Tanifal dalam bahasa Maluku berarti sebidang daratan berpasir putih halus. Menurut cerita masyarakat setempat, Tanifal yang terletak di sekitar Pantai Tifu atau Pulau Buru tersebut merupakan penjelmaan sepasang burung garuda raksasa. Apa yang menyebabkan sepasang burung garuda raksasa tersebut menjelma menjadi Tanifal? Ikuti kisahnya dalam cerita Legenda Tanifal di Palau Buru berikut ini!
* * *
Alkisah, di Pulau Buru, Maluku, tersebutlah sebuah negeri bernama Tifu. Tidak jauh dari negeri ini
terdapat sebuah gunung bernama Gunung Garuda. Bila dipandang dari pantai Tifu, gunung itu tampak berwarna kemerahmerahan. Di lereng gunung itu terdapat dua buah liang batu yang letaknya agak berjauhan. Kedua liang batu tersebut masingmasing dihuni oleh seekor burung elang jantan dan seekor elang betina. Kedua burung elang tersebut merupakan burung elang terbesar di Pulau Buru. Jika burung elang raksasa ini sedang mengembangkan sayapnya di angkasa, hampir sebagian Negeri Tifu menjadi gelap akibat tertutupi bayangannya.
Burung elang rakasa tersebut termasuk burung paling ganas di antara burung pemangsa lainnya.
Kukunya sangat runcing untuk menerkam dan mencengkram mangsa, serta memiliki keterampilan dan kecepatan yang tinggi dalam melumpuhkan mangsa. Burung elang rakasa itu juga memiliki bulu yang rapat dan tungkai yang bersisik tebal untuk melindungi tubuhnya dari sengatan binatang yang
dimangsanya. Keistimewaan lain yang dimiliki burung ini adalah kepala dan matanya besar serta daya penglihatannya sangat tajam untuk memburu mangsa dari jarak jauh sehingga tak satu pun mangsa yang bisa lolos dari pengamatannya. Burung elang rakasa itu juga memiliki kecepatan untuk terbang melayang tinggi ke angkasa. Ia juga mempunyai sistem pernafasan yang baik dan mampu membekali dirinya dengan oksigen yang banyak sehingga dapat terbang sepanjang hari di angkasa.
Sepasang burung elang tersebut biasanya terbang mencari mangsa pada siang hari, sedangkan pada
malam hari mereka beristirahat di sarangnya masingmasing Burung elang betina lebih giat mencari
mangsa dibandingkan dengan burung elang jantan. Jenis binatang yang biasa menjadi sasarannya adalah hewan mamalia kecil seperti tikus, tupai, dan ayam. Terkadang pula ikan dan udang menjadi mangsanya.
Jika mereka tidak mendapat mangsa binatang atau hewan, manusia pun bisa menjadi sasarannya. Meski demikian, mereka tidak mau memangsa manusia yang berada di sekitar tempat tinggalnya. Oleh karena itu, mereka selalu terbang jauh untuk mencari mangsa.
Kedua burung elang rakasa tersebut, terutama si elang betina, sering mengincar penumpang kapal yang melintas di perairan sekitar Pulau Buru. Jika melihat ada kapal yang melintas, elang betina dengan cepat terbang menuju ke kapal tersebut untuk menangkap para penumpangnya dan membawa mereka ke sarangnya. Sebagian mangsa tersebut langsung disantap dan sebagian yang lain disimpan selama beberapa hari sambil menunggu kedatangan kapal berikutnya. Manusia yang sering menjadi korbannya adalah pelautpelaut Cina yang melintas di daerah itu.
Berita tentang keganasan burung elang itu pun tersebar ke seluruh penjuru Negeri Cina. Sekelompok
nelayan yang mendengar berita tersebut bermaksud untuk menumpas keganasan kedua burung elang raksasa tersebut. Mereka akan menghadapi kedua elang itu dengan besi runcing atau tombak besi sepanjang tiga meter. Saat berada di perairan Tifu, mereka akan memanaskan ujung besi runcing itu hingga merah membara sebelum menusukkannya ke tubuh burung elang tersebut.
Setelah semuanya siap, berangkatlah rombongan nelayan Cina itu ke perairan Tifu dengan menggunakan kapal. Setelah berharihari berlayar, akhirnya mereka pun tiba di perairan Buru Selatan. Nahkoda kapal segera memerintahkan seluruh awak kapal yang jumlahnya puluhan lebih untuk bersiaga.
“Pasukan, siapkan senjata kalian!” seru sang nahkoda kapal, “Sebentar lagi burung elang raksasa itu
datang untuk menangkap kita.”
“Baik, Tuan,” jawab seluruh awak kapal serentak.
Para awak kapal segera mengambil senjata masingmasing lalu berkumpul di geladak kapal sambil
memanaskan ujung tombak besi mereka. Tak berapa lama kemudian, ujung tombak besi itu berubah
menjadi merah membara dan siap untuk digunakan. Bersamaan dengan itu, kedua burung elang rakasa itu pun datang untuk memangsa mereka. Namun, sebelum keduanya mencengkramkan cakarcakarnya yang tajam ke tubuh mereka, para awak kapal segera menancapkan tombak besinya ke tubuh kedua burung elang tersebut. Tak ayal, sepasang burung elang raksasa itu langsung mengerang kesakitan.
“Koaaak… Koaaak… Koaaak…!!!”
Meskipun terluka parah dengan tombak besi menancap hampir di seluruh tubuhnya, kedua burung elang raksasa itu berusaha terbang ke sarangnya dengan sisasisa tenaga yang dimiliki. Namun belum sampai di sarangnya, mereka telah kehabisan darah hingga akhirnya jatuh dan tewas di pantai Tifa. Setelah memastikan keduanya telah mati, rombongan pelaut Cina tersebut segera meninggalkan itu dan kembali ke negerinya.
Sementara itu, bangkai kedua burung elang raksasa itu dibiarkan tergeletak di pantai Tifu. Lamakelamaan bangkai itu kemudian berubah menjadi Tanifal, yaitu sebidang daratan berpasir putih dan halus. Tanifal itu dikelilingi oleh air laut dan hanya tampak ketika air laut sedang surut.
Menurut cerita masyarakat setempat, kedua bola dari salah satu dari burung elang itu terlepas dan
kemudian berubah menjadi dua buah batu besar. Lamakelamaan, kedua batu besar yang ditumbuhi
rerumputan itu membentuk dua pulau kecil yang indah.
Hingga saat ini masyarakat setempat juga mempercayai bahwa di daerah tersebut masih terdapat burung goheba atau burung elang yang dianggap sebagai keturunan dari kedua burung elang raksasa itu. Bahkan, burung goheba itu menjadi salah satu tanda bagi para nelayan untuk mengetahui tempat berkumpulnya kawanan ikan di suatu tempat. Jika goheba itu beterbangan dan mondarmandir mengelilingi Negeri Tifu atau Pulau Buru sambil berbunyi “Koaaak… Koaaak…” maka hal itu merupakan pertanda bahwa di tempat itu terdapat kawanan ikan yang sedang berkumpul.
* * *
Demikian cerita Legenda Tanifal di Pulau Buru dari daerah Provinsi Maluku. Pesan moral yang dapat
dipetik dari cerita legenda di atas adalah bahwa dengan usaha dan kerja sama yang baik, maka segala rintangan dan gangguan dapat diatasi dengan mudah, sebagaimana yang dilakukan oleh sekelompok nelayan dari Negeri Cina. Berkat usaha dan kerja sama yang baik, mereka berhasil menumpas keganasan kedua burung elang raksasa tersebut sehingga para nelayan dapat lalulalang di perairan Tifu tanpa dihantui oleh perasaan takut.
http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/228-Legenda-Tanifal-di-Pulau-Buru
BAHAN-BAHAN 1 ikat kangkung bumbu halus : 5 siung bawang merah 2 siung bawang putih 2 butir kemiri 1 sdt ketumbar bubuk seruas kencur aromatic : 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 btg sereh seruas lengkuas,geprek seasoning : 1 sdt garam (sesuai selera) 1/2 sdt kaldu bubuk 1/2 sdm gula jawa sisir 1 sdt gula pasir Rose Brand 1 bungkus santan cair instan Rose Brand 1 liter air 3 sdm minyak goreng untuk menumis CARA MEMASAK: Siangi kangkung cuci bersih,tiriskan Haluskan bumbu Tumis bumbu halus hingga harum dengan secukupnya minyak goreng,masukkan aromatic,masak hingga layu,beri air 1 lt Masukkan kangkung,beri seasoning,aduk rata Koreksi rasa Sajikan Sumber: https://cookpad.com/id/resep/25030546?ref=search&search_term=kangkung
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.