Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Banten Banten
KISAH SULTAN MAULANA HASANUDDIN
- 20 Juli 2018
MAULANA HASANUDDIN merupakan seorang pendiri Kesultanan Banten. Ia juga bergelar PANGERAN SABAKINGKIN dan berkuasa di Banten dalam rentang waktu 1552 - 1570.
SULTAN MAULANA HASANUDDIN berperan penting dalam penyebaran agama Islam di Banten. Ia mendirikan Kesultanan Banten sekaligus menjadi penguasa pertama di kerajaan Islam tersebut.
BERDASARKAN SEJARAH BANTEN, MAULANA HASANUDDIN MERUPAKAN SALAH SEORANG PUTERA DARI SUNAN GUNUNG JATI.
Bersama Kerajaan Demak, Ia turut serta dalam penaklukan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527 yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda. Kemudian melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan dan kemudian menjadi pusat pemerintahan, setelah Banten menjadi kerajaan sendiri.
 

 

Seorang tokoh penyebar agama Islam di Banten bernama HASANUDDIN dengan gelar PANGERAN SABAKINGKIN atau SEDA KINKIN. Gelar tersebut pemberian dari kakeknya, PRABU SURASOWAN, yang menjabat sebagai Bupati Banten. Hasanuddin sendiri merupakan putra kedua dari pasangan NYI KAWUNG ANTEN (putri Prabu Surasowan) dengan SYEKH SYARIF HIDAYATULLAH ATAU SUNAN GUNUNG JATI, salah satu dari Sembilan Wali (walisongo). Dimana Nyi Kawung Anten adalah selir dari Sunan Gunung Jati yang merupakan raja dari kesultanan Cirebon.
 
Ketika Prabu Surasowan wafat, kedudukannya sebagai Bupati Banten digantikan oleh putranya bernama ARYA SURAJAYA atau Prabu Pucuk Umum. Pusat pemerintahannya berkedudukan di Banten Girang (Banten Hulu), yang masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Ketika itu, Prabu Pucuk Umum masih menganut agama resmi Kerajaan Pajajaran yaitu agama Hindu.
 
Pada masa pemerintahan Prabu Pucuk Umum, Syekh Syarif Hidayatullah harus kembali ke Cirebon untuk menggantikan Pangeran Cakrabuana yang telah wafat sebagai Bupati Cirebon. Sementara itu, Pangeran Hasanuddin lebih memilih menjadi guru agama Islam dan mendirikan pesantren di Banten. Sejak itulah, ia dikenal sebagai Syekh Maulana Hasanuddin. Ketenarannya pun telah melampaui kharisma pamannya, Prabu Pucuk Umum, sehingga hubungan mereka menjadi tidak harmonis.
 
Meskipun menetap di Banten, Syekh Maualana Hasanuddin sering mengunjungi sang Ayah di Cirebon untuk bersilaturrahmi dan meminta petunjuk. Suatu ketika, ia mendapat tugas untuk melanjutkan tugas sang Ayah menyebarkan Islam di daerah Banten.
  • “Putraku, Hasanuddin! Kini Engkau sudah dewasa. Pengetahuan agamamu pun sudah cukup mumpuni. Saatnya pengetahuan itu kau sebarkan kepada seluruh rakyat Banten,” ujar Syekh Syarif Hidayatullah.
  • “Baik, Ayah,” jawab Pangeran Hasanuddin seraya berpamitan kembali ke Banten.
Setiba di Banten, Syekh Maulana Hasanuddin melanjutkan misi dakwah ayahnya. Bersama para santrinya, ia berkeliling dari satu daerah ke daerah lainnya, mulai dari Gunung Pulosari Gunung Karang atau Gunung Lor, hingga ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon.
 
Dalam upaya penyebaran Islam ke seluruh daerah Banten, Syekh Maulana Hasanuddin tidak jarang mendapat hambatan. Salah satunya datang dari Prabu Pucuk Umum yang bersikukuh ingin mempertahankan ajaran SUNDA WIWITAN (HINDU) sebagai agama resmi Kerajaan Pajajaran. Di lain pihak, Syekh Maulana Hasanuddin menginginkan kegiatan dakwah Islam di Banten dapat berjalan lancar.
Maka, Prabu Pucuk Umum menantang Syekh Maulana Hasanuddin untuk berperang, namun bukan duel di antara keduanya, melainkan beradu ayam jago. Hal ini dilakkukan demi menghindari jatuhnya banyak korban jiwa dari kedua belah pihak.
  • “Wahai, Mualana Hasanuddin. Jika kamu ingin menyebarkan Islam di daerah Banten, kalahkan dulu ayam jagoku! Jika kamu berhasil memenangkan pertarungan ini, jabatanku sebagai Bupati Banten Girang akan kuserahkan kepadamu. Tapi ingat, jika kamu yang kalah, maka kamu harus menghentikan dakwahmu itu,” kata Prabu Pucuk Umum.
  • “Baiklah, kalau itu yang Prabu inginkan. Hamba menerima tantangan itu,” jawab Maulana Hasanuddin.
Tempat adu kesaktian ayam jago itu akan dilaksanakan di lereng Gunung Karang karena dianggap sebagai tempat yang netral. Pada hari yang telah ditentukan, kedua pihak pun menuju lereng Gunung Karang. Prabu Pucuk Umum dan Maulana Hasanuddin tidak hanya membawa ayam jago, tetapi juga membawa pasukan bersenjata untuk menghadapi berbagai kemungkinan.
Selain itu, Prabu Pucuk Umum tampak membawa golok yang terselip di pinggang dan tombak di genggamannya. Syekh Maulana Hasanuddin hanya membawa sebilah keris pusaka warisan Wali Songo.
 
Setiba di arena pertarungan, Prabu Pucuk Umum mengambil tempat di tepi utara arena dengan mengenakan pakaian hitam-hitam, rambut gondrong sampai leher, dan mengenakan ikat kepala. Sementara itu, Syekh Maulana Hasanuddin tampak berdiri di sisi selatan arena dengan mengenakan jubah dan sorban putih di kepala. Sebelum pertarungan dimulai, kedua ayam jago dibawa ke tengah arena. Kedua ayam jago tersebut masih berada di dalam kandang anyaman bambu. Ayam jago milik Prabu Pucuk Umum telah diberi ajian otot kawat tulang besi dan di kedua tajinya dipasangi keris berbisa. Sementara ayam milik Maulana Hasanuddin tidak dipasangi senjata apapun, tapi tubuhnya kebal terhadap senjata tajam. Ayam itu telah dimandikan dengan air sumur Masjid Agung Banten. Pada saat ayam itu dimandikan, dibacakan pula ayat-ayat suci Alquran.
 
Konon, ayam jago milik Maulana Hasanuddin adalah penjelmaan salah seorang pengawal sekaligus penasehatnya yang bernama Syekh Muhammad Saleh. Ia adalah murid Sunan Ampel dan tinggal di Gunung Santri di Bojonegara, Serang. Karena ketinggian ilmunya dan atas kehendak Allah, ia mengubah dirinya menjadi ayam jago.
 
Di pinggir arena, kedua belah pihak tampak tegang. Syekh Maulana Hasanuddin bersama rombongannya yang terdiri dari para ustadz dan santri larut dalam doa memohon pertolongan dari Allah. Sementara itu, pihak Prabu Pucuk Umum yang terdiri dari ratusan ajar (pendeta) dan punggawa (panglima) juga terlihat komat-kamit membaca mantra. Dalam suasana tegang, salah seorang Punggawa yang mewakili kedua belah pihak masuk ke tengah arena untuk membacakan pengumuman:
  • “Yang Mulia Syekh Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umum, perkenankanlah kami membacakan pengumuman sebagai berikut:
  • PERTAMA, sebagaimana yang telah disepakati, bahwa apabila Prabu Pucuk Umum kalah, maka pihak Maulauna Hasanuddin akan diberi kebebasan untuk menyebarkan Islam di Banten. Sebaliknya, apabila Prabu Pucuk Umum yang menang, maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan kegiatan dakwahnya di Banten Tengah dan Selatan.
  • KEDUA, pihak yang kalah harus menunjukkan tanda pengakuan dengan menyerahkan senjata kepada pihak yang menang.
  • Ketika, kepada yang hadir agar dapat menahan diri dan menjaga ketertiban dengan tidak memasuki arena selama pertandingan berlangsung.
  • Demikian pengumuman ini kami sampaikan.”
Begitu pengumaman selesai dibacakan, gong pun dibunyikan sebagai tanda pertandingan akan dimulai.
 
Kedua ayam jago segera dikeluarkan dari sangkarnya masing-masing. Suasana yang tadinya mencekam berubah menjadi ramai. Riuh rendah suara penonton pun membahana memberi semangat kepada kedua ayam jago yang akan bertarung. Di tengah gelanggang, kedua ayam jago saling mendekat. Sesekali keduanya silih berganti berkokok dengan suara menantang. Pada saat berhadap-hadapan dengan jarak sekitar dua meter, keduanya saling menggertak dengan posisi miring sambil berputar-putar membentuk lingkaran. Mata keduanya saling menatap sangat tajam seolah-olah menyimpan dendam.
Selang beberapa saat kemudian, ayam jago Pujuk Umum berhenti lalu mundur setengah meter untuk mengambil ancang-ancang. Dengan kekuatan penuh, ia bergerak maju menyerang sambil mengerahkan tajinya ke arah dada lawannya. Ayam jago Maulana Hasanudian pun menyambut serangan itu. Tak ayal, saat benturan fisik terjadi, keduanya pun terpental ke belakang. Tubuh ayam jago Maulana Hasanuddin tidak mengalami luka sedikit pun.
 
Pertarungan semakin seru. Kedua ayam jago itu kembali berhadap-hadapan. Ayam jago Pucuk Umum kali ini tampak lebih beringas. Tatapan matanya semakin tajam dan memerah. Sementara ayam jago Maulana Hasanuddin tetap berusaha tenang setelah mendapat serangan pertama. Pertarungan semakin seru, sorak sorai penonton kembali bergemah menyemangati jagonya masing-masing.
“Hidup Prabu Pucuk Umum...! Hidup Syekh Maulana Hasanuddin..!”
Ketika kedua ayam jago itu mulai bertarung lagi, suasana pun kembali mencekam. Dengan gerakan liar, ayam jago Pucuk Umum menyerang lagi dan bermaksud merobek dada musuhnya. Mendapat serangan kedua itu, ayam jago Maulana Hasanuddin berkelit ke kanan dan ke kiri untuk menghindari taji keris berbisa itu. Jago Pucuk Umum pun mulai kehilangan kesabaran. Ia semakin kalap dan menyerang secara membabi buta. Tanpa diduga, tiba-tiba ayam jago Maulana Hasanuddin terbang tinggi ke angkasa. Jago Pucuk Umum pun menyusulnya sehingga terjadilah pertarungan sengit di udara. Semua pandangan penonton tertuju pada kedua ayam jago yang berada di udara.
Tiba-tiba ayam jago Pucuk Umum jatuh terkulai di tanah dan meregang nyawa. Rupanya ayam jago itu terkena tendangan keras ayam jago Maulana Hasanuddin. Para pendudung Pucuk Umum pun menjadi bungkam, sedangkan pendukung Maulana Hasanuddin melompat kegirangan sambil meneriakkan:
“Allahu Akbar! Hidup Maulana Hasanuddin! Hidup Syariat Islam!”
Akhirnya, Syekh Maulana Hasanuddin memenangkan pertandingan adu ayam itu. Prabu Pucuk Umum pun mengaku kalah. Ia kemudian mendekati Maulana Hasanuddin untuk memberi ucapan selamat seraya menyerahkan golok dan tombaknya sebagai tanda pengakuan atas kekalahannya.
Penyerahan kedua senjata pusaka juga berarti penyerahan kekuasaannya kepada Maulana Hasanuddin atas Banten Girang.
“Selamat, Maulana Hasanuddin! Sesuai dengan kesepakatan kita, maka kini engkau bebas melakukan dakwah Islam sekaligus menjadi penguasa di Banten Girang,” ujar Prabu Pucuk Umum.
Setelah itu, Prabu Pucuk Umum berpamitan. Ia bersama beberapa pengikutnya kemudian mengungsi ke Banten Selatan, tepatnya di Ujung Kulon atau ujung barat Pulau Jawa.
 
Mereka bermukim di hulu Sungai Ciujung, di sekitar wilayah Gunung Kendeng. Atas perintah Prabu Pucuk Umum, para pengikutnya diharapkan untuk menjaga dan mengelola kawasan yang berhutan lebat itu. Konon, merekalah cikal bakal orang Kanekes yang kini dikenal sebagai suku Baduy.
 
Sedangkan para pengikut Prabu Pucuk Umum yang terdiri dari pendeta dan punggawa Kerajaan Pajajaran menyatakan masuk Islam di hadapan Syekh Maulana Hasanuddin. Dengan demikian, semakin muluslah jalan bagi Syekh Maulana Hasanuddin dalam menyebarkan dakwah Islam di Banten.
Atas keberhasilan tersebut, ia kemudian diangkat oleh Sultan Demak sebagai Bupati Kadipaten Banten. Pusat pemerintahan semula di Banten Girang dipindahkan ke Banten Lor (Surosowan) yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa.
Selanjutnya, karena keberhasilannya memimpin daerah itu dengan membawa kemajuan yang pesat di berbagai bidang, Kadipaten Banten kemudian diubah menjadi negara bagian Demak atau Kesultanan Banten dengan tetap mempertahankan Maulana Hasanuddin sebagai sultan pertama.
 
Sumber: http://agathanicole.blogspot.com/2017/10/kisah-sultan-maulana-hasanuddin.html

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Vila Van Resink
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Vila Van Resink adalah bangunan cagar budaya berbentuk vila yang terletak di Jalan Siaga, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilik awal vila ini adalah Gertrudes Johannes "Han" Resink, seorang anggota Stuw-groep , sebuah organisasi aktif pada Perang Dunia II yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembentukan negara demokratis Hindia Belanda. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari station hill (tempat tetirah pada musim panas yang berada di pegunungan) untuk boschwezen dienst (pejabat kehutanan Belanda). Pada era Hamengkubuwana VII, kepengelolaan Kaliurang (dalam hal ini termasuk bangunan-bangunan yang berada di wilayah tersebut) diserahkan kepada saudaranya yang bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah tersebut lantas dimanfaatkan untuk perkebunan nila, tetapi kegiatan itu terhenti kemudian hari karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vors...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Gereja Kristen Jawa Pakem Kertodadi
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pakem Kertodadi adalah salah satu gereja di bawah naungan sinode Gereja Kristen Jawa, yang terletak di Jalan Kaliurang km. 18,5, Padukuhan Kertadadi, Kalurahan Pakembinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Awal mula pertumbuhan jemaat gereja ini berkaitan dengan keberadaan Rumah Sakit Paru-Paru Pakem, cabang dari Rumah Sakit Petronela (Tulung), yang didirikan di wilayah Hargobinangun. Sebelum tahun 1945, kegiatan keagamaan umat Kristen diadakan secara sederhana dalam bentuk renungan atau kebaktian pagi yang berlangsung di klinik maupun apotek rumah sakit yang dikenal dengan nama "Loteng". Para perawat di rumah sakit tersebut juga melakukan pelayanan kesehatan ke dusun-dusun di sekitarnya, yaitu Tanen, Sidorejo, Purworejo, dan Banteng. Menurut Notula Rapat Gerejawi, jemaat gereja ini mengadakan penetapan majelis yang pertama kali pada 21 April 1945. Tanggal tersebut lantas disepakati sebagai hari jadi GKJ Pa...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Situs Cepet Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Situs Cepet Pakem adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Cepet, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan temuan dua buah yoni dan sejumlah komponen arsitektur candi di sekitarnya, situs ini diduga merupakan reruntuhan sebuah candi Hindu dari masa klasik. Lokasinya kini berada di area permakaman umum Padukuhan Cepet, berdekatan dengan sebuah masjid. Benda cagar budaya (BCB) utama yang ditemukan di situs ini adalah dua buah yoni yang terbuat dari batu andesit. Kondisi keduanya telah rusak, sedangkan lingganya tidak ditemukan. Yoni pertama awalnya berada di pekarangan penduduk bernama Pujodiyono, tetapi sekarang dipindahkan di halaman makam. Yoni ini memiliki ukuran relatif besar dengan bentuk yang sederhana, yaitu lebar 134 sentimeter, tebal 115 sentimeter, dan tinggi 88 sentimeter. Bagian bawah cerat yoni tersebut tidak bermotif dan memberikan kesan bahwa pengerjaannya belum selesai. Sementara itu, terdap...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Situs Potro
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Situs Potro atau Pancuran Buto Potro adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Potro, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs ini terdiri atas dua benda cagar budaya (BCB) utama yang seluruhnya terbuat dari batu andesit, yaitu jaladwara dan peripih. Jaladwara di situs ini oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Pancuran Buto, karena bentuknya menyerupai kepala raksasa (kala) dengan mulut terbuka, gigi bertaring, dan ukirannya menyerupai naga. Sementara itu, keberadaan peripih berukuran cukup besar di situs ini menimbulkan dugaan bahwa pernah berdiri sebuah bangunan keagamaan di sekitar lokasi, kemungkinan sebuah candi, meskipun bentuk dan coraknya tidak dapat dipastikan karena minimnya artefak yang tersisa.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Sambal Matah
Makanan Minuman Makanan Minuman
Bali

Resep Sambal Matah Bahan-bahan: Bawang Merah Cabai Rawit Daun Jeruk Sereh Secukupnya garam Minyak panas Pembuatan: Cincang bawang merah, cabai rawit, daun jeruk, dan juga sereh Campur semua bahan yang sudah dicincang dalam satu wadah Tambahkan garam secukupnya atau sesuai selera Masukkan minyak panas Aduk semuanya Sambal matah siap dinikmati

avatar
Reog Dev