|
|
|
|
Candi Jepara Tanggal 12 May 2019 oleh Rizki Kitiang. |
Candi Jepara berada di Desa Jepara, Kecamatan Banding Agung, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Provonsi Sumatera Selatan. Jauh di daerah hulu Sungai Komering, pada jarak sekitar 700 meter dari tepi Danau Ranau, di Desa Jepara ditemukan runtuhan bangunan candi yang dibuat dari batu andesit. Runtuhan bangunan kuno itu terletak pada kebun kopi yang letaknya di sebelah barat desa. Untuk mencapai lokasi tidak sulit, karena sudah ada jalan beraspal yang menghubungkan Kota Baturaja dan Daerah Wisata Danau Ranau..
Candi JeparaCandi Jepara untuk kali pertama dilaporkan penemuannya oleh seorang controllir Belanda beranama G.A. Schouten (NBG 1885:52-53). Dalam laporannya disebutkan bahwa Candi Jepara dibuat dari batu alam dan berukuran 8,1 x 9,6 meter. Di sekitar runtuhan bangunan masih merupakan semak belukar, dan di antara rimbunan semak terdapat batu-batu candi. Candi ini juga terdapat dalam Oudheidkundige Verslag pada 1914 yang menyebutkan adanya candi batu di Desa Jepara di tepi Danau Ranau.
Pada 1937, seorang konservator museum di Palembang, melaporkan adanya fondasi bangunan candi dari batu alam. Di sisi timurnya terdapat empat tangga. Profil dindingnya berbentuk oyief (ogives) dan setengah lingkaran. Bangunan candi dari andesit sangat jarang ditemukan di Sumatera (Schnitger, 1937:4).
Bagian Candi Jepara yang masih tersisa adalah bagian kaki. Ekskavasi yang dilakukan pada 1984 berhasil menampakkan sisa kaki bangunan tersebut. Bangunan itu pun di beberapa tempat sudah hilang. Bagian kaki bangunan yang tampak masih baik terletak di sisi barat, tetapi kedua ujungnya telah hilang. Bagian kaki yang mengalami kerusakan terparah terdapat di sisi timur. Pada bagian ini yang masih tersisa adalah pintu masuknya. Ukuran bangunan yang dapat diketahui adalah 8,30 x 9,70 meter membujur arah barat-timur. Profil bagian kaki ini adalah sisi genta dan setengah lingkaran.
Pemerian yang dibuat Schnitger berlainan dengan pemerian yang mutakhir, terutama pada ukurannya. Schnitger menyebutkan ukurannya 8,10 x 9,60 meter, sedangkan laporan yang mutakhir menyebutkan 8,30 x 9,70 meter. Perbedaan itu mungkin disebabkan karena pergeseran batu candi yang terjadi karena licinnya tanah tempat berpijaknya bangunan tersebut. Jika dihitung dari kedalaman fondasi, maka dapat diduga bahwa bangunan Candi Jepara tidak disusun secara berkekalan dengan bagian badan dan atap bangunan. Dengan kata lain, bangunan Candi Jepara berbentuk semacam teras yang tidak mempunyai dinding (bilik) dan atap bangunan.
Berdasarkan pengamatan pada bentuk hiasannya, menunjukkan gejala bahwa Candi Jepara belum selesai dikerjakan. Gejala itu terlihat pada bagian pintu masuk bangunan berupa goresan-goresan yang mengarah pada bentuk lengkungan. Goresan-goresan tersebut memberi kesan bahwa bangunan tersebut belum selesai dikerjakan.
Petunjuk pasti yang dapat menentukan pertanggalan bangunan Candi Jepara belum ditemukan. Petunjuk itu antara lain berupa prasasti. Namun, petunjuk pertanggalan mengenai bila didirikannya bangunan Candi Jepara dapat diperoleh dengan cara mengadakan perbandingan langgam dengan candi-candi lain yang sudah diketahui pertanggalannya. Perbedaan langgam dapat dilihat pada profil kaki bangunan..
Pada umumnya, bangunan candi yang dibangun pada masa awal (misalnya candi-candi di Kompleks Percandian Dieng dan Kompleks Percandian Gedongsongo) mempunyai bentuk kaki bangunan yang tinggi, tanpa hiasan, dan berpelipit sederhana. Pada perkembangan selanjutnya, bentuk pelipit yang sederhana itu berubah menjadi bentuk sisi genta, setengah lingkaran, dan mempunyai hiasan. Pada akhir zaman klasik Indonesia (sekitar abad ke-15 Masehi, bentuk sisi genta dan setengah lingkaran berubah menjadi bentuk bersegi-segi (misalnya pada Candi Gedingsuro di Palembang dan candi-candi dari masa Majapahit). Jika diteliti bentuk profil kaki bangunan candi Jepara yang mempunyai pelipit sisi genta dan setengah lingkaran, maka dapat diduga bahwa Candi Jepara berasal dari sekitar abad ke-9-10 Masehi. Bentuk profil seperti itu yang ditemukan pada candi Plaosan, Candi Sari, dan Candi Sambisari di Jawa Tengah.
sumber: situsbudaya.id
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |