Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Bengkulu Bengkulu
KISAH SI GULAP YANG SABAR
- 18 Juli 2018

Si Gulap adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara yang tinggal di sebuah desa di daerah Bengkulu. Pada Suatu ketika, si Gulap dan keenam saudaranya bergantian melamar seorang putri raja karena mereka ingin hidup sejahtera.
Namun, lamaran si Sulung hingga saudara yang keenam ditolak karena tidak mampu memenuhi syarat yang diajukan oleh sang Raja.

Dahulu, di daerah Bengkulu, hiduplah seorang janda bersama tujuh orang anak laki-lakinya. Anak sulungnya bernama Umar, sedangkan anak bungsunya bernama si Gulap. Sehari-hari keluarga janda itu bekerja di ladang dengan menanam singkong dan sayur-sayuran. Hasilnya pun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena ladang yang mereka miliki sangat sempit. Keadaan tersebut membuat Umar sering duduk termenung seorang diri. Hatinya gundah gulana memikirkan nasib ibu dan adik-adiknya. 
Suatu hari, sepulang dari ladang, Umar duduk menyendiri di bawah pohon di samping rumah. 
 
  • “Ya, Tuhan. Apakah hidup kami akan terus kekurangan begini?” keluh Umar. Baru saja Umar selesai bergumam, tiba-tiba ibunya datang menghampiri.
  • “Umar, anakku. Ibu lihat akhir-akhir ini kamu sering termenung. Ada apa, Nak?” tanya ibunya. “Umar sedih melihat Ibu dan adik-adik,” jawab Umar, 
  • “Umar ingin mengubah nasib kita, Bu.” 
  • “Lalu, apa rencanamu, Anakku?” tanya ibunya. 
 
Umar tidak langsung menjawab pertanyaan perempuan yang telah melahirkannya itu. Sejenak, ia menghela nafas panjang. 
 
  • “Umar juga masih bingung, Bu. Tapi, Umar harus mencari akal untuk bisa memperbaiki nasib keluarga kita,” kata Umar. 
  • “Baiklah, Anakku. Tapi, jangan sampai memikirkan hal itu lalu kamu lupa makan dan istirahat,” pesan ibunya seraya beranjak dari tempat itu. 
  • ‘Iya, Bu,” jawab Umar. 
 
Hari sudah sore, Umar masih saja duduk termenung. Ia masih berpikir bagaimana cara bisa mensejahterakan keluarganya. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ada sesuatu yang terlintas di pikirannya. 
 
  • “Hmmm… Jika aku bisa menikahi putri raja yang kaya raya itu, nasib keluargaku pasti akan membaik,” gumamnya, 
  • “Ya, hanya itu satu-satu jalan yang dapat kulakukan.” Rupanya, Umar benar-benar berniat ingin melamar putri sang Raja. 
 
Malam harinya, ia pun menyampaikan niat itu kepada ibunya. 
 
  • “Bu, tolong lamarkan sang Putri untukku,” pinta Umar. Ibunya yang sedang menganyam tikar tersentak mendengar permintaan Umar. 
  • “Sadarkah kamu dengan perkataanmu itu, Anakku?” tanya ibunya dengan terkejut, 
  • “Kita ini orang miskin, tidak pantas meminang seorang putri.” 
  • “Umar menyadari itu, Bu. Tapi, tidak ada salahnya kalau kita mencobanya dulu,” jawab Umar. 
 
Meskipun sang Ibu berkali-kali menasehatinya, Umar tetap bersikeras ingin melamar putri raja. Maka dengan berat hati, sang Ibu pun memberanikan diri menghadap sang Raja pada esok harinya. 
 
Setiba di istana, perempuan paruh baya itu memberikan sembah hormat kepada sang Raja. 
 
“Mohon ampun Baginda atas kelancangan hamba. Hamba datang menghadap untuk menyampaikan lamaran Umar anak hamba,” lapor ibu Umar. 
 
Sang Raja tahu jika Umar yang akan menjadi menantunya itu berasal dari rakyat biasa. Sebagai seorang raja, tentu ia tidak ingin kewibawaan keluarga kerajaan tercoreng karena memiliki menantu dari kalangan orang biasa. Untuk itulah, ia harus memberikan syarat kepada Umar sebelum menerima lamarannya. 
 
  • “Baiklah, lamaran Umar aku terima tapi dengan satu syarat,” kata sang Raja. 
  • “Ampun, Baginda. Apakah syarat itu?” tanya ibu Umar. 
  • “Sebelum pernikahan ini dilangsungkan, Umar harus tinggal di istana dalam waktu beberapa hari untuk mengikuti beberapa ujian. Selama tinggal di istana, ia tidak boleh marah sekali saja dengan tugas apa pun yang kuberikan. Jika ia melanggarnya, maka ia akan kujual sebagai budak ke negeri lain. Sebaliknya, jika aku yang marah karena perbuatan Umar, maka akulah yang harus dijual sebagai budak,” jelas sang Raja. 
  • “Baik, Baginda. Syarat ini akan hamba sampaikan kepada anak hamba,” kata ibu Umar seraya mohon diri. 
 
Setiba di rumah, janda itu pun menyampaikan syarat sang Raja kepada Umar. Maka, hari itu juga Umar berangkat ke istana. Setiba di sana, sang Raja pun langsung memberinya tugas. 
 
  • “Hai, Umar. Aku perintahkan kamu membajak sawahku yang luas itu!” titah sang Raja. 
  • “Baik, Baginda Raja,” jawab Umar. Umar pun mulai membajak sawah sang Raja. 
 
Ketika hari menjelang siang, ia kembali ke istana dengan keadaan haus dan lapar. Namun, setiba di istana, ia tidak diberi minum dan makan sedikit pun oleh sang Raja. Rupanya, Umar tidak tahan dengan perlakuan itu sehingga ia pun menjadi marah. 
 
  • “Ampun, Baginda. Kenapa hamba tidak diberi makan dan minum? Padahal, hamba sudah bekerja keras membajak sawah Baginda,” kata Umar dengan perasaan kesal di hadapan sang Raja. 
  • “Apakah kamu marah, Umar?” tanya sang Raja. 
  • “Ampun, Baginda. Siapa yang tidak marah jika diperlakukan seperti ini?” jawab Umar. 
 
Mendengar jawab itu, sang Raja pun menyatakan bahwa Umar telah melanggar janji. Ia pun tidak boleh memperistri putri raja. Sialnya lagi, ia dijual sebagai budak ke luar negeri.
 
Ibu dan adik-adik Umar yang mengetahui kabar tersebut menjadi sedih. Namun, hal itu tidak membuat adik-adik Umar berputus asa. Mereka pun mencoba untuk melamar sang Putri. Ketika anak kedua janda itu melamar sang Putri, ternyata dia juga gagal melalui ujian sehingga dijual sebagai budak ke luar negeri. Begitu pula anak ketiga hingga anak keenam janda itu mengalami nasib yang sama. Kini, tinggal si Gulap yang menemani ibunya. Ketika ia berniat untuk melamar Putri raja, sang Ibu melarangnya.
 
  • “Jangan, Nak! Tinggal kamulah satu-satunya milik Ibu di dunia ini. Ibu tidak ingin kamu mengalami nasib sama seperti kakak-kakakmu. Lagi pula, Ibu sangat malu kepada Raja,” ujar sang Ibu. 
  • “Tidak, Bu. Gulap tidak akan mengecewakan Ibu. Izinkanlah Gulap untuk mencobanya,” pinta Gulap. 
 
Sang Ibu pun tidak bisa menolak keinginan putra bungsunya. Maka, ia terpaksa menghadap sang Raja lagi. Sang Raja pun bersedia menerima lamaran Gulap. Seperti keenam kakaknya, Gulap pun tinggal di istana. Ketika diperintahkan membajak sawah sang Raja yang luas itu, ia bekerja dengan tekun tanpa mengenal lelah. Meskipun tidak diberi makanan dan minuman, Gulap tetap bersabar menahan rasa lapar. 
Untuk melepas rasa dahaga, sekali-kali ia meminum air sawah. Akhirnya, pekerjaannya pun selesai saat hari mulai senja. Dengan rasa capai yang begitu berat, Gulap pulang ke istana. 
 
  • “Hai, Gulap. Kenapa baru pulang? Apakah kamu tidak merasa haus dan lapar?” tanya sang Raja. 
  • “Ampun, Baginda. Sebenarnya hamba sangat lapar, tapi ada orang yang mengirimi hamba makanan,” jawab Gulap dengan tenang. 
  • “Apakah kamu marah, Gulap?” tanya sang Raja. 
  • “Tidak, Baginda,” jawab Gulap singkat. 
  • “Tapi, kenapa wajahmu merah seperti itu?” tanya sang Raja lagi. 
  • “Ampun, Baginda. Wajah hamba merah begini karena terkena terik matahari,” jawab Gulap. 
 
Sang Raja tersenyum lebar. Ia amat puas melihat atas keberhasilan Gulap melalui ujian itu. Namun, hal itu bukan berarti Gulap sudah boleh menikah dengan sang Putri. Masih ada ujian lain yang harus dilaluinya. 
 
Keesokan hari, ia diajak oleh sang Raja ke kebun tebu yang amat luas miliknya sang Raja. 
 
  • “Gulap, bersihkan dan buanglah daun-daun tebu itu!” titah sang Raja. 
  • “Baik, Baginda,” jawab Gulap. Setelah sang Raja kembali ke istana, Gulap pun mulai bekerja. Namun, baru beberapa batang pohon tebu ia bersihkan tiba-tiba sesuatu terlintas di pikirannya. 
  • “Wah, kalau begini terus keadaannya, lama-lama kesabaranku bisa hilang,” gumam Gulap. 
 
Gulap pun berpikir keras bagaimana cara membuat sang Raja marah. Jika hal itu terjadi, tentu sang Rajalah yang akan dijual sebagai budak ke luar negeri. 
 
“Hmmm… aku harus melakukan sesuatu agar sang Raja marah,” gumamnya. 
 
Pemuda cerdik itu pun segera membuat lubang besar untuk pembuangan daun-daun tebu. Setelah itu, ia membersihkan daun-daun tebu itu lalu membuangnya ke dalam lubang yang telah dibuatnya. Setelah selesai, ia kembali ke istana untuk melapor kepada sang Raja. 
 
  • “Ampun, Baginda. Hamba telah menyelesaikan tugas hamba,” lapor Gulap. 
  • “Bagus, Gulap. Kamu memang pemuda yang tekun dan rajin,” puji sang Raja. 
 
Namun, alangkah murkanya sang Raja ketika memeriksa kebun tebunya. Seluruh tanaman tebunya telah gundul. 
 
  • “Hai, Gulap. Kenapa kamu menggundul semua tanaman tebuku?” tanya sang Raja dengan kesal. 
  • “Apakah Baginda marah kepada hamba?” Gulap balik bertanya. 
  • “Iya, aku sangat marah. Kamu telah menggundul seluruh tanaman tebuku, padahal belum saatnya dipanen,” jawab sang Raja dengan muka merah. 
  • “Ampun, Baginda. Masih ingatkah dengan janji yang pernah Baginda ucapkan?” tanya Gulap. 
 
Sang Raja pun terdiam. Ia baru sadar bahwa dirinya telah melanggar janji. 
 
  • “Iya, kamu benar. Aku pernah berjanji bahwa jika aku marah karena perbuatanmu, akulah yang akan dijual sebagai budak,” kata sang Raja, 
  • “Tapi, aku mohon jangan jual aku, Gulap! Aku berjanji akan menikahkanmu dengan putriku.” 
  • “Baiklah, Baginda. Tapi, hamba pun mempunyai satu permintaan,” kata Gulap. 
  • “Apa permintaanmu, Gulap?” tanya sang Raja.
  • “Hamba mohon agar keenam kakak hamba ditebus dan dibawa ke istana,” pinta Gulap. 
 
Sang Raja pun memenuhi permintaan Gulap. Setelah keenam kakaknya dikembalikan ke istana, pernikahaan Gulap dengan sang Putri pun dilangsungkan dengan meriah. Keduanya pun hidup berbahagia. Untuk melengkapi kebahagiaan itu, Gulap memboyong ibu dan saudara-saudaranya untuk tinggal di istana. 
 
Beberapa tahun kemudian, Gulap dinobatkan sebagai raja menggantikan mertuanya yang sudah tua. Sejak itulah, Gulap memimpin kerajaan itu dengan adil dan bijaksana. Rakyatnya pun hidup aman, tenteram, dan sejahtera. 
 
Sumber: http://agathanicole.blogspot.com/2017/09/kisah-si-gulap-yang-sabar.html

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline