Adat Mantu Kucing,
Tradisi Kuno Dari Desa Kemendung
Kemajuan teknologi ternyata belum sepenuhnya mampu menggusur adat tradisi. Terbukti, ketika teknologi sudah mampu mendatangkan hujan melalui awan buatan, toh masih ada sekelompok masyarakat di Desa Kemendung, Kecamatan Muncar, Banyuwangi, yang masih percaya bahwa untuk mendatangkan hujan cukup dengan menggelar adat tradisi Mantu Kucing.
Dibandingkan dengan beberapa waktu silam, saat ini memang tidak terlalu banyak masyarakat, termasuk di Desa Kemendung sendiri, yang percaya bahwa hujan akan segera tercurah dari langit begitu digelar adat mantu kucing. Sebagian dari mereka (yang tidak percaya) itu, menganggap bahwa adat tradisi semacam itu hanyalah sebuah tradisi yang bersumber dari kepercayaan kuno.
Pendapat mereka itu bisa jadi memang benar. Sebab, bagaimanapun pola berpikir mereka telah berubah total karena adanya pengaruh-pengaruh budaya global yang senantiasa menyuguhkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun demikian, sebagai bangsa timur kita tidak mungkin menafikan begitu saja warisan nenek moyang, yang bila kita kaji lebih dalam dan cermat, ternyata banyak mengandung berbagai kearifan lokal. Benarkah?
Mantu kucing adalah sebuah adat tradisi yang digelar khusus dalam rangka meminta hujan. Biasanya adat tradisi seperti ini digelar bila terjadi musim kemarau yang berkepanjangan. Menurut data yang ada, satu-satunya komunitas masyarakat yang hingga saat ini masih tetap mempertahankan ritual minta hujan ini adalah masyarakat di Desa Kemendung, Kecamatan Muncar. Adalah beberapa tokoh masyarakat dan sesepuh adat seperti Mbah Ran, Pak Masuni, Pak Sapi’i, Irsad serta keterlibatan hampir seluruh masyarakat Desa Kemendung lah yang membuat adat tradisi ini masih tetap bertahan hingga sekarang.
Secara essential, tradisi ini sebenarnya merupakan bentuk lain dari ikhtiar masyarakat untuk “melawan” terjadinya salah mongso, dengan memanfaatkan simbol-simbol yang dalam kebiasaan kuno di-tabu-kan seperti memandikan kucing misalnya. Menurut kepercayaan orang-orang kuno, konon bila kita memandikan kucing, maka akan terjadi hujan yang sangat lebat.
Seperti yang pernah digelar khusus di anjungan Jawa Timur, Taman Mini Indonesia Indah beberapa waktu lalu, secara kronologis prosesi adat mantu kucing ini seperti juga layaknya orang hajatan ngunduh mantu. Ada sepasang kucing jantan dan betina yang akan dikawinkan, ada Mbah Ran yang bertindak sebagai modin atau penghulu, dan ada Pak Irsad yang bertindak sebagai Jogotirto.
Prosesi perkawinan dua ekor kucing tersebut diawali dengan masuknya iring-iringan para pengantar “pengantin” betina. Setelah calon pengantin betina diterima oleh modin, sesaat kemudian menyusul masuk rombongan pengantar dari pihak “pengantin” jantan. Sebelum dikawinkan, masing-masing betina dan jantan dimandikan lebih dulu oleh Mbah Ran yang dibantu Jogotirto. Setelah itu, barulah Mbah Ran memulai tugasnya mengawinkan kedua ekor binatang piaraan itu.
Terlepas dari apakah adat tradisi tersebut benar-benar mampu menurunkan hujan atau tidak, yang jelas, tradisi tersebut telah terjadi secara turun-temurun sejak zamannya nenek moyang dulu. Kalaupun tradisi itu sudah tidak “manjur” lagi untuk mendatangkan hujan, barangkali karena alam dan kehidupan ini sudah jauh berubah. Atau mungkin juga karena “kadar kepercayaan” masyarakat terhadap kemanjuran tradisi ini sudah sangat tipis.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja