Enthong digunakan masyarakat Jawa untuk menanak nasi dan persiapan makan. Maka keberadaannya pasti ada di setiap dapur tradisional dan meja makan.
Enthong biasanya terbuat dari kayu berbentuk lonjong dan dibuat pipih. Sementara pangkalnya dibuat mengecil yang berfungsi untuk pegangan. Fungsi utama enthong adalah untuk mengaduk beras yang sedang ditanak sekaligus sebagai alat untuk mengambil nasi yang sudah masak ke dalam wakul maupun saat hendak menuangkan nasi dari wakul ke piring makan.
Ukuran enthong bermacam-macam, ada yang kecil, sedang, dan besar. Ukuran kecil, panjang sekitar 15-20 cm. Sementara yang besar bisa berukuran panjang hingga 45 cm. Besar kecilnya enthong disesuaikan dengan kapasitas tempat memanak beras atau tempat nasi. Jika menanak nasinya untuk ukuran rumah tangga, pada umumnya menggunakan enthong kecil. Begitu pula saat nasi sudah tanak dan ditempatkan dalam wakul. Namun, apabila menanak nasi untuk hajatan yang membutuhkan tempat menanak berukuran besar, misalnya dandang, maka menggunakan enthong besar.
Jenis kayu yang digunakan untuk membuat enthong biasanya dipilih jenis kayu yang awet dan kuat, seperti kayu jati, kayu nangka, kayu sawo, kayu asam, dan glugu (batang pohon kelapa). Namun kadang-kadang dipilih kayu yang ada di sekitar lingkungan, bisa kayu mlandhing, kayu sengon, dan jenis kayu lainnya. Dipilih jenis kayu yang awet dan kuat, agar enthong lebih tahan lama dan tidak mudah rusak.
Hingga saat ini, tentu saja masyarakat Jawa masih menggunakan alat memasak satu ini sebagai perlengkapan dapur dan peralatan makan. Biasanya enthong di dapur, termasuk enthong yang sudah agak usang. Sementara enthong yang digunakan di meja makan, termasuk enthong yang kualitasnya agak bagus. Pembedaan itu hanya untuk menampilkan kepantasan saja. Apalagi jika ada tamu yang diundang dan diajak makan, tentu saja jenis enthong yang masih bagus yang dipakai di meja makan.
Walaupun sekarang ini enthong tradisional yang terbuat dari bahan kayu masih mendominasi di kalangan masyarakat Jawa, tetapi pembuatannya mengalami perkembangan. Enthong yang dibuat saat ini biasanya lebih halus, karena menggunakan mesin bubut dalam finishingnya. Demikian pula enthong produksi sekarang, biasanya ada yang dibuat cekung sedikit di tengahnya, dan di bagian pinggir tetap rata.
Selain dari kayu, dewasa ini juga muncul berbagai jenis enthong modern. Bahannya dari jenis logam aluminium, kuningan, stenlis, maupun plastik. Harganya juga bermacam-macam sesuai dengan bahannya. Namun fungsinya tetap sama, untuk menanak nasi dan pelengkap wakul di meja makan.
Selain sebagai alat dapur, ternyata bagi masyarakat Jawa, enthong termasuk alat dapur yang juga dipercaya sebagai alat sugesti dan juga pernah muncul dalam cerita rakyat Jawa. Enthong menjadi alat sugesti yang sering digunakan oleh masyarakat Jawa untuk menyembuhkan orang yang “kemlekaren” atau istilah bahasa Indonesianya ‘kekenyangan’.
Kadang-kadang, sering dijumpai anak-anak masyarakat Jawa di zaman dahulu yang terlalu bernafsu ketika ada banyak makanan. Nah, begitu banyaknya makanan, kadang-kadang anak lupa kapasitas perutnya, sehingga kelebihan makan. Akibat makan banyak, perut menjadi kekenyangan, sehingga perut terasa sakit dan kurang enak badan. Pada kondisi demikian, biasanya orangtua tidak tega melihatnya. Maka untuk mengurangi rasa sakit akibat kekenyangan, orangtua segera mengambil enthong (atau irus), lalu diletakkan di perut si anak yang kemlekaren. Sambil seolah-olah mengambil sebagian makanan di perut, orangtua berkata yang intinya, “Sini makanannya di perut, saya kurangi pakai enthong, mudah-mudahan rasa kemlekarennya hilang”. Demikianlah tadi doanya. Biasanya tidak lama kemudian rasa kekenyangan akan hilang, dan anak tidak akan merasa sakit perut lagi.
Enthong ternyata juga pernah hadir dalam sebuah kisah cerita rakyat di Jawa Tengah, berkaitan dengan terjadinya Telaga Rawa Pening. Konon, ketika banjir bandang menggenangi sebuah desa, sang nenek menyelamatkan diri dengan menaiki perahu lesung dan dayung yang terbuat dari enthong. Hal ini dilakukan nenek tersebut, setelah seorang anak kecil berpesan kepadanya. Ternyata anak kecil yang berpesan itu, sebelumnya pernah diberi makan oleh sang nenek, setelah semua penduduk desa itu tidak mau memberi makanan kepada anak kecil yang dianggap gembel tersebut. Akhirnya, sang nenek bisa selamat berkat menaiki perahu lesung dan dayung enthong.
Sumber: https://gpswisataindonesia.info/2014/09/enthong-alat-dapur-teman-setia-nasi/
Vila Van Resink adalah bangunan cagar budaya berbentuk vila yang terletak di Jalan Siaga, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilik awal vila ini adalah Gertrudes Johannes "Han" Resink, seorang anggota Stuw-groep , sebuah organisasi aktif pada Perang Dunia II yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembentukan negara demokratis Hindia Belanda. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari station hill (tempat tetirah pada musim panas yang berada di pegunungan) untuk boschwezen dienst (pejabat kehutanan Belanda). Pada era Hamengkubuwana VII, kepengelolaan Kaliurang (dalam hal ini termasuk bangunan-bangunan yang berada di wilayah tersebut) diserahkan kepada saudaranya yang bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah tersebut lantas dimanfaatkan untuk perkebunan nila, tetapi kegiatan itu terhenti kemudian hari karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vors...
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pakem Kertodadi adalah salah satu gereja di bawah naungan sinode Gereja Kristen Jawa, yang terletak di Jalan Kaliurang km. 18,5, Padukuhan Kertadadi, Kalurahan Pakembinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Awal mula pertumbuhan jemaat gereja ini berkaitan dengan keberadaan Rumah Sakit Paru-Paru Pakem, cabang dari Rumah Sakit Petronela (Tulung), yang didirikan di wilayah Hargobinangun. Sebelum tahun 1945, kegiatan keagamaan umat Kristen diadakan secara sederhana dalam bentuk renungan atau kebaktian pagi yang berlangsung di klinik maupun apotek rumah sakit yang dikenal dengan nama "Loteng". Para perawat di rumah sakit tersebut juga melakukan pelayanan kesehatan ke dusun-dusun di sekitarnya, yaitu Tanen, Sidorejo, Purworejo, dan Banteng. Menurut Notula Rapat Gerejawi, jemaat gereja ini mengadakan penetapan majelis yang pertama kali pada 21 April 1945. Tanggal tersebut lantas disepakati sebagai hari jadi GKJ Pa...
Situs Cepet Pakem adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Cepet, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan temuan dua buah yoni dan sejumlah komponen arsitektur candi di sekitarnya, situs ini diduga merupakan reruntuhan sebuah candi Hindu dari masa klasik. Lokasinya kini berada di area permakaman umum Padukuhan Cepet, berdekatan dengan sebuah masjid. Benda cagar budaya (BCB) utama yang ditemukan di situs ini adalah dua buah yoni yang terbuat dari batu andesit. Kondisi keduanya telah rusak, sedangkan lingganya tidak ditemukan. Yoni pertama awalnya berada di pekarangan penduduk bernama Pujodiyono, tetapi sekarang dipindahkan di halaman makam. Yoni ini memiliki ukuran relatif besar dengan bentuk yang sederhana, yaitu lebar 134 sentimeter, tebal 115 sentimeter, dan tinggi 88 sentimeter. Bagian bawah cerat yoni tersebut tidak bermotif dan memberikan kesan bahwa pengerjaannya belum selesai. Sementara itu, terdap...
Situs Potro atau Pancuran Buto Potro adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Potro, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs ini terdiri atas dua benda cagar budaya (BCB) utama yang seluruhnya terbuat dari batu andesit, yaitu jaladwara dan peripih. Jaladwara di situs ini oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Pancuran Buto, karena bentuknya menyerupai kepala raksasa (kala) dengan mulut terbuka, gigi bertaring, dan ukirannya menyerupai naga. Sementara itu, keberadaan peripih berukuran cukup besar di situs ini menimbulkan dugaan bahwa pernah berdiri sebuah bangunan keagamaan di sekitar lokasi, kemungkinan sebuah candi, meskipun bentuk dan coraknya tidak dapat dipastikan karena minimnya artefak yang tersisa.
Resep Sambal Matah Bahan-bahan: Bawang Merah Cabai Rawit Daun Jeruk Sereh Secukupnya garam Minyak panas Pembuatan: Cincang bawang merah, cabai rawit, daun jeruk, dan juga sereh Campur semua bahan yang sudah dicincang dalam satu wadah Tambahkan garam secukupnya atau sesuai selera Masukkan minyak panas Aduk semuanya Sambal matah siap dinikmati