|
|
|
|
5_Putri Pucuk Gelumpang Tanggal 19 May 2018 oleh Sobat Budaya. |
Pada zaman dahulu hiduplah seorang bangsawan kaya raya. Sehari-harinya bangsawan itu dipanggil dengan sebutan Bangsawan Besar. Saat itu Istri Bangsawan Besar sedang mengandung. Bangsawan Besar mengharapkan anaknya kelak lahir laki-laki, supaya bisa meneruskan pencahariannya berniaga. Suatu hari Bangsawan Besar sedang bercakap-cakap dengan kedua anak buahnya yang paling dipercaya. Mereka bernama Lesamana dan Pedanelam.
“Memang sebaiknya Bangsawan memiliki anak laki-laki. Hanya anak laki-laki yang kelak bisa meneruskan Tuanku memimpin kapal-kapal dagang!” Kata Lesamana.
“Benar Bangsawan. Jangan sampai istri Bangsawan melahirkan anak perempuan!” Imbuh Pedanelam.
“Ya aku harus berketurunan anak laki-laki tangguh!” Sahut Bangsawan Besar sambil mengangguk, mengiyakan kedua pembantu setianya.
Sesampainya di dalam rumah Bangsawan Besar masih memikirkan perkataan kedua pembantu setianya. Bahwa kelak anaknya harus seorang bayi laki-laki. Malam itu Bangsawan Besar segera menemui istrinya.
“Adinda, berapa bulan usia anak dalam kandunganmu itu?” Tanya Bangsawan Besar sambil memperhatikan istrinya.
“Tujuh bulan, Kanda!”
“Dinda, jika tak ada halangan aku akan berlayar ke Pulau Pinang. Aku tak dapat menyambut kelahiran bayi kita!” kata Bangsawan dengan sedih.
“Apa tidak bisa ditunda sampai anak kita lahir?” Tanya istrinya.
“Adinda, perahu-perahu kita telah siap di pelabuhan. Penuh dengan barang-barang pesanan Raja Pinang. Tidak boleh tidak aku harus mengantarkannya segera!”
“Baiklah, berangkatlah kalau begitu. Kelak kami berdua akan menyambutmu!” Kata istri Bangsawan tersenyum.
“Satu yang harus kamu ingat. Aku hanya menginginkan seorang anak laki-laki, bukan bayi perempuan! Jika bayi kita lahir laki-laki bunyikanlah rantai-rantai perak. Jika perempuan bunyikanlah rantai-rantai tembaga. Aku sangat bahagia jika mendengar rantai-rantai perak. Jika yang terlahir bayi perempuan maka yang terjadi akan sebaliknya. Aku tidak menginginkan bayi itu!” Kata Bangsawan Besar.
Mendengar tutur kata suaminya, Istri Bangsawan menjadi sedih dan khawatir kalau-kalau bayinya yang lahir seorang bayi perempuan.
“Ya, semoga bayi kita laki-laki, Kanda. Jika Kanda mendengar gerincing suara rantai-rantai perak berpadu maka lekaslah kembalilah ke dalam negeri!” Pesan perempuan itu.
Setelah berpamitan dengan istrinya, Bangsawan Besar segera berangkat. Istrinya turut mengantar sampai ke pinggiran laut.
Selepas kepergian suaminya, istri Bangsawan Besar merasa cemas. Kata-kata suaminya mengiang-ngiang, mengganggu siang dan malam.
“Jika anakku laki-laki pasti suamiku merasa senang, andaikata yang terlahir bayi perempuan pasti anakku akan dibunuhnya, sebab seorang perempuan tak mungkin menjadi raja atau meneruskannya menjadi saudagar.” Desah Istri Bangsawan.
Selang dua bulan, bayi yang dikandung dalam perutnya menunjukkan tanda-tanda akan lahir. Istri Bangsawan Besar segera meninggalkan rumah bersama pembantu kesayangannya, mencari seorang dukun bayi. Pembantu yang lain tidak mengetahui jika istri Bangsawan meninggalkan rumah.
Istri Bangsawan sangat murung setelah melihat anaknya yang lahir seorang bayi perempuan. Bayi itu sangat elok wajahnya, cantik. Kulitnya kuning bersinar.
“Aku tidak akan menyerahkanmu pada ayahmu. Aku tidak akan rela kau dibunuh!” Isak tangis Istri Bangsawan sambil menciumi bayinya.
“Bibi, cukup kamu yang tahu. Jika pulang nanti katakanlah kepada teman-temanmu, anakku perempuan dan meninggal ketika lahir.” Kata Istri Bangsawan kepada pembantunya.
“Baik Tuan Putri!”
Mereka bertiga berjalan pulang. Di tengah perjalanan, di pinggir sebuah hutan, Istri Bangsawan termangu-mangu.
“Kalau anak ini kubawa ke rumah pasti mereka mengetahui anakku masih hidup.Apa yang harus aku lakukan!” Istri Bangsawan bingung dan panik.
“Sebaiknya bayiku kutaruh di dalam hutan saja!” Kata istri Bangsawan.
“Ke dalam hutan? Apa tidak terlalu bahaya? Di dalam sana banyak binatang buas, Tuan Putri?”
“Tidak mungkin juga aku menyerahkannya kepada orang lain. Jika anak ini masih dikaruniai hidup pastilah dia akan hidup selamat dengan rezekinya. Ayolah, sebaiknya kita masuk ke hutan!”
Mereka memasuki hutan. Istri Bangsawan tertatih-tatih memasuki hutan itu. Air matanya bercucuran karena harus membuang anaknya.
“Ampunilah Ibu, anakku!” Kata Istri Bangsawan sambil mencium anaknya sebagai tanda perpisahan.
Istri Bangsawan menaruh putrinya di atas sebuah pohon gelumpang. Bayi itu ditaruh di sebuah ayunan yang dipasang di ranting pohon.
Setelah meninggalkan anaknya Istri Bangsawan segera mencari akal. “Binatang apa yang akan kita bawa pulang sebagai pengganti putriku?”
“Sebaiknya kita bawa seekor kambing saja. Dagingnya kita masak untuk gulai. Nanti kepalanya kita taruh di sudut perapian di dalam dapur. Katakan kepada Tuan Bangsawan itulah kuburan anak perempuan Tuan Putri!” Usul pembantunya.
“Ya, sebaiknya begitu!” Istri Bangsawan menyetujui.
Mereka berdua segera mampir di sebuah pasar. Mencari seekor kambing yang masih muda. Di tempat itu juga kambing itu disembelih, daging dan kepalanya dibawa pulang ke rumah.
Sesampainya di depan rumah, pembantu-pembantu telah siap menyambut kedatangan tuannya. Istri Bangsawan dan pembantunya pura-pura merasa sedih.
“Tuan Putri melahirkan seorang bayi perempuan. Namun, sekarang telah meninggal!” Kata pembantu setianya.
Setelah memasak gulai dan menanam kepala kambing, Istri Bangsawan segera menggerakkan rantai tembaganya sebagai isyarat bahwa dirinya telah melahirkan seorang bayi perempuan.
Bangsawan Besar yang sedang berdagang di Pulau Pinang, terkejut ketika telinganya berdengung, terdengar suara rantai-rantai tembaga saling beradu. Bangsawan Besar segera memutuskan untuk kembali ke negerinya.
“Anakku telah lahir. Perempuan. Esok kita harus kembali ke dalam negeri!”
Keesokan harinya Bangsawan bertolak ke dalam negeri. Anak buahnya yang setia, Lesamana dan Pedanelam mengiringi Bangsawan.
“Ampun Bangsawan. Anak Tuan telah terlahir perempuan! Tak ada gunanya di masa datang!” Kata Pedanelam.
“Hanya bayi laki-laki lah yang kelak bisa meneruskan perniagaan Tuanku!” ujar Lesamana.
“Ya, aku menyesal istriku melahirkan seorang bayi perempuan!”
”Bukankah Tuanku telah memutuskan, lebih baik bayi perempuan itu dibunuh saja. Tak ada gunanya memelihara sesuatu yang tak bermanfaat.”
“Ya, aku harus membunuh bayi itu! ” Kata Bangsawan Besar dengan muka merah padam. Tak sabar ingin menemui bayi yang dibencinya.
Sesampainya di dalam rumah Bangsawan buru-buru menemui istrinya, “Di mana anak kita?” Ujarnya dengan muka merah padam.
“Anak kita telah hamba sembelih, Kanda. Inilah dagingnya sudah dibuat gulai untuk kita makan bersama-sama. Bukankah Kanda tidak menghendaki bayi perempuan? Daripada anak itu dibunuh percuma lebih baik kita bikin gulai. Kita makan bersama!” Jawab istrinya.
Istri Bangsawan menghidangkan gulai kambing dengan nasinya di hadapan Bangsawan Besar.
“Bagus! Mari kita makan bersama-sama!” Bangsawan Besar mengajak pengiringnya untuk makan bersama.
Mereka makan dengan lahap. Mereka sangka gulai yang sedang disantap adalah daging bayi. Ketika mereka sedang menyantap hidangan lengkap itu tiba-tiba dari luar rumah terdengar suara burung elang yang mengejek mereka.
“Kliiiik, kliiik, kliiik, klang. Kalian sedang makan daging kambing!” Seru elang sambil mengejek mereka.
Mereka tertegun. Lehernya terasa tercekat.
“Apa? Kita makan daging kambing?” Tanya Bangsawan Besar di tengah-tengah rasa terkejutnya.
“Apakah benar yang dikatakan elang itu?” Tanya Lesamana.
“Mungkin benar, yang kita makan adalah daging kambing!” Duga Pedanelam.
“Usahlah, ayo makan. Tak usah didengar suara elang itu!” kata Istri Bangsawan.
Elang itu hinggap di jendela yang masih terbuka. Berulang-ulang mengatakan bahwa gulai yang sedang mereka makan adalah gulai kambing. Istri Bangswan telah mengusirnya namun elang itu kembali lagi, semakin nyaring menyerukan daging yang mereka makan adalah daging kambing.
“Kalau tidak percaya. Lihatlah kepalanya!” Kata elang menunjukkan kepada Bangsawan.
Bangsawan Besar naik pitam. Dia segera mengambil cangkul dan sekop. Sudut perapian yang telah ditimpuk gundukan tanah itu segera dicangkulnya dengan cepat.
“Nah, benar yang dikatakan elang itu? Kau telah bohong! Ini gulai kambing. Ini kepalanya!” Kata Bangsawan sambil menjinjing kepala kambing yang berhasil ditemukannya.
“Kubunuh kau? Ke mana anak kita kamu sembunyikan? Beraninya kau berbohong kepadaku!” Ancam Bangsawan Besar kepada istrinya. Bangsawan mencabut pedangnya, menempelkannya kepada leher istrinya.
“Ampun Kanda. Baiklah hamba akan mengambil anak kita! Tunggulah!”
Istri Bangsawan dengan langkah cepat berlari-lari ke tengah hutan. Ketika berada di bawah pohon Istri Bangsawan amat terkejut melihat seorang bocah perempuan yang sedang duduk di cabang ranting pohon gelumpang.
“Kaukah anakku yang kutaruh dalam buaian tempo hari?” Tanya Istri Bangsawan.
“Ya, Bunda. Aku anakmu! Kenapa Bunda datang kemari? Bukankah Bunda telah menyerahkanku kepada pohon ini?” Tanya Putri Pucuk Gelumpang.
“Oh, anakku. Cepat sekali kau besar! Tidak kusangka putriku telah sebesar sekarang!” Rasa heran menyelimuti hati perempuan itu, anaknya yang tempo hari masih bayi kini telah menjadi perawan kecil.
“Bunda, pohon ini mengasuhku dengan kasih sayang. Aku tak kekurangan makan, tidak kekurangan kasih sayang. Jadi aku cepat membesar!” Kata anaknya.
“Ya. Bunda percaya anakku. Tidak salah Bunda menaruhmu di pohon itu. Putriku, ada pesan dari Ayah. Pulanglah, Ayah telah kembali dari Pulau Pinang. Ayah ingin bertemu denganmu. Ada sanggul emas untukmu. Oleh-oleh dari Pulau Pinang!” Kata Istri Bangsawan membujuk supaya anaknya mau diajak pulang.
“Benarkah Bunda? Ayah telah pulang? Benarkah Ayah membawakan sanggul emas untukku?” Tanya Putri Pucuk Gelumpang dengan wajah berbinar.
“Ya, pulanglah!” Jawab ibunya berbohong.
“Tapi Bunda,” Putri Pucuk Gelumpang tiba-tiba menjadi murung,”Saya tidak bisa pulang sekarang. Katakanlah kepada Ayah saya sedang menanam kapas. Aku tidak bisa pulang sekarang!”
“Anakku kau harus pulang sekarang! Tidak mungkin kau menanam kapas di atas pohon!”
“Bunda, aku bisa melakukan apa saja di pohon ini! Katakan kepada Ayah, saya tidak akan pulang. Sedang menanam kapas!” Jawab Putri Pucuk Gelumpang mantap. Belum sempat ibunya menjawab, Putri itu telah menyelinap di balik dedaunan sehingga tak terlihat lagi.
Ibunya pun segera pulang dengan tangan hampa. Bangsawan Besar tengah menunggunya di depan rumahnya yang mewah.
“Mana anak kita? Lama benar kau mencarinya!” Tanya Bangsawan Besar sambil berkecak pinggang.
“Ampun Kanda. Anak kita tak bisa pulang sekarang! Dia sedang menanam kapas. Jadi tak bisa pulang sekarang.” Kata Istri Bangsawan.
“Hei, kapas apa yang ditanamnya? Bukankah dia masih bayi! Jemput lagi anak itu jika kau masih ingin hidup!” Ancam Bangsawan Besar.
Melihat suaminya marah-marah mengancamnya, Istri Bangsawan merasa gentar.
Dengan buraian air mata Istri Bangsawan berlari-lari ke dalam hutan. Setelah menempuh perjalanan berhari-hari sampailah di bawah pohon tempat tinggal anaknya.
“Anakku, aku datang! Turunlah Nak!”
Mendengar panggilan ibunya, Putri Pucuk Gelumpang segera menampakkan dirinya. Putri Pucuk Gelumpang berdiri di atas sebuah dahan besar.
“Bunda, mengapa datang kemari?” Tanya Putri Pucuk Gelumpang.
“Turunlah. Mari kita pulang. Ayahmu sudah kembali dari Pulau Pinang. Ada anting-anting emas untukmu, Nak!”
“Anting-anting emas? Pasti indah sekali. Mana Bunda?” Putri Pucuk Gelumpang menanyakan oleh-oleh itu.
“Pulanglah dulu. Anting-anting itu kusimpan di dalam rumah!” Jawab Ibunya berbohong.
“Bunda, katakan saja kepada Ayah. Aku sedang menunggu pohon kapas yang kemarin kutanam. Kini sedang berbunga!”
Istri Bangsawan kebingungan sekaligus heran. Mana mungkin anaknya menanam kapas dan sekarang kapas itu telah berbunga.
“Sungguh tak masuk akal. Apakah putriku ini telah gila!” gumamnya.
“Putriku, jangan bermipi tentang tanaman kapas itu! Pulanglah Nak. Kasihanilah Bunda!” Pinta Istri Bangsawan Besar.
Putri Pucuk Gelumpang menggeleng. Dengan langkah cepat dia berlari di atas cabang-cabang kemudian lenyap di antara rimbunnya dedaunan.
Istri Bangsawan kembali ke rumah dengan tangan hampa. Sesampainya di dalam rumah kembali suaminya marah-marah dan memaki-maki.
“Kembalilah ke sana lagi. Bawa anak itu. Cepat! Jangan kembali tanpa anak itu!” Ancam Bangsawan Besar.
Istri Bangsawan berlari-lari, menyusuri hutan dan pegunungan. Selang berhari-hai sampailah dia di hutan tempat tinggal pohon gelumpang itu. “Anakku Putri Pucuk Gelumpang. Turunlah Nak. Ibumu datang!” Kata Istri Bangsawan dengan tangis mengiba.
Putri Pucuk Gelumpang segera menampakkan dirinya. Perempuan kecil itu ikut menangis melihat ibunya datang dengan cucuran air mata.
“Bunda, mengapa menangis. Tentu Ayah marah-marah kepada Bunda!”
“Ya, pulanglah Nak. Kalau kau pulang Bunda tak akan sedih seperti sekarang. Hanya kau yang Bunda inginkan!”
Untuk ketiga kalinya Putri Pucuk Gelumpang menolak diajak pulang.
“Sayang sekali Bunda. Aku sedang memetik kapas. Aku tak bisa pulang!” Kata Putri Pucuk Gelumpang.
Pada hari berikutnya Istri Bangsawan Besar kembali datang ke pohon itu. Ketika memaksakan diri untuk memanjat dia terpeleset sehingga jatuh tersungkur ke tanah. Berulang kali perempuan itu mencoba namun tidak berhasil. Putri Pucuk Gelumpang tetap tidak mau diajak pulang dengan alasan sedang menenun kapas supaya menjadi pakaian.
Pada kesempatan terakhir Istri Bangsawan Besar memaksa Putri Pucuk Gelumpang supaya sudi pulang ke rumah dan bertemu ayahnya.
“Putriku, Ayah telah kembali dari Pulau Pinang. Dia membawa oleh-oleh bajumu. Indah sekali. Kau pasti menyukainya.” Kata Istri Bangsawan merajuk.
“Bunda, aku tak bisa pulang. Suruhlah Ayah kemari. Aku telah membuatkannya baju dan celana. Suruhlah Ayah memasang tangga di pohon ini. Aku akan turun!”
Istri Bangsawan segera pulang. Kesedihannya bertambah-tambah sebab sebentar lagi akan melihat Bangsawan Besar membunuh putrinya.
Istri Bangsawan kembali lagi ke rumah. Sesampainya di dalam rumah Bangsawan Besar sedang tertidur.
“Aku tahu apa yang akan terjadi. Anakku yang baik budi itu akan mati di tangan ayahnya!” Gumam istri Bangsawan.
Tanpa disadari Bangsawan Besar mendengar perkataan istrinya.
“Hmm, mana anakmu itu? Sudah kau bawa pulang?” Tanya Bangsawan Besar.
“Ampun Kanda. Anak kita tidak mau pulang!”
“Apa …?” Bangsawan Besar membentak istrinya.
“Anakku telah menenun baju dan celana untuk Kanda. Sekarang Kanda sendiri yang harus datang menjemputnya. Dia berpesan supaya Kanda membawa tangga!”
“Baiklah!” Dengan terpaksa Bangsawan menyanggupinya. Hatinya tak sabar lagi ingin membunuh anak itu.
Bangsawan Besar segera memanggil Lesamana dan Pedanelam.
“Ampun Bangsawan. Apakah ananda sudah dibawa pulang?” Tanya Lesamana.
“Tidak. Aku sendiri yang harus menjemputnya ke sana!”
”Hah, berani benar anak yang tidak berguna itu. Tapi, ini kesempatan baik. Bukankah sudah lama Bangsawan menginginkan bertemu anak itu? Jika kita datang sendiri ke dalam hutan tak akan ada yang melihat Bangsawan membunuh anak itu. Kita tak perlu ragu-ragu melakukannya!” Bujuk Lesamana.
Mendengar perkataan Lesamana, istri Bangsawan merasa sedih. Ada amarah yang terpendam di dalam lubuk hatinya.
“Ampun Kanda, sebaiknya jangan turuti hawa nafsu untuk membunuh putri hamba. Bukankah dia anak kita sendiri. Jika Kanda tak sudi merawatnya hamba sendiri yang akan merawat anak itu!” Istri Bangsawan memohon kepada suaminya, bertekuk lutut mencium kaki suaminya.
“Tidak bisa Dinda. Aku tidak akan melanggar sumpahku. Anak itu harus mati di tanganku!” Bangsawan Besar menatap tajam istrinya.
“Lesamana, siapkan dua puluh bilah pedang. Dan kau Pedanelam siapkan dua puluh mata panah!” perintah Bangsawan Besar.
”Jangan lakukan Kanda, saya mohon!” kata istrinya.
“Tidak!” Jawab Bangsawan Besar yang bersikukuh ingin membunuh putrinya.
Tak lama kemudian Pedanelam dan Lesamana telah bersiap-siap, menyandang senjatanya. Bangsawan Besar sendiri membawa lima bilah pedang yang tajam mengkilat-kilat.
Mereka berempat berangkat tepat ketika matahari sedang terik. Mereka melewati negeri. Banyak orang yang merasa heran melihat ketiga laki-laki memanggul banyak senjata.
Di sepanjang jalan, Istri Bangsawan diam saja, hanya pikiran dan hatinya yang selalu memohon kepada Yang Maha Hidup.
“Kuatkanlah hatiku. Lindungilah putriku yang tak ada salahnya itu!”
Setelah menapaki desa-desa, menyeberang sungai-sungai besar, mendaki dan menuruni gunung, menjelang senja sampailah mereka pada sebuah hutan yang lebat gelap.
“Di mana tinggalnya anakmu itu?” Tanya Bangsawan Besar tak sabar.
“Kanda, anak kita tak jauh lagi dari sini!”
Mereka memasuki hutan. Lesamana memegang sebuah lampu penerang. Perjalanan mereka terganggu karena hutan lebat itu dipenuhi nyamuk-nyamuk hutan yang besar-besar. Bunyinya mendengung-dengung mengusik telinga. Ditambah bunyi burung hantu yang menguik-nguik bersahutan.
“Mana mungkin anakmu bisa bertahan hidup di tempat seperti ini?” Kata Bangsawan Besar tidak percaya.
“Hutan ini melindungi dan mengasuhnya dengan kasih sayang!” Jawab Istri Bangsawan.
Istri Bangsawan berkali-kali menitikkan air matanya. Sengaja langkah kakinya diperlambat supaya suaminya jera dan membatalkan pertemuan dengan anaknya.
“Sungguh malang nasibmu, Nak!” Gumam Istri Bangsawan.
“Cepatlah berjalan. Aku tidak bisa mengulur waktu lagi!” Desak Bangsawan Besar.
“Inilah tempat tinggal anak kita!” Kata Istri Bangsawan.
Bangsawan Besar dan kedua pembantunya mengamati pohon gelumpang itu. Lampu yang mereka bawa menyoroti ranting-ranting dan cabang pohon.
“Mana anakmu itu?” Gertak Bangsawan Besar kepada istrinya.
“Mungkin sudah tidur, Kanda. Hari sudah larut begini, sebaiknya kita tinggal di bawah pohon ini. Tunggulah esok hari, pasti putriku telah terbangun. Biarkan dia beristirahat, Kanda!” kata istri Bangsawan menyabarkan suaminya.
Bangsawan Besar terdiam menimbang-nimbang perkataan istrinya. Sementara, Lesamana dan Pedanelam saling pandang.
“Tuanku, apa gunanya mengulur waktu? Ingat, Tuanku kewajiban yang harus dipenuhi esok hari. Jangan membuang-buang waktu lagi. Anak yang Tuan inginkan sudah di depan mata!” Bujuk Lesamana.
Istri Bangsawan menahan amarahnya.
“Sungguh Lesamana dan Pedanelam ini yang membuat suamiku bermata buta!” pikirnya.
“Cepat, pasanglah tangga!” Perintah Bangsawan Besar.
“Dinda panggil anakmu supaya turun!”
Istri Bangsawan segera mendekat pohon, kepalanya mendongak ke atas, memanggil putrinya.
“Putriku sayang! Bangunlah sebentar! Lihatlah Ayah datang membawa tangga. Turunlah Nak!” Bujuk Istri Bangsawan dengan suara lembut.
“Iya, Bunda!” Jawab Putri Pucuk Gelumpang dari pohon. Suaranya jernih dan bening membuat Bangsawan dan pengikutnya terheran-heran.
Putri Pucuk Gelumpang segera menampakkan dirinya. Bangsawan Besar dan kedua pembantunya terpana melihat seorang gadis berwajah manis berdiri di atas cabang pohon. Putri itu menatap wajah ayahnya dengan senyuman manis. Tatapan itu membuat dada Bangsawan bergetar.
“Anakku memang cantik jelita. Meski begitu dia tidak berguna. Aku harus membunuhnya!” Pikir Bangsawan Besar.
“Ayah!” Sapa Putri Pucuk Gelumpang.
“Ya, turunlah!” Suruh Bangsawan Besar.
Sebelum kakinya menginjak tangga, Putri Pucuk Gelumpang mengucapkan terima kasih kepada pohon kayu gelumpang itu.
“Terima kasih pohon gelumpang. Kaulah pengganti ibu dan ayahku. Kaulah yang merawat dan melindungiku sekian lama. Terimakasih!” Kata Putri Pucuk Gelumpang sambil menitikkan air matanya. Pohon gelumpang itu bergoyang-goyang mendengar ucapan terima kasih dari putri yang diasuhnya.
“Cepatlah turun!” Bentak Bangsawan Besar.
“Baik Ayah, aku akan turun!”
Putri Pucuk Gelumpang segera menapakkan kakinya di anak tangga teratas. Baru saja kakinya menapak, Bangsawan Besar melemparkan pedangnya. Tepat menancap di kepala. Putri Pucuk Gelumpang terkejut merasakan benda tajam menancap kepalanya. Istri Bangsawan terperangah.
“Sungguh sampai hati Kanda melakukannya!” Bisiknya.
“Apa ini Bunda?” Tanya Putri Pucuk Gelumpang kepada ibunya.
“Itulah tusuk sanggul emas yang dibawa ayahmu dari Pulau Pinang!”
Darah merah mengucur dari kepala putri, turun membasahi rambut dan lehernya.
Putri Pucuk Gelumpang menuruni anak tangga kedua. Bangsawan Besar melemparnya dengan dua mata panah. Tepat menancap mengenai kedua telinga anak itu.
Putri Pucuk Gelumpang tersentak, satu tangannya mengusap telinga yang telah ditancap dengan mata panah.
“Apa ini Bunda?” Tanyanya dengan lembut.
“Itulah anting-anting emas yang dibawa ayah dari Pulau Pinang!” Jawab ibunya dengan tangisan.
Ketika menuruni tangga ketiga. Bangsawan Besar melemparkan pedangnya lagi, tepat mengenai leher anak itu.
“Apa ini, Bunda?”
“Itu kalung emas oleh-oleh Ayah dari Pulau Pinang!”
Putri Pucuk Gelumpang mengusap lehernya yang telah ditancap pedang. Darah merah mengucur dari kepala, daun telinga dan lehernya. Setiap menginjak pintu tangga ayahnya melemparnya dengan pedang dan mata panah. Senjata-senjata itu menancap di dada, perut, paha dan kakinya. Setiap kali bertanya kepada Istri Bangsawan, perempuan itu selalu mendapat jawaban oleh-oleh dari Pulau Pinang disertai dengan isak tangis. Ketika sampai pada tangga terbawah, senjata yang dibawa Bangsawan Besar telah habis. Istri Bangsawan tak sampai hati melihat tubuh putrinya berlumuran darah, tertancap pedang-pedang dan mata panah.
Putri Pucuk Gelumpang menapakkan kakinya di atas tanah.
“Ayah, banyak sekali oleh-oleh yang dibawa Ayah dari Pulau Pinang!” kata Putri Pucuk Gelumpang.
Ujung-ujung pedang dan mata panah yang menancap di sekujur tubuh itu tidak membuat Putri Pucuk Gelumpang menemui ajalnya. Gadis itu tidak merasa kesakitan.
“Aneh, mengapa anak ini tidak mati dengan cara seperti ini! Berpuluh-puluh mata panah dan pedang telah menancap di sekujur tubuhnya!” Bisik Lesamana kepada Pedanelam.
“Ya…sekarang apa yang harus kita lakukan?” Balas Pedanelam.
Bangsawan Besar tidak berkutik, menatap anak itu dengan pandangan tajam, terbengong-bengong tidak percaya.
Melihat anaknya tidak mati dengan cara seperti itu Bangsawan Besar bermaksud membawanya pulang ke rumah.
“Anakku, baiklah sekarang kita pulang!” Bangsawan Besar segera mencabut pedang-pedang dan mata panah yang menancap di sekujur tubuh anaknya.
“Ayah, mengapa oleh-oleh ini Ayah ambil kembali?” Tanya Putri Pucuk Gelumpang.
“Sudahlah, mari kita pulang!” Bangsawan Besar menuntun anaknya. Istri Bangsawan merasa bahagia melihat suaminya menuntun gadis itu. Bersamaan dengan munculnya rasa itu, perasaan khawatir menyinggahi lubuk hatinya, kalau-kalau Bangsawan Besar berubah pikiran karena bujukan Lesamana dan Pedanelam.
“Ingat, Tuan Bangsawan, anak itu tidak akan memberi manfaat. Tidak mungkin mewarisi kepintaran Bangsawan!” Desak Lesamana.
“Sebaiknya, kita habisi di sini saja!”
“Tidak! Aku akan membawanya pulang!” Jawab Bangsawan Besar mantap.
Malam itu juga mereka berlima meninggalkan rimba raya.
Sesampainya di rumah, Istri Bangsawan segera mengobati luka-luka anaknya, membalut dan membedakinya dengan obat-obatan. Setelah berhari-hari luka-luka itu berhasil disembuhkan, bahkan lenyap seketika.
Bangsawan Besar sendiri tak bisa mengingkari isi hatinya. Anak perempuan itu pandai melembutkan hatinya. Setiap timbul niat buruk untuk memancung, anak itu selalu berhasil melumpuhkannya. Rasa benci berbalik seketika menjadi rasa sayang. Hal itu berulangkali terjadi.
Melihat keadaan itu Lesamana dan Pedanelam merasa khawatir Bangsawan Besar urung membunuh anaknya.
Suatu malam, Putri Pucuk Gelumpang mendengar pembicaraan Bangsawan Besar dengan kedua pembantu terdekatnya. Putri Pucuk Gelumpang bersembunyi di balik tirai sambil menguping apa yang mereka bicarakan.
“Aku tidak sampai hati membunuh putriku!” kata Bangsawan Besar.
“Sayang sekali, mengapa Tuan Bangsawan sekarang berubah pikiran. Selalu ragu melakukan sesuatu yang seharusnya!” Kata Lesamana sambil menggelengkan kepala.
Pedanelam tampak berpikir keras. Tak lama kemudian lelaki berwajah hitam itu unjuk bicara.
“Sebaiknya Tuan Bangsawan tetap pada pendirian semula. Bunuhlah anak yang tak ada gunanya. Mana bisa Tuan menggantungkan seluruh niaga kepada seorang anak perempuan?”
Setelah mendengar desakan kedua pembantunya, Bangsawan Besar terperdaya lagi.
“Ya, sekarang juga aku akan memancung anak itu!”
Bangsawan Besar segera meninggalkan tempat itu. Putri Pucuk Gelumpang segera meninggalkan pengintaiannya. Anak itu berlari ke dalam bilik pura-pura tertidur pulas. Sambil berpura-pura mendengkur putri itu memikirkan cara supaya dapat menyelamatkan diri.
“Benar kata Bunda, Ayah begitu percaya kepada kedua anak buahnya! Kali ini aku harus berhati-hati. Aku tidak mau mati di tangan Ayah. Aku harus menyelamatkan diri. Aku harus mencari akal supaya dapat menyelamatkan diri!”
Ketika Putri Pucuk Gelumpang sedang berpikir-pikir, Bangsawan Besar mendobrak pintu biliknya dengan kasar. Dengan tangannya yang kekar, ia mencengkeram dan menarik lengan putrinya, lalu menyeretnya keluar bilik. Mendengar suara gaduh di tengah malam itu, Istri Bangsawan segera keluar. Ketika itu berpapasan dengan Bangsawan yang sedang menyeret putrinya.
“Ampun Kanda, apa salah anak kita?” Istri Bangsawan memohon.
“Aku tak akan memberi ampun kepada anak ini. Malam ini juga aku harus memancungnya!” Kata Bangsawan dengan garang.
“Ayah … jika Ayah ingin memancung saya, saya rela. Tapi, tolong dirikanlah batang pohon pisang di sebelah kiri saya!” Kata Putri Pucuk Gelumpang dengan tenang.
“Untuk apa pohon pisang itu?” Tanya Bangsawan dengan heran. Ayahnya menjadi lunak mendengar lembut tutur kata anaknya.
“Jika Ayah langsung memancung saya, saya khawatir Ayah tak akan sampai hati melakukannya. Ayah akan gagal lagi membunuh saya!”
Untuk sesaat Bangsawan Besar tertegun, memang benar apa yang dikatakan anak itu. Bangsawan Besar tak sampai hati melibas langsung anaknya.
“Baiklah!” kata Bangsawan Besar menyetujui.
Lesamana dan Pedanelam segera menanam pohon pisang di samping Putri Pucuk Gelumpang. Putri Pucuk Gelumpang telah bersiap di samping pohon itu.
Sementara itu Bangsawan Besar telah siap dengan senjata berupa sebuah pedang panjang berujung runcing dengan mata berkilap-kilap.
Istri Bangsawan melarikan diri, menjauhi tempat itu. Tak ada daya baginya untuk menolong putri kesayangannya.
“Ayah, aku ingin kedua pengikut ayah yang setia itu menyingkir dari tempat ini. Sebelum aku mati, hanyalah Ayah yang ingin kukenang wajahnya, Jangan sampai ada orang lain berada di tempat ini. Cukup kita Ayah!” kata Putri Pucuk Gelumpang dengan lembut.
“Baiklah, Lesamana dan Pedanelam tinggalkanlah tempat ini. Menyingkirlah dari hadapan anakku!” Lesamana dan Pedanelam dengan senang hati meninggalkan tempat itu. Mereka yakin Bangsawan Besar tak akan mengurungkan niatnya lagi.
“Pejamkan mata Ayah.”
Bangsawan Besar siap mengayunkan pedang panjangnya. Ketika pedang itu mengayun siap melibas, Putri Pucuk Gelumpang segera mundur selangkah lalu melarikan diri, bersembunyi di balik semak-semak. Dalam sekali gerakan, Bangsawan Besar berhasil memotong tubuh anaknya manjadi dua bagian. Bangsawan Besar tidak sampai hati melihat mayat anaknya. Pedang segera diangkatnya tinggi-tinggi. Dia melihat sepotong baju dan celana yang tersangkut di ujung pedang. Sebelum berlari, Putri Pucuk Gelumpang menyangkutkan celana dan baju tenun untuk ayahnya ke ujung pedang itu.
Bangsawan Besar tertegun. Baju dan celana tenunan itu diambil lalu diperhatikannya dengan cermat. Pedang yang bersimbah getah pohon pisang itu segera dibuangnya. Baju dan celana tenunan itu dipeluknya dengan erat. Dengan air mata bercucuran Bangsawan Besar mencium kain tenunan anaknya itu. Penyesalan yang mendalam menyerang kedalaman hatinya.
“Anakku … alangkah setianya. Seteguk air pun belum pernah aku memberinya kepadamu. Tapi dirimu sangat setia, kau tenun baju dan celana untukku. Telah kau serahkan nyawamu kepadaku. Anakku …!” Bangsawan Besar diliputi kesedihan yang teramat.
Sesaat kemudian, Bangsawan Besar tersadar, pedangnya segera diraih kemudian berlari mencari Lesamana dan Pedanelam.
“Bagaimana Tuanku? Sudah Tuan habisi anak tidak berguna itu?” Tanya Lesamana tak sabar.
“Sudah … anakku sudah binasa dengan pedang ini! Ini semua karena kalian berdua. Kalian yang menghasutku supaya aku membunuh anakku yang tak ada salahnya. Sekarang …!”
Bangsawan Besar mengayunkan pedangnya, menebas kedua abdi terkasihnya itu. Mayat mereka bergelimpang dengan perut terputus. Setelah membunuh kedua abdinya Bangsawan Besar membunuh dirinya dengan pedang itu.
Putri Pucuk Gelumpang memeluk mayat ayahnya. Istri Bangsawan pingsan ketika melihat ruangan itu bersimbah darah.
Sepeninggal Bangsawan Besar, Putri Pucuk Gelumpang tinggal bersama ibunya. Istri Bangsawan gembira karena putri kesayangannya terbebas dari pembunuhan. Di hati ibunya, Putri Pucuk Gelumpang adalah putri yang patut disayangi, tidak layak dibunuh.
Setelah dua tahun mereka hidup bersama, suatu hari datanglah paman Putri Pucuk Gelumpang bermaksud untuk meminang Istri Bangsawan. Istri Bangsawan menerima pinangan itu.
“Kamu tak akan kehilangan kasih sayang seorang ayah. Mulai saat ini pamanmu itulah ayahmu!”
“Ya, ananda akan menurut jika itu membuat Bunda bahagia!”
Setelah mendapat persetujuan Putri Pucuk Gelumpang, Istri Bangsawan kawin dengan adik iparnya. Ayah tiri Putri Pucuk Gelumpang menyayanginya selayak anak sendiri. Keluarga kecil itu hidup bahagia. Selama tinggal bersama, Istri Bangsawan melahirkan enam anak laki-laki. Jadilah Putri Pucuk Gelumpang putri sulung yang bertugas menjaga adik-adiknya.
Pada suatu hari negeri sedang diramaikan oleh pertandingan menyabung ayam. Dari kota-kota besar hingga desa diramaikan dengan permainan sabung ayam, dengan taruhan bermacam-macam, dari uang, hasil bumi sampai anak-anak.
Ayah Putri Pucuk Gelumpang terlibat dalam pertandingan menyabung ayam ini. Setiap bersabung ayahnya selalu membawa anak laki-lakinya yang telah menginjak remaja.
Pertama kali, ketika ayahnya menderita kekalahan, adik laki-lakinya yang tertua dijadikan taruhan. Maka hilanglah adiknya itu, menjadi milik orang lain untuk dijadikan pesuruh.
Kejadian itu terjadi berulang-ulang. Putri Pucuk Gelumpang sedih karena kehilangan satu per satu saudaranya. Setiap kali kalah, seorang anak menjadi taruhannya. Karena sering mengalami kekalahan, habislah keenam adik Putri Pucuk Gelumpang.
Melihat anak-anaknya telah habis, Istri Bangsawan menjadi sedih, sering murung memikirkan anaknya yang telah dijadikan taruhan.
“Kasihan adik-adikmu. Mereka pasti dijadikan budak orang lain. Dijual di pasar-pasar!” Ibu Putri Pucuk Gelumpang meratap-ratap. Ayahnya diam terpekur menyesali kesalahannya.
“Ayah, dibawa ke mana adik-adikku sekarang?” Tanya Putri Pucuk Gelumpang kepada ayahnya.
“Adikmu yang pertama di bawa ke Polan, yang kedua ke kota Polin …!” Ayahnya tidak kuasa meneruskan karena tidak ingat lagi kepada siapa anaknya telah dipertaruhkan.
“Mereka semua untuk membayar kalah sabung!” kata ayahnya lirih.
Putri Pucuk Gelumpang berusaha menenangkan ibunya, “Sudahlah Bunda, saya yang akan mencari mereka!” hibur Putri Pucuk Gelumpang.
“Bagaimana kamu akan mencari mereka. Mereka telah diperjualbelikan, berpindah-pindah tangan. Kau juga tak punya uang untuk menebusnya!” kata ibunya dengan buraian air mata.
“Percayalah Bunda. Aku akan menemukannya kembali!”
Selama berhari-hari Putri Pucuk Gelumpang merasa sunyi, demikian pula dengan ibu dan ayahnya. Rumah yang mereka singgahi tidak lagi diramaikan suara adik-adiknya.
“Kalau tidak sekarang, kapan lagi aku mencari adik-adikku!” Putri Pucuk Gelumpang merenungkan nasib adik-adiknya. Saat itu juga Putri Pucuk Gelumpang mencari baju-baju saudagar Bangsawan Besar yang pernah digunakan untuk berlayar dan berniaga. Putri Pucuk Gelumpang menyamar sebagai seorang laki-laki. Ia pun berangkat berniaga menggunakan kapal almarhum ayahnya.
Setelah sekian lama meninggalkan rumah, kapal Putri Pucuk Gelumpang mendarat di sebuah negeri besar. Di negeri itulah Putri Pucuk Gelumpang membeli seekor ayam jago yang kuat bersabung.
“Aku yakin, ayam ini dapat mengembalikan adik-adikku!”
Putri Pucuk Gelumpang menapak kampung demi kampung. Setibanya di kampung pertama yang ditujukan ayahnya, Putri Pucuk Gelumpang berhenti dan singgah di kampung itu. Putri Pucuk Gelumpang yang telah menyamar itu diduga seorang saudagar kaya raya. Kedatangan saudagar asing itu sampai ke telinga Raja.
Raja tertegun memikirkan saudagar asing itu, ada rasa khawatir jika saudagar kaya itu bermaksud menjalankan niaga di dalam kampung dan menandingi perniagaannya.
Keesokan harinya Putri Pucuk Gelumpang menyewa seekor kuda, berangkat ke rumah Raja kampung. Putri Pucuk Gelumpang mengajak serta seorang pembantunya. Pembantunya itu yang membawa ayam jago aduan milik Putri Pucuk Gelumpang.
Sesampainya di rumah Raja Kampung, Putri Pucuk Gelumpang segera menunjukkan sembahnya. Raja kampung tertegun melihat tamunya seorang saudagar muda yang tampan tiada tandingan.
“Selamat datang ke kampung kami. Apakah Anak saudagar hendak membuka perniagaan di kampung kami?” Tanya raja kampung dengan perasaan cemas dan was-was.
Putri Pucuk Gelumpang menampakkan senyum wibawanya. Gadis itu menangkap kegelisahan raja kampung, “Bukan, saya datang kemari sekedar singgah sementara waktu. Bukan untuk berdagang!”
Mendengar perkatan itu, raja kampung menarik napas lega.
“Saya melihat Anak Saudagar membawa ayam jago?” Tanya raja kampung sambil manatap ayam jago yang dibawa pembantu Putri Pucuk Gelumpang. Ayam jago itu berkukuruyuk, kakinya mencakar-cakar, mengerti raja kampung menaruh perhatian padanya.
“Ya, itulah ayam jago sabungan milik hamba!”
“Bagaimana kalau bersabung dengan jago hamba?” Raja kampung menantang.
“Hamba bersedia asalkan taruhannya seorang budak tuan yang paling tampan. Jika ayam sabungan hamba yang menang, hamba akan meminta salah satu budak Tuan. Jika hamba kalah inilah taruhannya!” kata Putri Pucuk Gelumpang sambil menunjuk pembantunya. Raja kampung pun menyetujui.
Raja kampung segera menyiapkan ayam jago aduannya. Pertarungan segera dilaksanakan. Kedua ayam jago saling menyerang, saling menabrak dan mencotok. Suasana menjadi tegang ketika jago aduan Putri Pucuk Gelumpang mencotok mata ayam jago aduan raja kampung. Ayam jago aduan raja kampung terhuyung-huyung sehingga dengan mudah jago aduan Putri Pucuk Gelumpang mengalahkan jago aduan raja kampung.
“Baiklah, hamba yang kalah. Silakan mengambil seorang budak hamba!”
Putri Pucuk Gelumpang segera meneliti satu per satu budak raja kampung. Wajah adiknya sulit dikenal karena jumlah budak raja kampung sangat banyak. Mereka semua berseragam.
“Hamba menginginkan budak yang ini!” kata Putri Pucuk Gelumpang dengan ujung jari menunjuk adiknya.
“Baiklah, Tuan. Bawalah budak hamba ini!” Raja kampung menyerahkan budaknya.
Putri Pucuk Gelumpang menaruh adiknya di dalam kapal. Gadis itu kembali berjalan menapaki kampung-kampung, menyeberang sungai besar dan danau, naik turun tebing dan pegunungan. Setiap menemui kampung, disitulah dia tinggal dan menantang para saudagar untuk bersabung. Setelah berkali-kali bersabung akhirnya kembalilah keenam adiknya. Mereka semua ditaruh di dalam kapal.
“Tinggallah kalian berenam di dalam kapal. Aku ingin sekali lagi menjajaki kampung. Aku mendengar di sana ada sebuah kampung yang dipimpin Raja Makmur! Raja itu masih muda dan pandai berakal! Tak ada salahnya aku bersahabat dengan raja itu!”
“Baiklah, Kakak!” keenam adiknya menyetujui.
Putri Pucuk Gelumpang mengenakan pakaian kebesarannya. Gadis itu menunggang kuda sembrani, di pinggangnya terselip sebilah pedang panjang. Saudagar tampan itu amat gagah. Ketika sampai di kediaman Raja Makmur, Raja Makmur terheran-heran, ada seorang saudagar muda yang susah dibedakan tampan dan cantiknya.
“Silakan, Saudagar! Hamba telah mendengar kabar ada sebuah kapal besar singgah di pantai di kampung kami. Rupanya Tuanlah Saudagar itu!”
“Ya, hamba ke sini hanya sekedar singgah! Hamba telah mendengar kabar kemasyhuran dan kepandaian Raja Makmur!” Puji Putri Pucuk Gelumpang disertai sembahnya.
Nenek Raja Makmur menghidangkan makanan dan minuman untuk saudagar itu. Mereka berdua berbincang-bincang, membicarakan barang-barang niaga yang laku keras di kampung itu.
Raja Makmur mengajak Putri Pucuk Gelumpang mengelilingi kampung itu. Dengan senang hati Putri Pucuk Gelumpang mengikutinya. Di kampung itu, Putri membeli barang-barang dan hasil bumi yang kelak akan dibawa pulang ke negerinya.
Selama mereka bersama, Raja Makmur tanpa sepengetahuan Putri Pucuk Gelumpang sering meliriknya.
“Saudagar itu bukan tampan, tetapi cantik. Wajahnya lembut, tubuhnya tinggi tegap berbalut tingkah lakunya yang lembut!” batin Raja Makmur.
“Raja Makmur, sudah larut malam, saat kembali ke kapal, esok hari hamba kembali lagi ke kampung ini!” Ucap Putri Pucuk Gelumpang memohon izin.
“Baiklah!” Raja Makmur melepaskan Putri Pucuk Gelumpang. Sebelum meninggalkannya, Putri Pucuk Gelumpang sempat bersalaman dengan Raja Makmur.
Jantung Raja Makmur berdesir kuat, merasakan tangan saudagar begitu lembut.
“Nenek, menurut penglihatan dan perasaanku saudagar asing tadi seorang perempuan yang menyamar. Tingkahnya, langkahnya, matanya, wajahnya dan semuanya seperti perempuan. Meskipun saudagar itu berpura-pura menutupinya tapi aku tak bisa ditipu. Aku yakin saudagar itu seorang putri yang sedang menyamar, Nek!”
“Yang bukan-bukan saja Makmur. Orang laki-laki kamu katakan perempuan! Jelas-jelas saudagar itu seorang laki-laki. Kau lihat pakaiannya, suaranya?”
“Nenek, saya yakin dia perempuan. Pakaian dan dandanannya saja yang menyamarkannya!”
“Ah, tidak mungkin!”
“Nenek, saya tidak meragukannya lagi! Tapi, bagaimana caranya supaya saudagar itu mau mengakui bahwa dia seorang perempuan?”
“Begini saja, bukankah esok hari dia kembali ke sini? Suruhlah dia memanjat pohon pinang. Bila tidak sanggup maka dia bukan laki-laki. Andaikata saudagar itu laki-laki, tentu dengan mudah memanjat pohon pinang. Mudah bukan?” usul Neneknya.
Malam itu Raja Makmur tak dapat memejamkan mata. Terbayang-bayang wajah saudagar sambil mengatur rencana untuk esok hari.
Pagi hari, ketika matahari mengintai dari bukit kampung, Saudagar datang ke rumah Raja Makmur. Setelah dijamu oleh neneknya, saudagar itu diajak ke dalam hutan yang berada di pinggir kampung.
“Tuan Saudagar, kebetulan buah pinang untuk sirih Nenek telah habis. Tolonglah petik dari pohonnya!”
“Baiklah!” Sahut Putri Pucuk Gelumpang.
Sambil merangkak ke pohon itu, Putri Pucuk Gelumpang membuat tatakan kaki di pohon, dengan cepat menaiki pohon itu, hingga sampai puncak pohon pinang itu.
”Berapa buah yang dibutuhkan Nenek?” Tanya Putri Pucuk Gelumpang dari pucuk pohon.
“Dua tandan saja cukuplah!” sambung Raja Makmur.
Selesai memanjat pohon, Putri Pucuk Gelumpang mohon pamit kepada Raja Makmur. Saudagar itu segera meraih kudanya, dipacunya menuju kapal.
Setelah sampai di rumah, Raja Makmur menyerahkan buah pinang kepada neneknya.
“Lihatlah, Nek. Saudagar itu bisa memanjat! Ini buktinya!”
“Nah, apa kataku, Makmur? Dia benar-benar seorang lelaki, bukan perempuan!” Kata neneknya.
“Tapi, Nek, saya masih meragukannya. Saudagar itu seorang putri yang sedang menyamar!”
“Makmur, jelas-jelas dia bisa memanjat. Kalau kau ragu suruhlah dia memanjat dan memeluk pohon kelapa!” ujar neneknya, “Seorang perempuan tak akan sanggup memanjat pohon kelapa yang besar!”
Keesokannya, ketika saudagar datang, Raja Makmur segera mengajaknya ke kebun kelapa.
“Saudagar, tolonglah petik kelapa-kelapa itu, nenekku ingin meminum airnya!” Suruh Raja Makmur.
Dengan mudah Putri Pucuk Gelumpang memanjat pohon itu. Naik turun pohon bukanlah sesuatu yang sulit baginya.
Setelah saudagar kembali ke kapal, Raja Makmur segera menemui neneknya.
“Sudahlah Makmur, tak ada gunanya memperturutkan jalan pikiranmu, jelaslah saudagar itu seorang laki-laki. Kamu telah tergila-gila, jadi wajah laki-laki yang tampan kau sangka seorang perempuan cantik!”
“Nenek … dia memang seorang perempuan!” Sambung Raja Makmur dengan muka sedih. “Apa yang harus saya lalukan supaya terang bahwa saudagar itu seorang putri!”
“Baiklah sekarang ajaklah dia ke toko besi. Ajaklah dia berbelanja senjata. Perempuan tak akan mengerti senjata-senjata dari besi!”
Kali ini Putri Pucuk Gelumpang menyadari Raja Makmur sengaja memasang jebakan-jebakan untuknya.
“Aku harus berhati-hati. Raja Makmur pasti curiga, menduga-duga aku seorang perempuan.” Pikirnya.
Sesampainya di toko besi Raja Makmur mempersilakan Putri Pucuk Gelumpang untuk memilih berbagai peralatan.
“Jika yang dia pilih adalah alat-alat dapur nyatalah dia seorang perempuan!” pikir Raja Makmur.
Namun, saudagar asing itu membeli rencong, pedang dan pisau pinggang masing-masing enam bilah.
“Senjata-senjata ini akan berguna untuk adik-adikku!” Pikir Putri Pucuk Gelumpang.
***
“Nenek, perempuan itu sungguh pandai. Dia membeli senjata-senjata perang masing-masing enam bilah. Nenek, apa yang harus kulakukan supaya dia menyerah?”
Keesokannya saudagar asing itu tak bisa menolak ketika Raja Makmur mengajaknya ke toko kain.
“Aku harap, kali ini kau akan memilih pakaian wanita!” Batin Raja Makmur.
Raja Makmur mengajaknya keliling pasar, melihat-lihat berbagai kain indah yang cocok untuk perempuan. Raja Makmur tercengang-cengang karena tak sedikit pun saudagar itu tertarik dengan kain-kain indah yang berwarna-warni. Sebaliknya saudagar membeli pakaian laki-laki sebanyak enam pasang, tak sepotong pun dia membeli pakaian perempuan.
Ketika kembali ke rumah, Raja Makmur tampak lesu, wajahnya memucat. Melihat keadaan itu, neneknya segera mendekati Raja Makmur.
“Belum berhasil juga?” Tanya neneknya dengan lembut. Raja Makmur menggelengkan kepala.
“Jangan putus asa. Nenek masih ada akal. Ajaklah saudagar itu memetik buah limau. Ajaklah mandi ke sungai itu!” Nenek menunjuk sungai yang tak jauh dari rumahnya, “Itulah cara terakhir untuk mengetahui apakah dia lelaki atau perempuan!”
Keesokannya, nenek itu menjamu saudagar yang bertandang ke rumahnya, menunggu Raja Makmur. Nenek Raja Makmur mengamati wajah, mata dan gerak-gerik saudagar itu. Akhirnya dia menemukan apa yang membuat cucunya jatuh hati kepada saudagar asing itu.
“Yah, telah nyata sekarang. Saudagar ini seorang putri cantik yang sedang menyamar! Sebentar lagi kau tak akan lolos!” Kata Nenek dalam hati.
Raja Makmur dan saudagar itu pergi ke tepi sungai. Raja Makmur membelah sebuah limau yang berbau harum.
“Tuan, limau ini dapat kita gunakan untuk mandi. Sekali-kali Tuan juga harus mandi di sungai bening ini!” Ajak Raja Makmur.
“Baiklah, aku akan mandi di sungai ini. Tapi, hamba ke sana sebentar, hamba lupa mempererat tali kuda hamba. Hamba khawatir dia akan lepas!”
Putri Pucuk Gelumpang menghilang dari tempat itu. Dia kebingungan mencari akal. Jika mandi bersama Raja Makmur pasti dengan mudah akan dikenali dirinya seorang perempuan.
Putri Pucuk Gelumpang mondar-mandir kebingungan. Saat itu tiba-tiba di atasnya melintas seekor burung elang. Burung itu berdiri di atas dahan.
“Elang,. Tolonglah kemari sebentar!” sapa Putri Pucuk Gelumpang.
Elang itu segera menuruni pohon, mendekat Putri Pucuk Gelumpang.
“Apa yang harus aku lakukan untuk menolongmu?” Jawab elang sambil menawarkan bantuan.
“Elang, bantulah aku. Kamu melihat orang yang sedang membakar sampah itu?”
Putri Pucuk Gelumpang menunjuk asap bakaran sampah yang membubung ke udara. Elang itu mengangguk.
“Nah, ambillah sedikit apinya lalu bakarlah sampah-sampah kering yang ada di kolong rumah Raja Makmur. Itu di sana!” Putri Pucuk Gelumpang menunjuk rumah yang berdiri tak jauh dari tempatnya.
Elang segera melayang menuju orang yang sedang membakar sampah. Ketika Putri Pucuk Gelumpang tiba di tepi sungai dilihatnya Raja Makmur sudah mencebur ke dalam air.
“Ayolah turun. Kita mandi!” Ajak Raja Makmur.
“Ya. Tuanku. Tapi, lihatlah asap tebal yang mengepul menutupi rumahmu! Rumahmu terbakar Tuan. Cepat ayo ke sana,” kata Putri Pucuk Gelumpang dengan sungguh-sungguh.
Raja Makmur terkejut melihat asap tebal menutupi rumahnya. Raja Makmur bergegas berpakaian lalu berlari-lari ke rumahnya.
Putri Pucuk Gelumpang meraih kudanya lalu meninggalkan tempat itu.
“Sudah saatnya aku meninggalkan kampung ini. Akan kuuji cinta Raja Makmur kepadaku!” Pikir Putri Pucuk Gelumpang.
Ditariknya tali kekang kuda sembraninya. Putri Pucuk Gelumpang berlari menuju pantai lalu mengembalikan kuda sewaannya.
“Kakak, cepatlah…kapal kita akan berangkat!” kata adiknya yang tertua.
Putri Pucuk Gelumpang melompat ke atas kapal, berganti pakaian. Pakaian saudagar ditanggalkan berganti dengan pakaian putri.
Raja Makmur menyadari dirinya telah ditipu olah saudagar asing itu. Ketika menyusul ke sungai tak dilihatnya lagi saudagar asing itu. Laki-laki muda itu segera meraih kuda, memacu dengan cepat menuju pantai.
“Putri, jangan tinggalkan aku!” Teriak Raja Makmur ketika telah sampai di pesisir pantai.
Perahu saudagar itu telah mengembangkan layarnya, bersiap-siap bertolak ke negerinya.
Raja Makmur menceburkan diri ke dalam laut, berenang mengejar perahu yang telah meninggalkan pantai.
“Tunggu, Tuan Putri!” serunya sambil berenang. Raja Makmur kini telah melihat Putri Pucuk Gelumpang dalam wujud aslinya, seorang putri yang cantik jelita.
“Cepatlah kemari, Raja Makmur! Aku menunggumu. Bukankah aku telah selesai memanjat pohon pinang seperti yang kamu perintahkan?” Seru Putri Pucuk Gelumpang kemudian menyembunyikan wajahnya di balik jendela kapal.
Raja Makmur terus berenang, menerjang ombak, tubuhnya timbul tenggelam, dilambungkan riak dan gelombang. Putri Pucuk Gelumpang menyaksikan Raja Makmur telah jauh tertinggal perahunya. Putri Pucuk Gelumpang kembali menampakkan wajahnya di jendela kaca. Melihat pemandangan di hadapannya, Raja Makmur segera mempercepat renangnya. Rasa letih seolah hilang ketika melihat kecantikan putri itu.
Putri melambai-lambaikan tangannya, memancing supaya Raja Makmur berenang mengejar perahunya.
“Raja Makmur tak akan bisa mencapai perahuku. Dia akan mati tenggelam di tengah laut!” Kata Putri Pucuk Gelumpang di dalam hati.
“Tunggu Tuan Putri!” Teriak Raja Makmur, sambil melambai-lambaikan tangannya.
“Ya, ayolah kemari! Bukankah aku sudah memanjat pohon kelapa seperti yang telah kamu perintah. Ayo sekarang susullah aku!”
Raja Makmur berteriak-teriak, meminta supaya Putri Pucuk Gelumpang menghentikan kapalnya atau mengulurkan seutas tali untuknya. Putri Pucuk Gelumpang berlalu dengan kapalnya.
Raja Makmur yang merasa letih masih berenang dengan sisa-sisa tenaganya.
Kapal itu tiba di pelabuhan. Buru-buru Putri Pucuk Gelumpang turun dari geladak kapal, menginjakkan kaki kembali ke pantai itu.
“Tolong cepat antarkan aku ke rumah!” Suruh Putri Pucuk Gelumpang kepada seorang anak buahnya. Anak buahnya segera mengambil kereta, mengantar sang putri ke rumah.
“Bunda…tolong Bunda!” Seru Putri Pucuk Gelumpang ketika sampai di dalam rumah. Napasnya terengah-engah.
“Ada apa kamu anakku? Seperti dikejar-kejar setan!” Tanya Ibunya heran.
“Bunda tolong buatkan sebuah patung yang menyerupai hamba. Tidurkanlah di dalam bilikku, Bunda! Cepat!”
“Untuk apa patung itu?” Tanya Istri Bangsawan penasaran.
“Bunda, cepatlah nanti Bunda akan tahu!” Putri Pucuk Gelumpang menarik-narik lengan ibunya.
“Ya…ya…akan kubuatkan!”
Ibu Putri Pucuk Gelumpang dibantu beberapa pembantunya segera membuat sebuah patung yang serupa dengan Putri Pucuk Gelumpang. Perut patung diisi dengan manisan.
“Bunda, taruhlah di kamarku. Jika nanti ada yang mencariku katakanlah aku sedang tidur! Biarkan dia menyusul!”
Istri Bangsawan segera menaruh patung tepung itu ke dalam bilik Putri Pucuk Gelumpang. Patung itu ditidurkan kemudian diberinya selimut.
Sesaat kemudian terdengar suara orang ribut-ribut. Para penjaga tidak berhasil menghalangi Raja Makmur yang sedang mengamuk. Mendengar keributan itu. Putri Pucuk Gelumpang segera meninggalkan rumahnya lalu bersembunyi pada sebuah pohon cempedak.
“Daripada melihat Raja Makmur mengamuk lebih baik aku memakan buah-buah ini!”
Putri Pucuk Gelumpang yang pandai memanjat segera berdiri pada sebuah cabang pohon itu lalu memetik dan memakan buah cempedak yang telah matang.
Dalam keadaan terhuyung-huyung Raja Makmur memasuki pintu rumah Putri Pucuk Gelumpang. Istri Bangsawan menyambutnya dengan ramah.
“Maaf, Anakanda siapa?” Tanya Istri Bangsawan.
“Aku Raja Makmur. Di mana anak perempuanmu?” Tanya Raja Makmur tak sabar.
“Anakku sedang beristirahat di dalam biliknya!”
Dengan napas terengah dan mata merah menyala Raja Makmur menatap tajam Istri Bangsawan. Ibu Putri Pucuk Gelumpang gentar dan ketakutan. Raja Makmur segera menaiki tangga. Setelah itu terdengar suara pintu bilik didobrak dengan keras.
Raja Makmur menyibak selimut yang berisi seorang putri buatan. Putri buatan itu dengan kasar dicabik-cabik dengan tangannya.
“Aku harus menghabisimu!”
Tubuh putri buatan menjadi berantakan. Sejumput demi sejumput Raja Makmur memakannya, tak ada yang tercecer sedikitpun. Tepung dan manisan itu tuntas dilahapnya.
Setelah kekenyangan Raja Makmur tak sadarkan diri. Istri Bangsawan segera menolongnya. Raja Makmur dimandikan, pakaiannya yang kumal compang camping diganti dengan pakaian yang bersih.
Tidak berapa lama kemudian, Raja Makmur telah siuman. Raja Makmur terkejut melihat tubuhnya telah bersih dan segar, berada di dalam sebuah bilik indah yang bersih, bukan lagi di atas laut yang penuh gelombang.
“Raja Makmur? Anda sudah bangun?” Tanya Ibu Putri Pucuk Gelumpang sambil memasuki bilik itu, melihat Raja Makmur terbengong-bengong.
“Ibu, ampunilah saya! Saya telah berdosa kepada Ibu. Anak Ibu telah saya cabik-cabik dan saya makan habis! Ampuni saya!” Raja Makmur menangis, bersujud di kaki Istri Bangsawan.
“Ya, kau memang telah menghabiskan putriku!” Jawab Istri Bangsawan dengan sedih.
“Sekarang, hukumlah saya Ibu! Hukuman mati pun saya bersedia menanggungnya!”
“Baiklah!” Raja Makmur menghentikan tangisnya. Dengan sikap satria siap menerima hukuman dari Istri Bangsawan.
“Cepatlah hukum saya!” katanya.
“Karena kamu telah membunuh anakku, kamu akan kuambil sebagai gantinya. Kamu sekarang menjadi anakku!” Ibu Putri memeluk Raja Makmur.
Sejak saat itu Raja Makmur tinggal bersama Ibu Putri Pucuk Gelumpang.
Setelah pikirannya kembali seperti semula Istri Bangsawan membeberkan kejadian sebenarnya.
“Sesungguhnya Putri Pucuk Gelumpang belum meninggal. Yang telah kamu makan itu bukanlah putriku!” kata Ibu Putri Pucuk Gelumpang.
“Lalu, siapa yang telah saya makan, Ibu? Di mana Putri Pucuk Gelumpang sekarang?” Tanya Raja Makmur tak sabar. Diguncang-guncangnya pundak Istri Bangsawan. Dengan tenang perempuan itu menuturkan kejadian sebenarnya.
Setelah mendengarnya Raja Makmur berlutut, mencium kaki Istri Bangsawan.
Saat itu juga Putri Pucuk Gelumpang muncul di hadapan mereka. Raja Makmur sangat bahagia. Akhirnya Istri Bangsawan mengawinkan Raja Makmur dengan Putri Pucuk Gelumpang.
Sumber: https://aning99.wordpress.com/2009/05/23/putri-pucuk-gelumpang/
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |