Upacara mayat berjalan di Tana Toraja yang sekaligus menjadi budaya tersebut dikenal dengan nama Ma'Nene. Upacara adat tersebut dilakukan dalam rangka mengganti pakaian mayat para leluhur. Terbilang unik dan khas, mengingat ritual Ma'nene dilakukan khusus oleh masyarakat Baruppu, di pedalaman Toraja Utara. Ritual Ma'nene dilakukan setiap tiga tahun sekali dan biasanya dilakukan pada bulan Agustus.
Hal tersebut mengingat upacara Ma'Nene hanya boleh dilaksanakan setelah musim panen yakni yang jatuh pada bulan Agustus. Masyarakat adat Toraja percaya jika ritual Ma' Nene tidak dilakukan sebelum masa panen, maka akan sawah-sawah dan ladang mereka akan mengalami kerusakan dengan banyaknya tikus dan ulat yang datang tiba-tiba.
Prosesi Ma'Nene itu sendiri diawali dengan mengunjungi lokasi tempat dimakamkan para leluhur masyarakat setempat yakni di pekuburan Patane di Lembang Paton, Kecamatan Sariale, ibu kota Kabupaten Toraja Utara, seperti yang dilansir dari kebudayaan.kemdikbud.go.id, Rabu (3/7/2014). Sebelum dibuka dan diangkat dari peti, para tetua yang biasa dikenal dengan nama Ne' Tomina Lumba, membacakan doa dalam bahasa Toraja Kuno. Setelah itu, mayat tersebut diangkat dan mulai dibersihkan dari atas kepala hingga ujung kaki dengan menggunakan kuas atau kain bersih. Setelah itu, barulah mayat tersebut dipakaikan baju yang baru dan kemudian kembali dibaringkan di dalam peti tadi.
Selama prosesi tersebut, sebagian kaum lelaki membentuk lingkaran menyanyikan lagu dan tarian yang melambangkan kesedihan. Lagu dan gerak tarian tersebut guna untuk menyemangati para keluarga yang ditinggalkan. Lebih lanjut, tradisi Ma' ene erat kaitannya dengan konsep hidup masyarakat Toraja bahwa leluhurnya yang suci berasal dari langit dan bumi. Sehingga tak semestinya orang yang meninggal dunia, jasadnya dikuburkan dalam tanah. Bagi mereka hal itu akan merusak kesucian bumi yang berakibat pada kesuburan bumi.
Hal ini dapat dilihat dari pemaknaan masyarakat Tana Toraja sebagai pelaku budaya terhadap ritual Ma’Nene, yaitu bahwa masyarakat adat Toraja percaya jika ritual Ma’nene tidak dilakukan sebelum masa panen, maka sawah-sawah dan ladang mereka akan mengalami kerusakan dengan banyaknya tikus dan ulat yang datang tiba-tiba. Simbol mengkomunikasikan sesuatu yang disepakati bersama, makna berisi penilaian-penilaian pelaku yang ada dalam kebudayaan tersebut. Dengan mengikuti ritual Ma’Nene ini diartikan sebagai simbol keakraban antara manusia mati dan manusia hidup sekaligus sebagai wadah penyampai kerinduan kepada para leluhur atau kerabat dan keluarga yang telah meninggal dan memperkenalkan leluhur kepada anak, cucu dan cicit yang tidak sempat melihat para leluhurnya ketika mereka masih hidup.
Banyak cerita bisa diperoleh dari peti-peti itu juga, misalnya warna kain pembungkus jasad, ada yang polos, bermotif, tapi yang dominan adalah warna merah polos. Dalam penggunaan kain, merah menempati status sosial tertinggi. Untuk bisa menggunakan kain merah polos, keluarga harus memotong minimal tujuh ekor kerbau saat upacara rambu solo atau upacara pemakaman. Yunus Lumbaa (pemimpin ritual) memberi contoh yaitu Saat orang tua Thomas Seba, 69 tahun, wafat pada 1960, keluarganya belum mampu sehingga hanya memotong seekor kerbau.
Mereka tak berhak menggunakan kain merah sebagai pembungkus jasad. Baru pada 1981, ketika Thomas yang merantau ke Papua sudah punya uang, ia mengorbankan delapan ekor kerbau untuk orang tuanya. Dengan kata lain, jasad orang tuanya sudah berhak mengenakan kain merah polos. Kini aturan soal kain itu sudah tak terlampau ketat lagi karena jenis kain yang tampak sudah beraneka ragam : ada pakaian bekas, sarung, seprai, bahkan karung terigu.
Agar semua warga bisa melihat, mumi perempuan tua ini juga dipegang oleh keluarga dalam keadaan berdiri. Ia terlihat masih sangat utuh, bahkan hingga ke wajah. Drama itu pun terulang kembali, dari suasana gembira dan tertawa-tawa hingga ke tangisan menyayat yang dilakukan keras-keras.
Kepala Lembang Bululangkan, E Ungke Toding Allo, 40 tahun, mengatakan sorak-sorai itu terjadi karena keluarga gembira menemukan jasad yang masih utuh dan bisa dikenali. ”Kondisi jasad yang utuh itu kebanggaan bagi keluarga yang ditinggal,” katanya. Adapun suasana haru dan sedih yang menyusulnya adalah pertanda para keluarga mengenang kehidupan tubuh-tubuh yang mati itu kala masih bersama mereka. Demikian analisis penulis mengenai ritual Ma’Nene ini berdasarkan teori Tafsir Kebudayaan.
Sumber : Artikel Budaya dan Komunikasi
#OSKMITB2018
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja