PERJALANAN menuju perkampungan di perbatasan antara Kabupaten Manggarai Timur dan Kabupaten Manggarai di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) di Kampung Bumbu Pupung, Desa Rondo Woing tak mudah seperti yang diungkapkan dalam kata-kata lisan. Walaupun tergolong kampung yang berada di lembah dan terpencil juga tak mudah dijangkau kendaraan bermotor.
Ratusan pengunjung dari kampung tetangga, seperti Kampung Ntaur, Torok Golo, Teber, Colol, Rengkam, Sita, bahkan kabupaten tetangga hadir ke kampung itu. Mereka yang semuanya dalam hubungan kekeluargaan datang dengan maksud sama: menghadiri ritual “Poka Kaba Congko Lokap” rumah Gendang Bumbu. Ritual ini wajib dilaksanakan dan selalu diupacarakan ketika pembangunan rumah adat gendang selesai dibangun oleh para pewarisnya.
Bumbu adalah salah satu anak kampung di Desa Rondowoing, Kecamatan Ranamese, Kabupaten Manggarai Timur. Daerah dengan kampung induk bernama Pupung, Bumbu adalah kampung yang berada di lembah yang diapit empat bukit. Keempat bukit itu adalah bukit Racang (Golo Racang), Colol, Teong Lewing, dan Bukit Pupung (Golo Pupung). Kampung itu berada di sebelah timur bagian selatan Kabupaten Manggarai Timur di Pulau Flores.
Bumbu di Desa Rondowoing letaknya sekitar 20 kilometer dari Borong, Ibukota Kabupaten Manggarai Timur, atau 50 kilometer dari arah Ruteng, Ibukota Kabupaten Manggarai. Manggarai sendiri yang kini berubah nama menjadi Manggarai Raya, sejak awal tahun 2000-an mengalami pemekaran dan kini menjadi tiga kabupaten. Selain Kabupaten Induk, Manggarai, dua lainnya adalah Manggarai Barat (2003) dan Manggarai Timur (2007).
Kondisi jalan Ruteng-Borong-Ranamese sangat bagus. Jalan itu adalah bagian dari jalan lintas Transflores yang berstatus sebagai jalan negara. Namun, kondisi jalan selebihnya sangat kontra. Apalagi jalan ke kampung-kampung. Sejak lepas dari jalan Transflores dan memasuki tikungan menuju ke Bumbu, kendaraan roda empat, baik yang bermerk ford dan truk harus berjalan dengan penuh hati-hati. Dari satu persimpangan, persisnya di samping Kampung Paka hingga pusat Kampung Bumbu yang jaraknya sekitar 15 kilometer perjalanan dengan mobil membutuhkan waktu 1,5 jam.
Jalan itu selain sempit, juga hanya berlapiskan susunan batu yang sudah terkelupas dari Paka sampai di Kampung Ntaur, Desa Sano Lokom. Dari Kampung Ntaur, kita berjalan melewati dua kali besar, yakni Kali Waemusur I dan II. Jalan tersebut berlubang-lubang karena sebagian susunan batu sudah terbongkar dan berserakan, membentuk onggokan liar di sana sini. Sedangkan dari tikungan Paka sampai di Kampung itu kita melewati lima kali besar. Satu jembatan sudah dibangun sejak masih bergabung dengan Kabupaten Induk, Manggarai dan duanya lagi sedang dikerjakan. Selain itu jalan rayanya berada disela-sela tebing batu. Jalan menurun dan mendaki sehingga sopir yang mengendarai kendaraan penuh dengan hati-hati.
Meski sempat lelah dan letih akibat guncangan kendaraan saat melewati jalan yang rusak dan belum beraspal itu, rasa kelelahan hilang saat bersamaan menikmati pemandangan persawahan di Lembah kampung itu serta memandangi empat bukit yang masih sangat hijau.
Seperti dalam judul tulisan ini, setidaknya di kawasan Timur bagian selatan Manggarai Raya termasuk Bumbu-Pupung dan sekitarnya hingga di era teknologi dan global ini menyisakan ritual kuno yang berusia ribuan tahun yang dipercayai sangat sakral oleh para penghuni Manggarai Raya. Ritual itu sudah sering diketahui luas adalah “Poka Kaba Congko Lokap”, yakni sebuah upacara khusus sesudah rumah adat gendang di Manggarai Raya dibangun.
Masyarakat Manggarai Raya di Flores umumnya masih beranggapan bahwa “Poka Kaba Congko Lokap”, ritual membersihkan kampung dari berbagai kejahatan pasca rumah adat gendang dibangun dengan hewan kurban kerbau adalah upacara wajib sebagai penghormatan dan berterima kasih kepada lelulur dan Sang Pencipta.
Ritual “Poka Kaba Congko Lokap” di Bumbu, Rabu-Kamis, 29-30 Oktober 2014, penyelenggaranya adalah turunan dari Suku Nembe yang rumah adat induknya berpusat di kampung tersebut. Tradisi ini harus dilaksanakan pasca pembangunan rumah adat Gendang yang didirikan ditengah kampung. Poka (bunuh), Kaba (kerbau), Congko (pungut) dan Lokap (kotoran atau sisa-sisa kotoran). Jadi tradisi “Poka Kaba Congko Lokap” diartikan sebuah tradisi membunuh kerbau untuk membersihkan sebuah kampung pasca rumah adat Gendang dibangun.
Dalam ritual puncak “Poka Kaba Congko Lokap”, hewan kurban kerbau selalu dipadukan dengan sejumlah babi jantan besar dan kecil. Ritual ini diyakini sebagai upacara bersyukur dan berterima kasih kepada leluhur atas bantuan mereka sehingga rumah adat bisa dibangun sekaligus mengucapkan terimakasih kepada Sang Pencipta.
Warga kampung Suku Nembe berasal dari keturunan Minangkebau. Nama lelulur asal Minangkebau adalah ‘Durung’. Namun, warga suku di Manggarai Timur memanggilnya “Wangka Durung”. Mengapa, saat “Durung” berlayar dari Minangkebau dan bersandar di Pelabuhan Pota, Jangkar dari kapalnya ada di Pelabuhan Pota. Jadi orang memanggilnya “Wangka Durung”. Selanjutnya, “Wangka Durung” memperistrikan “Kodal” dari Kampung Watu Cie, di Colol, Kecamatan Pocoranaka.
Hasil perkawinan “Wangka Durung dan Kodal” lahirlah Hende (sulung), Nembe (anak kedua), Koko (anak ketiga) dan Wintuk (anak bungsu). Lalu, Hende, karena rajin memelihara anjing maka ia bermigrasi ke wilayah Lambaleda. Nembe adalah seorang yang tekun menanam berbagai jenis tanamanan holtikultura seperti ubi kayu, ubi tatas, ubi keladi dan sejenisnya sehingga Ia mencari daerah subur di wilayah pegunungan Mandosawu dekat dengan Gunung Ranaka.
Dari Gunung Mandosawu dekat Gunung Ranaka, leluhur Nembe mencari daerah subur dan menemukan daerah subur di Lembah Bumbu-Pupung. Kuburan dari leluhur itu yang berusia ratusan tahun masih ada diatas bukit disekitar Lembah Bumbu-Pupung. Sejak kehadiran leluhur itu, warga masyarakat membangun rumah adat yang sederhana yang terbuat dari ijuk dan bertiangkan bambu. Lalu, penginisiatif, Hironimus Nawang, seorang putra keturunan Kampung Bumbu merencanakan pembangunan rumah adat gendang Bumbu. Maka, pembangunan sudah selesai dengan dilaksanakan ritual “Poka Kaba Congko Lokap"
Ada beberapa tahapan dalam tradisi “Poka Kaba Congko Lokap” yang harus dilalui diantaranya, ritual “Barong Lodok”, ritual di sudut persawahan dan perkebunan milik komunitas warga dengan ayam jantan sebagai lambangnya. Kedua, ritual “Barong Wae”, ritual di mata air dengan ayam jantan sebagai lambangnya. Ketiga, ritual “Teing Hang Ata Tua”, ritual memberikan sesajen kepada leluhur di kampung tersebut. Keempat, ritual “Tudak Ela Penti”, ritual berterima kasih dan bersyukur kepada leluhur sebagai perantara rahmat dari Sang Pencipta.
Kelima, ritual” Ela Pantek”, ritual mengundang leluhur untuk masuk di rumah adat gendang. Keenam, ritual “Barong Rapu”, ritual meminta leluhur di pekuburan untuk sama-sama menyaksikan upacara adat di kampung tersebut dan dilaksanakan pada malam hari. Ketujuh, ritual Ela Wee, ritual mengundang seluruh warga Kampung dan sekitarnya untuk sama-sama menyaksikan dan memeriahkan ritual “Poka Kaba Congko Lokap” pada esok harinya. Lalu, kedelapan, puncaknya dari berbagai rangkaian upacara adalah Ritual “Poka Kaba Congko Lokap”, ritual membunuh seekor hewan kurban kerbau di tengah-tengah kampung.
Selanjutnya, ritual Congko Laca, ritual membersihkan rumah adat dan halaman kampung dari berbagai kotoran hewan atau membersihkan sisa-sisa kotoran hewan yang ada di dalam rumah maupun di sekitar rumah. Ini merupakan ritual penutup dengan dilambangkan seekor ayam jantan berwarna putih.
tradisi “Poka Kaba Congko Lokap” merupakan tradisi yang diwariskan leluhur di Manggarai Raya dengan usia ribuan tahun dan masih dipertahankan dan diupacarakan di berbagai kampung di wilayah Manggarai Raya setelah rumah adat gendang selesai dibangun. Tradisi ini wajib dilaksanakan oleh warga suku, kampung dan komunitas sosial pasca rumah adat Gendang selesai dibangun.
Orang Manggarai Raya sangat dekat alam dan Sang Pencipta. Bahasa lokal Manggarai “Gendang Onen Lingko Peang” sebagai persatuan antara alam dan manusia. Rumah adat Gendang bagi masyarakat Manggarai Raya adalah rumah persatuan dan persaudaraan yang sangat mendalam. Banyak manfaat Rumah adat Gendang bagi warga Manggarai Raya, di antara rumah itu sebagai tempat menyelesaikan persoalan adat, persoalan sosial kemasyarakatan.
sumber : https://travel.kompas.com/read/2014/11/07/083116127/Unik.Tradisi.Poka.Kaba.di.Lembah.Kampung.Bumbu
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja
Jembatan Plunyon merupakan bagian dari wisata alam Plunyon-Kalikuning yang masuk kawasan TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi) dan wisatanya dikelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat, yaitu Kalikuning Park. Sargiman, salah seorang pengelola wisata alam Plunyon-Kalikuning, menjelaskan proses syuting KKN Desa Penari di Jembatan Plunyon berlangsung pada akhir 2019. Saat itu warga begitu penasaran meski syuting dilakukan secara tertutup. Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan zoom-in-whitePerbesar Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan "Syuting yang KKN itu kebetulan, kan, 3 hari, yang 1 hari karena gunungnya tidak tampak dibatalkan dan diu...