Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Maluku Utara Maluku Utara
Empat Sultan Di Maluku Utara
- 12 Desember 2014

Empat Sultan di Maluku Utara adalah sebuah cerita yang sangat melegenda di kalangan masyarakat

Maluku Utara, Indonesia. Keempat sultan tersebut adalah bersaudara kandung dan merupakan keturunan bidadari dari Kahyangan. Menurut masyarakat setempat, dari merekalah lahir pemimpinpemimpin Maluku. Bagaimana kisahnya sehingga keempat sultan tersebut dikatakan sebagai keturunan bidadari? Lalu, bagaimana mereka bisa diangkat menjadi sultan? Ikuti kisah selengkapnya dalam cerita Empat Sultan di Maluku Utara berikut ini!

Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Maluku Utara, ada seorang pemuda tampan bernama Jafar Sidik. Tak seorang pun warga yang mengetahui asal­usul keluarganya. Ia tinggal sendirian di sebuah rumah kecil di Desa Salero Ternate. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Jafar Sidik mencari kayu bakar di hutan dan menjualnya ke pasar. Di tengah hutan tempat ia biasanya mencari kayu bakar terdapat sebuah telaga yang berair jernih, sejuk, dan dikelilingi oleh pepohonan yang rindang. Setiap orang yang berada di tempat itu hatinya akan merasa nyaman dan tenteram. Itulah sebabnya telaga itu disebut dengan Telaga Air Sentosa.

Suatu sore, sepulang mencari kayu bakar, Jafar Sidik duduk­duduk di tepi telaga itu untuk melepaskan lelah. Sore itu, cuaca tampak cerah. Ia duduk di atas sebuah batu besar sambil merendam kakinya dalam air telaga. Pandangannya menerawang ke langit yang berwarna jingga. Pada saat itulah, tiba­tiba pandangannya tertuju pada setitik cahaya berwarna­warni. Semakin lama cahaya itu semakin memanjang dan semakin jelas, kemudian ujungnya jatuh di tengah Telaga Air Sentosa.

“Sungguh aneh! Tak ada gerimis, tak ada hujan, tapi ada pelangi,” gumam Jafar Sidik.

 Baru selesai bergumam, tiba­tiba Jafar Sidik melihat di atas ujung lengkungan pelang itu muncul tujuh wanita cantik dengan pakaian warna­warni sesuai dengan warna pelangi. Ada yang berbusana warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Ketujuh wanita yang tak lain bidadari dari Kahyangan itu kemudian terbang ke tepi telaga. Jafar Sidik pun segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar sambil mengawasi tindak­tanduk mereka. Rupanya, ketujuh bidadari cantik tersebut hendak mandi di telaga itu. Mereka melepas selendangnya dan meletakkannya di atas bebatuan, kemudian mereka masuk ke dalam telaga. Dengan riangnya mereka mandi dan bermain­main air diselingi dengan canda tawa.

Jafar Sidik terus mengawasi ketujuh bidadari itu dari balik pepohonan. Ia sangat terpesona melihat

kecantikan mereka. Di antara ketujuh bidadari tersebut, bidadari yang berbaju ungulah yang paling

cantik. Dia adalah adik yang paling bungsu.

“Aduhai... cantik sekali bidadari yang berpakaian ungu itu,” gumam Jafar Sidik dengan kagum.

Jafar Sidik pun langsung jatuh hati dan berniat untuk memperistrinya. Namun, ia bingung karena

bidadari itu pasti akan terbang kembali ke Kahyangan. Setelah berpikir sejenak, Jafar Sidik menemukan sebuah cara. Pada saat ketujuh bidadari itu tengah asyik bersendau gurau, ia melangkah perlahan­lahan sambil berjingkat­jingkat menuju ke tempat pakaian para bidadari tersebut diletakkan. Dengan cepat, ia mengambil selendang yang berwarna ungu. Setelah itu, ia segera kembali bersembunyi di balik pohon besar dan menyembunyikan selendang tersebut di balik bajunya.

Hari pun semakin sore. Tibalah saatnya para bidadari tersebut kembali ke negerinya di Kahyangan.

“Adik­adik, hari sudah menjelang malam. Ayo kita segera pulang sebelum pelangi itu menghilang!” ajak bidadari berbaju merah, kakak yang tertua.

Keenam adiknya pun menurut. Mereka segera naik ke darat dan mengenakan selendang masing­masing.

Namun, bidadari yang bungsu masih kebingungan, karena selendangnya hilang.

“Ayo cepat, Bungsu! Pelangi sudah hampir menghilang!” seru bidadari berbaju hijau.

“Tunggu sebentar, Kak! Selendangku tidak ada. Padahal, tadi aku meletakkannya di atas bebatuan ini

bersama dengan selendang Kakak,” kata bidadari yang berbaju ungu tiba­tiba.

Bidadari bungsu pun segera mencari selendangnya dan dibantu oleh keenam kakaknya. Mereka sudah mencarinya ke mana­mana, namun tidak menemukannya. Walaupun harus meninggalkan si Bungsu seorang diri, keenam bidadari lainnya memutuskan untuk segera pulang, karena pelangi sudah mulai memudar.

“Maafkan kami, Adikku! Kami terpaksa meninggalkanmu seorang diri sini. Jaga dirimu baik­baik!” ujar bidadari yang sulung.

“Jangan tinggalkan aku, Kak!” teriak si Bungsu sambil meratap.

Namun, keenam kakaknya sudah terbang meninggalkannya. Tak lama kemudian mereka pun menghilang bersamaan dengan hilangnya pelangi itu.

Bidadari bungsu pun menangis tersedu­sedu meratapi nasibnya.

“Ayah... Ibu..., kenapa nasibku begini?”

Jafar Sidik merasa kasihan melihat bidadari bungsu itu. Ia pun segera menghampirinya.

“Hai, Bidadari cantik! Siapa namamu? Kenapa kamu menangis dan bisa berada di tempat ini seorang

diri?” tanya Jafar Sidik pura­pura tidak tahu apa yang terjadi pada bidadari bungsu itu.

“Nama hamba Putri Boki Nurfaesyah, Tuan! Hamba tidak bisa kembali lagi ke Kahyangan karena

selendang hamba hilang entah ke mana. Apakah Tuan melihatnya?” tanya Putri Boki Nurfaesyah.

Jafar Sidik tidak memberitahunya kalau dialah yang telah mengambil selendang bidadari itu. Karena hari sudah hampir malam, Jafar Sidik mengajak Putri Boki Nurfaesyah ke rumahnya. Putri Boki Nurfaesyah pun menerima ajakan itu. Saat tengah malam, ketika Putri Boki Nurfaesyah tertidur pulas, Jafar Sidik menyembunyikan seledang berwarna ungu itu di bubungan rumahnya.

Sejak tinggal bersama Putri Boki Nurfaesyah, keinginan Jafar Sidik untuk menikahi putri itu semakin

kuat. Pada suatu hari, ia pun menyampaikan niat itu kepada Putri Boki Nurfaesyah.

“Wahai, Putri Boki! Kebetulan aku belum berkeluarga dan tidak mempunyai sanak saudara di sini.

Maukah engkau menjadi pendamping hidupku?” ungkap Jafar Sidik.

Putri Boki Nurfaesyah hanya terdiam. Ia bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Sebenarnya ia ingin sekali kembali ke negerinya untuk berkumpul bersama keluarganya. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa kembali ke negerinya, karena selendangnya hilang. Akhirnya, ia pun terpaksa menerima lamaran Jafar Sidik.

“Baiklah, hamba bersedia menerima lamaran Tuan, tapi Tuan harus memenuhi satu syarat,” jawab Putri Boki Nurfaesyah.

“Apakah syaratmu itu, Putri Boki?” tanya Jafar Sidik penasaran.

“Tuan harus berjanji tidak akan mencegah hamba pulang ke Kahyangan jika hamba menemukan kembali selendang hamba,” jawab Putri Boki Nurfaesyah.

Jafar Sidik pun menerima syarat itu, karena ia berpikir bidadari bungsu itu tidak akan bisa menemukan selendangnya. Akhirnya, mereka pun menikah. Pasangan pengantin baru itu pun hidup bahagia, tenteram, dan damai. Jafar Sidik pun semakin tekun dan rajin bekerja. Kini, ia tidak hanya mencari kayu bakar, tetapi juga menanam sayur­sayuran di ladang. Pagi­pagi sekali ia sudah berangkat ke ladang dan baru kembali ke rumah saat hari mulai petang.

Beberapa tahun kemudian, Jafar Sidik dan Putri Boki Nurfaesyah telah dikaruniai empat orang anak lakilaki yang masih kecil­kecil. Semakin lengkaplah kebahagiaan Jafar Sidik. Ia pun mendidik anak­anaknya agar taat memegang dan melaksanakan ajaran agama Islam. Ia juga mengajarkan kepada mereka agar hidup saling menyayangi, tolong­menolong, dan rukun antara sesama saudara. Ia berharap keempat anaknya kelak menjadi orang yang bertanggung jawab.

Kehadiran keempat anak tersebut membuat Jafar Sidik semakin bersemangat bekerja. Putri Boki

Nurfaesyah pun merasa berbahagia hidup bersama suami dan anak­anaknya. Namun, di tengah­tengah kebahagiaan itu, tiba­tiba muncul keinginan untuk pulang ke negerinya, jika ia telah menemukan selendangnya.

Suatu hari, ketika suaminya sedang bekerja di ladang, Putri Boki Nurfaesyah melihat ada pelangi di atas bubungan rumah mereka. Ia pun mengamatinya. Pada saat itulah, ia melihat sehelai kain berwarna ungu terselip di bubungan rumah. Ia pun mengambil kain itu. Setelah diamati, ternyata kain itu adalah selendangnya. Ia pun mengetahui bahwa orang yang telah menyembunyikan selendangnya selama ini adalah suaminya sendiri. Tanpa menunggu kedatangan suaminya pulang dari ladang, ia pun berpamitan kepada anak­anaknya untuk segera kembali ke Kahyangan.

“Maafkan Ibu, anak­anakku! Ibu harus pergi meninggalkan kalian. Jagalah diri kalian baik­baik dan

patuhlah kepada ayah kalian!” ujar Putri Boki Nurfaesyah kepada anak­anaknya.

“Ibu mau pergi ke mana?” tanya si Sulung.

“Ketahuilah, anak­anakku! Ibu ini adalah seorang bidadari dari Kahyangan. Sebelum menikah, Ibu dan ayah kalian telah mengikat janji bahwa jika suatu hari kelak Ibu menemukan selendang Ibu yang hilang di tepi Telaga Air Sentosa, Ibu akan kembali ke Kahyangan,” ungkap sang Ibu.

“Ibu.... jangan tinggalkan kami. Kami sangat sayang kepada Ibu,” ratap si Bungsu.

“Iya, Bu! Jika Ibu pergi, siapa lagi yang akan mengurus si Bungsu,” tambah anak ketiganya sambil menangis.

“Maafkan Ibu, anak­anakku! Ibu harus segera pergi sebelum pelangi itu hilang. Ibu sudah bertekad

kembali menemui keluarga Ibu di Kahyangan,” kata Putri Boki Nurfaesyah sambil meneteskan air mata. Sesaat, suasana di rumah itu menjadi hening. Hati ibu dan keempat anak tersebut diselimuti perasaan haru. Dengan isak tangis haru, keempat anak itu terus membujuk sang Ibu agar tidak meninggalkan mereka. Namun, isak tangis mereka tidak dapat lagi membendung tekad sang Ibu. Putri Boki Nurfaesyah pun segera melilitkan selendang itu di pingganngya, lalu memegang kedua ujungnya seraya mengepakngepakkannya. Perlahan­lahan kakinya pun terangkat seperti tak berpijak di bumi. Tiba­tiba Putri Boki Nurfaesyah meliukkan badannya, dan seketika itu ia pun terbang melayang, membubung ke angkasa menuju negeri Kahyangan. Tak berapa lama, ia pun menghilang bersamaan dengan hilangnya pelangi. Keempat anaknya terperangah menyaksikan peristiwa tersebut. Sejak itu, Putri Boki Nurfaesyah tidak pernah lagi kembali ke bumi. Saat malam menjelang, Jafar Sidik pulang dari ladangnya. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati anak­anaknya sedang menangis tersedu­sedu.

“Hai, kenapa kalian menangis? Ke mana Ibu kalian?” tanya Jafar Sidik dengan perasaan cemas.

Si Sulung pun menceritakan bahwa sang Ibu telah pergi. Betapa terkejutnya Jafar Sidik mendengar cerita itu. Ia sangat sedih dan menyesal karena tidak mampu menjaga keutuhan keluargannya. Namun, Jafar Sidik tidak ingin berlarut­laut dalam kesedihan, karena ia masih memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mendidik dan membesarkan anak­anaknya. Sejak itu, Jafar Sidik pun harus membagi waktunya bekerja di ladang dan mengasuh anak­anaknya. Ia baru berangkat ke ladang setelah mengurus keempat anaknya, dan kembali ke rumah saat hari menjelang siang. Jafar Sidik kembali lagi ke ladang setelah anak­anaknya makan siang, dan pulang ke rumah sebelum malam menjelang. Begitulah kegiatan Jafar Sidik setiap hari sejak ditinggal pergi oleh istrinya.

Waktu terus berjalan. Keempat putra Jafar Sidik menjadi pemuda yang tampan, taat beragama, dan

berjiwa sosial. Saat Maluku Utara dibagi dalam susunan pemerintahan, putra­putra Jafar Sidik tersebut diangkat menjadi pemimpinnya. Putra pertamanya menjadi sultan di Bacan, putra kedua menjadi sultan di Jailolo, putra ketiga menjadi sultan di Tidore, dan putra keempat menjadi sultan di Ternate. Dari merekalah kemudian lahir pemimpin­pemimpin Maluku.

 

Demikian cerita Asal­Usul Empat Sultan di Maluku Utara, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori

legenda yang mengandung pesan­pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan seharihari. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah keutamaan dari sifat bertanggung jawab. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Jafar Sidik yang telah mendidik dan membesarkan keempat anaknya menjadi orang yang taat beragama dan berjiwa sosial, sehingga mereka berhasil menjadi pemimpin di empat wilayah di Maluku Utara. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

 

kalau anak hendak menakah,

isilah dengan petuah amanah

kalau anak hendak jadi orang,

tunjuk ajarnya janganlah kurang

wahai ananda kuatkan iman,

tunaikan tugas jalankan kewajiban

tanggung jawabmu jangan abaikan

supaya hidupmu diridhoi Tuhan

 

http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/153-Empat-Sultan-di-Maluku-Utara

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Jembatan Plunyon Kalikuning
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Jembatan Plunyon merupakan bagian dari wisata alam Plunyon-Kalikuning yang masuk kawasan TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi) dan wisatanya dikelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat, yaitu Kalikuning Park. Sargiman, salah seorang pengelola wisata alam Plunyon-Kalikuning, menjelaskan proses syuting KKN Desa Penari di Jembatan Plunyon berlangsung pada akhir 2019. Saat itu warga begitu penasaran meski syuting dilakukan secara tertutup. Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan zoom-in-whitePerbesar Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan "Syuting yang KKN itu kebetulan, kan, 3 hari, yang 1 hari karena gunungnya tidak tampak dibatalkan dan diu...

avatar
Bernadetta Alice Caroline