Deskripsi Permainan
Dukka ronjangan adalah suatu permainan rakyat yang berasal dari daerah Bangkalan – Madura. Dukka ronjangan terdiri dari dua kata yakni dukka dan ronjangan. Dukka berarti membunyikan ronjangan dengan memukulkan alat semacam alu. Sedangkan ronjangan berarti tempat untuk menumbuk padi yang bentuknya memanjang, terbuat dari kayu. Jadi apabila kita terjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia dukka ronjangan berarti memukul ronjangan atau membunyikan ronjangan. Dukka ronjangan, suatu permainan di kalangan petani untuk bergembira ria setelah panen padi.
Dukka ronjangan ini adalah permainan yang khas di kalangan petani Madura dalam menunjukkan kegembiraan mereka karena panen sangat memuaskan. Sambil menumbuk padi wanita – wanita petani itu mempermainkan gentongnya (alu) ke sisi ronjangan sehingga menimbulkan suara. Karena berat gentong itu berbeda dengan yang lain, maka bunyi yang ditimbulkan berbeda pula. Ronjangan yang dipergunakan untuk bermain sambil menumbuk padi itu cukup menampung empat pasang penumbuk. Bunyi yang ditimbulkan oleh gentong – gentong (alu) yang epakotek (dipukulkan) pada sisi ronjangan itu menimbulkan bunyi – bunyi yang bersifat menghibur kelelahan mereka. Sambil mempermainkan gentong – gentong para penumbuk padi, dapat menimbulkan bunyi yang beraneka ragam dan serasi, sehingga menguatkan mereka untuk menumbuk padi selama mungkin.
Permainan ini umumnya dimainkan pada siang hari, bersamaan dengan waktu orang menumbuk padi. Tetapi karena permainan ini sangat digemari para petani, maka dalam menyelenggarakan selamatan pun dukka ronjangan ini dimainkan orang pula. Dimainkannya sesuai dengan sifat selamatannya. Apabila dimainkan untuk selamatan perkawinan, maka permainan ini dilakukan pada malam hari, sedangkan untuk selamatan khitanan dapat dimainkan pada pagi hari atau malam hari. Malah kadang – kadang pagi – pagi buta sudah dimainkan orang, bersamaan dengan disemelihnya sapi untuk selamatan itu. Selain itu dukka ronjangan dapat pula dimainkan sewaktu – waktu, ada kematian, yang kegunaannya untuk memberitahu penduduk, akan tetapi dimainkan dengan ritme yang khusus.
Hal seperti di atas menunjukkan bahwa permainan dukka ronjungan selain untuk menghibur atau penghibur pelepas lelah juga berkaitan pula dengan upacara – upacara selamatan (misalnya, perkawinan dan khitanan) dan sebagai penyampaian berita kematian. Memang sebelum garonjangan ini dimainkan, baik untuk kepentingan apa pun juga, permainan maka permainan ini selalu didahului dengan membakar kemenyan dan menyediakan menangan (tempat sirih pinang) yang tutupnya dibuka dan ditaruh (tutupnya) di dalam lobang ronjungan tersebut, sehingga waktu edukka menimbulkan bunti gemerincing. Akan tetapi, tutup menangan tersebut tidak ditaruh dalam lobang ronjangan apabila sedang menumbuk padi, tetapi ditaruh di sisi ronjangan berikut menangannya. Bunyi yang ditimbulkan dukka tersebut tidaklah mengandung irama seperti gambang atau alat musik kolintang yang dapat membawakan satu lagu. Bunyi dukka ronjangan hanya sekadar sekumpulan bunyi yang tidak dapat membawakan irama lagu (nyanyian). Ronjangan memang tidak dibuat dengan tujuan untuk alat musik, tetapi untuk menumbuk padi.
Pelaku permainan dukka ronjangan ini terdiri dari wanita yang berusia antara lima belas sampai degan tiga puluh tahun, yaitu mereka yang fisiknya cukup kuat. Sebenarnya dapat saja dimainkan wanita yang berusia kurang dari lima belas tahun, tetapi biasanya mereka memainkan masih kurang mantap, sebab memreka umumnya masih belajar. Dapat juga yang ikut bermain adalah wanita yang usianya lebih dari tiga puluh tahun, tetapi kemungkinan mereka hanya kuat memainkan beberapa set irama saja, kemudian sudah merasa lelah. Oleh karena itulah, wanita – wanita yang sudah tua atau berusia lanjut hanya bertugas mengajar, membina, menilai, dan kalau perlu membetulkan permainan wanita – wanita muda itu agar bunyi irama dukka rojangan menjadi serasi dan enak didengar.
Satu stel pasangan pemain pada setiap rojangan terdiri dari sebelas orang wanita. Mereka mempunyai tugas bagian bunyi tertentu, sehingga mereka juga tetap pada posisi tertentu pula. Artinya, ia harus berada di bagian mana dan harus memukul di bagian mana pula serta gentong yang mana yang enjadi pegangannya.
Kaum pria tidak mempunyai keahlian dalam dukka rojangan ini, karena dukka ini berkembang daro pekerjaan noto padi (menumbuk padi), dan yang mempunyai kewajiban menumbuk padi hanya kaum wanita saja. Para pria hanya membantu mengeluarkan dan mengusung ronjangan itu ke luar dari tempat penyimpanannya. Memang tidak disediakan tempat penyimpanan yang khusus, akan tetapi umumnya ronjangan tersebut ditaruh di sisi rumah, terlindungi dari panas matahari dan air hujan, dan jauh dari binatang rayap. Bagi yang sudah berumur tua, maka perawatannya lebih teliti, sebab bisa terjadi ronjangan yang berkualitas baik yang tentu bunyinya baik, dapat dicuri orang, sekalipun beratnya lebih dari dua kwintal.
Alat perlengkapan permainan ini adalah sebuah ronjangan (tempat untuk menumbuk padi) dan sebelas buah gentong (alat penumbuk). Ronjangan ini terbuat dari kayu camplong atau kayu nangka. Panjang ronjangan sekitar tiga meter dengan garis tengahnya enam puluh sentimeter. Bagian yang berlobang (tempat padi ditumbuk) sepanjang dua meter, lebar empat puluh sentimeter dan dalam lobang sekitar tiga puluh sentimeter. Bagian yang tidak berlobang masih merupakan kayu yang bulat, bagian bawahnya ditipiskan, sedangkan bagian atas rojangan diratakan. Selain itu ada dua potong pohon sebagai pengganjal yang ditaruh di abwah ronjangan, maksudnya agar tidak mudah rusak beradu dengan tanah. Sedangkan gentong yang dipakai sebagai alat penumbukan terbuat dari kayu nangka atau camplong yang panjangnya satu setengah meter dengan garis tengahnya sepuluh sentimeter, beratnya tiga kilogram, dan di bagian tengah gentong itu diberi lekuk untuk tempat pegangan.
Permainan dukka ronjangan ini tidak diiringi oleh musik ataupun nyanyian ketika permainan ini berlangsung. Permainan ini sifatnya spontanitas. Begitu ada bunyi “dung – dung” berkali – kali sudah cukup dimaklumi, bahwa bunyi yang berasal dari pukulan gentong pada ronjangan itu merupakan ajakan untuk noto padi (menumbuk padi) dan bisa juga untuk memberitakan kabar duka. Mereka yang kebetulan tidak bekerja atau yang mempunyai di waktu senggang segera mendatangi asal bunyi ronjangan itu.
Seperti yang telah disebutkan di atas, mungkin saja panggilan “dung – dung” itu merupakan ajakan untuk membantu menumbuk padi atau hanya untuk mengajak bermain dukka rojangan. Tidak lama kemudian permainan dukka rojangan sudah kedengaran ke seluruh dusun. Tetapi sebelum permainan ini dimainkan, pemiliknya terlebih dahulu membakar kemenyan atau dupa serta menaruh menangan terbuka di dekat ronjangannya tersebut.
Apabila yang datang lebih dari sebelas orang, maka bergantianlah mereka bermain. Umumnya ronjangan tidak kosong begitu saja, tetapi dukka membunyikan rojangan tidak kosong begitu saja, tetapi dukka membunyikan ronjangan dengan gentong (alu) mengiring penumbukan padi. Ada kalanya pemberitahuan secara beranting bahwa di suatu tempat besok orang akan menumbuk padinya. Maka tanpa diundang mereka yang kebetulan tidak mempunyai tugas di rumahnya, selalu datang untuk membantunya. Begitulah mereka sambil menumbuk padi, memainkan dukka, bersenda gurau bergantian menumbuk padi sehingga tanpa terasa pekerjaan menumbuk padi itu selesai.
Pemain – pemain yang baik, seringkali diundang untuk bermain di perhalatan atau selamatan, misalnya perkawinan, khitanan, dan para pemainnya pun tanpa diupah. Hanya diberi makan dan minum saja, serta diberi berkat secukupnya. Apabila dalam perkawinan itu, persiapan – persiapannya sudah diselenggarakan sebelumnya, misalnya membuat dodol, menyembelih sapi dan sebagainya, maka irama – irama dukka rojangan itu pun disesuaikan dengan selamatan yang akan dilaksanakan. Misalnya, waktu menyembelih sapi, irama yang dibunyikan adalah nyambeli sape. Waktu membuat dodol, iramanya juga aola dudul (membuat dodol). Setiap pemain mempunyai keahlian khusus dalam dukka, ada yang bagian “dung – dung”, ada yang bagian kotek, bagian ngojur. “Dung – dung” dapat disaakan iramanya dalam gamelan dengan gong, sedangkan ngojur sama dengan gendang. Dalam selamatan perkawinan di malam hari, maka dukka rojangan ini muai bermain sekitar pukul 19.00 dan berakhir sampai dengan pukul 24.00.
Sumber : Buku Nilai Budaya dalam Permainan Rakyat Madura – Jawa Timur, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1991
Ginonjing adalah istilah yang digunakan untuk menamai emansipasi Kartini. Istilah tersebut diambil dari nama gending Ginonjing yang digemarinya dan adik-adiknya. Ginonjing berasal dari kata gonjing dalam bahasa Jawa yang berarti "goyah karena tidak seimbang". Ginonjing juga bisa berarti “digosipkan”. Ungkapan ini mengingatkan kepada gara-gara dalam pewayangan yang memakai ungkapan gonjang-ganjing . Menurut St. Sunardi, istilah itu dipilih Kartini sendiri untuk melukiskan pengalaman batinnya yang tidak menentu. Saat itu, dia sedang menghadapi zaman baru dan mencoba menjadi bagian di dalamnya.
Vila Van Resink adalah bangunan cagar budaya berbentuk vila yang terletak di Jalan Siaga, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilik awal vila ini adalah Gertrudes Johannes "Han" Resink, seorang anggota Stuw-groep , sebuah organisasi aktif pada Perang Dunia II yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembentukan negara demokratis Hindia Belanda. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari station hill (tempat tetirah pada musim panas yang berada di pegunungan) untuk boschwezen dienst (pejabat kehutanan Belanda). Pada era Hamengkubuwana VII, kepengelolaan Kaliurang (dalam hal ini termasuk bangunan-bangunan yang berada di wilayah tersebut) diserahkan kepada saudaranya yang bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah tersebut lantas dimanfaatkan untuk perkebunan nila, tetapi kegiatan itu terhenti kemudian hari karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vors...
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pakem Kertodadi adalah salah satu gereja di bawah naungan sinode Gereja Kristen Jawa, yang terletak di Jalan Kaliurang km. 18,5, Padukuhan Kertadadi, Kalurahan Pakembinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Awal mula pertumbuhan jemaat gereja ini berkaitan dengan keberadaan Rumah Sakit Paru-Paru Pakem, cabang dari Rumah Sakit Petronela (Tulung), yang didirikan di wilayah Hargobinangun. Sebelum tahun 1945, kegiatan keagamaan umat Kristen diadakan secara sederhana dalam bentuk renungan atau kebaktian pagi yang berlangsung di klinik maupun apotek rumah sakit yang dikenal dengan nama "Loteng". Para perawat di rumah sakit tersebut juga melakukan pelayanan kesehatan ke dusun-dusun di sekitarnya, yaitu Tanen, Sidorejo, Purworejo, dan Banteng. Menurut Notula Rapat Gerejawi, jemaat gereja ini mengadakan penetapan majelis yang pertama kali pada 21 April 1945. Tanggal tersebut lantas disepakati sebagai hari jadi GKJ Pa...
Situs Cepet Pakem adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Cepet, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan temuan dua buah yoni dan sejumlah komponen arsitektur candi di sekitarnya, situs ini diduga merupakan reruntuhan sebuah candi Hindu dari masa klasik. Lokasinya kini berada di area permakaman umum Padukuhan Cepet, berdekatan dengan sebuah masjid. Benda cagar budaya (BCB) utama yang ditemukan di situs ini adalah dua buah yoni yang terbuat dari batu andesit. Kondisi keduanya telah rusak, sedangkan lingganya tidak ditemukan. Yoni pertama awalnya berada di pekarangan penduduk bernama Pujodiyono, tetapi sekarang dipindahkan di halaman makam. Yoni ini memiliki ukuran relatif besar dengan bentuk yang sederhana, yaitu lebar 134 sentimeter, tebal 115 sentimeter, dan tinggi 88 sentimeter. Bagian bawah cerat yoni tersebut tidak bermotif dan memberikan kesan bahwa pengerjaannya belum selesai. Sementara itu, terdap...
Situs Potro atau Pancuran Buto Potro adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Potro, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs ini terdiri atas dua benda cagar budaya (BCB) utama yang seluruhnya terbuat dari batu andesit, yaitu jaladwara dan peripih. Jaladwara di situs ini oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Pancuran Buto, karena bentuknya menyerupai kepala raksasa (kala) dengan mulut terbuka, gigi bertaring, dan ukirannya menyerupai naga. Sementara itu, keberadaan peripih berukuran cukup besar di situs ini menimbulkan dugaan bahwa pernah berdiri sebuah bangunan keagamaan di sekitar lokasi, kemungkinan sebuah candi, meskipun bentuk dan coraknya tidak dapat dipastikan karena minimnya artefak yang tersisa.