|
|
|
|
Cerita Legenda Syekh Husin Tanggal 27 Dec 2018 oleh Admin Budaya . |
Pada suatu ketika Sebatin (kepala adat), Tanjung Betuah Putih, naik perahu berdagang rotan ke Singapura. Untuk sampai di Singapura harus menempuh perjalanan kurang lebih dua puluh lima hari. Di Singapura dia menjual rotan yang terdiri atas tiga macam yaitu rotan kecil, rotan sedang dan rotan besar. Sesudah menjual rotan ia membeli kursi, ranjang yang mahal-mahal dan sebagainya. Tiba-tiba datang seorang tuan Haji yang memperkenalkan namanya Haji Husin, orang Padang asal Sawa Lunto. Kemudian berbincang-bincang menanyakan kepada mereka tentang apa dan bagaimana halnya dengan agama orang-orang di Cukuh Balak Jawab Sebatin dan kawan-kaannya.
ilustrasi oleh waliallahswt.blogspot.com
"Agama mereka di sana adalah agama Budha." Kata Haji Husin, "Bagaimana kalau saya ikut kalian ke sana, saya ingin kerja upahan disana, upahan apa saja." Dijawab mereka, "Kerja usaha disana tidak ada, selain dari mengambil rotan di hutan, memanjat kelapa, atau pergi ke Betawi menjual rotan saja." Berkata Haji Husin tersebut, "Saya ikut kalian ke Cukuh Balak, saya ingin melihat negeri kalian." Jawab mereka" Baiklah kalau begitu silahkan!"
Kemudian berangkatlah mereka, dengan perahu menuju Cukuh Balak. Sesudah cukup lama di perjalanan, baru disadarinya bahwa mereka tidak mempunyai persediaan air minum. Setengah hari mereka diperjalanan, baru disadarinya bahwa mereka tidak mempunyai persediaan air minum. Setengah hari mereka diperjalanan dalam kehausan tetapi teko-teko mereka kosong. Mereka jadi susah memikirkannya bagaimana mereka harus minum dan makan. Mereka berniat untuk singgah di Padang untuk mencari air minum dan juga bagi keperluan masak. Berkatalah Syekh Husin, "Mengapa kita susah-susah cari air, padahal kita sekarang berada di atas air."
Dijawab Sebatin dan orang-orangnya. Itu adalah air laut, kata Syekh Husin, "Bawa kemari gayung itu, biar saya yang mengambilnya." Setelah diambil air laut tersebut, rasanya seperti air sumur saja, begitu segar. Bergantian mereka mencoba meminumnya, kata yang seorang. "Alangkah segarnya."Kata yang lain. "Alangkah dinginnya." Maka diciduklah air laut tersebut untuk menanak nasi, untuk masak air, untuk minum dan sebagainya, tidaklah mereka kekurangan air lagi.
Malam hari mereka kehujanan sedang atap perahu mereka hanya sebuah atap gerobak saja untuk bernaung bagi mereka yang jumlahnya belasan orang. Tetapi walau bagaimanapun derasnya hujan, mereka tidak kehujanan, tidak basah, tidak kena air hujan, ditadah-tadah tangan mereka, namun tidak kena hujan dan pula tidak basah, padahal sebenarnya hujan sangat deras, disertai guruh dan petir. Setelah pagi tiba, mereka sampai di tanah Jawa. Mereka akan mampir di Betawi, tetapi dilarang oleh Syekh Husin katanya, "Sebaiknya kita langsung saja." Mereka terus berlayar, sampai di Kalianda. Pulau Tabuan, Batu Putih, sampai disana mereka turun dari perahu. Perjalanan mereka dari Singapura hanya tiga hari, padahal biasanya memakan waktu satu bulan lebih. Dalam perjalanan mereka pulang bersama Syekh Husin ini, tidak pernah perahu mereka dilanda ombak yang besar bahkan ombak-ombak semua kelihatan sangat tenang.
Sampai di Putih Doh, di Batu Putih, mereka menurunkan barang-barang dari perahu ke pantai di bawah pohon kelapa. Sesudah selesai pekerjaan menurunkan barang-barang yang berat itu, mereka berkeringat dan merasa haus. Disuruhlah oleh ketuanya dua orang untuk memanjat kelapa mengambil kelapa muda untuk 13 orang, jadi diperkirakan cukup dua tandan. Belum separuh batang kelapa mereka panjat dilihat oleh Syekh Husin lantas disuruhnya turun.
Dijawab mereka, bahwa mereka akan mengambil kelapa muda. Kata Syekh tersebut. "Ya, tetapi kalian tidak usah naik, kalian memerlukan berapa buah?" Jawab mereka. "Kira-kira 13 buah." Oleh Syekh Husin itu ditunjuk saja kelapa-kelapa muda yang akan diambil itu," satu...., dua,....tiga dan seterusnya sehingga cukup tiga belas buah berjatuhan. Mereka yang menyaksikan terheran-heran dibuatnya. Rupanya orang tua itu benar-benar orang yang berilmu, air laut yang asin jadi tawar, waktu hujan deras, mereka tidak basah (kehujanan), mengambil kelapa muda tinggal tunjuk saja, kelapa itu jatuh sendiri. Mereka kagum dengan orang tua tersebut sambil berbisik-bisik mereka bertanya-tanya. "Manusia macam apakah dia ini”.
Sesudah minum-minum dan makan kelapa muda, turun hujan gerimis, cuacapun gelap, tampaklah akan turun hujan yang lebat, bergegaslah mereka mengangkat barang-barang dari tepi muara akan terus ke Putih Doh. Belum sampai mereka ke sana, hujan sudah turun sangat derasnya. Di Jalan sudah penuh air. Orang-orang kampung itu melambai-lambaikan tangan mereka supaya singgah saja dulu karena hujan. "Terima kasih." jawab mereka, "Perjalanan kami sudah tanggung." Tetapi mereka sendiri yang sedang berjalan itu tidak basah oleh hujan yang lebat itu. Hal ini berkat kelebihan Syekh Husin bersama mereka.
Sampailah mereka di rumah Sebatin Tanjung Betuah, Syekh Husin menumpang juga di situ sampai dua tiga hari. Sembahyangnya tidak pernah terlambat dan terlengah. Sesudah empat hari di sana Syekh Husin menyuruh kumpulkan penduduk kampung Betuah untuk disuruh menabuh rebana, bujang gadis disuruh menari, Seisi kampung semuanya datang melihat keramaian itu. Sesudah puas baru disuruh istirahat. Mereka disuruh duduk berhadap-hadapan dan bersap-sap, sampai lima atau enam sap, lalu disuruh berdiri. Berkata Syekh Husin, "Sekarang perhatikan gerak-gerik saya, yang nantinya akan kalian tirukan, jangan dulu ditiru sebelum melihat saya."
Tugasnya Syekh bertindak sebagai imam, dia mengucapkan Allahu Akbar, sujud, duduk antara dua sujud, sampai dua atau tiga rakaat, sudah itu, "Coba tirukan." katanya kepada yang hadir di situ, sampai hapal seperti apa yang ia lakukan tadi. Sesudah hapal semuanya, keesokan harinya ia mengundang orang-orang dari Padang Manis sampai Pekoh Doh, semuanya diajarkan gerakan-gerakan sembahyang, rukuk, sujud tetapi doa belum. Jadi setelah semua hapal tertib-tertib sembahyang dan sebagainya tersebut, barulah mereka diajari Bismillah (Al fatehah), serta ayat-ayat antara lain. Kulhuwallahu ahad, Kulauzubbirobbinas dan sebagainya, sesudah hapal semuanya, baru mereka diajari niat-niat sembahyang lima waktu. Setelah hapal semuanya, barulah mereka diajari Alif, ba'ta' dan seterusnya. Terus diajari Alqur'an, sesudah belajar lebih kurang satu tahun. Sesudah genap satu tahun, maka orang-orang dari Kota Agung, Punduh, Pelada, Limau, Pertiwi Way Rilau, datang belajar mengaji dan sembahyang. Syekh tersebut permisi untuk pulang dulu ke Padang.
Kata Sebatin Tanjung Betuah, "Kami tidak rela Syekh akan meningalkan kami, niat saya agar Syekh berkenan tinggal di sini, berkeluarga. Kami berniat untuk mencarikan gadis untuk istri dari kampung Limau sampai Pertiwi Way Rilau, akan kami kumpulkan dan Syekh boleh memilih yang mana saja untuk dipersunting". Dijawab oleh Syekh Husin, "Bila kehendak kalian begitu, baiklah saya penuhi dan saya tidak jadi pulang ke Padang".
Kemudian bermufakatlah seluruh penduduk kampung akan mengadakan hajat pesta, mengumpulkan bujang gadis, memotong hewan kerbau dan sebagainya, sehingga merupakan suatu pesta besar-besaran. Semua gadis-gadis berdandan rapi, berpakaian yang baik-baik, dibariskan sampai delapan baris. Tibalah saatnya Syekh Husin akan menyatakan pilihannya pada salah seorang di antara gadis-gadis tersebut. Berkatalah Syekh Husin kepada pemimpin mereka, "Bila seorang gadis saya pandangi dan lantas saya pegang ubun-ubun kepalanya, berarti gadis itulah yang saya pilih, untuk istri saya." Pada orang tua berharap kalau-kalau anaknyalah terpilih jadi jodoh Syekh Husin.
Kemudian berkelilinglah Syekh itu memandangi gadis-gadis yang hadir. Setelah sampai pada gadis yang terakhir, maka ubun ubun gadis itu dipegang oleh Syekh, dan kemudian dia pergi. Berkatalah orang-orang tua yang menyaksiakan kejadian itu, "Mengapa bukan anakku yang dipilihnya melainkan si Halimah anak yang tidak berbapak lagi, hanya tinggal ibunya?" Halimah ini ditinggal bapaknya, bertiga saudara, yang tertua Halimah, sesudah itu seorang laki-laki dan yang bungsu laki-laki pula. Yang laki-laki bungsu ini, kata Sahibulhikayat adalah ayahnya.
Sesudah jelas pilihan Syekh tersebut, maka barulah diadakan pesta. Berkatalah paman si Halimah kepada Halimah, bahwa Halimah akan dikawinkan dengan Syekh Husin, sebab yang dipegang kepalanya oleh Syekh tadi adalah Halimah. Jawab Haliamah. "alah, masa saya dikawini orang setua itu, sedang saya sendiri baharu habis datang bulan yang pertama, saya tidak mau. Maka marahlah sang paman sambil mencabut pisau dia mengancam akan membunuh Halimah. "Akan kubunuh kamu, kalau tidak menerima kenyataan ini" Maka dijawab oleh Halimah, kalau begitu saya mau menurut. Katanya sambil menangis. "Lebih baik saya hidup dari pada mati."
Maka pada malam harinya, mereka dikawinkan di kampung Banjar Manis. Sesudah menikah, Syekh dan rombongannya kembali ke Tanjung Betuah. Tiga hari kemudian barulah pengantin pria disusul dengan rombongan bujang gadis, menari, main pedang. Halimah menunggu di rumah untuk menanti kedatangan pengantin pria (Syekh Husin). Begitu rombongan sudah dekat rumah. Halimah mengintip dari jendela belakang rumah. Dilihatnya ada seorang laki-laki muda belia yang berpakaian pengantin, sangat tampannya dan bukannya Syekh yang tua itu yang datang, diiringi tabuhan dan bujang gadis. Sangat heran si Halimah, siapakah laki-laki muda itu dan alangkah tampannya. Begitu sampai di beranda, orang tersebut memanggil-manggil, "Halimah, Halimah, bawakan saya air satu teko".
Kemudian Halimah disuruh buka sanggulnya, kemudian disuruh pegang tangannya untuk dibimbing masuk keruangan dalam. Sesampai di dalam, lalu duduk bersanding. Selama bersanding itu, si Halimah tidak habis berpikir, dan melirik laki-laki muda tersebut. Siapakah gerangan laki-laki ini, mengapa orang tua itu digantikan dia ini. Tetapi begitu dia perhatikan sungguh-sungguh, rupanya laki-laki muda itu tiada lain adalah Syekh Husin itu sendiri. Sesudah selesai semua acara, dan orang-orang sudah pada bubar, tinggallah laki-laki muda tersebut bersama Halimah.
Setelah satu tahun kemudian, laki-laki muda itu menjadi tua kembali seperti sedia kala, seperti mulanya Syekh itu datang, janggut yang sudah putih dan rambut yang sudah ubanan. Sementara itu rumah Syekh di Tanjung Betuah sudah selesai dibuatkan oleh Sebatin Tanjung Betuah. Pindahlah si Halimah dan suaminya Syekh tersebut ke Tanjung Betuah. Dua tahun kemudian Halimah melahirkan seorang putra. Pada suatu waktu sesudah umur anak tersebut dua tahun, Syekh Husin permisi pada istrinya akan pulang dulu ke Padang dan anak mereka yang bernama Kahar akan dibawa serta dan akan dimasukkan pondok di Padang. Tiga bulan di Padang, dipindahkan di Mandailing.
Maksud Syekh itu ia akan menyebarkan agama di Mandailing, tetapi mendapat tantangan, orang-orang tidak mau menerimanya. Dari satu tempat ke tempat lain ia pergi, tetapi tidak diterima. Akhirnya orang-orang di situ merasa jengkel dengan Syekh tersebut dan mereka bermufakat untuk mau menerima ajaran Syekh tersebut, asal dia mau menunjukkan kesaktiannya dulu.
Orang-orang tersebut meminta kepada Syekh untuk menunjukkan kesaktiannya dan bila terbukti, baru mereka akan masuk agama Islam. Kata Syekh itu, "Apa kehendak kalian?" Kata mereka "Tiga puluh tahun yang lalu di dekat kampung ini ada sebuah sungai besar yang melewati tempat ini, karena besarnya sungai tersebut, dapat dilayari perahu. Kemudian sungai tersebut dari hulunya telah berpindah sehingga tidak lewat di sini. Sekarang kami minta agar aliran sungai tersebut dikembalikan kemari."
Kemudian pada malam harinya, sedari Isya sampai subuh Syekh itu bersembahyang sunnat dengan khusuknya dengan berkain panjang putih. Sampai terbit matahari kira-kira jam 7. Pada saat itulah datang air sungai yang meluap sangat dahsyatnya, merobohkan rumah beserta pohon kelapa. Banjir yang begitu besar melanda kampung tersebut, mengakibatkan orang-orang semuanya berteriak-teriak, sedang Syekh tersebut tetap sembahyang sampai waktu Dzohor, yang waktu itu air sungai sudah bening. Barulah tersebut, rakyat Mandailing masuk agama Islam, karena begitu mujarab dan saktinya agama tersebut. Itulah asal mulanya agama Islam di Mandailing. Dan Syekh tersebut mengajar di sana lebih kurang tiga tahun, sampai harus kawin lagi karena tidak diizinkan rakyat pergi.
Sesudah mendapat seorang keturunan, barulah ia kembali ke Putih Tanjung Betuah menjumpai keluarganya disana. Sepuluh tahun kemudian, dia pindah ke Tanjungkerta. Seperti biasa orang-orang yang didatanginya masuk agama Islam. Biasanya pada hari Jum'at, dia melarang membunyikan beduk, kalau dia belum turun rumah dan masuk mesjid, lalu ahzan. Sesudah sampai waktunya sembahyang, dilihat oleh khotib dan bilal, Syekh itu masih belum turun dari rumahnya yang selang satu rumah dari mesjid. Dirumahnya dia duduk berkerudung, sedang tasbihnya ada di ujung jari. Lalu dibangunkan oleh mereka, bahwa sembahyang sudah saatnya, tetapi dia masih belum bangun, sorban tetap masih ada dikepalanya.
Pergilah mereka ke dapur mendapatkan Halimah, meminta agar Syekh dibangunkan karena saat Dzohor sudah tiba. Kemudian pergilah Halimah mendapatkan suaminya yang duduk bersorban itu, dipanggil-panggilnya, digoyang-goyangnya. "Syekh, bangun segera, waktu dzohor sudah tiba, apakah tertidur?" Tidak ada jawaban dari Syekh. Lalu Halimah memanggil yang menjemput tadi, Bilal, Khatib dan, yang lain-lain, dia mengatakan bahwa Syekh dipanggil-panggil tidak menyahut, digoyang-goyang tidak bangun. Maka oleh mereka dibuka kerudung tersebut, dan diperhatikan mereka mukanya. Rupanya Syekh ini telah meninggal dunia.
Begitu mudahnya dia meninggal, tidak sakit apa-apa, sedang kelihatannya duduk-duduk berzikir dengan tasbeh, sudah tiada. Pergilah orang banyak tadi melanjutkan sembahyang Jum'at. Setelah sembahyang Jum'at mereka merencanakan akan menguburkannya, karena murid-muridnya banyak dari kampung lain seperti di Bulo. Pampangan Way Layap dan sebagainya, maka diberi kabar kepada mereka.
Pada waktu itu belum ada kendaraan lain, selain dari gerobak dengan kerbau atau sapi, untuk memberi kabar. Mereka yang mendapat kabar itu, berangkat jam 4, tiba di Tanjung Kerta orang sudah begitu ramainya, ada yang sudah menggali tanah untuk kuburan Syekh, ada yang mengambil air untuk mandi, ada yang mengambil pohon pisang, tetapi memakai paha orang yang berjejer saja. Lalu mereka memandikan di atas rumahnya saja dengan air yang banyaknya hampir tiga belas kaleng. Banyak orang yang pusing, karena bau yang ditimbulkan dari badan Syekh yang dimandikan itu mengeluarkan bau yang sangat harum, menyebar kemana-mana. Sangat banyak orang-orang dibawah kolong rumah itu bermandikan air bekas Syekh tersebut, mereka saling berebutan sampai bajunya basah kuyub, dibiarkan kering di badan sambil mengantarkan jenazah Syekh ke kuburan.
Sumber : Cerita Rakyat (Mite dan Legende) Daerah Lampung, Depdikbud
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |