Tenggarong (ANTARA News Kaltim) - Apa jadinya jika seorang warga yang logat Jawanya masih kental (medok) tapi "bemamai" (ngomel-ngomel) dengan nada tinggi 'pake' Bahasa Kutai ? 

Kesan pertama, baik bagi yang memahami sedikit Bahasa Kutai ataupun tidak samasekali akan menggelitik "sense of humor" karena terdengar aneh dan lucu.

"Lopat leh awak ni, jadi kanak bini pembayut beneh, ndik ndak sama sekali bantu emek betepas atau masak, malah pacaran terus. Mun awak gini terus, kanak laki mana yang endak dengan awak, Tanya aja ke penonton, siapa yang endak dengan awak," tutur ibu peserta itu sambil berkacak pinggang dan sekali-kali telunjuk tangan kanannya menuding si anak.

Artinya kira-kira demikian, "Astaga kamu ini, jadi perempuan tapi betul-betul pemalas, sama sekali tidak mau bantu mama mencuci atau memasak, malah pacaran terus. Kalau kamu begini terus, laki-laki mana yang mau dengan kamu. Tanya saja ke penonton, siapa yang mau sama kamu"." 

Mendengar pertanyaan ibu peserta tersebut, kontan saja para penonton dari kelompok pemuda langsung serentak mengacungkan tangan mereka dan berkata, "Saya mbok, saya, saya endak (Saya tante, saya, saya mau)," Jawaban penonoton ini tentu saja semakin membawa suasana tontotan bergaya humor itu semakin meriah. 

Apalagi anak gadis yang diomeli oleh ibunya tersebut memiliki paras yang cantik.

Itulah yang terjadi pada lomba "bemamai" yang digelar oleh panitia pada pesta adat atau festival budaya Erau 2012.

Sejumlah peserta dengan penuh percaya diri maju ke pentas baik kaum ibu-ibu maupun bapak-bapak. 

Sejumlah peserta dengan Bahasa Kutai yang lancar memperlihatkan kemampuan dalam menyusun kata-kata "bemamai" namun tidak mampu menutupi logat aslinya, misalnya logat Jawa dan Bugis.

Ternyata, peserta warga Kutai "Aspal" (asli tapi palsu) itu yang justru mendapat perhatian karena kelucuan logatnya tersebut.

Bemamai adalah bagian dari rangkaian acara Erau, 1-8 Juli 2012.

Bemamai adalah bahasa dari Suku Kutai, jika di Indonesiakan maka artinya adalah mengomel yang mengandung unsur marah, namun juga mengandung unsur nasehat.

Keanekaragaman Budaya

Bagi masyarakat lokal setempat, justru kehadiran "warga pendatang" yang berpartisipasi dalam lomba itu merupakan kehormatan karena ternyata mereka sudah mampu membaur dengan baik terbukti bisa menggunakan Bahasa Kutai meskipun logatnya "berlepotan".

Ketua Panitia Lomba Memamai Erau 2012, Triardi Yunarso mengatakan bahwa salah satu tujuan dari lomba itu untuk kian mempererat tali persaudaraan di daerah tersebut.

"Ini menggambarkan warna keanekaragaman sosial dan budaya di Kutai yang kita munculkan pada Erau ini," papar pria yang mengaku asli Jawa namun sudah jadi "orang Kutai" karena sudah lama menetap di salah satu kabupaten terkaya di Indonesia itu.

Tujuan lain dari lomba itu, yakni memberikan pemahaman kepada generasi muda bahwa ada nilai-nilai luhur di balik sikap orangtua saat mengomel anaknya itu.

Dia sudah akrab dengan adat dan budaya Kutai, bahkan hampir setiap hari dia mendengar orang "bemamai".

Dia tidak menyalahkan jika ada penonton yang menyindir 'ngomel `kok` dilombakan". Pernyataan itu dinilai wajar karena orang tersebut tidak mengerti makna yang terkandung dalam Lomba Bemamai ini.

Lomba ini, katanya, bukan ngomel sembarang ngomel, tapi ngomel yang mengandung nilai edukasi (pendidikan), sebab obyek yang dimarahi adalah mereka yang memiliki kesalahan, sehingga dalam omelan yang diekspresikan mengandung nasehat dan pendidikan agar kesalahan yang sama tidak terulang.

Dia mencontohkan, jika ada anak pelajar yang tugas utamanya harus belajar dan mengerjakan PR, namun ternyata anak tersebut lebih suka keluyuran dan ketika pulang justru lebih banyak nonton televisi, maka wajar saja jika seorang ibu kemudian mengomel dan menasehatinya.

"Begitu pula jika ada suami yang malas bekerja padahal itu merupakan tanggung jawab untuk menghidupi keluarga. Wajar kan jika istrinya ngomel dan menasehati suami untuk bertanggung jawab. Jadi yang dilombakan ini bukan sembarang ngomel, namun ngomel yang positif demi kemajuan bersama," kata Yunarso lagi.

Dari acara ini tampaknya tergambarkan keanekaragaman sosial dan budaya di wilayah Kutai yang berpenduduk sekitar 350.000 jiwa itu.

Dari penghelatan Bemamai itu agaknya bukan sekadar melukiskan upaya untuk melestarikan adat, budaya dan bahasa yang "tak lekang karena panas tapi tak lapuk karena hujan", namun juga melukiskan upaya menjalankan petuah leluhur "di mana langit dijunjung di situ bumi dipijak".  (*)