Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Papua Papua
Legenda Waso
- 28 Desember 2018

Waso adalah nama seseorang yang muncul di bumi Irian Jaya/Papua pada awal Masehi tanpa diketahui asal usulnya, baik orang tuanya maupun marganya. Oleh karena itu, kemunculannya dibicarakan orang-orang tua di daerah Jayapura, khususnya di Kecamatan Sawoi, Kecamatan Nimboron, dan Kecamatan Sentani. Pembicaraan mengenai Waso makin hari makin menyebar luas sampai ke daerah Kemtuk Gresi, Bring, dan Yansu Waso, memiliki tiga nama, yaitu Waso Meduu, Waso Kinta, dan Waso Kwalp dem Yakop.

Kedatangan Waso di daerah Kemtuk Gresi sangat mengejutkan masyarakat. Selain tidak diketahui asal usulnya, dia juga ingin mengubah adat kebiasaan masyarakat daerah Kemtuk Gresi.

Di daerah Kemtuk Gresi dan sekitarnya, Waso memperkenalkan kepercayaan baru yang dinamakan kepercayaan Wali Du (wali ayah). Dia menginginkan masyarakat Kemtuk Gresi dan sekitarnya yang semula percaya dan menyembah naga, binatang, dan pohon-pohon besar, berubah menyembuh Wali Du (Tuhan). Adat istiadat warisan nenek moyang yang telah melekat kuat di hati masyarakat susah digoyahkan. Akan tetapi, Waso terus berusaha dan yakin dapat mengubah kepercayaan serta adat istiadat mereka.

Setelah berhasil mengubah adat istiadat masyarakat daerah Kemtuk Gresi. Waso pergi ke daerah Bring membawa sebuah buku wasiat. Buku wasiat itu dapat digunakan untuk menjaga diri dan untuk menolong orang sakit. Waso mendapat banyak pengikut di daerah Bring. Semakin kepercayaan itu dilarang, semakin bertambah pengikutnya. Meskipun demikian, tidak seorang pun tahu dari mana asal usul kepercayaan yang dibawa Waso.

Masyarakat daerah Bring amat patuh adat kebiasaan yang berlaku. Setiap orang yang akan melakukan sesuatu harus mendapat persetujuan dari kepala adat atau kepala suku. Akan tetapi, Waso sering melakukan sesuatu yang diputuskannya sendiri dan tidak dimusyawarahkan dengan kepala adat atau kepala suku. Oleh karena itu, masyarakat daerah Bring banyak yang marah kepada Waso. Mereka menghukum Waso dengan melarang dia menginjak tanah daerah Bring. Selain itu, mereka juga melarang Waso mengembangkan kepercayaan Wali Du.

Dengan berat hati Waso, meninggalkan daerah Bring, menuju daearah Yansu. Masyarakat daerah Yansu lebih taat pada adat istiadat. Mereka masih menyembah binatang, pohon, dan matahari. Masyarakat juga beranggapan bahwa wanita adalah harta yang sangat tinggi nilainya. Permasalahan kecil tentang wanita dapat mengakibatkan pembunuhan. Nasib Waso di daerah Yansu lebih tidak menguntungkan jika dibandingkan ketika berada di daerah Kemtuk Gresi dan Bring. Di daerah Yansu, Waso tidak mendapat sambutan dari masyarakat, tetapi dia terus berusaha agar mendapat perhatian.

Pada suatu hari, ketika Waso sedang berjalan, dia bertemu dengan orang lumpu. Bagi Waso, pertemuan ini merupakan kesempatan yang sangat baik. Dia segera menggunakan buku wasiatnya untuk mengobati orang lumpuh itu. Waso mengobati orang lumpuh itu dengan memegang kakinya sambil membaca mantra. Seketika orang lumpuh itu bisa berjalan. Dengan senang hati orang lumpuh itu menyatakan akan mengikuti ajaran Waso, percaya kepada Wali Du. Waso amat senang dengan pernyataan yang diucapkan orang lumpuh itu.

Berita mengenai penyembuhan orang lumpuh itu tersebar luas. Banyak orang ingin berkenalan dengan Waso. Banyak juga anak kecil yang selalu mengikuti kemana Waso berjalan. Waso amat senang diikuti anak-anak kecil karena melalui merekalah ajarannya lebih mudah tersebar luas. Ajaran Waso bukan hanya tersebar di daerah Yansu, melainkan sampai ke daerah Bring. Banyak orang Bring mengikuti ajarannya. Hal itu menyebabkan orang-orang tua, seperti kepala adat, kepala kampung, dan pembantu kepala adat menjadi iri hati. Waso dipukul sampai babak belur agar ilmu yang dimilikinya hilang.

Dalam keadaan sakit, Waso pergi ke sebuah kebun. Dari dalam kebun itu terpencar sinar terang. Di dalamnya terlihat seorang putri yang sangat cantik sedang duduk di tonggak kayu. Waso terkejut dan berkata dalam hati bahwa putri cantik itu adalah putri Wali Du, bukan peri atau setan. Putri Wali Du itu bernama Su. Waso jatuh cinta kepada Su. Su juga cinta kepada Waso. Akhirnya, mereka bersepakat menjadi ssuami istri dan berniat meneruskan ajaran Wali Du sampai akhir hayat mereka.

Masyarakat Bring dan Yansu gempar setelah mendengar bahwa Waso memperoleh seorang putri di dalam sinar. Mereka mulai beranggapan bahwa Waso keturunan dewa yang turun ke bumi. 
   
Waso mengobati orang lumpuh dengan menggunakan buku wasiatnya. Ia memegang kaki orang itu sambil membaca mantra. Orang lumpuh itu seketika bisa berjalan. Kemudian, Waso pindah dari daerah Yansu ke daerah Nimboron karena akan dibunuh orang Yansu dan Bring. Di Nimboron, dia juga menyebarkan ajaranmya dan mendapat sambutan baik. Dia masih menyesal karena masyarakat Bring dan Yansu tidak mau menerima ajaran Wali Du. Oleh karena itu, dia kembali ke daerah Bring untuk mengajarkan dan yakinkan ajarannya kepada mereka. Masyarakat daerah Bring sebagian besar tetap tidak mau menerima ajaran Waso, Bahkan, keinginan untuk membunuh Waso masih tetap ada.

Pada suatu hari, ketika masyarakat daerah Bring sedang mengadakan rapat untuk membunuh Waso, tiba-tiba Waso muncul di situ. Mereka tersentak dan hilanglah keiginan untuk membunuh Waso. Ketika Waso pergi ke daerah Yansu untuk mengobati orang sakit, orang-orang tua itu berkumpul lagi membicarakan biat mereka dahulu untuk membunuh. Amarah mereka tidak dapat ditahan lagi. Akhirnya, Waso pun dibunuh dan dimakamkan  di Nusa Dum Tgok.

Keesokan harinya, makam Waso dipindahkan ke Si Kati Mabuun. Sebelum jenazahnya dikuburkan, luka-lukanya dikerumuni belalang, ular, jangkrik, dan lalat. Anehnya, ulat binatang-bintang itu berganti setelah mereka mengerumuni luka-luka di tubuh Waso.

Pada suatu malam, jenazah Waso dicuri tiga orang perempuan dan seorang laki-laki untuk dikuburkan di Dum Kwalp. Para pencuri itu mengganti isi kubur yang lama dengan batang pisang. Itulah sebabnya mengapa masyarakat Kemtuk Gresi tidak mau makan buah pisang. Pada suatu hari, Waso bangkit dari kubur dan pulang menjumpai istri dan anaknya. Anaknya mengetahui kedatangan ayahnya dari kejauhan dan memberi tahu ibunya. Ibunya pun keluar sambil menjelaskan kepada si anak bahwa ayahnya telah meninggal. Namun anaknya tetap menunjuk-nunjuk sehingga sang ibu mengetahui kalau suaminya kembali.

Su dan anaknya mendekati Waso. Akan tetapi, Waso tidak mau disentuh. Dia mengatakan bahwa sesungguhnya dia belum meninggal. Kedatangannya itu ingin menyampaikan kepada bangsa terkutuk serta mengatakan bahwa di tanah ini tidak seorang pun akan mendapat kebaikan. Setelah itu, Waso menghilang bersama awan. Istrinya mengantarkan kepulangan Waso dengan menyanyikan sebuah lagu. Setelah Waso, hilang berterbanganlah unggas di angkasa, semua binatang melata datang, bumi bergoncang, dan guntur menggelegar sehingga semua orang ketakutan.

Kesimpulan :
Cerita ini tergolong legenda. Makam Waso sampai sekarang dikeramatkan orang. Setiap orang yang ingin berkunjung ke makamnya harus mendapat persetujuan dari pemuka adat dan harus mematuhi peraturan yang ditetapkan. Cerita ini memberi pelajaran kepada kita agar kita tidak mudah putus asa meskipun banyak rintangan yang dihadapi.

 

 

Sumber : Cerita Rakyat Dari Irian Jaya oleh Muhammad Jaruki dan Mardiyanto

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline