PRASASTI HARINJING
Peristiwa sejarah yang tertulis dalam Prasasti Harinjing terdiri dari tiga masa pemerintahan raja Kerajaan Medang (Mataram Kuno) yang masih berpusat di Jawa bagian Tengah. Prasasti Harinjing A berasal dari tanggal 25 Maret 804 Masehi, menceritakan tentang seorang tokoh pendeta agung (Bhagawanta) bernama Bari yang membuat tanggul beserta sungai di Harinjing dengan mendatangkan beberapa tokoh pejabat sebagai saksi. Tahun tersebut merupakan masa pemerintahan Rakai Warak Dyah Wanara yang naik tahta Kerajaan Medang (Mataram Kuno) tahun 803 Masehi (Atmojo, 1985:78). Prasasti Harinjing B berasal dari tanggal 19 September 921 Masehi, menceritakan dikuatkannya kembali status sima (perdikan) milik Bhagawanta Bari oleh Raja Rakai Layang Dyah Tulodong serta diberikan kepada para anak keturunan Bhagawanta Bari. Prasasti Harinjing C berasal dari tanggal 7 Maret 927 Masehi, menceritakan agar prasasti sebagai surat keputusan raja yang sah dan diduga ketika itu masih ditulis pada rontal (ripta prasasti) atau lempengan logam (tamra prasasti) agar ditulis pada sebuah batu. Tahun 921 dan 297 Masehi merupakan masa pemerintahan Rakai Layang Dyah Tulodong di Kerajaan Má¸Âang (Mataram Kuno) (sekitar 919-927 Masehi). Berdasarkan keterangan dalam Prasasti Harinjing C dapat diketahui bahwa batu tulis Prasasti Harinjing yang saat ini menjadi koleksi Museum Nasional-Jakarta ditulis pada tanggal 7 Maret 927 Masehi.
Kisah Bhagawanta Bari yang diceritakan dalam Prasasti Hariñjing A merupakan perilaku yang patut untuk dijadikan teladan dalam kehidupan masa dewasa ini. Sang Bhagawanta Bari membangun tanggul beserta sungai di Hariñjing merupakan suatu upaya untuk menanggulangi bencana banjir. Manfaat dari peristiwa pembangunan tanggul beserta sungai di Hariñjing untuk masyarakat di sekitarnya yaitu mempermudah mendapatkan air untuk keperluan irigasi persawahan dan perkebunan, sehingga dapat meningkatkan hasil bumi yang melimpah. Sikap seperti ini relevan dengan Nilai Peduli Lingkungan dalam Konsep Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, yaitu tindakan yang selalu berupaya untuk mencegah kerusakan lingkungan alam serta memperbaiki kerusakan tersebut. Selain itu peristiwa tersebut juga berkaitan dengan Nilai Peduli Sosial, yaitu sikap serta tindakan yang selalu memberikan bantuan kepada orang lain yang membutuhkan. Selanjutnya kisah Bhagawanta Bari seperti diceritakan dalam Prasasti Hariñjing A, yaitu mengundang para saksi serta mengadakan acara pesta makan dan minum dengan nikmat untuk memperingati selesainya pembuatan tanggul beserta sungai serta sikap para raja yang menghargai jasa Sang Bhagawanta Bari relevan dengan Nilai Menghargai Prestasi, yaitu tindakan yang mendorong seseorang untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat serta mengakui dan menghormati keberhasilan karya orang lain. Sikap Bhagawanta Bari yang membangun bangunan suci (dharma) di sekitar Sungai Hariñjing yang nantinya diperkuat kembali oleh keturunannya, sangat relevan dengan Nilai Religius, yaitu perilaku yang patuh melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain (Hasan dkk, 2010:9-10).
Dari kisah Sang Bhagawanta Bari terdapat pelajaran moral yang sangat berharga, yaitu “perbuatan baik seseorang akan selalu dikenang sepanjang masa”. Selanjutnya yang mendapatkan manfaat dari perbuatan baik tersebut tidak hanya sang tokoh semata, melainkan sampai turun para keturunannya. Hal ini terbukti dari kisah Sang Bhagawanta Bari yang mendapatkan anugerah sima (bebas pajak) dalam Prasasti Hariñjing A yang kemudian dapat dinikmati oleh anak keturunannya seperti yang diceritakan dalam Prasasti Hariñjing B dan C. Nilai-nilai budaya seperti ini sangat penting untuk diwariskan kepada generasi muda masa dewasa ini. Oleh karena itulah penting untuk mengajak generasi muda mempelajari sejarah. Menurut Widja (1988:55) sejarah merupakan sumber kekuatan untuk menggerakkan sebuah usaha, semakin menyadari nilai-nilai sejarah maka akan memiliki kekuatan untuk menumbuhkan sifat, watak, dan kemampuan yang diinginkan.
Sebenarnya masih banyak kisah-kisah tokoh yang dapat dijadikan teladan dan tertulis dalam prasasti yang ditemukan di daerah Kediri. Salah satunya yang terdapat dalam Prasasti Ckêr yang berasal dari daerah Kecamatan Mojo-Kabupaten Kediri dari tahun 1107 Saka (11 September 1185 Masehi) (lihat foto 02). Prasasti tersebut dikeluarkan oleh Paduka Sri Maharaja Sri Kameswara Triwikramawatara Aniwaryyawiryya Parakrama Digjayotunggadewanama. Prasasti tersebut dahulu pernah dinyatakan hilang (Atmojo, 1985:72). Namun setelah ada penelitian dari Pusat Penelitian Arkologi Nasional dan EFEO dibantu Komunitas PASAK dan Kojakun Sutasoma yang mengadakan kegiatan abklatsch prasasti koleksi Museum Airlangga Kota Kediri tahun 2012, ternyata Prasasti Ckêr selama ini tersimpan di Museum Airlangga Kota Kediri. Prasasti itu berisi tentang kisah masyarakat Ckêr (duwan i Ckêr) datang menghadap raja dan memberitahukan bahwa pernah menerima anugerah dari raja yang memerintah sebelumnya. Mereka meminta prasasti tersebut diminta untuk dikuatkan atau ditulis pada sebuah batu. Selanjutnya juga diceritakan tentang kisah Sri Maharaja yang kembali ke kedudukannya di Bhumi Kadiri (mantuk ri sÄ«manira ring BhÅ«mi Kadiri), sehingga memunculkan dugaan bahwa peristiwa tersebut berkaitan dengan adanya serangan musuh sehingga sang raja harus meninggalkan istananya (Hardiati dkk, 2010:292). Sikap yang dilakukan oleh penduduk Ckêr tersebut relevan dengan Nilai Cinta Tanah Air dalam Konsep Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.
#NirmalaPembangunBangsa
#OSKMITB2018
#BudayakanMengarsipBudaya
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja