Jawa merupakan salah satu suku yang memiliki kalendernya sendiri, yang sampai sekarang masih cukup banyak yang menggunakannya sebagai penanggalan sehari-hari dalam kebudayaan Jawa. Kalender Jawa mengandung keistimewaan karena merupakan akulturasi dari sistem penanggalan Islam, Hindu, dan Julian.
Kalender ini pertama kali digunakan di Kerajaan Mataram Islam. Ketika itu, dekrit dari Sultan Agung Hanyokrokusumo (Raja Mataram Islam) penanggalan Jawa menjadi kelanjutan dari penanggalan Saka yang sebelumnya digunakan. Penanggalan Jawa menggunakan sistem seperti penanggalan Hijriah, dimana perhitungannya dengan mengamati perputaran bulan/lunar. Tujuan Sultan Agung sendiri dalam mengubah penanggalan ini karena dia ingin menyebarkan agama Islam kepada rakyatnya. Sistem ini berlaku di seluruh daerah Jawa dan Madura yang merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Mataram.
Penggunaan kalender Saka yang awalnya berdasarkan perputaran matahari digantikan dengan kalender Jawa yang berdasarkan perputaran bulan. Maka dari itu, saat ini tahun Saka dan tahun Jawa terpaut lebih dari 11 tahun dikarenakan perbedaan 10 hari didalam total hari dalam setahunnya.
Perbedaan tahun Hijriah dengan tahun Jawa ada pada nama-nama hari dan bulan yang diubah menggunakan bahasa Jawa. Berikut nama-nama bulan Hijriah yang diganti dengan nama-nama bulan Jawa :
1. Muharram (Tahun Hijriyah) = bulan Suro (Tahun Jawa)
2. bulan Shafar = Sapar,
3. bulan Rabi’ul Awal = Maulud,
4. bulan Rabi’ul Tsani = Bakda Maulud,
5. bulan Jumadil Ula = Jumadil Awal,
6. bulan Jumadil Tsaniyah = Jumadil Akir,
7. bulan Rajab = Rejeb,
8. bulan Sya’ban = Ruwah,
9. bulan Ramadhan = Pasa,
10. bulan Syawwal = Sawal,
11. bulan Dzulqa’dah = Dulkaidah, dan
12. bulan Dzulhijjah = Besar
Berikut nama-nama hari Jawa :
1. Radite • Minggu, melambangkan meneng (diam)
2. Soma • Senin, melambangkan maju
3. Hanggara • Selasa, melambangkan mundur
4. Budha • Rabu, melambangkan mangiwa (bergerak ke kiri)
5. Respati • Kamis, melambangkan manengen (bergerak ke kanan)
6. Sukra • Jumat, melambangkan munggah (naik ke atas)
7. Tumpak • Sabtu, melambangkan temurun (bergerak turun)
Setiap 8 tahun Jawa digabung menjadi satu periode yang bernama satu Windu (seperti kalender Tiong Kok dan Jepang yang menggabungkan setiap 12 tahunnya).
Jumlah 2835 hari genap dibagi 35 / selapan (hari pasaran)
Nama-nama tahun tersebut adalah sebagai berikut :
1. Purwana • Alip, yang artinya ada-ada (mulai berniat)
2. Karyana • Ehe, yang artinya tumandang (melakukan)
3. Anama • Jemawal, yang artinya gawe (pekerjaan)
4. Lalana • Je, yang artinya lelakon (proses, nasib)
5. Ngawana • Dal, yang artinya urip (hidup)
6. Pawaka • Be, yang artinya bola-bali (selalu kembali)
7. Wasana • Wawu, yang artinya marang (kearah)
8. Swasana • Jimakir, yang kartinya suwung (kosong)
Terdapat dua siklus yang digunakan, yakni siklus tujuh hari (Siklus mingguan) dan siklus lima hari (Siklus pekan pancawara).
Sumber :
https://id.wikipedia.org/wiki/Kalender_Jawa
https://jagadjawi.wordpress.com/2010/01/17/asal-muasal-kalender-jawa/
https://www.facebook.com/notes/isyana-dewa-isyana/asal-mula-kalender-jawa/10150469560251761/
https://dmasaji.wordpress.com/2010/12/08/asal-mula-kalenderpenanggalan-jawa
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja