|
|
|
|
#DaftarSB19 Sejarah Tembakau dan Rokok Kretek di Indonesia Tanggal 13 Feb 2019 oleh Rezasyaubariakbar . |
Sejarah Tembakau dan Rokok Kretek
Sejarah Tembakau
Tembakau diyakini telah dikenal sejak 6000 tahun sebelum masehi. Para pakar yakin bahwa tumbuhan tembakau telah tumbuh di Amerika dan diyakini bahwa penduduk asli Amerika telah menggunakan tembakau sejak 1 tahun sebelum Masehi, termasuk mengunyah dan merokok tembakau.
Pada tahun 1492 M, Columbus menemukan tembakau sebagai "daun kering" yang diberikan sebagai hadiah. Pada tahun 1492 ini juga Rodrigo de Jerez dan Luis de Torres mengenal rokok dari orang Kuba. Pada tahun 1497, Robert Pane yang mendampingi Columbus pada perjalanannya yang kedua menulis tentang penggunaan tembakau di Eropa dalam tulisannya "De Insularium Ribitus." Pada 1498 Columbus berkunjung ke Trinidad dan Tobago, dan menemukan penggunaan tembakau menggunakan pipa. Pada tahun 1499 Amerigo vespucci mengamati penggunaan tembakau kunyah pada orang Indian.
Sejarah Tembakau dan Rokok di Indonesia
Tembakau dibawa ke pulau Jawa oleh pedagang dari Portugis pada sekitar 1600-an, sehingga kata "tembakau" sendiri merupakan kata turunan dari kata "tumbaco" dalam bahasa Portugis daripada kata "tobacco" dalam bahasa Inggris. Pada awalnya, orang hanya melinting tembakau dengan kulit jagung kering, yang dikenal dengan istilah rokok "klobot" karena klobot adalah nama kulit jagung dalam bahasa Jawa. Legenda rokok pada awal sejarahnya di pulau Jawa yang terkenal adalah kisah Rara Mendut.
Dikisahkan kecantikan Rara Mendut telah memukau semua orang, dari Adipati Pragola penguasa Kadipaten Pati, sampai termasuk juga Tumenggung Wiraguna, panglima perang Sultan Agung dari kerajaan Mataram yang sangat berkuasa saat itu. Namun, Rara Mendut bukanlah wanita yang lemah. Dia berani menolak keinginan Tumenggung Wiraguna yang ingin memilikinya. Bahkan dia berani terang-terangan untuk menunjukkan kecintaannya kepada pemuda lain pilihannya, Pranacitra.
Tumenggung Wiraguna yang murka dan iri kemudian mengharuskan Rara Mendut untuk membayar pajak kepada kerajaan Mataram. Rara Mendut pun harus berpikir panjang untuk mendapatkan uang guna membayar pajak tersebut. Sadar akan kecantikannya dan keterpukauan semua orang terutama kaum lelaki kepadanya, akhirnya dia tiba pada sebuah cara untuk menjual rokok yang sudah pernah dihisapnya dengan harga mahal kepada siapa saja yang mau membelinya. Dikisahkan bahwa Rara Mendut dan kekasihnya Pranacitra akhirnya mati bersama demi cinta mereka.
Sejarah Penemuan Rokok Kretek
Lambat laun pada sekitar abad ke 19, ditemukanlah racikan rokok dengan mencampur tembakau dengan cengkeh, yang ditemukan pertama kali oleh seorang warga Kudus, yaitu Haji Djamari.
Kisah penemuannya berawal ketika dia merasa sakit pada bagian dada, lalu mengoleskan minyak cengkeh untuk meredakan sakitnya dan ternyata benar sakitnya pun reda. Djamari lalu mempunyai ide untuk merajang cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau lalu dilinting menjadi rokok. Setelah rutin menghisap rokok ciptaannya, Djamari merasa sakitnya hilang. Berita ini pun menyebar cepat setelah dia menceritakan kepada kerabat-kerabatnya. Permintaan "rokok obat" ini pun mengalir dan Djamari melayani banyak permintaan rokok cengkeh.
Karena ketika dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi "keretek-keretek", maka rokok temuan Djamari ini dikenal dengan "rokok kretek". Awalnya, kretek ini dibungkus klobot atau daun jagung kering dan dijual per ikat dimana setiap ikat terdiri dari 10, tanpa selubung kemasan sama sekali.
Konon Djamari meninggal pada 1890. Identitas dan asal-usulnya hingga kini masih samar. Hanya temuannya itu yang terus berkembang.
Sejarah Perkembangan Awal Rokok Kretek
Sepuluh tahun kemudian, penemuan H. Djamari menjadi dagangan memikat di tangan Nitisemito, perintis industri rokok di Kudus. Bisnis rokok dimulai oleh HM. Nitisemito pada 1906 dan pada 1908 usahanya resmi terdaftar dengan merek "Tjap Bal Tiga". Bisa dikatakan langkah Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri rokok kretek di Indonesia.
Nitisemito seorang buta huruf, putra Ibu Markanah di desa Janggalan dengan nama kecil Rusdi. Ayahnya, Haji Sulaiman adalah kepala desa Janggalan. Pada usia 17 tahun, ia mengubah namanya menjadi Nitisemito. Pada usia tersebut, ia merantau ke Malang, Jawa Timur untuk bekerja sebagai buruh jahit pakaian. Usaha ini berkembang sehingga ia mampu menjadi pengusaha konfeksi. Namun beberapa tahun kemudian usaha ini kandas karena terlilit hutang. Nitisemito pulang kampung dan memulai usahanya membuat minyak kelapa, berdagang kerbau namun gagal. Ia kemudian bekerja menjadi kusir dokar sambil berdagang tembakau. Saat itulah dia berkenalan dengan Mbok Nasilah, pedagang rokok klobot di Kudus. Mbok Nasilah, yang juga dianggap sebagai penemu pertama rokok kretek, menemukan rokok kretek untuk menggantikan kebiasaan nginang pada sekitar tahun 1870. Di warungnya, yang kini menjadi toko kain Fahrida di Jalan Sunan Kudus, Mbok nasilah menyuguhkan rokok temuannya untuk para kusir yang sering mengunjungi warungnya. Kebiasaan nginang yang sering dilakukan para kusir mengakibatkan kotornya warung Mbok Nasilah, sehingga dengan menyuguhkan rokok, ia berusaha agar warungnya tidak kotor. Pada awalnya ia mencoba meracik rokok. Salah satunya dengan menambahkan cengkeh ke tembakau. Campuran ini kemudian dibungkus dengan klobot atau daun jagung kering dan diikat dengan benang. Rokok ini disukai oleh para kusir dokar dan pedagang keliling. Salah satu penggemarnya adalah Nitisemito yang saat itu menjadi kusir.
Nitisemito lantas menikahi Nasilah dan mengembangkan usaha rokok kreteknya menjadi mata dagangan utama. Usaha ini maju pesat. Nitisemito memberi label rokoknya "Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo" (Rokok Cap Kodok makan Ular). Nama ini tidak membawa hoki malah menjadi bahan tertawaan. Nitisemito lalu mengganti dengan Tjap Bulatan Tiga. Lantaran gambar bulatan dalam kemasan mirip bola, merek ini kerap disebut Bal Tiga. Julukan ini akhirnya menjadi merek resmi dengan tambahan Nitisemito (Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito).
Bal Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus. Setelah 10 tahun beroperasi, Nitisemito mampu membangun pabrik besar diatas lahan 6 hektar di Desa jati. Ketika itu, di Kudus telah berdiri 12 perusahaan rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok keci. Di antara pabrik besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merek Goenoeng Kedoe), H.M Muslich (merek Delima), H. Ali Asikin (merek Djangkar), Tjoa Khang Hay (merek Trio), dan M. Sirin (merek Garbis & Manggis).
Sejarah mencatat Nitisemito mampu mengomandani 10.000 pekerja dan memproduksi 10 juta batang rokok per hari 1938. Kemudian untuk mengembangkan usahanya, ia menyewa tenaga pembukuan asal Belanda. Pasaran produknya cukup luas, mencakup kota-kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan ke Negeri Belanda sendiri. Ia kreatif memasarkan produknya, misalnya dengan menyewa pesawat terbang Fokker seharga 200 gulden saat itu untuk mempromosikan rokoknya ke Bandung dan Jakarta.
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |