Samir merupakan kelengkapan busana Abdi Dalem Keraton Yogyakarta. Berbentuk menyerupai pita atau selempang kecil dengan hiasan gombyok di kedua sisi. Sekilas samir hanya berfungsi sebagai aksesori semata, namun samir merupakan kelengkapan yang sangat penting dan tidak sembarang orang boleh memakainya.
Di Keraton Yogyakarta, samir adalah tanda, bahwa Abdi Dalem yang memakainya sedang menjalankan tugas, atau disebut ayahan. Tugas itu dapat berupa tugas di dalam lingkungan keraton seperti membawa pusaka, membawa makanan untuk Sultan, memberi sesaji, menabuh gamelan, ataupun ketika mengajar dalam forum resmi keraton. Juga ketika menjalankan tugas di luar lingkungan keraton, seperti menjadi utusan dalam upacara Labuhan atau Garebeg.
Selain sebagai tanda tugas, samir juga menunjukkan perbedaan dalam jenjang kepangkatan Abdi Dalem. Samir dibedakan berdasar pangkat yang dimiliki Abdi Dalem yang mengenakannya.
Bahan dasar samir adalah kain cindhe motif putih hitam dengan dasar warna merah, atau sering disebut cindhe bang-bangan. Kain cindhe, disebut juga cindai atau patola, merupakan nama kain sutra dibuat menggunakan teknik tenun ikat ganda. Kain patola mulai dikenal di Nusantara sekitar abad 15. Kain ini berasal dari Gujarat, India. Karena nilainya yang sangat tinggi, patola kemudian ditiru di sepanjang nusantara, baik dari segi teknik pembuatan maupun motifnya.
Kain cindhe yang sekarang digunakan sebagai samir di Keraton Yogyakarta hanyalah kain yang bermotif cindhe saja, tidak mengacu pada bahan maupun teknik pembuatannya. Motifnya berdasar motif kain cindhe yang berasal dari daratan Tiongkok.
Berdasar surat edaran yang dikeluarkan oleh Kawedanan Parentah Hageng berangka 79/PHK/1992 yang mengatur pemakaian samir bagi Abdi Dalem Keraton Yogyakarta, kain cindhe yang digunakan untuk samir memiliki panjang 66 cm dan lebar 5,5 cm. Bagian sampingnya diberi plisir dan ujungnya diberi rumbai-rumbai berupa gombyok monte. Sebuah plat logam dengan lebar satu jari dan tambahan berupa lambang keraton (HABA) diberikan di antara kain dan rumbai.
Warna plisir, rumbai-rumbai, dan plat logam berbeda-beda tergantung pangkat pengguna samir tersebut.
Aturan tersebut ditandatangani oleh KGPH Benowo selaku Penghageng Parentah Hageng Karaton Ngayogyakarta pada tanggal 6 Rejeb Jimawal 1925, atau 31 Desember 1992.
Pada umumnya samir dikenakan dengan cara dikalungkan pada leher dengan kedua ujung bertemu di dada. Namun pada busana Manggung Putri, yaitu para pembawa kelengkapan upacara yang mengiringi Sultan saat duduk di takhta, samir dikenakan dengan cara melilitkannya pada leher. Saat tidak dikenakan, seperti saat Abdi Dalem baru saja menyelesaikan tugas dari Sultan, samir akan diselipkan pada bagian pinggang bagian kanan.Tidak diketahui tepatnya kapan samir mulai dipergunakan dalam kehidupan kerajaan di Jawa. Namun penggunakan kalung sebagai penanda tugas telah dapat ditemui sejak dalam kisah pewayangan. Dalam kisah Mahabharata, tepatnya dalam perang Bharatayudha, ksatria yang mendapat tugas menjadi panglima perang atau senapati akan mengenakan kalung dari untaian bunga. Tanda ini berlaku bagi kedua belah pihak yang bertempur, baik Pandawa maupun Kurawa.
sumber :https://kratonjogja.id/tak-benda/Pakaian/9/samir-selempang-khas-penanda-tugas
Resep Sambal Matah Bahan-bahan: Bawang Merah Cabai Rawit Daun Jeruk Sereh Secukupnya garam Minyak panas Pembuatan: Cincang bawang merah, cabai rawit, daun jeruk, dan juga sereh Campur semua bahan yang sudah dicincang dalam satu wadah Tambahkan garam secukupnya atau sesuai selera Masukkan minyak panas Aduk semuanya Sambal matah siap dinikmati
Bangunan GKJ Pakem merupakan bagian dari kompleks sanatorium Pakem, yang didirikan sebagai respon terhadap lonjakan kasus tuberculosis di Hindia-Belanda pada awal abad ke-20, saat obat dan vaksin untuk penyakit ini belum ditemukan. Sanatorium dibangun untuk mengkarantina penderita tuberculosis guna mencegah penularan. Keberadaan sanatorium di Indonesia dimulai pada tahun 1900-an, dengan pandangan bahwa tuberculosis adalah penyakit yang jarang terjadi di negara tropis. Kompleks Sanatorium Pakem dibangun sebagai solusi untuk mengatasi kekurangan kapasitas di rumah sakit zending di berbagai kota seperti Solo, Klaten, Yogyakarta, dan sekitarnya. Lokasi di Pakem, 19 kilometer ke utara Yogyakarta, dipilih karena jauh dari keramaian dan memiliki udara yang dianggap mendukung pemulihan pasien. Pembangunan sanatorium dimulai pada Oktober 1935 dan dirancang oleh kantor arsitektur Sindoetomo, termasuk pemasangan listrik dan pipa air. Sanatorium diresmikan oleh Sultan Hamengkubuwono VIII pada 23...
Bahan-bahan 4 orang 2 bungkus mie telur 4 butir telur kocok 1 buah wortel potong korek api 5 helai kol 1 daun bawang 4 seledri gula, garam, totole dan merica 1 sdm bumbu dasar putih Bumbu Dasar Putih Praktis 1 sdm bumbu dasar merah Meal Prep Frozen ll Stok Bumbu Dasar Praktis Merah Putih Kuning + Bumbu Nasi/ Mie Goreng merica (saya pake merica bubuk) kaldu jamur (totole) secukupnya kecap manis secukupnya saus tiram Bumbu Pecel 1 bumbu pecel instant Pelengkap Bakwan Bakwan Kriuk bawang goreng telur ceplok kerupuk Cara Membuat 30 menit 1 Rebus mie, tiriskan 2 Buat telur orak arik 3 Masukkan duo bumbu dasar, sayuran, tumis hingga layu, masukkan kecap, saus tiram, gula, garam, lada bubuk, penyedap, aduk hingga kecap mulai berkaramel 4 Masukkan mie telur, kecilkan / matikan api, aduk hingga merata 5 Goreng bakwan, seduh bumbu pecel 6 Siram diatas mie, sajikan dengan pelengkap
Wisma Gadjah Mada terletak di Jalan Wrekso no. 447, Kelurahan Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma Gadjah Mada dimiliki oleh Universitas Gadjah Mada yang dikelola oleh PT GAMA MULTI USAHA MANDIRI. Bangunan ini didirikan pada tahun 1919 oleh pemiliknya orang Belanda yaitu Tuan Dezentje. Salah satu nilai historis wisma Gadjah Mada yaitu pada tahun 1948 pernah digunakan sebagai tempat perundingan khusus antara pemerintahan RI dengan Belanda yang diwakili oleh Komisi Tiga Negara yang menghasilkan Notulen Kaliurang. Wisma Gadjah Mada diresmikan oleh rektor UGM, Prof. Dr. T. Jacob setelah di pugar sekitar tahun 1958. Bangunan ini dikenal oleh masyarakat sekitar dengan Loji Cengger, penamaan tersebut dikarenakan salah satu komponen bangunan menyerupai cengger ayam. Wisma Gadjah Mada awalnya digunakan sebagai tempat tinggal Tuan Dezentje, saat ini bangunan tersebut difungsikan sebagai penginapan dan tempat rapat. Wisma Gadjah Mada memiliki arsitektur ind...
Bangunan ini dibangun tahun 1930-an. Pada tahun 1945 bangunan ini dibeli oleh RRI Yogyakarta, kemudian dilakukan renovasi dan selesai tanggal 7 Mei 1948 sesuai dengan tulisan di prasasti yang terdapat di halaman. Bangunan bergaya indis. Bangunan dilengkapi cerobong asap.