×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

Upacara Keagamaan

Nangluk Mrana

Tanggal 06 Oct 2014 oleh Oase .

Nilai-nilai budaya nenek moyang yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Gianyar di Bali salah satunya melalui Upacara Nangluk Mrana (upacara membendung hama dan penyakit) yang berlangsung di Desa Lebih, Desa Pantai, 6 km di Selatan Pusat Kota Gianyar, kurang lebih 34 km dari Denpasar.

Gangguan penyakit (mrana) dipercaya datang dari Laut Selatan, dapat juga merupakan kutukan dari Betara Gunung Batur. Untuk mengantisipasi timbulnya hama dan penyakit pada tumbuhan, hewan, dan manusia, penduduk harus melaksanakan upacara untuk ‘tolak bala’ dan memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wase agar memperoleh keselamatan hidup dengan melakukan “buta yadnya”.

Upacara Nangluk Mrana diselenggarakan secara turun-temurun pada hari tilem ke enam (menurut penanggalan Bali) atau setiap bulan Desember. Upacara Nangluk Mrana bermaksud untuk memohon keselamatan dan kesuburan tanah pertanian. Sebelum diselenggarakan Upacara Nangluk Mrana, tahap-tahap yang dilakukan adalah:

- Upacara Pakeling ke Luhur

Meminta izin kepada Sang Hyang Widhi Wase agar upacara dapat berjalan dengan lancar.

- Upacara Negteg

Menyucikan bahan-bahan yang akan digunakan dalam upacara.

- Upacara Nyikut Karang

Dipimpin oleh Pemangku untuk memohon keselamatan karena di tepi pantai akan dibuat bangunan darurat untuk tempat sesajen.

- Upacara Nyuci (Nyamuh)

Persiapan sesajen untuk Betara Suci dan Betara Saraswati agar diberi keselamatan dalam pembuatan sesajen.

Metanding

Proses perangkaian bahan-bahan untuk keperluan upacara.

Metanding Caru

Penyembelihan ayam, itik, dan babi untuk memohon keselamatan kepada Sang Hyang Widhi Wase.

Pada hari tilem sasih ke enam, para nelayan akan membawa sesajen dari Pura Segara ke tempat upacara di Pantai Lebih. Masyarakat yang hendak mengikuti upacara melakukan persembahyangan ‘matur piuning’ di Pura Keluarga (pemerajan), tempat bersemayamnya Betara Kawitan (roh yang telah disucikan). Masyarakat Bali percaya bahwa arwah leluhur harus diberi penghormatan terlebih dahulu sebelum melakukan penghormatan di tempat lain. Usai bersembahyang, masyarakat akan berjalan dan berkumpul di pantai.

Upacara Nangluk Mrana pun dimulai. Pemangku akan mempersembahkan hewan kurban yang terdiri atas ayam lima warna. Tiap hewan kurban tersebut akan dilengkapi dengan berbagai sesajen dan ditempatkan pada lima penjuru mata angin yaitu timur, selatan, barat, utara dan tengah. Diawali dengan pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi Wase agar diperkenankan melaksanakan Upacara Mecaru, dilanjutkan persembahan kurban pada Butha Kala. Gamelan dan bunyi-bunyian lainnya mengiringi caru yang dibawa berkeliling tempat upacara untuk diaduk-aduk, memiliki makna simbolik untuk mengusir pengaruh buruk dari Betara Khala.

Pemujaan dilakukan oleh Pedanda dengan peletakan Banten; Banten untuk Betara Surya diletakkan di Sanggar Surya, Banten Pakeleman, Pesoroan dan Banten lainnya yang ditujukan ke laut diletakkan di Bale Panggungan. Pedanda kemudian memuja dan mempersembahkan banten tersebut kepada Sang Hyang Widhi Wase. Selesai pemujaan, sesajen akan disucikan oleh tukang banten dan beberapa wanita dengan cara memercikkan air suci.

Peserta upacara diminta untuk ‘ngaturang bakti’, melakukan sembahyang dipimpin oleh Pedanda, kemudian dilaksanakan upacara Pedanaan dipimpin oleh Bupati dengan menyebarkan sesajen kepada khalayak untuk diperebutkan. Sebagai penutup Upacara Nangluk Mrana, dilakukan Upacara Pekelem ke laut dengan mempersembahkan kurban berupa bebek hitam dalam kondisi hidup dan banten pekelem. Sesajen ditengggelamkan ke laut dengan menggunakan jukung (sampan).

Kiwa tengen mula matunggalan” artinya ‘kiri kanan memang bersatu’, merupakan ungkapan yang dipercaya oleh masyarakat Bali bahwa untuk mencapai hasil yang baik, kaum laki-laki dan perempuan harus saling bekerja sama agar terbebas dari serangan hama dan penyakit.

 

Sumber: http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1706/upacara-nangluk-mrana

DISKUSI


TERBARU


Ulos Jugia

Oleh Zendratoteam | 14 Dec 2024.
Ulos

ULOS JUGIA Ulos Jugia disebut juga sebagai " Ulos na so ra pipot " atau pinunsaan. Biasanya adalah ulos "Homitan" yang disimp...

Tradisi Sekaten...

Oleh Journalaksa | 29 Oct 2024.
Tradisi Sekaten Surakarta

Masyarakat merupakan kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia saling terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyar...

Seni Tari di Ci...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Seni Tari Banyumasan

Seni tari merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Cilacap. Tari-tarian tradisional yang ber...

Wayang Banyumas...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Wayang Banyumasan

Wayang merupakan salah satu warisan budaya tak benda Indonesia yang memiliki akar dalam sejarah dan tradisi Jawa. Sebagai seni pertunjukan, wayang te...

Ekspresi Muda K...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Ekspresi Muda Kota

Perkembangan teknologi yang semakin pesat tidak hanya ditemui pada bidang informasi, komunikasi, transportasi, konstruksi, pendidikan, atau kesehatan...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...