Suara embo-emboan (ruas batang padi yang telah menguning dibuat mirip suling) terdengar di lembah sana, di sawah yang luas dengan padi yang mulai menguning. Pemuda-pemuda tani sedang menjalani musim mengaso, menunggu datangnya musim panen, di mana nanti mereka mulai giat bekerja lagi. Di sore hari di suatu tempat yang rindang teduh, berkumpullah 4-6 orang pemuda, asyik dengan obrolan remaja mereka, yang kadang-kadang diselingi tiupan embo-emboan, yang menimbulkan nada-nada lagu rindu sebagai ilustrasi dari keindahan alam pedesaan dengan segala keunikannya.
Di kala itu di desa yang sama, yaitu di desa Banjar Sari, ada seorang gadis, bagaikan bunga baru mekar, Ni Ketut Sewagati namanya. Sudah menjadi kebiasaan dikalangan masyarakat desa, dimana hubungan seorang dengan yang lainnya sangat erat. Dengan keadaan seperti ini sudah barang tentu, nama Ni Ketut Sewagati dalam waktu yang singkat tersebar ke seluruh pelosok desa. Tiap pemuda desa sudah merasa bangga, kalau dapat menyebut namanya. Demikian pula bagi setiap pemuda yang berkumpul di desa itu yang menjadi pokok pembicaraan hanyalah Ni Sewagati. Ada yang mengkhayalkan, mungkin cantiknya bidadari sebagai Ni Sewagati.
Bagi pemuda yang berhati kecil, bertekur sapa saja sudah merasa rendah diri, karena telah terlebih dulu dibayangi hal-hal yang tidak mungkin. Tidak beda baginya si bongkok ingin mencapai bulan. Demikianlah Ni Ketut Sewagati menjadi pujaan seluruh pemuda di desanya. I Jero Dukuh, julukan orang sekampungnya yang diberikan terhadap ibu Ni Sewagati. Ibunya ini sangat bangga dengan keayunan putrinya, yang tak ada duanya. Karena itu I Jero Dukuh, setiap ada kesempatan selalu ingin menonjolkan anaknya.
Tetapi lain dengan Ni Sewagati sendiri, ia tidak mabuk akan kecantikannya, ia tetap sederhana tidak mau melebihi teman-teman sekampungnya, tidak pilih kasih dalam bergaul, tiap pemuda, yang berkunjung ke rumahnya disapa dengan ramah. Para pemuda tidak habis-habisnya bertanya dalam hatinya, pemuda siapa gerangan yang berbahagia dapat mempersunting kembang desa itu. Namun tidak disangka-sangka secara diam-diam seorang pemuda miskin beruntung dapat memikat hati Ni Sewagati.
I Ratna Semara, demikianlah nama pemuda yang bahagia itu. Hubungan di antara dua remaja ini sangat rahasia, kecuali Kati (perantara antara keduanya) sajalah yang tahu. Kalau sampai bocor, berarti bahaya. Demikian ketat sangsi adat di desanya. Mereka jarang sekali dapat bertemu langsung. Hanya sekali-kali dalam upacara di Pura atau dalam upacara adat lainnya mereka dapat bertemu. Kendatipun demikian tiada menyebabkan cinta dua remaja itu menjadi berkurang, bahkan sebaliknya semakin tumbuh dengan subur. Mereka telah bertekad bulat untuk sehidup semati apapun nanti yang akan terjadi.
Memang pasangan mereka ini sangat serasi, I Ratna Semara seorang jejaka sederhana, tetapi tampan dan sangat rajin. Terhadap kawan-kawannya sangatlah ramah dan kepada yang tua sangat hormat. Oleh karenanya kendatipun penghidupannya sederhana, tetapi ia sangat dipandang dan disegani oleh temannya. Demikian pula para gadis sangatlah gembira bila mana dapat sekedar ngobrol saja dengan I Ratna Semara. Tetapi I Ratna Semara tidak mau tergoda oleh gadis lain. Hanya satulah pilihannya ialah Ni Sewagati.
Kendatipun cintanya telah disambut hangat oleh Ni Sewagati, tetapi hal itu bukan berarti jalan untuk ujian berat. Inilah yang menggelisahkan hati Ratna Semara, karena sedikit sekali kemungkinan pepadikannya (pinangannya diterima oleh orang tua) Ni Sewagati. Hal inilah yang selalu menjadi pemikiran sang pemuda yang sedang di mabuk asmara. Di dalam menekan kegelisahannya sang pemuda tadi meniup seruling bambunya melengking-lengking di tengah malam, menembangkan semaradhana, seolah-olah jeritan jiwanya yang penuh rasa rindu dengan ditumpahkan melalui nada-nada seruling. Lain halnya dengan Jero Dukuh, Jero Dukuh mencita-citakan agar anaknya mendapat pinangan (jodoh) pemuda kaya.
Pada saat itu ada seorang pemuda terkaya di desanya, I Mudalara namanya. Dengan mengandalkan kekayaannya ia banyak mempunyai kawan-kawan pembantu. Pemuda inilah yang tergila-gila terhadap Ni Sewagati. Namun Ni Sewagati sangat benci terhadap I Mudalara. Kebenciannya itu bukan saja disebabkan oleh mukanya yang bopeng bekas korban cacar, perut gendut dengan kepala kecil, rambut sosoh, tetapi juga oleh ulahnya yang sombong dan angkuh. Tetapi akibat kelihaian para pembantunya, sudah barang tentu dengan banyak sogok, Jero Dukuh dapat menerima pepadikan (lamaran) I Madulara.
Kebetulan musim panen, maka kesempatan inilah digunakan oleh I Mudalara untuk menunjukkan jasa-jasa baik terhadap calon mertuanya. Ia bersama puluhan kawan-kawannya, beramai-ramai mengangkut hasil panen Ni Sewagati. Sudah menjadi kebiasaan di desa setipa mengangkut hasil panen, diadakan makan-makan kecil (nguun). Demikianlah pula halnya Jero Dukuh, setelah semua padinya tiba di rumah, disiapkanlah makanan untuk teman-teman I Mudalara, calon mantunya. Dalam hal ini tentu saja Jero Dukuh menyuruh anaknya yang mempersiapkan makanan. Nak siapkanlah makanan untuk semua teman kakakmu Gede Mudalara, karena padi telah habis diangkut. Menjawab Ni Sewagati dengan halus. Silahkan Ibu sendiri yang menyiapkan, nanda kebetulan sedang tidak enak badan.
Di waktu rombongan pengangkut padi datang kebetulan Ni Sewagati sedang nyanyi-nyanyi kecil, dengan tembang malat, tentang Galuh Rangkasari, sehingga terharu dan terpesonalah hati para anggota rombongan ketika mendengarnya, lebih-lebih setelah sekilas mereka dapat melihat wajah sang gadis. Diantara anggota rombongan itu ada yang berbisik kepada I Mudalara, Saut Gede, siapa yang tidak bangga mempersunting gadis yang demikian ayu, lebih-lebih Gede, cocok sekali berpasangan dengannya. Mendengar pujian itu I Mudalara sangat bangga, sambil memutar-mutar kumisnya yang jarang, ia menjawab, "Wah jangan khawatir kawan, kini tinggal menunggu/menentukan waktunya saja. Pokoknya semua beres. Kalian tahu berapa kerbau harus dipotong, jangan dihitung babi, apalagi ayam. Tari-tarian untuk menambah meriahnya pesta pernikahan saya, kalian tinggal cari sendiri, berapa saja kemauan kalian, saya tanggung semua. Semua kawan-kawannya bertepuk tangan gembira.
Melihat suasana yang demikian, I Mudalara seolah-olah seperti di rumah sendiri, terhadap ibu-bapaknya. Ni Sewagati, bukan main sakit hatinya. Ia sangat menyesal kelakuan orang tuanya, yang hanya menilai dari sudut harta saja, yang sama sekali tidak memberi kesempatan kepada anaknya untuk menentukan sendiri pilihannya. Mengapa nasibku jadi begini, demikianlah Ni Sewagati menyesali nasibnya. Sedang ia termenung-menung ibunya datang terus menegur. Nak mengapa kau acuh tak acuh terhadap kakakmu Gede Mudalara. Bukankah ia telah membantu kita dalam mengangkut padi dan lain sebagainya? Sungguh ibu malu sekali, terutama terhadap teman-temanya. Mengapa anak seolah-olah tidak menghargai orang tua lagi ?
Ni Sewagati menjawab tegas. "Oh ibu, dalam hal ini janganlah ibu dan ayah salah terima. Bukan karena ananda berani dan mendurhakai terhadap orang tua, sama sekali tidak. Bu Janganlah ibu menganggap anak anda silau akan kekayaan I Mudalara. Sekali-kali tidak, bu. Biarlah ibu saja yang ngiler terhadap sawah ladang berpuluh hektar dan silau terhadap ringgitnya I Mudalara. Janganlah anak anda diturut sertakan." Ibunya tidak berani melanjutkan perkacapannya lagi, karena selain takut didengar tamu, juga jangan-jangan anaknya nanti bisa lari tak menentu. Ibunya beranggapan, anaknya lambat-laun pasti dapat ditundukkan.
Sehabis makan minum, setelah padi semua masak lumbung, I Mudalara beserta teman-temannya pamit. Di jalan waktu pulang tak habis-habisnya teman-temannya memuji kecantikan Ni Sewagati, dan membayangkan kebahagian I Mudalara nanti di samping istri yang demikian ayu. I Mudalara semakin bangga akan dirinya. Ingin ia memperpendek waktu yang sebulan menjadi sehari. Ia selalu membayangkan kebahagiaannya nanti dengan Ni Sewagati. Ia nanti hanya sebagai tukang hitung-hitung ringgit saja dari hasil sawah ladang, katanya kepada kawan-kawannya yang memang sangat pandai memuji-muji I Mudalara.
Waktu berjalan-jalan I Ratna Semara tahu, bahwa tambatan hatinya dalam keadaan bahaya. Ia selalu gelisah, apa yang harus dibuatnya. Kebetulan di suatu sore dimana Ni Sewagati biasa mandi dan mengambil air, I Ratna Semara dapat bertemu. Kebetulan pula pada sore itu di sungai tidak ada orang lain yang mandi. Maka kesempatan yang baik inilah digunakan oleh I Ratna Semara, "Oh adik Ketut, mungkin sekali ini saja ada kesempatan kakak bertemu langsung dengan adik. Karena sempitnya waktu dan takut diketahui orang, kakak tidak banyak bercakap dengan adik. Kakak tahu adik telah ada yang meminang. Pinangan itu menurut berita yang kakak terima telah diterima pula dengan baik oleh ayah bundamu."
"Demi kebahagiaanmu, turutilah kehendak orang tuamu, Biarlah kakak menderita perasaan sendiri!" Belum lagi selesai I Ratna Semara melanjutkan kata-katanya sudah keburu dijawab oleh Ni Sewagati. "Oh kakak, mengapa kakak sampai hati berkata demikian. Apakah kakak tidak percaya ketulusan hati adik? Apakah kakak kira adik gembira dengan peristiwa ini!" "Oh kakak kalau memang kakak menyayangi adik, bawalah adik lari. Kalau tidak, lebih baik adik mati dari pada bersanding dengan manusia semacam I Mudalara." Maka akhirnya mufakatlah dua sejoli itu untuk kawin lari, dan ditentukan pula malam kawin lari itu (negerangkat).
Setelah selesai ketentuan-ketentuan yang dipermufakatan, segeralah dua sejoli itu berpisah untuk menghindari jangan sampai bocor. Masing-masing dengan khayalannya sendiri. Orang tuanya sama kecil tidak menyadari bahwa anaknya telah memadu janji untuk kawin lari. Khayalannya tetap meyakinkan mempunyai menantu kaya ialah I Mudalara. Maka sampailah kini malam yang telah ditentukan I Ratna Semara dengan beberapa teman setianya mengendap-endap dalam kegelapan malam masuk dengan sangat hati-hati dipekarangan Jero Dukuh. Demikian hati-hatinya sehingga anjing pun tidak menggonggong.
Setelah dapat mendekati kamar Ni Sewagati, kemudian dibunyikan kode yang telah ditentukan, maka didoronglah pintu kamarnya dan Ni Sewagati telah siap. Maka diambillah tangan kiri Ni Sewagati oleh I Ratna Semara, terus dituntutnya keluar. Kendatipun hal ini telah menjadi keputusan, namun Ni Sewagati dengan sifat kewanitaannya, waktu tangannya diambil, juga mengadakan perlawanan ringan seolah-olah beratlah meninggalkan orang tua yang dicintainya. Perlawanan ini tidaklah berlaku lama karena lekas sadar, dimana hutang janji tidak mungkin bisa diganti dengan benda lain, melainkan harus dibayar dengan budi atau ketaatan. Akhirnya keluarlah mereka dengan berhati-hati sekali, sehingga selamat sampailah mereka di rumah pihak si laki dan disambut oleh orang tua si laki dengan beberapa angota keluarga.
Besok paginya ributlah dirumah Jero Dukuh dengan hilangnya Ni Sewagati. Sedang suasana sedih, datanglah pejati (utusan) dari phak keluarga I Ratna Semara dengan penuh hormat menyampaikan kepada Jero Dukuh. "Mohon maaf Jero Dukuh, saya utusan dari I Ratna Semara untuk menyampaikan bahwa ni Ketut Sewagati anak Jero Dukuh telah kawin dengan dasar saling cinta-mencintai. Demikianlah agar Jero Dukuh menjadi maklum." Baru Jero Dukuh menerima laporan utusan itu, sedikit agak marah dengan berkata tegas, "Ih Gede utusan I Ratna Semara, berarti Gede turut membantu I Ratna Semara. Membuat aku malu bukan main. "Di manakah anakku sekarang? Aku ingin langsung bertemu dengan anakku. Apakah memang karena cinta atau dipaksa." Menjawab sang utusan. "Kalau memang Jero Dukuh ingin tahu silahkan datang, kami siap menunggu.
Kemudian tidak lama siaplah Jero Dukuh berangkat dengan rombongan. Tapi sayang Perbekel (Kepala Desa) untuk ajeg-ajeg (saksi) menemui pengantin tidak ada karena kebetulan pergi. Maka untuk penggantinya agar bisa jalan digunakan Pemangku (Pimpinan Upacara dalam pura). Setelah sampai di tempat pengantin, diadakan janji-janji menurut adat antara lain; tidak membawa senjata tajam. Kemudian ditemuilah penganten perempuan dengan ayah ibunya. Dan dengan segara dimulai pembicaraan oleh Jero Dukuh. "Anakku Sewagati, ayah datang dengan maksud ingin tahu secara kenyataan, karena kamu kawin secara tidak wajar, yaitu kawin lari. Apakah hal ini memang kehendakmu?"
Menjawab Ni Sewagati dengan hormat, "Maafkanlah anak anda ayah, Kepergian anak anda ini memang atas kemauan anak anda, sama sekali tidak dengan paksaan." Belum lagi selesai Ni Sewagati menjawab pertanyaan ayahnya,ibunya yang tidak bisa menahan emosi, dengan tidak memperdulikan yang lain, berkatalah ibunya dengan lantang, "Kamu Sewagati, yang membuat malu ibu bapakmu, karena dengan ulahmu ini, kamu seolah-olah menyeret ibu bapakmu ke jalan umum."
"Oh ibu berikan anak anda ampun, ibu. Bukankah maksud anak anda mempermalu ibu maupun bapak, sama sekali tidak. Ibarat benang yang putih, kadung telah tercelup menjadi hijau, tidak mungkin bisa dibuat putih lagi, bu. Maafkanlah segala kesalahan anak anda, bu. Karena sudah tidak mungkin anak anda untuk diboyong kembali." Maka berkatalah Jero Dukuh, "Siapakah orang tua dari I Ratna Semara?" Menjawab ayah I Ratna Semara, "Saya Jero Dukuh."
"Kalau demikian saya telah puas, tetapi anak saya, saya jual dengan harga 1.000 ringgit tidak boleh kurang, dan harus dibayar sekarang juga, dan dengan demikian berarti persoalan selesai." Demikianlah penjelasan Jero Dukuh. Orang tua I Ratna Semara dengan gembira membayar tuntutan Jero Dukuh yang memang uangnya telah dipersiapkan lebih dulu, karena sudah diramalkan yakin demikianlah nanti jadinya. Setelah uang dihitung dan memenuhi yang ditentukan kembalilah rombongan Jero Dukuh dengan lesu dan kecewa. Setelah berita ini sampai pada I Gede Mudalara, bukan main kecewanya. Ia bukan main marahnya. Ingin mengamuk dan sebagainya. Tetapi untunglah kawan-kawannya dengan susah payah dapat meredakan. Yang lain membenarkan tindakan Ni Sewagati dengan I Ratna Semara sebagai protes terhadap kawin paksa.
Akhirnya berbahagialah kedua sejoli itu, kendatipun proses perkawinan itu melalui jalan yang kurang wajar, tetapi cukup membuat pukulan terhadap orang tua yang masih kolot, dan hanya memandang harta saja.
Sumber : Bunga Rampai Ceritera Rakyat Bali oleh Ida Bagus Sjiwa & A.A. Gde Geria