Ketika marak pulai (pengantin laki-laki) diantar ke rumah anak daro (pengantin perempuan), jadilah sebuah pesta perkawinan adat Minangkabau yang dinamakan baralek gadang (pesta besar). Perempuan-perempuan muda yang belum lama menikah biasanya ikut dalam iringan arak-arakan. Mereka dinamakan pasumandan, artinya pengiring dari lingkungan yang baik-baik. Pasumandan pada saat itu memakai pakaian adat yang terbagus dan terbaru, baju yang dipakai mereka biasanya berwarna merah bercorak sulaman. Bagi orang awak, sulaman ini dinamakan suji.Ini kalau memakai satu warna benang. Jika memakai warna-warna benang yang berbeda dinamakan suji cair. Cair artinya memecah atau merambat, maksudnya warna tertentu merambat pada warna yang lain, dengan kata lain bernuansa.
Umumnya ragam-ragam hias suji berupa corak-corak flora, seperti rangkaian bunga dan dedaunan. Penempatan warna benang sangat terkontrol dan terpilih antara ujung. Tengah, dan tangkai bunga, sehingga menimbulkan efek nuansa warna seperti bunga mekar. Begitu juga teknik penyulaman corak-corak daun, sehingga menimbulkan efek mengkilat. Corak Suji Cair bukan hanya penghias baju kurung dan selendang, tetapi sering juga ditata pada permukaan kelambu buat pengantin baru. Kiri-kanan kelambu bagian depan dihiasi dengan kembang-kembang besar, warna dan coraknya diserasikan pula dengan sarung bantal dan sprei. Biasanya warna corak yang dipakai sebagai dasar adalah merah muda atau warna lembut, sedangkan warna-warna corak biasanya yang berdekatan, seperti jingga, kuning, dan merah.
Sampai saat ini, suji cair mempunyai peranan penting dalam ragam hias perlengkapan pakaian adat tradisional Minangkabau, terutama perlengkapan-perlengkapan upacara perkawinan.
Bahan-bahan dasar pembuatnya terdiri atas kain dasar dan benang sulam. Kain dasar, dalam istilah daerah dikenal dengan nama kain tisu, terbuat dari serat sintetis. Sutera, crepe de chine, digunakan atas dasar peranan khusus, sedangkan untuk benang sulam digunakan rayon atau katun halus.
Suji cair juga mengalami diversifikasi produk yang berkembang pada pembuatan taplak meja, sprei, hiasan dinding, saputangan, bahkan sampai pada hiasan sendal, tas, dan sebagainya. Secata sepintas, suji cair tampak seperti border, tetapi kalau ditilik dengan cermat, sulaman ini mempunyai kehalusan tersendiri, akibat dikerjakan dengan tangan. Suji cair dikerjakan di atas kain yang diregangkan pada pamidangan. Kalau bidang yang digarap relative besar, bisa memakan waktu pengerjaan sekitar 1,5 sampai 3 bulan per helai kain. Kegiatan pembuatan suji cair terutama berlangsung di Koto Gadang, dekat Bukittinggi. Selain itu, suji cair juga dibuat di Bukittinggi, Empat Angkat Candung, Sianok dan Balingka
Ketika marak pulai (pengantin laki-laki) diantar ke rumah anak daro (pengantin perempuan), jadilah sebuah pesta perkawinan adat Minangkabau yang dinamakan baralek gadang (pesta besar). Perempuan-perempuan muda yang belum lama menikah biasanya ikut dalam iringan arak-arakan. Mereka dinamakan pasumandan, artinya pengiring dari lingkungan yang baik-baik. Pasumandan pada saat itu memakai pakaian adat yang terbagus dan terbaru, baju yang dipakai mereka biasanya berwarna merah bercorak sulaman. Bagi orang awak, sulaman ini dinamakan suji.Ini kalau memakai satu warna benang. Jika memakai warna-warna benang yang berbeda dinamakan suji cair. Cair artinya memecah atau merambat, maksudnya warna tertentu merambat pada warna yang lain, dengan kata lain bernuansa.
Umumnya ragam-ragam hias suji berupa corak-corak flora, seperti rangkaian bunga dan dedaunan. Penempatan warna benang sangat terkontrol dan terpilih antara ujung. Tengah, dan tangkai bunga, sehingga menimbulkan efek nuansa warna seperti bunga mekar. Begitu juga teknik penyulaman corak-corak daun, sehingga menimbulkan efek mengkilat. Corak Suji Cair bukan hanya penghias baju kurung dan selendang, tetapi sering juga ditata pada permukaan kelambu buat pengantin baru. Kiri-kanan kelambu bagian depan dihiasi dengan kembang-kembang besar, warna dan coraknya diserasikan pula dengan sarung bantal dan sprei. Biasanya warna corak yang dipakai sebagai dasar adalah merah muda atau warna lembut, sedangkan warna-warna corak biasanya yang berdekatan, seperti jingga, kuning, dan merah.
Sampai saat ini, suji cair mempunyai peranan penting dalam ragam hias perlengkapan pakaian adat tradisional Minangkabau, terutama perlengkapan-perlengkapan upacara perkawinan.
Bahan-bahan dasar pembuatnya terdiri atas kain dasar dan benang sulam. Kain dasar, dalam istilah daerah dikenal dengan nama kain tisu, terbuat dari serat sintetis. Sutera, crepe de chine, digunakan atas dasar peranan khusus, sedangkan untuk benang sulam digunakan rayon atau katun halus.
Suji cair juga mengalami diversifikasi produk yang berkembang pada pembuatan taplak meja, sprei, hiasan dinding, saputangan, bahkan sampai pada hiasan sendal, tas, dan sebagainya. Secata sepintas, suji cair tampak seperti border, tetapi kalau ditilik dengan cermat, sulaman ini mempunyai kehalusan tersendiri, akibat dikerjakan dengan tangan. Suji cair dikerjakan di atas kain yang diregangkan pada pamidangan. Kalau bidang yang digarap relative besar, bisa memakan waktu pengerjaan sekitar 1,5 sampai 3 bulan per helai kain. Kegiatan pembuatan suji cair terutama berlangsung di Koto Gadang, dekat Bukittinggi. Selain itu, suji cair juga dibuat di Bukittinggi, Empat Angkat Candung, Sianok dan Balingka
#OSKMITB2018
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja