Kitab Pararaton adalah kitab kuno yang pertama ditulis pada tahun 1535 Saka atau 1613 M, dan cukup dikenal masyarakat Indonesia. Banyak yang mengidentikkan Kitab Pararaton dengan kisah Ken Angrok. Pembuatan Kitab Pararaton itu memiliki motif yang hampir sama dengan kitab-kitab zaman dahulu seperti Babad Tanah Jawi, yaitu sebagai alat legitimasi kekuasaan. Raja sering mengidentikkan dirinya sebagai perwakilan atau pun reinkarnasi dari dewa-dewa. Dengan cara seperti itu diharapkan rakyat akan tunduk dan merasa dalam pengayoman dewa-dewa.
Secara umum isi Kitab Pararaton menceritakan cikal-bakal berdirinya kerajaan di Singasari yang dipimpin Ken Angrok. Berdirinya Kerajaan Singasari penuh dengan kisah-kisah tragis yang memakan korban. Berawal dari Tunggul Ametung yang melarikan Ken Dedes, diteruskan dengan kisah pembunuhan Mpu Gandring oleh Ken Angrok, yang kemudian berbuah kutukan pada anak cucu Ken Angrok dan tujuh raja pun akan mati karena keris Mpu Gandring.
Setelah membunuh Mpu Gandring, Ken Angrok berambisi merebut Ken Dedes dengan terlebih dahulu membunuh Tunggul Ametung, dengan menggunakan keris kepunyaan Mpu Gandring itu juga. Pada akhirnya, Ken Angrok pun mati oleh keris tersebut dan raja-raja sesudahnya juga mati oleh keris itu.
Kitab Pararaton juga menceritakan tentang Kerajaan Majapahit dengan patihnya yang terkenal, Gajah Mada. Kisah perang Bubat pun diceritakan dalam Kitab Pararaton, yang merupakan perang dengan motif awal keinginan Majapahit memboyong Putri Sunda, tetapi ditolak Raja Sunda sehingga berkobarlah perang Bubat.
Kitab ini dinamakan Pararaton, yang dalam bahasa Kawi bermakna Kitab Para Datu atau Kitab Para Raja. Ada juga yang menyebut Kitab Pararaton sebagai Katuturanira Ken Angrok atau kisah yang berisi cerita mengenai Ken Angrok. Naskah ini cukup singkat, berupa 32 halaman seukuran folio yang terdiri dari 1126 baris.
Beberapa bagian Pararaton tidak dapat dianggap merupakan fakta-fakta sejarah. Terutama pada bagian awal, antara fakta dan fiksi serta khayalan dan kenyataan saling berbaur. Beberapa pakar misalnya C.C. Berg berpendapat bahwa teks-teks tersebut secara keseluruhan supranatural dan ahistoris, serta dibuat bukan dengan tujuan untuk merekam masa lalu melainkan untuk menentukan kejadian-kejadian di masa depan. Meskipun demikian sebagian besar pakar dapat menerima pada tingkat tertentu kesejarahan dari Pararaton, dengan memperhatikan kesamaan-kesamaan yang terdapat pada inskripsi-inskripsi lain serta sumber-sumber Cina, serta menerima lingkup referensi naskah tersebut dimana suatu interpretasi yang valid dapat ditemukan.
J.J. Ras membandingkan Pararaton secara berturut-turut dengan Prasasti Canggal (732), Prasasti ÅivagÅ--ha (856), Calcutta Stone (1041) dan Babad Tanah Jawi (1836). Perbandingan tersebut menunjukkan kesamaan-kesamaan yang jelas dalam karakter, struktur dan fungsi dari teks-teks tersebut serta kesamaan dengan teks-teks historiografi Melayu. Ras menyarankan pengelompokan jenis teks-teks tertentu dari seluruh wilayah Indonesia menjadi suatu genre sastra tersendiri, yaitu 'kronik pemerintahan' atau 'kitab raja-raja', yang merupakan historiografi yang ditulis demi melegitimasi kekuasaan raja.
Kitab Pararaton lebih kearah sebuah novel yang sarat dengan kisah kepahlawanan, intrik politik, asmara, dendam, dan hasrat akan harta dan kekuasaan. Dan bila ditelusuri lebih jauh, kitab ini memberitahukan bahwa budaya politik Nusantara adalah budaya saling mengkudeta satu sama lain. Bahkan dalam Kitab Pararaton digambarkan dengan gamblang tentang perebutan kekuasaan, saling iri dengki antar saudara, obsesi yang begitu tinggi, sifat megalomania, dendam pribadi, dan lain-lain. Hanya saja bila dibandingkan dengan Kitab Negarakertagama, Kitab Pararaton Nampak lebih obyektif karena tidak hanya membicarakan yang manis-manis saja mengenai sejarah Singasari dan Majapahit. ***
Kepustakaan:
-
Gamal Komandoko, 2008, Pararaton Legenda Ken Arok dan Ken Dedes, Yogyakarta: Penerbit Narasi
Sumber: Kekunaan.blogspot.com