Sebagai etnis asli yang mendiami tanah lombok, mayoritas masyarakat Suku Sasak beragama Islam. Agama Islam sendiri mulai masuk ke Lombok pada abad ke 16 yang dibawa sebagai akibat dari penguasaan Lombok oleh orang-orang Jawa dan juga makasar. Konon, sebelumnya Suku Sasak telah menganut kepaercayaan Boda atau dikenal juga dengan Sasak Boda. Boda tidak sama dengan Agama Budha karena orang sasak tidak mempercayai Sidharta Gautama sebagai sosok yang disembah. Kepercayaan ini lebih kepada animismE dan panteisme dimana pemujaan dilakukan terhada roh-roh leluhur dan dewa-dewa lokal.
Islam Dikenal oleh Suku Sasak
Awal mula kedatangan Islam ke pulau Lombok adalah seiring dengan perkembangan Islam di nusantara dan keruntuhan Kerajaan Majapahit. Masuknya Islam ke tanah Lombok diduga diabwa oleh pedagang-pedagang muslim yang berniaga di Lombok yang kemudian menyebarkan agamanya. Dalam Babad Lombok dijelaskan bahwa Sunan Ratu Giri memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam ke Indonesia bagian utara. Beberapa orang yang ditugasakan itu adalah Lembok Mangkurat dan pasukannya dikirim ke Banjar, Datu Bandan dikirim ke Selayar, Makassar,Tidore dan Seram, Pangeran Perapen mengirim anak laki-lakinyauntuk berlayar menyiarkan Islam ke Bali, Lombok dan Sumbawa.
Setelah panggeran tiba di tanah lombok, panggeran prapen diterima dengan baik oleh Raja Lombok, setelah memaparkan misi sucinya raja lombok pun bersedia masuk Islam. Akan tetapi Rakyat Sasak belum bisa menerima kehadiran agama Islam di tanah mereka sehingga Raja Lombok pun dihasut oleh rakyat sampai terjadi peperangan antara kedua belah pihak yaitu pasukan panggeran prapen dan rakyat sasak yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Panggeran Perapen. Atas kemenangan tersebut, Panggeran Perapen dan pasukannya pun mengislamkan raja beserta kedatuan-kedatuan lainnya seperti Pejanggik, Langko, Parwa, Sarwadadi, Bayan, Sokong dan Sasak (Lombok Utara). Dan juga ada kedatuan-kedatuan yang dengan sukarela masuk islam yaitu Parigi dan Sarwadadi. Panggeran Perapen juga mengislamkan masyarakat Lombok dan menghitan para lelaki serta mengharamakan pura, meru, babi dan sanggah. Pasca itu, Agama Islam berkembang dengan sangat pesat Di Pulau Lombok. Hal ini tidak terlepas dari beberapa faktor yang membuat Islam dengan mudah diterima di Tanah Lombok.
Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah (1) Agama Islam dianggap sebagai agama yang demokratis, (2) Agama Islam bukan merupakan ajaran yang asing lagi bagi masyarakat Sasak, (3) penyebaran Agama Islam dilakukan secara damai seperti melalui pereragangan dan perkawinan, (4) terjadinya kekosongan rohani rakyat akibat runtuhnya Kerajaan Majapahit dan (5) dakwah dari para guru dan ulama yang intensif.
Munculnya Islam Wetu Telu
Pasca kesuksesan sunan perapen mengislamkan masyarakat Suku Sasak saat itu, Sunan Perapen bergegas meninggalkan Lombok untuk menyebarkan agama islam ke wilayah Sumbawa dan bima. Akan tetapi, sepeninggal Sunan Perapen timbul masalah baru di kalangan masyarakat suku sasak yakni kaum wanita suku sasak menolak memeluk Agama Islam. Tak hanya itu, masyarakat Sasak juga terpecah menjadi 3 golongan yaitu golongan yanga memilih mempertahankan kepercayaan lamanya dan lari ke hutan (orang Boda), golongan yang takluk dan memeluk islam (waktu lima) dan golongan yang hanya takluk pada kekuasaan sunan perapen (Wetu telu). Akibat dari adanya masalah ini Sunan Perapen akhirnya kembali lagi ke Lombok untuk meluruskan dan memperbaiki penyebaran Islam di Lombok.
Dari ketiga golongan tersebut, Islam Wetu Telu adalah golongan yang keberadaannya masih bertahan sampai sekarang. Islam wetu telu sendiri adalah kepercayaan orang sasak yang mengaku Islam tapi masih mempraktikan ritual-ritual agama Hindu, Budha, Animism dan Boda seperti pemujaan terhadap roh leluhur dan para dewa. hal ini disebabkan oleh proses Islamisasi yang belum tuntas sebagai penyebab utama munculnya Islam Wetu Telu. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut (1) Kedatangan Islam pada saat kuatnya kepercayaan tradisional seperti animisme, dinamisme, dan Boda, (2) dominasi ajaran Hindu Majapahit yang telah berakar kuat di masyarakat, (3) para muballigh dan ulama yang menyampaikan ajaran agama Islam terburu-buru meninggalkan tempat tugasnya untuk menyebarkan agama Islam ke tempat lain seperti Sumbawa, Dompu, dan Bima, (4) para murid yang menjadi kepanjangan tangan para mubaligh dan ulama belum memiliki kemampuan menafsirkembangkan ajaran islam secara rasional dan (5) metode dakwah yang sangat toleran dengan komitmen tidak akan merusak adat istiadat setempat.
Islam Wetu Telu Kekinian
Masyarkat Sasak pada umumnya adalah penganut Islam yang umum atau bisa diebut dengan ajaran islam Waktu Lima. Penganut Islam Wetu Telu saat ini hanya sekitar 1% dari jumlah masyarakata keseluruhan. Persebarannya sendiri kawasan Tanjung dan beberapa desa di kecamatan Bayan seperti Loloan, Anyar, Akar-Akar, dan Mumbul Sari serta dusun-dusunnya memusat di Senaru, Barung Birak, Jeruk Manis, DasanTutul, Nangka Rempek, Semokan dan Lendang Jeliti. Ajaran islam wetu telu sebenarnya secara formal sudah tidak ada sejak tahun 1968. Pada saat itu para tokohnya sudah menyatakan meninggalkana ajaran tersebut dan memutuskan bergabung bersama pemeluk agama islam pada umumnya. Namun, kebudayaan Wetu Telu sendiri masih hidup dan dipertahankan sebagai kebudayaan warisan leluhur yang harus dilesatrikan.
Salah satu wilayah yang masyarakatanya masih menganut kepercayaan Wetu Telu adalah Bayan Beleq. Di wilayah ini terdapat mesjid kuno yang biasa dipakai untuk melaksanakan ibadah shalat. Untuk memasuki mesjid ini tidak bisa sembarang memakai pakaian tapi harus memakai sarung dan kemeja putih. Selain itu juga di wilayah ini masyarakat melakukan berbagai upacara adat terutama dalam rangka bertani seperti upacara adat bonga padi. Masyarakat disini juga sangat tabu melupakan leluhur karena bisa mengakibatkan terjadi bencana.
Masih bertahannya kebudayaan wetu telu hingga saat ini tidak semata-mata atas dasar kepercayaan masyarakat terhadap warisan leluhur. Akan tetapi, masyarakat juga percaya bahwa dengan berpegang teguh pada tradisi warisan nenek moyang maka kehidupan pun akan berlangsung dengan baik dan jauh dari bencana. Hal ini dijelaskan oleh pemangku adat di wilayah setempat menurut salah satu sumber. Menurutnya, persepsi masyarakat seringkali salah dalam mengartikan kepercayaan Wetu Telu. Umumnya orang beranggapan bahwa Wetu Telu adalah salah satu ajaran islam yang bermakna keseluruhan ibadah dalam Islam yang disimbolkan dengan Wetu (waktu) dan Telu (tiga). Sebenarnya, Wetu Telu adalah sebuah konsep kosmologi kepercayaan leluhur yang berarti kehidupan ini tergantung 3 jenis reproduksi yakni beranak (manganak), bertelur (menteluk) dan berbiji (mentiuk). Ini merujuk pada keseimbangan alam yang harus senantiasa lestari sebagai cikal bakal kehidupan yang baik.
Masyarakat Wetu Telu juga sangat mementingkan nilai cultural dari tanah, seperti tanah-tanah tempat bangunan suci, pemakaman keramat dan sumber air. Masyarakat wetu telu juga menjaga hutan yang terdapat sumber air yang akan mengaliri sawah mereka atu biasa disebut hutan Tabu. Msayarakat wetu telu percaya bahwa bila mengusik segala hal yang ada di hutan termasuk tumbuhan dan hewan maka akan terkena kutukan. Masyarakat juga memiliki tradisi memotong kayu dari hutan 8 tahun sekali untuk memperbaiki mesjid adat. Di balik berbagai persepsi masyarakat umum tentang kepercayaan wetu telu, kepercayaan ini menyimpan banyak nilai yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, dimana kehidupan akan lebih baik dengan menjaga keseimbangan alam agar tetap lestari.
Sumber: http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/958/islam-wetu-telu
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja