Pemain dan penonton dituntut kewaspadaan dan disiplin. Seorang warga, Takdir Haria (45), menuturkan, seorang pemain harus menguasai betul teknik permainan fafiri agar tidak membahayakan dirinya dan juga penonton. Pemukul firi harus memahami betul cara memukulnya. Misalnya, dia harus mampu memukul persis sepertiga bagian firi di sebelah kanannya. ”Kalau pemukulannya sempurna, firi akan terlempar dan berputar-putar,” ujar Takdir.
Tahapan permainan fafiri sebelum dinyatakan sebagai pemenang, menurut Takdir, harus melalui tahapan-tahapan yang cukup panjang. Mulai dari undian menentukan pemukul pertama dengan suit(adu jari, kelingking, ibu jari, dan telunjuk) dalam bahasa di sana disebut fasi. Yang menang akan berhak menjadi regu pertama memukul firi.
Tahapan berikutnya adalah memukul. Para pemain memukul firi dan harus mengenai firi lawan yang terpasang. Selain itu, “Ada pemukulan melalui selangkangan, melewati bahu, dan terakhir memukul dengan mata ditutup,” ujar warga Bawömataluo yang di masa kecilnya adalah pemain fafiri.
Sayangnya, pada fafiri Sabtu, 14 Mei 2011 lalu, tampaknya sudah mengalami modifikasi dan penyederhanaan sehingga penonton tidak bisa menyaksikan tahapan-tahapan itu dengan sempurna. “Permainan hari ini tidak memainkan semua tahapan itu,” ujar Takdir Haria.
Permaian fafiri hari itu dilakonkan empat pemuda Desa Bawömataluo. Setiap grup terdiri dari dua orang, Grup A dan Grup B. Setelah diundi melalui fasi, Grup A tampil sebagai pemukul firi pertama. Sementara Grup B bertugas memasang bago dan firi, sebagai sesasaran pemukulan. Tak terlihat pemukulan yang sampai sejauh dua belas rumah. Hanya beberapa meter dari pemukul.
Setelah sasaran terpasang, Grup A memukul firi ke arah sasaran. Pemukul firi pertama tidak berhasil mengenai sasaran. Penonton bersora, ”Huuuuuuu….”. Lantas dilanjutkan pemain yang satu lagi. Pada pukulan kedua ini pun, pemain tidak berhasil mengenai sasaran. Dan, “Huuuuuuu….,” terdengar ocehan penonton yang jumlahnya ratusan.
Posisi berubah. Kini giliran Grup B yang berhak memukul firi. Pemukul pertama Grup B berhasil mengenai sasaran, menjatuhkan firi yang dipasang Grup A. Permainan dimenangi oleh Grup B dan tampil sebagai juara.
Meskipun penampilan fafiri dalam Bawömataluo 2011 tidak sempurna, penonton merasa puas. Mereka bersorak, berjingkrak-jingkrak. Tidak begitu peduli apakah permainan itu sempurna atau tidak. “Luar biasa,” kata seorang pengunjung yang datang dari Medan.
Hingga sekarang ini, penduduk desa ini masih memainkan fafiri di sore hari untuk mengisi waktu lowong. Desa berpenduduk 6.000 jiwa itu merupakan areal seluas 5 hektar dan memiliki empat lorong yang lebar dan memberi ruang bagi penduduk memainkan permainan ini. Menurut Takdir, di masa lalu lorong-lorong itulah tempat satu-satunya bagi mereka bermain fafiri.
Desa yang terletak 250 meter di atas permukaan laut ini memiliki empat lorong utama, yakni lorong raya (gerbang timur), lorong halamba’a (gerbang selatan), lorong lou (gerbang barat), dan lorong Ndrölömbagoa (gerbang Utara). “Lorong inilah tempat kami bermain fafiri di masa kecil,” ujar Takdir.
Semoga permainan tradisional fafiri terus terpelihara sebagai sebuah kekayaan budaya daerah dan menjadi salah satu tontonan yang menarik bagi pengunjung desa yang dulu banyak dikunjungi wisatawan asing yang turun dari kapal-kapal pesiar yang berlabuh di Telukdalam itu.
sumber : gaedegambarist.blogspot.com/2011/09/fafiri-permainan-tradisional-nias.html
Vila Van Resink adalah bangunan cagar budaya berbentuk vila yang terletak di Jalan Siaga, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilik awal vila ini adalah Gertrudes Johannes "Han" Resink, seorang anggota Stuw-groep , sebuah organisasi aktif pada Perang Dunia II yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembentukan negara demokratis Hindia Belanda. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari station hill (tempat tetirah pada musim panas yang berada di pegunungan) untuk boschwezen dienst (pejabat kehutanan Belanda). Pada era Hamengkubuwana VII, kepengelolaan Kaliurang (dalam hal ini termasuk bangunan-bangunan yang berada di wilayah tersebut) diserahkan kepada saudaranya yang bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah tersebut lantas dimanfaatkan untuk perkebunan nila, tetapi kegiatan itu terhenti kemudian hari karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vors...
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pakem Kertodadi adalah salah satu gereja di bawah naungan sinode Gereja Kristen Jawa, yang terletak di Jalan Kaliurang km. 18,5, Padukuhan Kertadadi, Kalurahan Pakembinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Awal mula pertumbuhan jemaat gereja ini berkaitan dengan keberadaan Rumah Sakit Paru-Paru Pakem, cabang dari Rumah Sakit Petronela (Tulung), yang didirikan di wilayah Hargobinangun. Sebelum tahun 1945, kegiatan keagamaan umat Kristen diadakan secara sederhana dalam bentuk renungan atau kebaktian pagi yang berlangsung di klinik maupun apotek rumah sakit yang dikenal dengan nama "Loteng". Para perawat di rumah sakit tersebut juga melakukan pelayanan kesehatan ke dusun-dusun di sekitarnya, yaitu Tanen, Sidorejo, Purworejo, dan Banteng. Menurut Notula Rapat Gerejawi, jemaat gereja ini mengadakan penetapan majelis yang pertama kali pada 21 April 1945. Tanggal tersebut lantas disepakati sebagai hari jadi GKJ Pa...
Situs Cepet Pakem adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Cepet, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan temuan dua buah yoni dan sejumlah komponen arsitektur candi di sekitarnya, situs ini diduga merupakan reruntuhan sebuah candi Hindu dari masa klasik. Lokasinya kini berada di area permakaman umum Padukuhan Cepet, berdekatan dengan sebuah masjid. Benda cagar budaya (BCB) utama yang ditemukan di situs ini adalah dua buah yoni yang terbuat dari batu andesit. Kondisi keduanya telah rusak, sedangkan lingganya tidak ditemukan. Yoni pertama awalnya berada di pekarangan penduduk bernama Pujodiyono, tetapi sekarang dipindahkan di halaman makam. Yoni ini memiliki ukuran relatif besar dengan bentuk yang sederhana, yaitu lebar 134 sentimeter, tebal 115 sentimeter, dan tinggi 88 sentimeter. Bagian bawah cerat yoni tersebut tidak bermotif dan memberikan kesan bahwa pengerjaannya belum selesai. Sementara itu, terdap...
Situs Potro atau Pancuran Buto Potro adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Potro, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs ini terdiri atas dua benda cagar budaya (BCB) utama yang seluruhnya terbuat dari batu andesit, yaitu jaladwara dan peripih. Jaladwara di situs ini oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Pancuran Buto, karena bentuknya menyerupai kepala raksasa (kala) dengan mulut terbuka, gigi bertaring, dan ukirannya menyerupai naga. Sementara itu, keberadaan peripih berukuran cukup besar di situs ini menimbulkan dugaan bahwa pernah berdiri sebuah bangunan keagamaan di sekitar lokasi, kemungkinan sebuah candi, meskipun bentuk dan coraknya tidak dapat dipastikan karena minimnya artefak yang tersisa.
Resep Sambal Matah Bahan-bahan: Bawang Merah Cabai Rawit Daun Jeruk Sereh Secukupnya garam Minyak panas Pembuatan: Cincang bawang merah, cabai rawit, daun jeruk, dan juga sereh Campur semua bahan yang sudah dicincang dalam satu wadah Tambahkan garam secukupnya atau sesuai selera Masukkan minyak panas Aduk semuanya Sambal matah siap dinikmati