Banda Naira punya banyak keunggulan budaya yang pantas dipromosikan sebagai daya tarik wisata. Salah satunya adalah Tari Cakalele Banda yang biasa ditemukan di kampong (desa) Lontor, kampong Baru, kampong Waer, kampong Salamong, kampong Negre dan kampong Run .
Cakalele Banda terbilang unik di banding tarian cakalele di daerah lain di Maluku. Tarian ini merupakan perpaduan seni tari, seni busana dan seni berperang.
Pakaiannya yang warna warni dihiasi dengan burung Cerderawasih diatas topi para penari, menyerupai motif kostum elite bangsawan pasukan kerajaan Inggris, terkesan mengagumkan siapa saja yang melihatnya. Tidak heran kalau Cakalele ini adalah tarian elite dan prestise bagi masyarakat Banda dan karena itu juga diperuntukkan untuk menerima tamu-tamu terhormat yang datang ke Banda.
Namun tidak setiap saat tarian Cakalele ini dapat dipentaskan, karena disamping biayanya yang cukup mahal, mencapai jutaan rupiah sekali masa pentas, juga Cakalele selalu berhubungan dengan struktur adat Buka Kampong dan Tutup Kampong, yang juga secara adat cukup memakan waktu dan biaya sangat banyak.
Selain personil Cakalele, maka ada personil pembantu utama lain yang tidak dapat dipisahkan dari Cakalele yaitu kelompok Mai-mai. Mai-mai adalah melambangkan istri-istri dari penari Cakalele tersebut. Mereka selalu tampil dimana saja apabila ada atraksi Cakalele, melambangkan kesetiaan gadis-gadis Banda yang ayu rupawan dalam mendampingi suami-suami mereka di dalam menunaikan tugasnya.
Secara keseluruhan tarian Cakalele Banda terdiri dari personil penari Cakalele, Mai-mai, penabuh dan pemukul tifa dan gong, pemegang umbul-umbul serta pemuka adat dan personil pembantu. Mereka memainkan peranan yang berbeda-beda secara adat dalam sebuah pementasan. Secara adat pula fungsi-fungsi mereka tidak dapat berubah dan diganti oleh personil lain, karena itu Cakalele adalah sebuah keutuhan yang sarat dengan ritual dan mistik.
Para personil penari Cakalele rata-rata sama jumlahnya yaitu lima orang, kecuali kampong Lontor saja yang memiliki personil penari yang berjumlah sembilan orang. Kampong ini sebenarnya adalah kunci pengembangan budaya di Banda Neira, sehingga secara struktur Lontor dipandang sebagai kampong yang sangat berwibawa secara adat bila dibandingkan dengan kampong-kampong lain di Banda.
Sebagai master dari Cakalele ini adalah yang berstatus Kapitang. Biasanya Kapitang memakai pakaian yang warnanya berbeda dengan personil lainnya, dan master inilah yang sangat mendominasi semua atraksi Cakalele.
Cakalele adalah tarian yang secara adat boleh ditampilkan diantara pelaksanaan adat Buka Kampong dan adat Tutup Kampong. Lama waktu diantara acara adat tersebut tidak bisa ditentukan, karena disesuaikan dengan kebutuhan untuk apa tarian Cakalele itu dipentaskan.
Paling menarik dari Cakalele adalah upacara ritual yang berkesan mistik dibalik tarian Cakalele ini. Upacara itu adalah sebuah prosedur yang mutlak tidak bisa dilupakan dalam rangkaian pementasan Cakalele. Upacara ritual tersebut, seperti yang telah disebutkan di atas adalah adat Buka Kampong dan Tutup Kampong.
Buka Kampong tidak saja melibatkan para penari dan struktur-struktur lain yang mengitari sistem tarian tersebut, akan tetapi melibatkan seluruh masyarakat kampong dimana acara Buka Kampong itu dilaksanakan. Seluruh warga kampong merasa terikat dengan kewajiban dan hak-hak mereka terhadap upacara Buka Kampong, selama menjelang acara Buka Kampong sampai dengan acara Tutup Kampong dilaksanakan.
Suasana ritual inilah yang paling berkesan kepada masyarakat Banda atau wisatawan di Banda, terutama bagaimana kita berusaha mengenal mitos Cakalele itu sendiri. Yang paling berkesan dari upacara ritual itu adalah bahwa semua warga kampong harus bersih, baik bersih hati maupun lingkungan hidupnya, hal tersebut dipercaya oleh masyarakat Banda sebagai ritual sehingga berkesan mistik.
Kepercayaan ini selalu terbukti secara empiris, apabila warga kampong tersebut melanggar ketentuan yang telah ditentukan oleh adat maka selalu ada korban warga kampong yang jatuh sakit. Penyakitnya menjadi aneh-aneh, dan baru bisa disembuhkan apabila yang bersangkutan (pembuat pelanggaran) memperbaiki kesalahannya. Biasanya yang menjadi korban adalah orang lain, dan orang ini akan menunjukkan siapa pelaku pelanggaran itu. Peristiwa inilah yang selalu ingin dihindari oleh warga kampong karena dianggap bahwa aib-nya akan terbeberkan dan diketahui orang lain.
Selang beberapa waktu (sesuai kebutuhan) setelah acara Buka Kampong dilaksanakan, dan dalam masa-masa ini acara pementasan tarian Cakalele baru diperkenankan untuk digelarkan, maka akhirnya, apabila dipandang pementasan sudah cukup atau tidak digelarkan lagi, diakhiri dengan acara Tutup Kampong. Acara Tutup Kampong juga tidak kalah menariknya dengan acara Buka Kampong. Acara Tutup Kampong adalah puncak dari seluruh acara yang berhubungan dengan pementasan tarian Cakalele itu, dan setelah acara ini, maka tidak diperkenankan untuk mementaskan tarian Cakalele sampai pada acara Buka Kampong di waktu yang lain.
sumber :https://www.satumaluku.id/2018/11/08/gaya-dan-mistik-di-balik-cakalele-banda/
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja