Tersebutlah dua laki istri yang bernama Pan Cubling dan Men Cubling berdiam di pinggir sebuah hutan. Pekerjaan kedua laki istri itu adalah mencari kayu api. Hasilnya mereka jual ke kota untuk keperluan hidup mereka sehari-hari. Di sekitar tempat itu banyak hidup kera. Entah karena apa, kera-kera itu berkawan baik dengan Pan Cubling. Meskipun demikian, ya kera tetap kera. Pan Cubling dan Men Cubling sering juga disuiknya. Diantara kera-kera yang paling sering datang datang ke rumah Pan Cubling adalah kera yang bernama ; I Bojog Peceh.
Apabila Pan Cubling pergi ke hutan mencari kayu api, Men Cubling sibuk memasak di dapur. Pada saat-saat seperti itulah I Bojog Mokoh dan I Bojog Peceh datang mengangggu Men Cubling istri Pan Cubling. Pada suatu pagi yang sangat cerah. Rupa-rupanya semalam tidak ada hujan. Matahari bersinar menembus celah daun-daun kayu di pinggir hutan. Waktu itu I Bojog Mokoh seperti biasa datang ke rumah Men Cubling. Dengan perlahan-lahan I Bojog Mokoh mendekati pekarangan Pan Cubling.
Di intainya Men Cubling dari atas sebuah cabang pohon kayu, ia melompat, Men Cubling sedang sibuk didapur. Dengan gaya yang khas, ia melompat turun, serta menoleh ke kanan dan ke kiri. I Bojog Mokoh tiba dipintu dapur Men Cubling.
"Men Cubling" tanya I Bojog Mokoh. Men Cubling tidak menoleh apalagi menyahut. Ia jengkel sekali, karena kera ini selalu mengganggunya.
"Men Cubling" tanya I Bojog Mokoh agak keras.
"Apa, kau mau cari apa?" tukas Men Cubling
"Sudah selesai memasak?" tanya I Bojog Mokoh lagi.
"Belum" jawab Men Cubling singkat.
"Beri aku nasi sedikit."
"Belum matang."
"Belum? Aku dari tadi mengintai. Men Cubling sudah selesai memasak. Kau sembunyikan nasi dan lauk pauk itu di bawah periuk. Ayo Men Cubling, beri aku sedikit."
"Aku bilang, belum selesai."
"Eh, kalau kau tidak mau memberi kutusuk pantatmu dengan kayu ini."
"Kau itu selalu menggangguku."
"Bukan mengganggumu, menghiburmu. Kau sendiri di rumah. Suamimu pergi ke hutan. Dikira aku tak tahu."
"Kalau kau mau minta nasi boleh, tolong aku mengumpulkan kayu api dibelakang rumah."
"Kemana aku bawa?"
"Di muka dapur."
"Baiklah. Asal nanti diberi nasi."
"Jangan banyak omong. Kerjakan dulu."
Sibuklah si Bojog Mokoh mengumpulkan kayu api.
"Ini, aku sudah selesai. Mana nasinya."
Maka Men Cubling pun memberi nasi kepadanya yang dibungkus dengan daun pisang. Lahap benar tampaknya I Bojog Mokoh. Mulutnya gembung penuh berisi nasi. Sambil menyeringai cara khas seekor kera, ia menghabisi makanan itu.
"Men Cubling" kata I Bojog Mokoh sambil membuang daun pisang.
"Apa lagi."
"Anu, perutku sakit. Di mana tempat buang kotoran?"
"Kau ada-ada aja. Tu di belakang dapur."
Maka pergilah I Bojog Mokoh ke belakang dapur.
"Ih, baunya! Jauh sedikit Bojog Mokoh," seru Men Cubling.
"Disini sudah, diatas batu ini."
"Baunya sampai ke dapur."
"Bau tahi supaya harum. Tahi manusia itu harum?"
"Nanti kulempar kau dengan batu."
"Kalau kau lempar, nanti kutusuk pantatmu dengan kayu ini."
"Kau terlalu."
"Kau suruh berak di belakang dapur."
"Memangnya."
Men Cubling tak dapat berkata-kata lagi, takut kalau-kalau I Bojog Mokoh benar-benar menusuknya dengan kayu, seperti dahulu tatkala dia tiada memberi I Bojog Mokoh nasi.
Sesudah selesai I Bojog Mokoh berak ia bertanya lagi.
"Dimana aku membersihkan pantatku" (mekilad).
"Cerewetnya. Tu pada batang pisang. Setiap hari minta diberi tahu."
Setelah itu, tanpa pamit ia pergi dari rumah Men Cubling. Kemudian datang lagi I Bojog Peceh. Rupa-rupanya ia pun hendak meminta pula nasi.
"Men Cubling," kata I Bojog Peceh.
"Siapa itu?"
"Aku, I Bojog Peceh. Suamimu ke mana?"
"Pergi ke hutan."
"Eh, kau tambah cantik."
"Kau kera, bisa bilang manusia cantik."
"Betul! Minta nasinya."
"Barusan I Bojog Mokoh datang minta nasi. Sekarang kau lagi."
"I Bojog Mokoh? Ia sudah pergi?"
"Ya, baru saja."
"Sudah, beri nasinya."
"Setiap hari kerjamu meminta nasi saja. Kau malas. Lihat itu kawan-kawanmu semua berusaha mencari makanan. Kau dengan I Bojog Mokoh kerjamu meminta saja."
"Sudah, berilah, aku lapar?"
Demikianlah I Bojog Peceh dengan gaya "Keranya" menghabiskan makanan. Sesudah itu, sama seperti I Bojog Mokoh ia hendak berak.
"Di mana tempat berak?"
"Di situ, dibelakang dapur."
"Baiklah."
"Jauh sedikit, nanti baunya sampai ke dapur."
"Ya," I Bojog Peceh menukas sambil pergi ke belakang.
"Setiap hari begini saja kerja kedua kera ini," gumam Men Cubling.
"Kalau tak diberi, aku bisa dapat celaka."
"Men Cubling, aku permisi," kata I Bojog Peceh.
Berselang beberapa jam datanglah Pan Cubling dari hutan membawa kayu api. Berat rupanya. Nafasnya terengah-engah. Dengan tiada berkata apa-apa ia meletakkan kayu api itu di muka dapur.
"Men Cubling," katanya dengan suara kepayahan, ini ambil daun paku untuk sayur.
"Eh Pak, baru saja I Bojog Mokoh dan I Bojog Peceh datang ke mari. Nasi kita hampir dibuat habis."
"Celaka! Setiap hari setan itu datang. Kenapa kau beri saja."
"Aku takut Paken. Cobalah kalau saya tak beri, aku mau diganggu. Luka di pantantku belum sembuh."
"Sudah. Aku mau makan dulu! Ada sisanya?"
"Ada, cukup untuk Pak saja."
Pergilah Pan Cubling ke dapur duduk bersila di balai-balai menikmati, masakan Men Cubling. Setelah menyuapkan nasi beberapa suap, sambil berpikir ia mengambil kendi tanah untuk meneguk air. Kemudian ia berkata.
"Binatang kurang ajar." Aku ada akal supaya kera-kera bangsat itu tidak mengganggu lagi.
"Bagaimana pak."
"Besok kalau kera-kera itu minta nasi beri saja. Sesudah makan, pasti dia hendak berak. Kemudian kalau dia mau "Mekilad" di pohon pisang itu letakkan di sana sebilah pisau yang tajam. Hati-hati agar jangan kelihatan!"
"Aku tak bisa mengerjakan itu. Biarlah pak yang mengerjakannya."
"Kalau begitu, baiklah!"
Sesudah makan Pan Cubling mengambil sebilah pisau. Diasahnya sampai tajam pisau itu, laku dipasangnya pada pohon pisang tempat kera-kera itu membersihkan pantatnya.
Keesokan harinya Pan Cubling pergi lagi ke hutan mencari kayu api dan Men Cubling, sebagaimana biasa memasak didapur. Tiada berapa lama datanglah I Bojog Mokoh.
"Men Cubling, aku lapar. Tolong beri nasi."
"Kau datang lagi."
"Kalau tak di beri, kau kutusuk pantatmu dengan kayu ini."
"Ini, makanlah!" Sambil memberi nasi.
Dengan lahap si Bojog Mokoh makan, Setelah selesai makan ia bertanya lagi.
"Dimana tempat berak."
"Situ, dibelakang dapur."
I Bojog Mokoh pun pergilah ke belakang dapur buang kotoran. Sesudah itu ia bertanya lagi.
"Dimana tempat mekilad."
"Tu di pohon pisang."
Dengan tiada berpikir lagi I Bojog Mokoh "Mekilad" pada pohon pisang yang sudah dipasangi pisau oleh Pan Cubling.
"Kemudian..... Brueeeek! Aduh, aduh.
Pantatku, pantatku! Aduh. Darah berhamparan keluar. Robeklah pantat I Bojog Mokoh sampai ke perutnya dan seketika itu pula I Bojog Mokoh mati.
Pada saat itu Men Cubling keluar dari dapur dan secepatnya diambilnya bangkai I Bojog Mokoh di bawa ke dapur. Kemudian bangkai I Bojog Mokoh, dipotong-potong hendak dijadikan lawar, sate, gulai dan sebagainya. Kemudian kulit serta kepala I Bojog Mokoh di sembunyikannya di bawah periuk. Takut kalau-kalau kera yang lain tahu.
Sedang sibuk Men Cubling mengurusi daging-daging Bojog Mokoh, datanglah I Bojog Peceh. Tak sempat Men Cubling menyembunyikan daging-daging itu, I Bojog Peceh sudah ada di dekatnya.
"Men Cubling, daging apa ini."
"Daging sapi."
"Kalau daging sapi mengapa tulangnya kecil-kecil."
"Daging babi."
"Kalau daging babi mengapa agak hitam."
"Daging kambing."
"Kalau daging kambing mengapa ususnya kecil panjang."
"Daging..... daging Be Mamu."
Alangkah terkejutnya I Bojog Peceh. Pastilah I Bojog Mokoh terbunuh. Ia berlari ke tengah hutan, lalu naik ke sebuah pohon yang besar memukul-mukul batang pohon itu sebagai orang memukul kentongan.
"Ih. Bojog Peceh mengapa kau memukul kentongan!."
"I Bojog Mokoh dibunuh oleh Men Cubling. Mari kita serbu rumahnya dan kita bunuh kedua orang itu. Kera-kara itu bersorak menyambutnya.
"Kita kumpulkan kawan-kawan kita dan besok kita berangkat agar semua kera di hutan itu ikut," jawab seekor kera.
"Baiklah," jawab yang lain.
Tiada berapa lama pulanglah Pan Cubling.
Dengan terengah-engah Men Cubling menyapa suaminya.
"Pak ne, I Bojog Mokoh sudah mati. Itu dagingnya sudah kujadikan gulai, sate dan sebagainya. Tetapi, tadi I Bojog Peceh datang kemari dan tahu bahwa daging itu adalah daging I Bojog Mokoh. Sekarang ia lari ke hutan. Barangkali ia memanggil kawan-kawannya untuk mencelakakan kita.
"Barangkali itu benar jawabmu. Meskipun begitu mari kita berpesta dulu dan kalua-kalau kera-kera itu datang, akan kulawan.
Kedua suami istri itupun berpestalah dengan daging I Bojog Mokoh. Sudah sampai malam, kera-kera itu tak kunjung tiba juga. Pada malam itu tak sedikitpun terpicing mata kedua orang itu, takut kalau-kalau pasukan kera datang. Kemudian Pak Cubling berkata lagi, "Memene, besok pagi aku tidak akan pergi ke hutan.
Jika kera-kera itu datang katakan aku mati. Aku akan tertidur berpura-pura mati di Bale Bedauh. Tutupi badanku dengan kain dan sekar Sinom. Suah itu kau buat air panas sebanyak-banyaknya. Nanti jika kera-kera itu sudah datang, kau pura-pura menangis di sebelah tempat tidurku sambil meratapi kematianku kemudian mintalah bantuan kepada kera-kera itu untuk membuat lubang kuburku. Sesudah semua kera-kera itu ada dibawah, siram dengan air panas itu. Niscaya akan mati semua."
"Kalau begitu baiklah."
"Sekarang mari kita tidur dan bangunlah pagi-pagi mengerjakan segala suruhanku."
Keesokan harinya pagi-pagi betul kedua suami-istri itu sibuk menyiapkan segala rencana itu. Men Cubling membuat air panas dan Pan Cubling mencoba berulangkali bagaimana cara tidur berpura-pura mati agar tipu muslihatnya tidak diketahui oleh kera-kera itu. Akhirnya semua siap, Pan Cubling tidur diselimuti dengan beberapa potong kain sedang Men Cubling sambil air mata berlinang membuat air panas. Keduanya berharap agar sandiwara ini berhasil.
Sekira jam 8.00 pagi di kejauhan terdengar suara gaduh.
"Pak, Pak ne itu mereka datang, ayo tidur pura-pura mati."
"Kau cepat ke dapur bikin air panas pura-pura menangis. Kalau ditanya, hendak membuat persiapan untuk tamu."
"Baiklah."
Begitulah Pan Cubling dan Men Cubling mengerjakan rencananya dengan baik sekali. Tiada berapa lama kira-kira 60 ekor kera telah berada di pekarangan Pan Cubling. Melihat Men Cubling menangis terisak-isak, I Bojog Peceh bertanya padanya.
"Hei Men Cubling, mengapa kau menangis?"
"Malang nasibku Peceh, Pan Cubling semalam telah mati."
"Mati?"
"Ya, kasihanilah aku Peceh. Janganlah kau arah padaku, A..... aku tahu kau datang bersama kawan-kawanmu hendak membalas dendam, ya, Kalau kau rela, bunuhlah aku sekarang juga. He,hu, hu."
"Aneh, kemarin Pan Cubling sehat, sekarang mati, Ah, sungguh kasihan aku."
"Hai kawan-kawan semua, saya minta janganlah kamu hendak merusak rumah atau membunuh Men Cubling."
"Sungguh kasihan dia. Bukankah dia hanya seorang wanita?"
"Betul, jawab yang lain serempak!"
Mendengar itu Pan Cubling dan Men Cubling merasa tersenyum di hati, karena rupanya sandiwara mereka sudah hampir berhasil.
"Hai Men Cubling, apakah yang kami bisa kerjakan untuk menolong kalian."
"Hai kera-kera semua, kau betul-betul baik hati. Tolonglah, buatkan aku lubang untuk menguburkan Pan Cubling."
"Baiklah aku memasak makanan untuk kalian."
"Oh, kalau begitu baiklah."
Maka semua kera-kera itu bekerja dengan giatnya. Sedang kera-kera itu sibuk bekerja I Bojog Peceh pergi ke balai tempat Pan Cubling berpura-pura mati.
"Pan Cubling, Pan Cubling kasihan engkau mati."
Diperiksanya semua badan Pan Cubling. Diambilnya sebatang kayu lalu ditusuknya lubang pantat Pan Cubling.
Pan Cubling katanya mati, tapi baru kutusuk lubang pantatnya, ia bergerak-gerak (kebing-kebing). Eh, eh aneh orang mati bisa bergerak.
Hal itu diketahui oleh Men Cubling segera ia memanggil I Bojog Peceh.
"Bojog Peceh. Apa yang kau kerjakan itu?"
"Pan Cubling mati, tapi baru kutusuk lubang pantatnya bergerak-gerak (kebing-kebing).
"Eh, kau tidak boleh mengganggu orang mati nanti arwahnya bisa kesasar."
"Oo, begitu kasihan Pan Cubling. Ia hanya hidup di pantat saja."
Sementara itu panas sudah terik dan lubang sudah dalam.
"Apa dalamnya tak cukup sekian, teriak seekor kera?'
"Mana?" kata Men Cubling sambil memeriksa dalam lubang itu.
"Oo, belum, lagi perdalam dan perlebar."
"Kalau begitu, hai kawan-kawan mari turun semua ke dalam lubang agar pekerjaan kita cepat selesai," seru kera-kera itu.
Maka bersoraklah kera-kera itu masuk ke dalam lubang itu.
"Nanti kalian ku tutup dengan gedek, agar kalian tak kepanasan kata Men Cubling.
"Baiklah," seru kera-kera itu dari dalam.
Lubang itupun ditutupnya rapat-rapat oleh Men Cubling dengan gedek. Sesudah itu ia berlari membangunkan suaminya untuk bersama-sama menyiram kera-kera itu dengan air panas.
"Eh pak ne, segera bangun mari siram kera-kera itu."
Dengan tiada menjawab Pan Cubling bangun terus berlari ke dapur bersama istrinya. Berperiuk-periuk air panas dituangkan ke dalam lubang itu. Maka hiruk pikuklah kera-kera itu di dalam lubang kubur. Ada yang mencoba keluar, ada yang berteriak kepanasan. Namun Pan Cubling dan Men Cubling tiada menghiraukan mereka. Air panas terus dituangkan dan akhirnya sepilah sudah suara kera-kera itu, karena mereka sudah mati.
Gedekpun dibuka dan ternyata tak seekor kera pun yang masih hidup. Kecuali I Bojog Peceh yang masih hidup, ia lari tunggang-langggang ke hutan. Dan sejak itu tak ada lagi kera mengusik Pan Cubling dan Men Cubling. Bukan main gembira Pan Cubling dan Men Cubling. Bangkai kera itu dikeluarkan. Orang-orang kampung dipanggilnya dan terjadilah pesta daging kera yang sangat meriah.
Sumber : Bunga Rampai Ceritera Rakyat Bali oleh Ida Bagus Sjiwa & A.A. Gde Geria