Bujang Katak adalah seorang pemuda miskin yang tinggal di sebuah dusun di daerah Bangka, Provinsi Bangka-Belitung (Babel), Indonesia. Ia dipanggil Bujang Katak karena bentuk tubuhnya seperti katak. Walaupun demikian, ia mempunyai istri seorang putri raja yang cantik jelita.
“Seadainya aku mempunyai anak tentu aku tidak secapek ini bekerja. Bagaimana jadinya nanti kalau aku sudah tidak mampu lagi bekerja. Siapa yang akan menggarap ladang ini?” pikirnya.
- “Ya, Tuhanku! Berilah hamba seorang anak, walaupun hanya berbentuk katak.”
- Berselang tiga hari kemudian, perempuan tua itu merasakan ada sesuatu yang aneh di dalam perutnya.
- “Ya Tuhan! Ada apa di dalam perutku ini. Sepertinya ada benda yang bergerak-gerak,” ucap perempuan itu sambil mengelus-elus perutnya.
- “Bagaimana si tua renta itu bisa hamil? Bukankah dia itu tidak mempunyai suami?” kata seorang penduduk.
- “Wah, jangan-jangan dia telah berbuat tidak senonoh di dusun ini,” sahut seorang warga lainnya.
- “Hei, Perempuan Tua! Bagaimana hal ini bisa terjadi?” tanya seorang warga heran.
- “Iya. Apakah kamu telah berhubungan badan dengan katak?” tanya warga lainnya dengan nada mengejek.
- “Apa yang sedang kamu pikirkan, Anakku? Apakah ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya sang Ibu sembari duduk di samping anaknya.
- “Benar, Bu!” jawab Bujang Katak singkat.
- “Apakah itu, Anakku? Katakanlah!” desak ibunya.
- “Sungguh berat permintaanmu itu, Anakku! Kita ini orang miskin. Mustahil dari tujuh putri raja tersebut ada yang mau menikah denganmu, apalagi melihat kondisimu seperti ini,” ujar sang Ibu.
- “Tapi, Bu! Sebaiknya Ibu mencobanya dulu. Siapa tahu salah seorang di antara mereka ada yang mau menerima lamaranku,” desak Bujang Katak.
- “Hai, Perempuan Tua! Kamu siapa dan apa maksud kedatanganmu kemari?” tanya sang Raja.
- Namun karena tidak berani berkata terus terang, Ibu Bujang Katak menjawabnya dengan pantun.
- " Te... sekate menjadi gelang."
- ”Pe... setempe nek madeh pesan urang”
- Sang Raja yang mengerti maksud pantun itu kembali bertanya kepada perempuan itu.
- “Apakah engkau ingin meminang salah seorang putriku?”
- “Be... be... benar, Baginda! Hamba mohon ampun atas kelancangan hamba. Kedatangan hamba kemari ingin menyampaikan pinangan putra hamba yang bernama Bujang Katak kepada salah seorang putri Baginda,” jawab perempuan itu gugup.
- “Ooo, begitu! Baiklah, aku akan menanyakan dulu hal ini kepada ketujuh putriku,” kata sang Raja.
“Besok Ibu harus kembali ke istana untuk menemaniku menghadap sang Raja. Aku yakin Putri Bungsu akan menerima pinanganku, karena dialah satu-satunya yang tidak meludahi kepala Ibu,” kata Bujang Katak dengan nada sedikit memaksa.
- “Hei, perempuan tua! Apakah ini anakmu yang bernama Bujang Katak itu?” tanya sang Raja
- “Benar, Baginda,” jawab ibu Bujang Katak.
- “Ha... ha..., pantas saja ia dinamakan Bujang Katak! Bentuknya mirip seperti katak,” ucap sang Raja mengejek.
- “Hei, Putriku! Kenapa kamu diam saja? Apakah kamu bersedia menikah dengan manusia katak itu?”
- “Ampun, Ayahanda! Jika Ayahanda merestui, Ananda bersedia menjadi istri Bujang Katak,” jawab Putri Bungsu.
- “Baiklah, manusia katak! Kamu boleh menikah dengan putriku, asalkan sanggup memenuhi satu syarat,” kata sang Raja.
- “Apakah syarat itu, Baginda?” tanya Bujang Katak penasaran.
- “Kamu harus membuat jembatan emas yang panjangnya mulai dari gubukmu sampai pintu gerbang istana ini. Apakah kamu sanggup menerima syaratku ini?” tanya sang Raja.
- “Hamba sanggup, Baginda!” jawab Bujang Katak.
- “Tapi, ingat! Jembatan emas itu harus terwujud dalam waktu satu minggu. Jika tidak, maka hukuman mati yang akan kamu dapatkan,” ancam sang Raja.
- “Anakku! Bagaimana kita dapat mewujudkan permintaan Raja, sementara kita ini orang miskin?” tanya sang Ibu bingung.
- “Tenang, Bu! Aku akan pergi bertapa di suatu tempat yang sepi. Jika Yang Mahakuasa menghendaki, apapun bisa terjadi,” jawab Bujang Katak dengan penuh keyakinan.
- “Hei, Pengawal! Siapa kedua orang itu?” tanya sang Raja kepada pengawalnya.
- “Ampun, Baginda! Bukankah perempuan tua itu ibunya Bujang Katak? Tapi, Baginda, hamba tidak mengenal siapa pemuda yang sedang berjalan bersamanya itu,” jawab seorang pengawal.
- “Hei, perempuan tua! Siapa pemuda itu?”
- “Dia Bujang Katak, putra hamba,” jawab perempuan tua itu lalu menceritakan semua peristiwa yang dialami Bujang Katak hingga ia bisa berubah menjadi pemuda yang tampan. Bujang Katak pun segera berlutut memberi hormat kepada sang Raja.
- “Ampun, Baginda! Hamba ini Bujang Katak,” kata Bujang Katak. Betapa terkejutnya sang Raja beserta seluruh keluarga istana. Mereka benar-benar tidak pernah mengira sebelumnya jika Bujang Katak adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan.
- “Baiklah, Bujang Katak! Karena kamu telah memenuhi persyaratanku, maka sesuai dengan janjiku, aku akan menikahkanmu dengan putri bungsuku,” kata sang Raja.
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...
Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN: terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembongb berwarnaungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok dan pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR: sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH: Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghadap ke belaka...
aksi pertunjukan pusaka dan pasukan kesultanan kacirebonan dari balaikota cirebon sampai ke keraton kacirebonan
Para pasukan penjaga keraton Sumedang larang