncingnya perselisihan diantara keduanya memicu perang tanding.
Keduanya saling tikam dengan menggunakan pusaka keris sakti, Martoloyo mati karena tikaman
keris Ki Kasur, sedang Martopuro mati karena tikaman keris Ki Sepuh. Geger kematian kedua adipati,
tercium oleh Gendowor, Plekatik Martoloyo yang setia itu
bergegas meninggalkan tempat dimana dia bekerja sebagai pencari rumput untuk kuda majikannya.
Dengan sabit ditangan, perasaan gerah dan dongkol, dipacu kencang kuda tunggangannya
menuju pendopo.
Di sana dilihatnya rakyat Tegal berjubel-jubel, gending lara tangis bertalu-talu,begitu menyayat ulu hati.
Turun dari kuda, bergegas Gendowor berjalan menuju pendopo, langkah Gendowor tergopoh-gopoh
dan betapa terkejutnya ketika mendapatkan majikannya telah tewas di samping Adipati Martopuro
dengan bercikan darah di mana-mana.
Sebagian mengering, sebagiannya lagi bau anyir darah segar menyengat hidung.
Di sisi mayat majikannya, Gendowor bersimpuh, ia berjanji akan menumpas semua Kompeni Belanda.
Maka dipacu kuda tunggangannya memburu orang-orang Kompeni, orang-orang Kompeni
yang berpapasan dengannya ditebas batang lehernya.
Puluhan kepala bergelimpangan dan darah berceceran, tempat pemenggalan kepala itu
terjadi di pertigaan Gilitugel. Peristiwa lain yang tak kalah tragisnya, juga terjadi di pertigaan jalan itu.
Pada abad 18, sewaktu Mr Herman William Daendels membuat jalan raya sepanjang 1000 Km
dari Anyer sampai Penarukan, banyak rakyat pribumi menjadi korban akibat kerja rodi,
termasuk rakyat Tegal yang tanahnya dilalui proyek pembuatan jalan.
Saat itu, Bupati Tegal yang dipimpin RM Tumenggung Panji Haji Cokronegoro setiap hari dibikin
repot karena harus menyediakan 1000 orang untuk kerja paksa.
Oleh karenanya, ia sangat prihatin dan sedih, tidak sedikit rakyat yang kurang patuh harus
mendapat hukum pancung.
Hampir setiap hari, Bupati Tegal menyaksikan peristiwa yang memedihkan itu.
Tempat pelaksanaan hukuman pancung bagi yang menentang kerja rodi, terjadi di pertigaan jalan itu.
Sejak itu, rakyat Tegal menamai jalan tersebut sebagai ‘Gilitugel’, asal-muasal dari kata ‘Gulu Tugel’.
Dalam bahasa Jawa, ‘Gili’ artinya ‘jalan’. Sedang kata ‘Tugel’ artinya ‘Putus’.
Begitulah lahirnya pertigaan jalan yang disebutkan di atas.
Sumber: https://www.facebook.com/notes/sisi-lain-kabtegal/sejarah-gili-tugel-kota-tegal/471924239485605/
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja