Hingga kini sejarah asal usul suku Batak sangat sulit untuk ditelusuri dikarenakan minimnya situs peninggalan sejarah yang menceritakan tentang suku Batak.
Dengan mengutip dari berbagai sumber termasuk tulisan diberbagai blog dan juga buku2 yang menulis tentang Batak, secara sederhana dikatakan bahwa suku Batak adalah salah satu dari ratusan suku yang terdapat di Indonesia, suku Batak terdapat di wilayah Sumatera Utara.
Menurut legenda yang dipercayai sebahagian masyarakat Batak bahwa suku Batak berasal dari Pusuk Buhit daerah Sianjur Mula Mula sebelah barat Pangururan di pinggiran danau Toba.
Ada sejumlah versi yang mencoba menelusuri asal usul si Raja Batak ini. Berdasarkan mitologi seperti yang ditulis oleh W.M. Hutagalung, dalam bukunya: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (1926), bahwa si Raja Batak merupakan keturunan dari Raja Ihatmanisia yang merupakan anak dari Si Borudeak Parujar dalam perkawinannya dengan Raja Odapodap dari Langit Ketujuh.
Berbagai tulisan maupun buku-buku “Sejarah Batak” lainnya menyebutkan bahwa Si Raja Batak berasal dari Hindia Belakang dan membuka kampung di Sianjur Mulamula.
Walaupun ada versi-versi asal-usul lain, tetapi pada dasarnya si Raja Batak sampai di Sianjur Mulamula yang disebut merupakan kampung awal Bangsa Batak (2015:1-11).
Para penulis “Sejarah Batak” tadi menyebutkan bahwa keturunan si Raja Batak pergi menyebar dan membentuk bangsa Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Secara khusus, W.M. Hutagalung (1926) menulis tarombo di mana marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing merupakan keturunan si Raja Batak dari marga-marga Toba.
Dengan demikian, selain keturunan si Raja Batak, maka seluruh marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing itu adalah keturunan Batak Toba juga yang kesemuanya merupakan Bangso Batak.
Sebelum W.M. Hutagalung menulis bukunya, maka konon kabarnya sudah ada dibuat tarombo Si Raja Batak dalam bentuk lukisan yang konon juga kabarnya ditemukan di dalam disertasi Ronvilk sebagai lampiran.
Memang masih ada buku-buku yang menguraikan tentang marga-marga bahkan ada yang memasukkan Nias sebagai sub-etnik Batak. Akan tetapi, buku W.M. Hutagalung (1926) yang paling menarik, karena paling laris manis, sehingga paling banyak dibaca oleh masyarakat dan tentulah dapat diperkirakan
Selain itu, ada versi ahli sejarah Batak mengatakan bahwa si Raja Batak dan rombonganya berasal dari Thailand yang menyeberang ke Sumatera melalui Semenanjung Malaysia dan akhirnya sampai ke Sianjur Mula mula dan menetap di sana.
Sedangkan dari prasasti yang ditemukan di Portibi yg bertahun 1208 dan dibaca oleh Prof. Nilakantisari seorang Guru Besar ahli Kepurbakalaan yang berasal dari Madras, India menjelaskan bahwa pada tahun 1024 kerajaan Cola dari India menyerang Sriwijaya dan menguasai daerah Barus.
Pasukan dari kerajaan Cola kemunggkinan adalah orang-orang Tamil karena ditemukan sekitar 1500 orang Tamil yang bermukim di Barus pada masa itu.Tamil adalah nama salah satu suku yang terdapat di India.
si Raja Batak diperkirakan hidup pada tahun 1200 (awal abad ke13) Raja Sisingamangaraja ke-XII diperkirakan keturunan si Raja Batak generasi ke-19 yang wafat pada tahun 1907 dan anaknya si Raja Buntal adalah generasi ke-20.
Dari temuan tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa kemungkinan besar leluhur dari si Raja Batak adalah seorang pejabat atau pejuang kerajaan Sriwijaya yg berkedudukan di Barus karena pada abad ke12 yang menguasai seluruh Nusantara adalah kerajaan Sriwijaya di Palembang.
Akibat dari penyerangan kerajaan Cole ini maka diperkirakan leluhur si Raja Batak dan rombonganya terdesak hingga ke daerah Portibi sebelah selatan Danau Toba dan dari sinilah kemungkinan yang dinamakan si Raja Batak mulai memegang tampuk pemimpin perang.
Boleh dikatakan setelah berkedudukan di situ, si Raja Batak memperluas daerah kekuasaan perangnya sampai mancakup daerah sekitar Danau Toba, Simalungun, Tanah Karo, Dairi sampai sebahagian daerah Aceh dan memindahkan pusat kekuasaanya sidaerah Portibi disebelah selatan Danau Toba.
Pada akhir abad ke12 sekitar tahun 1275 kerajaan Majapahit menyerang kerajaan Sriwijaya sampai ke daerah Pane, Haru, Padang Lawas dan sekitarnya yang diperkirakan termasuk daerah kekuasaan si Raja Batak.
Serangan dari kerajaan Majapahit inilah diperkirakan yang mengakibatkan si Raja Batak dan rombonganya terdesak hingga masuk ke pedalaman di sebelah barat Pangururan di tepian Danau Toba. Daerah tersebut bernama Sianjur Mula Mula di kaki bukit yang bernama Pusuk Buhit, kemudian menghuni daerah tersebut bersama rombonganya.
Sebutan Raja kepada si Raja Batak bukanlah karena beliau seorang Raja, tetapi merupakan sebutan dari pengikutnya ataupun keturunanya sebagai penghormatan karena memang tidak ada ditemukan bukti2 yang menunjukkan adanya sebuah kerajaan yang dinamakan kerajaan Batak.
Suku Batak sangat menghormati leluhurnya sehingga hampir semua leluhur marga2 Batak diberi gelar Raja sebagai gelar penghormatan.
Selanjutnya, juga makam-makam para leluhur orang Batak dibangun sedemikian rupa oleh keturunanya dan dibuatkan tugu yang bisa menghabiskan biaya milyaran rupiah.
Tugu ini dimaksudkan selain penghormatan terhadap leluhur juga untuk mengingatkan generasi muda akan silsilah mereka.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja