|
|
|
|
Keindahan Masjid Agung Bandung Masa Lalu Tanggal 05 Aug 2018 oleh OSKM_19918181_Sadida Nur Fatimah. |
Saat ini dikenal sebagai Masjid Raya Bandung, Masjid Agung Bandung merupakan bagian dari Catur Gatra pusat Kota Bandung.
Catur Gatra memiliki arti "Empat Wujud", yang merupakan komponen utama bagi lingkungan pusat kota menurut konsep tata ruang alun-alun kota tradisional.
Adapun keempat komponennya adalah:
1. alun-alun (lapang terbuka),
2. pendopo Kabupaten (bangunan istana raja),
3. tempat ibadah utama dengan bentuk dan ukuran bangunan yang monumental, dan
4. pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi serta bertemunya kultur antarpenduduk kota.
Masing-masing komponen memiliki makna dan fungsi khusus. Tempat ibadah dalam hal ini dimaksudkan sebagai pusat spiritual dan pendopo Kabupaten menjadi pusat kebudayaan dan sosial kemasyarakatan.
Pasar Ciguriang yang juga seharusnya menjadi salah satu komponen, tak nampak pada tahun itu disebabkan kebakaran yang disengaja oleh Munada pada 30 Desember 1842. Hingga 1896, Bandung belum mempunyai pasar permanen.
Terdapat dua pendapat mengenai waktu berdirinya Masjid Agung Bandung ini. Pendapat pertama mengatakan masjid ini dibangun bersamaan dengan didirikannya pendopo Kabupaten pada tanggal 25 Desember 1810. Pendapat lain mengatakan bahwa masjid dibangun pada tahun 1812.
Awal masa, Masjid Agung Bandung tersusun atas kolom bambu dan atap daun rumbia. Terdapat kolam untuk berwudhu yang berhasil menyelamatkan masjid ini dari kebakaran pada tahun 1825. Pada tahun 1850 atau 1852, Bupati R. A. Wiranatakusumah IV merenovasi masjid sehingga material dindingnya menjadi tembok dan atapnya menjadi genting. Sampai tahun 1996, tidak kurang dari tujuh kali renovasi telah dilakukan dengan rincian tiga kali pada abad ke-19 dan empat kali pada abad ke-20.
Bagian monumental yang hilang saat ini dari Masjid Agung Bandung adalah bentuk atapnya. Meski sempat diubah pada kisaran tahun 1880 s.d. 1902 menjadi atap perisai, atap tumpang yang bertumpuk tiga menjadikan Masjid Agung Bandung disebut juga sebagai "Bale Nyungcung". Bentuk ini merupakan ciri khas alam Pasundan, mirip dengan masjid yang berada di Garut dan Tasikmalaya. Bentuk "Bale Nyungcung" pada Masjid Agung Bandung dibuktikan oleh Litograf karya W. Spreat pada tahun 1852 (gambar terlampir).
Disayangkan oleh warga kota yang sempat melihat keindahan atapnya (melalui surat yang terdapat pada buku "Ramadhan di Priangan" Karya Haryoto Kunto), pada tahun 1955 masjid kembali direnovasi sebelum penyelenggaraan Konperensi Asia Afrika (KAA). Kali ini, atap yang semula khas dengan "nyungcung"nya, diganti menjadi atap bentuk bawang.
Keindahan Masjid Agung Bandung masa lalu tidak sebatas atapnya saja. Melainkan pekarangan yang luas dan suasana Bandung yang kala itu masih sepi turut mendukung keindahannya. Kohkol dan Bedug adalah salah satu senjatanya. Warga merasa tenang kala sudah mendengar bunyi kohkol atau pentungan yang dibunyikan kala waktu shalat akan tiba. Uniknya, bunyi dari pukulannya terdengar hingga Simpang Dago, Jalan Siliwangi, Wastukencana, Ranca Badak, dan Sukajadi! Pentungan yang bunyinya nyaring tersebut menjadi penanda bahwa di masjid masih kosong. Bedug pun tak kalah suaranya. Bisa terdengar hingga Ancol, Andir, lapangan Tegalega, bahkan sayup-sayup sampai ke Kampung Balubur (Dago). Bedug menjadi penanda bahwa masjid telah penuh.
Keindahan Masjid Agung Bandung Masa Lalu mungkin kan sulit untuk diulang. Namun setidaknya, kita dapat menjaga apa yang saat ini masih menjadi milik kita agar tak menyesal di kemudian harinya.
Sumber:
1. Kunto, Haryoto. 1984. Wajah Bandoeng Tempoe Doeloe. Bandung: PT Granesia
2. Kunto, Haryoto. 1996. Ramadhan Di Priangan (Tempoe Doeloe). Bandung: PT Granesia
3. Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia, Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung Bandung 1810-1955, oleh Esti Istiqomah dan Bambang Setia Budi
Sumber Gambar: https://sportourism.id/tourism/masjid-agung-bandung-riwayat-sebelum-bergaya-ridwan-kamilian diunduh pada tanggal 5 Agustus 2018
#OSKMITB2018
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |