Songket hingga saat ini belum memiliki pengertian yang resmi, namun menurut bahasa Palembang, songket berasal dari kata disongsong dan di-teket. Kata “teket” dalam baso Palembang lamo artinya sulam. Kata tersebut merujuk pada proses penenunan dengan memasukkan benang dan peralatan lainnya ke Lungsin dengan cara disongsong. Pembuatan kain songket pada dasarnya dilakukan dengan cara disongsong dan disulam. Pendapat lain mengatakan Songket Palembang berasal dari kata songko, yaitu kain penutup kepala yang dihias dengan benang emas.
Kata “songket” dianggap berasal dari kata tusuk dan cukit yang diakronimkan menjadi sukit, kemudian berubah menjadisungki, dan akhirnya menjadi songket. Istilah songket mulai ada sejak awal abad ke-19, sebelumnya masyarakat menyebutsongket dengan istilah kain sewet yang terbuat dari benang emas.
Di Palembang, ada lima kategori jenis kain songket. Pembagian ini berdasarkan benang, benang emas dan motif yang digunakan. Kelima jenis kain songket itu antara lain Kain Songket Lepus, Kain Songket Tabur, Kain Songket Bunga-Bunga, Kain Songkat Limar, dan Kain Songket Rumpak.
Lepus adalah motif songket yang anyaman dan corak benang emasnya hampir menutupi seluruh bagian dari kain songket tersebut. Hiasan emasnya menyebar rata ke seluruh permukaan kain, hiasan pada kembang tengah selalu dipenuhi dengan benang emas. Songket Lepus dapat dibagi lagi menjadi tiga jenis, yaitu Lepus Berekam, Lepus Berantai, dan Lepus Penuh. Perbedaan pada kain songket Lepus disebabkan oleh perbedaan benang yang digunakan dan keragaman motif.
Keindahan motif kain Songket Lepus nampak pada sebaran benang emas yang merata, hampir memenuhi seluruh permukaan kain. Hal ini sesuai dengan pengertian Lepus, yang artinya menutupi. Diperkirakan Songket Lepus adalah kain songket pertama yang ada di Palembang.
Awalnya penenunan Songket lepus dilakukan di tempat khusus dalam lingkungan keraton. Proses pencelupan warna hingga penenunan dilakukan oleh satu orang yang ditugaskan oleh Sultan atau pangeran untuk membuat songket. Benang dan lidi yang dijalin sebagai tahap dari perancangan kain songket menyesuaikan dengan ukuran motif yang akan dibuat. Untuk membuat motif nago besak misalnya, lidi yang digunakan berjumlah 60—75 batang, untuk motif nago kecik sekitar 50—55 batang. Inilah yang menyebabkan proses pembuatan Songket Lepus cukup rumit, meski penenunannya lebih mudah dibanding kain songket lain.
Variasi motif Lepus semakin bertambah seiring dengan perkembangan imajinasi dan kreativitas para pengrajin songket, antara lain Songket Berakam yang menggunakan benang sutera warna-warni dengan menyelipkan bunga kecil di antara motif utama. Songket Lepus pada awalnya hanya dimiliki oleh keluarga istana, namun perkembangan ekonomi yang cukup pesat menyebabkan banyak masyarakat di Palembang yang kini mampu membeli kain Songket Lepus.
Motif songket Tabur menyebar merata, seolah-olah kembang motifnya pendek-pendek. Hiasan motifnya tidak dijalin dari pinggir, melainkan sekelompok-sekelompok seolah motif tersebut ‘ditaburkan’ di atas permukaan songket. Pada umumnya songket tabur bermotif bunga, bintang, dan lain-lain. Letak motif yang menyebar disesuaikan dengan selera penenun songket.
Aturan Sultan pada masa itu membatasi masyarakat untuk mengenakan kain songket, namun seiring berjalannya waktu, para priyayi dan pasirah dari luar Palembang menjadikan songket sebagai pelengkap busana keluarga mereka, terutama yang telah menikah. Akses perdagangan memungkinkan kain songket mudah diperoleh oleh masyarakat di pedalaman.
Pemakaian songket di daerah Uluan dan Iliran Palembang semakin meningkat pada masa kolonial. Gadis-gadis disana menggunakan kain Songket Tabur sebagai busana tari, yang sesungguhnya tidak diperbolehkan oleh masyarakat di Palembang. Cara pemakaian kain songket para gadis tersebut sama dengan pemakaian para istri priyayi di Palembang, yaitu sebagai kemben atau dodot. Bedanya, para istri menggunakan kain songket Lepus, dan para gadis menggunakan kain songket Tabur. Kain Songket Tabur lebih banyak digunakan oleh masyarakat di pedalaman, dengan anggapan untuk menciptakan kesamaan gaya hidup masyarakat di pusat pemerintahan Palembang.
Motif Bunga-bunga adalah jenis songket yang memiliki motif tengah mirip bunga. Awalnya motif bunga dikenal dalam kehidupan masyarakat Palembang yakni motif bunga emas dan bunga pacik, yang membedakannnya adalah jenis benang emas yang digunakan (bukan benang sutera). Bunga emas pada akhirnua dikenal dengan nama bunga cina. Songket bunga emas digunakan oleh masyarakat keturunan Cina, sedangkan bunga pacik oleh masyarakat keturunan Arab. Perbedaan penggunaan benang tersebut didasari oleh prinsip masyarakat Arab menolak benang emas, karena mereka meyakini manusia dilarang memamerkan kemewahan.
Munculnya songket motif bunga-bunga berkaitan dengan perkembangan kehidupan masyarakat di Kesultanan Palembang Darusalam, yang memegang teguh prinsip-prinsip keislaman. Kondisi ini menyebabkan mereka menolak penggunaan simbol-simbol hewan atau makhluk bernyawa, sehingga muncullah motif bunga-bunga yang menuntut ketelitian dan kehati-hatian si penenun kain. Songket motif ini ditemukan pula pada Songket Lepus dan Songket Tabur.
Benang sutera warna-warni disebut juga berlimar-limar, sehingga dinamakan kain songket Limar. Benang sutera Limar dibuat dari aneka warna, yaitu merah, hijau, biru, ungu, hitam, kuning, dan oranye. Warna kain songket Limar tidak terlalu menyala, merupakan warna kombinasi yang cenderung gelap. Ada juga pendapat yang mengatakan Limar menyerupai buah limau (jeruk). Limar artinya banyak bulatan kecil dan percikan yang membintik, seperti tetesan air jeruk peras.
Di masa lampau, teknis ragam hias Songket Limar menggunakan bahan benang sutera (gebeng) sebagai Lungsin, dan motifnya dibuat dengan cara dicucup dan dicolet dengan aneka warna atau berlimar. Benang motif limar itu masuk dari sisi kanan dan kiri seperti pakam. Cara menenun Limar pun tergolong rumit, karena motif ditentukan sambil menenun dan dijaga agar benang warna tidak putus karena dapat merusak motif.
Kain Songket Limar menggunakan sedikit benang emas jantung yang berasal dari Shanghai Tiongkok, dibawa ke Palembang melalui jalur perdagangan. Keunggulan benang emas tersebut tidak akan berubah warna, dan tidak dapat hancur dimakan rayap/ngengat, namun kini benang emas Shanghai tidak diproduksi lagi. Limar juga berkembang menjadi jenis songket baru yang disebut Songket Tretes Mider, dengan motif yang hanya terdapat pada pangkal dan pinggir kain.
Jenis terakhir kain songket ini terdapat dalam kehidupan masyarakat Palembang, yaitu kain laki-laki yang digunakan ketika mereka menjadi pengantin. Songket Rumpak tidak mengalami perkembangan pesat karena umumnya pengguna kain ini adalah laki-laki yang berasal dari kalangan pembesar dan priyayi Palembang.
Sumber:
https://www.kelambit.com/songket-palembang/
http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/2123/aneka-ragam-kain-songket-palembang
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja
Jembatan Plunyon merupakan bagian dari wisata alam Plunyon-Kalikuning yang masuk kawasan TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi) dan wisatanya dikelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat, yaitu Kalikuning Park. Sargiman, salah seorang pengelola wisata alam Plunyon-Kalikuning, menjelaskan proses syuting KKN Desa Penari di Jembatan Plunyon berlangsung pada akhir 2019. Saat itu warga begitu penasaran meski syuting dilakukan secara tertutup. Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan zoom-in-whitePerbesar Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan "Syuting yang KKN itu kebetulan, kan, 3 hari, yang 1 hari karena gunungnya tidak tampak dibatalkan dan diu...