Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
cerita rakyat Aceh Aceh Selatan
Hikayat Cabe Rawit
- 5 Januari 2019
Pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung antah berantah, hidulah sepasang suami istri. Mereka merupakan sebuah keluarga yang sangat miskin. Rumahnya dari pelepah daun rumbia yang didirikan seperti pagar sangkar puyuh. Atap rumah mereka dari daun rumbia yang dianyam. Tidak ada lantai semen atau papan di rumah tersebut, kecuali tanah yang diratakan dan dipadatkan. Di sana tikar anyaman daun pandan digelar untuk tempat duduk dan istirahat keluarga tersebut.

Demikianlah miskinnya keluarga itu. Rumah mereka pun jauh dari pasar dan keramaian. Namun demikian, suami-istri yang usianya sudah setengah abad itu sangat rajin beribadah.

“Istriku,” kata sang suami suatu malam. “Sebenarnya apakah kesalahan kita sehingga sudah di usia begini tua, kita belum juga dianugerahkan seorang anak pun. Padahal, aku tak pernah menyakiti orang, tak pernah berbuat jahat kepada orang, tak pernah mencuri walaupun kita kadang tak ada beras untuk tanak.”

“Entahlah, suamiku. Kau kan tahu, aku juga selalu beribadah dan memohon kepada Tuhan agar nasib kita ini dapat berubah. Jangankan harta, anak pun kita tak punya. Apa Tuhan terlalu membenci kita karena kita miskin?” keluh sang istri pula. Matanya bercahaya di bawah sinar lampu panyot tanda berusaha menahan tangis.

Malam itu, seusai tahajud, suami-istri tersebut kembali berdoa kepada Tuhan. Keduanya memohon agar dianugerahkan seorang anak. Tanpa sadar, mulut sang suami mengucapkan sumpah, “Kalau aku diberi anak, sebesar cabe rawit pun anak itu akan kurawat dengan kasih sayang.” Entah sadar atau tidak pula, si istri pun mengamini doa suaminya.

Beberapa minggu kemudian, si istri mulai merasakan sakit diperutnya. Keduanya tak pernah curiga kalau sakit yang dialami si istri adalah sakit orang mengandung. Tak ada ciri-ciri kalau perut istri sedang mengandung. Si istri hanya merasa sakit dalam perut. Sesekali, ia memang merasakan mual.

Waktu terus berjalan. Bulan berganti bulan, pada suatu subuh yang dingin, si istri merasakan sakit dalam perutnya teramat sangat. Bukan main gelisahnya kedua suami-istri tersebut. Hendak pergi berobat, tak tahu harus pergi ke mana dan pakai apa. Tak ada sepeserpun uang tersimpan. Namun, kegelisahan itu tiba-tiba berubah suka tatkala ternyata istrinya melahirkan seorang anak. Senyum sejenak mengambang di wajah keduanya. Akan tetapi, betapa terkejutnya suami-istri itu, ternyata tubuh anak yang baru saja lahir sangat kecil, sebesar cabe rawit.

“Sudahlah istriku, betapa pun dan bagaimana pun keadaannya, anak ini adalah anak kita. Ingatkah kau setahun lalu, saat kita berdoa bersama bahwa kita bersedia merawat anak kita kelak kalau memang Tuhan berkenan, walaupun sebesar cabe rawit?” hibur sang suami. Keduanya lalu tersenyum kembali dan menyadari sudah menjadi ibu dan ayah.

Singkat cerita, si anak pun dipelihara hingga besar. Anak itu perempuan. Kendati sudah berumur remaja, tubuh anak itu tetap kecil, seperti cabe rawit. Demi kehidupan keluarganya, sang ayah bekerja mengambil upah di pasar. Ia membantu mengangkut dagangan orang untuk mendapatkan sedikit bekal makanan yang akan mereka nikmati bersama.

Sahdan, suatu ketika si ayah jatuh sakit, tak lama kemudian meninggal dunia. Sedangkan si ibu, tubuhnya mulai lemas dimakan usia. Bertambahlah duka di keluarga itu sejak kehilangan sang ayah. Kerja si ibu pun hanya menangis. Tak tahan melihat keadaan orangtuanya, si anak yang diberi nama cabe rawit karena tubuhnya memang kecil seperti cabe, berkata pada ibunnya, “Ibu aku akan ke pasar. Aku akan bekerja menggantikan ayah.”

“Jangan anakku, nanti kalau kau terpijak orang, bagaimana? Ibu tak mau terjadi apa-apa pada dirimu,” sahut ibunya.

“Sudahlah, Ibu, yakinlah aku tak kan apa-apa. Aku pasti bisa. Aku kan sudah besar.”
“Anakku, kau satu-satunya harta yang tersisa di rumah ini. Kau satu-satunya milik ibu sekarang. Ibu tak mau kehilangan dirimu,” kata ibu lagi.

“Aku akan mencoba dahulu, Bu. Dengan doa ibu, yakinlah kalau aku tidak akan apa-apa. Nanti, kalau memang aku tidak bisa bekerja, aku akan pulang. Tapi, izinkan aku mencobanya dahulu, Ibu,” bujuk cabe rawit berusaha meyakinkan ibunya.

Cabai rawit terus mendesak ibunya agar diizinkan bekerja ke pasar. Sahdan, sang ibu pun akhirnya memberikan izin kepada cabe rawit. Maka pergilah cabe rawit ke pasar tanpa bekal apa pun.
Belum sampai ke pasar, di perempatan jalan, melintaslah seorang pedagang pisang. Raga pisang pedagang itu nyaris saja menyentuh cabe rawit. “Mugè pisang, mugè pisang, hati-hati, jangan sampai raga pisangmu menghimpit tubuhku yang kecil ini,” kata cabe rawit.

Spontan pedagang pisang menghentikan langkahnya. Ia melihat ke belakang, lalu ke samping, tapi tak dilihatnya seorang pun manusia.

“Mugè pisang, mugè pisang, hati-hati, jangan sampai raga pisangmu menghimpit tubuhku yang kecil ini.” Terdengar kembali suara serupa di telinga pedagang pisang. Ia kembali melihat ke belakang dan ke samping. Tapi, tetap tak ditemukannya sesosok manusia pun. Sampai tiga kali ia mendengar suara dan kalimat yang sama, mugè pisang merasa ketakutan. Akhirnya, dia berlari meninggalkan pisang dagangannya. Ia mengira ada makhluk halus. Padahal, si cabe rawit yang sedang bicara. Karena tubuhnya yang mungil, pedagang pisang itu tidak melihat keberadaan cabe rawit di sana.
Sepeninggalan mugè pisang, pulanglah cabe rawit membawa pisang yang sudah ditinggalkan mugè itu. Sesampainya di rumah, si ibu heran melihat anaknya membawa pisang. “Darimana kau dapatkan pisang-pisang ini, Rawit?” tanya si ibu.

Cabe rawit menceritakan kejadian di jalan sebelum ia sempat sampai ke pasar. “Daripada diambil orang atau dimakan kambing, aku bawa pulang saja pisang-pisang ini, Bu,” katanya.

Keesokan harinya, si cabe rawit kembali minta izn untuk ke pasar. Namun, di tengah jalan, lewatlah pedagang beras dengan sepedanya. Ketika pedagang beras nyaris mendahului si cabe rawit, ia mendengar sebuah suara. “Hati-hati sedikit pedagang beras, jangan sampai ban sepedamu menggilas tubuhku yang kecil ini. Ibuku pasti menangis nanti,” kata sara itu.

Berhentilah pedagang beras tersebut karena terkejut. Ia melihat ke sekeliling, tapi tak didapatinya seorang manusia pun. Sementara suara itu kembali terdengar. Setelah mendengar suara tersebut berulang-ulang, akhirnya pedagang beras lari pontang-panting ketakutan. Ia mengira ada makhluk halus yang sedang mengintainya. Padahal, itu suara cabe rawit yang tidak kelihatan karena tubuhnya yang teramat mungil.

Sepeninggalan pedagang beras, cabe rawit pulang sambil membawa sedikit beras yang sudah ditinggalkan oleh pedagang tersebut. Sesampainya di rumah, si ibu kembali bertanya. “Tadi, di jalan aku bertemu dengan pedagang beras, Bu. Dia tiba-tiba meninggalkan berasnya begitu saja. Daripada diambil orang lain atau dimakan burung, kuambi sedikit, kubawa pulang untuk kita makan. Bukankah kita sudah tidak memiliki beras lagi?” jawab cabe rawit.

Keesokan harinya, hal serupa kembali terjadi. Ketika cabe rawit hendak ke pasar, di pertengahan jalan, ia bertemu dengan pedagang ikan. Pedagang ikan itu juga ketakutan saat mendengar ada suara yang menyapanya. Ia lari lintang pukang meninggalkan ikan-ikan dagangannya. Maka pulanglah cabe rawit sembari membawa beberapa ikan semampu ia papah. “Tadi pedagang ikan itu tiba-tiba lari meninggalkan ikan-ikannya. Kita kan sudah lama tidak makan ikan. Aku bawa pulang saja ikan-ikan ini sedikit daripada habis dimakan kucing,” kata cabe rawit kepada ibunya saa sang ibu bertanya darimana ia mendapatkan ikan.

Begitulah hari-hari dilalui cabe rawit. Ia tidak pernah sampai ke pasar. Selalu saja, di perempatan atau pertengahan jalan, dia berpapasan dengan para pedagang. Hatta, keluarga yang dulunya miskin dan jarang makan enak itu menjadi hidup berlimpah harta. Pedagang beras akan meninggalkan berasnya di jalan saat mendengar suara cabe rawit. Pedagang pakaian meninggalkan pakaian dagangannya, pedagang emas pun pernah melakukan hal itu. Heranlah orang-orang sekampung melihat si janda miskin menjadi hidup bergelimang harta.

Orang-orang kampung pun mulai curiga. Didatangilah rumah janda miskin tersebut. “Bagaimana mungkin kau tiba-tiba hidup menjadi kaya sedangkan kami semua tahu, kau tidak memiliki siapa-siapa. Suami pun sudah meniggal,” kata kepala kampung.

Si janda hanya diam. Kepala kampung mengulangi pertanyaanya lagi. Namun, di janda tetap bungkam. Karena kepala kampung dan orang-orang kampung di rumah itu sudah mulai marah, terdengarlan suara dari balik pintu. “Tolong jangan ganggu ibuku. Kalau kepala kampung mau marah, marahilah aku. Kalau kepala kampung mau memukul, pukullah aku,” kata suara tersebut.

Kepala kampung dan orang-orang yang ada di rumah tersebut terkejut mendengar suara itu.

Beberapa kali suara itu terdengar dari arah yang sama, dari belakang pintu. Salah seorang penduduk melihat ke sebalik pintu. Namun, tak dijumpainya seorang pun di sana. Sedangkan saat itu, suara yang sama kembali terdengar. “Kalau kalian mau marah, marahilah aku. Kalau kalian mau memukul, pukullah aku,” kata suara itu yang tak lain dan tak bukan adalah milik cabe rawit.

Singkat cerita, ketahuan juga bahwa suara itu dari seorang manusia yang sangat kecil, sebesar cabe. Suasana berubah menjadi tegang. Si janda menjelaskan semuanya. Ia menceritakan tentang sumpah yang pernah ia lafalkan dengan sang suami tentang keinginan punya anak walau sebesar cabe pun. Mahfumlah kepala kampung dan penduduk di sana. Akhirnya, para penduduk sepakat membangun sebuah rumah lebih bagus untuk di janda bersama anaknya. Hidup makmurlah keluarga cabe rawit. Ia tidak lagi harus pergi ke pasar sehingga membuat orang-orang takut. Akan tetapi, setiap penduduk berkenan memberikan keluarga cabe rawit apa pun setiap hari. Ada yang memberikan beras, garam, pakaian, dan sebagainya.
 
 
http://dongengdanceritarakyat.blogspot.com/2013/02/hikayat-cabe-rawit-cerita-rakyat-dari.html

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Konsep Ikan Keramat Sebagai Konservasi Lokal Air Bersih Kawasan Goa Ngerong Tuban
Cerita Rakyat Cerita Rakyat
Jawa Timur

Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...

avatar
Muhammad Rofiul Alim
Gambar Entri
Upacara Kelahiran di Nias
Ritual Ritual
Sumatera Utara

Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...

avatar
Admin Budaya
Gambar Entri
Prajurit Pemanah Kasultanan Kasepuhan Cirebon Di Festival Keraton Nusantara
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Jawa Barat

Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN: terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembongb berwarnaungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok dan pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR: sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH: Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghadap ke belaka...

avatar
ASEP NU KASEP TEA ATUH PIRAKU
Gambar Entri
Kirab agung milad ke 215 kesultanan kacirebonan
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Jawa Barat

aksi pertunjukan pusaka dan pasukan kesultanan kacirebonan dari balaikota cirebon sampai ke keraton kacirebonan

avatar
ASEP NU KASEP TEA ATUH PIRAKU
Gambar Entri
PANURUNG: Pasukan Pengawal Keraton Sumedang Larang
Senjata dan Alat Perang Senjata dan Alat Perang
Jawa Barat

Para pasukan penjaga keraton Sumedang larang

avatar
ASEP NU KASEP TEA ATUH PIRAKU