Tradisi Peusijuek, atau di daerah Melayu disebut Tepung Tawar, adalah sebuah ritual atau prosesi adat dalam budaya masyarakat Aceh yang dilakukan pada hampir untuk semua kegiatan di dalam kehidupan. Secara etimologi, ritual Peusijuek diartikan sebagai ritual untuk mendoakan agar diberi ketentraman dan diberi keberkahan oleh Tuhan dalam hidup (Peusijuek = Membuat sesuatu menjadi dingin). Tradisi Peusijuek ini masih dipraktikkan oleh sebagian besar masyarakat Aceh. Ritual ini dilakukan ketika ada kegiatan penyambutan rumah baru, memulai sebuah usaha, terlepas atau selesai dari bencana, terlepas atau selesai dari sengketa, merayakan kelulusan, memberangkatkan orang pergi haji atau penyambutan sepulang dari haji, sunatan, kembalinya keluarga dari perantauan, dan masih banyak lagi.
Pada masyarakat perdesaan, ritual ini sudah biasa dilakukan bahkan dilakukan untuk hal-hal yang kecil sekalipun, misalnya ketika membeli kendaraan baru, menaur benih di sawah, merayakan musim panen, pembelian tanah sawah, atau peresmian dan pemberangkatan perahu nelayan yang baru.Sementara bagi masyarakat perkotaan yang lebih modern, tradisi Peusijuek ini dilakukan hanya dilakukan untuk upacara adat saja, seperti pernikahan, penyambutan bayi baru lahir, sunatan, atau ada juga sebagian kecil dari masyarakat perkotaan yang melakukan ritual ini ketika menempati rumah baru atau membuka usaha baru.
Ritual Peusijuek ini mirip dengan tradisi Tepung Tawar dalam budaya Melayu. Di Aceh yang melakukan prosesi ini adalah tokoh agama maupun tokoh adat yang dituakan di tengah-tengah masyarakat. Bagi kaum laki-laki yang melakukan Peusijuek adalah tokoh pemimpin agama (Teuku/Ustadz), sedangkan bagi perempuan yang melakukan Peusijuek adalah Ummi atau perempuan yang dituakan di tengah masyarakat. Diutamakan yang melakukan ritual Peusijuek ini adalah tokoh-tokoh yang memahami dan menguasai hukum agama sebab prosesi Peusijuek ini diisi dengan acara mendoakan keselamatan dan kesejahteraan bersama sesuai dengan agama Islam yang merupakan agama mayoritas yang dianut secara umum oleh masyarakat Aceh.
Prosesi ritual ini menggunakan perlengkapan diantaranya :Talam satu buah, breuh padee (beras) satu mangkok, bu leukat kuneng (ketan kuning) satu piring besar bersama tumpoe (panganan berupa kue yang terbuat dari tepung dan pisang) atau campran kelapa-gula merah yang sering disebut inti u (inti kelapa), teupong taweu (tepung yang sudah dicapur dengan air yang hanya membuat warna air sedikit keruh), on sineujeuk (daun cocor bebek), on manek mano (sejenis daun-daunan), on naleung samboo (sejenis rerumputan), daun pandan, glok ie (tempat mencuci tangan), dan sangee (tudung saji). Daun-daun tadi diikat menjadi satu dan diletakkan di dalam mangkok cuci tangan.
Tata cara pelaksanaan Peusijuek adalah sebagai berikut : Pertama, dengan menaburkan beras padi ke seseorang yang akan di-Peusijeuk atau di objek yang akan dilakukan ritual; Kedua, memercikkan air tepung tawar dengan menggunakan ikatan dedaunan ke seseorang yang akan di-Peusijuek atau di objek yang akan dilakukan ritual; Ketiga, mencuil sedikit nasi ketan (bu leukat kuneng) berikut inti kelapa (inti u) dan menyuapkannya kepada seseorang yang akan di-Peusijuek; Terakhir adalah pemberian uang (Teumutuek) kepada seseorang yang di-Peusijuek serta diakhiri dengan ucapan selamat, permohonan dan harapan, serta doa-doa. Tata cara Peusijuek ini umumnya hampir sama di setiap daerah Aceh, tetapi juga kadang-kadang terdapat beberapa perbedaan menurut kegiatan yang diadakan Peusijuek tersebut, misalnya jika yang dilakukan ritual Peusijuek adalah sebuah benda, maka prosesiya hanya sampai tahap ke dua dan diakhiri dengan pembacaan doa. Dan di beberapa daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, misalnya di daerah Aceh Selatan, prosesi pemberian uang kepada orang yang dilakukan ritual tidak dilakukan, hanya sebatas sampai menyuapkan nasi ketan kuning (bu leukat kuneng) dan diakhiri dengan doa.
Ritual ini sejatinya adalah ucapan rasa syukur masyarakat Aceh kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan kasih sayang yang dilimphkan kepada masyarakat Aceh, khususnya kepada orang yang dilakukan ritual Peusijuek. Ritual ini juga memohon agar selalu diberi ketenangan dan kelapangan dalam hidup, selalu diberikan dan dilimpahkan kelapangan rezeki, dan dijauhkan dari musibah dan mara bahaya.
Semoga dengan artikel ini, dapat menumbuhkan semangat cinta budaya Indonesia pada kita dan bersemangat untuk mencari tahu dan mempelajari lebih dalam lagi tentang budaya-budaya dari daerah asal kita.
(Disadur dari : - https://id.wikipedia.org/wiki/Peusijuek
- https://www.kompasiana.com/rifkifakhr/552c7a0c6ea83416388b4598/peusijuek-tradisi-warisan-leluhur-masyarakat-aceh
Dengan pengubahan seadanya)
#OSKMITB2018
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja